Dating Marriage? © Narugankster

Naruto © Masashi Kishimoto

T

Uzumaki Family

Warning : Typo?

Prompt : Musim semi, Janji Suci pernikah.

DLDR okay?

Happy Reading

.

.

.

Takjub bukan main, itulah yang kini pria itu rasakan begitu melihat bagaimana resort yang direkomendasikan ayah mertuanya. Resort yang tak kalah mewah dengan yang dulu dihadiahkan oleh teman pemalasnya.

Hyūga Hiashi memang bukan orang sembarangan, Naruto bisa melihat dari gelagat para pegawai yang langsung merespon cepat kala ia menyebutkan nama mertuanya itu. Mereka digiring dengan ramah dan barang-barang keluarganya dibawakan menuju kamar terbaik menurut sang manager.

Di kamar besar itulah kini mereka berada, meski nuansa tradisional begitu kental tapi tak bisa menampik betapa elegannya kamar itu. Belum lagi begitu Naruto lihat pemandangan ke arah jendela yang mengarah langsung ke halaman belakang, di mana banyak pohon sakura yang sedang di puncak mekarnya tumbuh subur di sana. Bahkah ketika angin berhembus, kelopak-kelopak bunga musim semi itu ada yang memasuki tepi jendela kayu kamar mereka.

"Indah ya, Naruto-kun?" Tiba-tiba suara lembut sang istri yang sudah ada di sisinya menyapa telinga tan itu.

Naruto menoleh kepada sumber suara, terlihat Hinata yang ikut memandang ke luar jendela, menikmati hal yang sama dengannya. "Hmm, Kau memang indah Hinata,"

Mendangar kata pujian yang tiba-tiba dari Naruto, membuat pipinya sedikit merona dan tertunduk malu. "Aku membicarakan bunga sakuranya, Naruto-kun ..."

"Hmm ... tapi kau lebih indah istriku." Puji Naruto lagi, disusul dengan tangan kekarnya yang terangkat untuk menyentuh lembut pipi Hinata dan mengangkatnya agar menoleh memandangnya.

Melihat wajah tampan sang suami mendekat, membuat hati wanita itu berdegup cepat. Mungkin sudah jadi respon alami, jika mata biru suaminya itu terlihat menuntut cumbu, maka Ia akan menurut saja dengan memejamkan mata dan ikut membunuh jarak di antara mereka. Tapi ...

"Kaa-chan, Himawari pup!"

"!"

"...!"

Atmosfer romansa hilang seketika, saat suara cempreng Boruto menggema ke seluruh kamar dan berlari kecil menghampiri orang tuanya. Sementara sepasang suami istri itu hanya bernafas lega karena putra mereka belum tercemar dengan adegan dewasa yang hampir mereka lakukan.

Memecah suasana canggung, Hinata berbalik dan berjalan ke arah Boruto. "Be ... benarkah, sayang?"

"Iya, kaa-chan! Ayo! Nanti adikku menangis!" jawab Boruto sambil menarik ujung rok Hinata dengan terburu-buru dan penuh rasa khawatir akan sang adik.

.

.

.

Usai merapikan pakaian dan berganti baju, tanpa rasa sabar Boruto langsung mengajak keluarganya bermain di halaman belakang. Bocah itu diberitahu oleh sang kakek, jika di sana ada taman bermain yang seru. Boruto tidak bisa menunggu untuk menantang ayahnya bermain.

"Woaah! Ini lebih besar dari pada taman di desa!" Seru Boruto begitu mereka sampai di taman itu.

Naruto dan Hinata hanya bisa tersenyum, melihat bagaimana bahagia putra semata wayangnya berlari menganggumi taman bermain yang menjadi tujuan anak sebayanya. Sama sekali tidak ada rasa sesal telah mengajak kedua anak mereka ikut serta dalam kencan ini. Jika itu bisa mengukir senyum di wajah kecil mereka, kenapa tidak?

Boruto langsung lari menghampiri arena bermain yang tersedia disana, seperti seluncuran, mini outbond, dan lainnya. Sementara Himawari yang sedari tadi di gendongan sang ibu, sengaja dilepaskan di kolam pasir untuk membebaskannya bermain, dengan Naruto dan Hinata tidak jauh duduk mengawasi di bangku yang berada di bawah pohon sakura.

Hembusan angin kembali terasa menerpa kulit mereka, tak lupa kelopak bunga sakura yang ikut menemani sang angin yang berhembus. Mengakibatkan kelopak-kelopak bunga merah muda itu mendarat di berbagai tempat yang kurang strategis. Salah satunya surai indigo nan halus itu.

"Eh? Anginnya lumayan kencang." Keluh wanita itu sambil membenahi tatanan rambutnya yang terhempas dari belakang.

Naruto di sebelahnya menoleh mendengar suara sang istri. Senyum kembali terpatri di wajah tampannya, saat melihat gelagat lucu Hinata membenahi rambutnya yang dipermainkan angin. "Hehe, sini biar kubantu, Hinata."

"E-eh? Tidak perlu, anata. Cuma angin saja ..." jawab Hinata percaya diri.

Naruto tersenyum lebar, lalu mencubit pipi wanita itu gemas. "Pfft, cuma angin apanya? Kepalamu itu sudah seperti pohon sakura di malam hari, dattebayou!"

"Hee? Benarkah? Mou ... Naruto-kun, di sebelah mana?" Tanya wanita itu panik lalu berdiri dan menundukan kepalanya hingga helaian indigo itu jatuh menutupi wajah kemudian mengibas-ngibaskannya

"Ahaha, kau ini! Bukankah sudah aku bilang akan bantu? Kemarikan wajahmu!" Perintah Naruto yang sudah ikut berdiri di depan wanitanya dan langsung meraih wajah cantik dengan rambut berantakan itu.

Seperti terlatih, dengan telaten tangan-tangan besarnya menyingkirkan kelopak sakura yang hinggap di surai indigo sang istri. Setelah bersih, tak lupa pria itu juga merapikan rambut Hinata yang sudah sedikit berantakan.

Tak sulit menata rambut Hinata, rambut panjang yang melewati pinggang itu memang ia ketahui memiliki kelembutan bak sutra dan keharuman bak bunga. Karena itulah Naruto sangat suka menyentuhnya.

"Selasai ... " Seru Naruto lembut sambil menyusupkan helaian terakhir ke belakang telinga Hinata, kemudian berganti menyentuh pipi merona wanita itu.

"A ... arigatou, " entah kenapa wanita itu merasa gugup.

Mata birunya tak henti menatap wajah cantik yang merona malu di depannya. Naruto juga tidak tahu, kenapa rasanya ada rasa tak asing yang ingin dia rasakan kembali -yang ingin ia kenang kembali.

Sekelebat kenangan menyentuh ingatannya. Posisi ini, suasana ini, dan bagaimana ekspresi wanita di depannya. Semua bagaikan de javu, tapi bukan mimpi! Naruto benar-benar pernah melihat semua ini.

Pria itu tersenyum, "Hinata ..."

Merasa di panggil, si pemilik nama mengangkat wajahnya. Menatap balik si pemanggil. "I ... iya?"

"Kau ingat? Bagaimana kita menikah dulu?" Tanya Naruto lembut, berusaha mengungkit kenangan indahnya bersama Hinata.

Sedikit terkejut mulanya, tapi Hinata mengerti. Mengalihkan matanya malu, ia menjawab "Bagaimana aku bisa lupa, Naruto-kun?"

"Idemu kan untuk kita menikah di bawah pohon sakura? Dan itu tak buruk menurutku."

"Syukurlah kalau Naruto-kun tidak kecewa, tetapi kenapa tiba-tiba bilang begitu?" Tanya Hinata yang sudah kembali menatap Naruto.

"Karena ... aku mau berterima kasih." Naruto mendekat ke arah Hinata, mendekatkan wajahnya ke wajah sang istri, lalu mengecup singkat pipinya sambil berbisik. "Karena berkat itu, setiap melihat pohon sakura, aku akan mengingat hari itu ... terutama dirimu, Hinata."

Sementara Hinata, wanita itu hanya bisa tertegun dengan aksi dan ucapan mendadak sang suami. Masih dirasakan wajah tampan Naruto bertahan di sisi kepalanya.

"Hinata ..." rupanya pria itu masih ingin berbicara. "Mau kah kau, menemaniku di saat suka mau pun duka, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, dan selalu mencintaiku untuk berada disisiku sampai aku mati?"

Mata amethys itu melebar, tak tertinggal dengan air mata yang mulai menggenanginya. Ia mengingat setiap pertanyaan itu. Pertanyaan yang diutarakan guru Kakashi sebagai Hokage dulu, padanya dan Naruto. Tapi kini bukankah berbeda? kenapa haru kebahagian itu tetap ada?

Tak kunjung mendengar jawaban sang istri, Naruto memundurkan sedikit wajahnya hingga meghadap sepenuhnya wajah cantik itu. Dan pria itu harus terkejut ketika didapatinya air mata mengalir deras di pipi yang sudah memerah itu.

"Hi ... Hinata? Hei, kenapa malah menangis?" Naruto tidak panik, pria itu hanya heran.

"Aku ... a ... aku bahagia, Naruto-kun ... *hiks*"

Naruto terkejut, tapi sesaat kemudian ia tersenyum senang karena mengingat ketika pernikahannya dulu Hinata juga menangis, yang berbeda ialah Hinata waktu itu berhasil menahannya. Tak menyangka saja, reaksi wanita itu masih sama.

"Iya, aku juga sama bahagianya sepertimu ..." ucapnya, sambil menghapus jejak air mata di wajah istrinya, " lalu, apa jawabanmu, Hinata? Kita sedang menikah loh!" canda pria itu.

Menghentikan isakannya, Hinata mencoba untuk menjawab. Wanita itu menatap lembut pria di depannya, kemudian menyentuh dua tangan besar yang bertengger di pipinya dengan tangan kecil miliknya. Perlahan ia menurunkan tangan mereka yang bertaut dan menempelkannya di dada, membiarkan pria itu merasakan degup jantung yang berdetak kencang untuknya seorang.

"Aku bersedia! Kapan pun aku bersedia, Naruto-kun." Hinata menunduk, kemudian mengangkat sedikit tangan-tangan besar itu lalu mengecupnya dalam, dan kembali menatap pria di depannya. "Bersedia mencintaimu untuk selalu berada di sisi mu dalam keadaan apapun, sampai aku mati!"

Mendengar jawaban tak biasa dari sang istri, Naruto rasanya ingin ikut menangis. Tak mau Hinata melihat air matanya, dengan cepat Naruto memajukan wajahnya dan langsung melumat bibir lembab itu. Menghatarkan rasa yang tak pernah berubah sejak pria itu memutuskan untuk mengutarakan cintanya di bulan. Tidak! Bahkan mungkin rasa itu terus bertambah setiap detik di saat mereka bersama, di saat-saat seperti ini.

Merasa cukup, mereka menghentikan ciuman itu. Merasakan hembusan nafas masing-masing, sebelum mereka benar-benar saling memisahkan wajah.

"Hinata ..." panggil Naruto lembut.

"Hmm?"

"Terima kasih ..., aku sangat mencintaimu"

Hinata tersenyum lembut mendengar ucapan tulus sang suami. Naruto tak pernah bosan mengatakan terima kasih padanya. "Um, Aku juga sangat mencintaimu, Naruto-kun."

Hatinya berdesir mendengar jawaban dari Hinata, ketulusan selalu terpancar dari mata indah wanita itu. Mata yang selalu menatapnya dengan cinta ketika orang-orang desa menatapnya dengan benci. Dan karena mata itu pula, Naruto kembali ingin merasakan lembutnya bibir sang istri.

Naruto sudah siap dengan memajukan wajahnya untuk kembali menjamah bibir Hinata dengan bibirnya, tapi ketika hampir saja bibirnya menyenyuh bibir sang istri, suara putra semata wayangnya kembali membumihanguskan kesempatan itu.

"TOOUUU-CHAAAN! KATANYA MAU MAIN SAMA AKU!" Seru Boruto, yang bersembunyi di terowongan yang berada di bawah seluncuran. "AYOO CARI AKU, OYAJI!" Serunya kembali menantang dan mengejek sang ayah.

"Haa, dasar anak itu!" Keluh Naruto.

"Hihihi, sudahlah anata! Sana, main sama Boruto. Kau kan sudah berjanji padanya."

"Eh?" Tiba-tiba ide aneh menyusup ke otaknya. Ia pun kembali mendekatkan bibir ke telinga Hinata. "Kalau begitu ... malam ini ... aku berjanji, akan bermain denganmu."

'Cup'

Pria itu pun pergi menyusul Boruto. Hinata terkejut, bukan! Bukan karena ciuman dadakan yang Naruto berikan di pipinya, itu sudah biasa. Tapi kata-kata yang terakhir suaminya ucapkan.

' Janji apa? Bermain apa?' Pertanyaan itu terus berputar di pikirannya. Aduh dia mungkin kini benar-benar sudah tertular mesum suaminya.

Menggelengkan kepalanya cepat, Hinata segara mengalihkan pikiran kotornya dengan menghampiri sang putri yang masih sibuk bermain pasir.

"Himawari, semoga Tou-chan tidak aneh-aneh malam ini pada ibu ya?" Ucapnya pada Himawari yang hanya menatapnya dengan senyum polos khas bayi.

Yah... semoga Hinata malam ini selamat.

.
END

A/N:

Jjjaangg ..

biasa ae kali ga -_-

Haloo apa kabar! maaf ya updatenya lama, banyak hal yang harus saya pikirkan di Duta, bahkan saya ampe nazzar gak bakal on sosmed, ampe fic ini kelar wkwkwkw. belum lagi saya yang sedang di rundung kegalauan karena anime Naruto akan segera berakhir :')) meski katanya akan diteruskan si Boru, tapi saya gak bakal berani lihat sampe kabar Naruto mati hilang karena gak bener :'(( dan mungkin saya akan berenti dari dunia anime kalo Naruto bener mati :'(( gk tau juga sih. jadi curhat kan!

dan Alhamdulillah fic ini bisa selesai meski endingnya hanya begitu :')

maaf ya yang kecewa.

terima kasih untuk reader dan rekan NHl yang sudah mendukung saya dengan membaca cerita ini ataupun yang mereview.

selamat NaruHina Wedding celebration! masih ada kan?

Mind to RnR?