"Uzumaki Hinata, di mana sopan santunmu?!" Gadis cilik itu hanya melirik sekilas ke arah orang yang membentaknya kemudian Ia kembali memalingkan wajahnya. Air mata menumpuk pada pelupuk matanya, mati - matian Ia menahan isakannya.

"Sudahlah Toneri san, Ia hanya anak kecil." ujar seorang wanita yang menjadi penengah sekaligus wali kelas gadis cilik itu, berusaha untuk menenangkan guru olahraga yang mendecih kesal.

"Apa kau tidak pernah diajari sopan santun oleh orang tuamu?"

"Ah, maafkan aku. Aku lupa bahwa kau tak mempunyai orang tua yang sanggup untuk mendidikmu." lanjut Toneri. Gadis cilik itu tersentak, kedua tangannya terkepal erat. Tak tahan dengan ucapan gurunya yang sudah keterlaluan, gadis itu bangkit dan keluar tanpa menghiraukan panggilan wali kelasnya yang tampak cemas.

"Hinata!"

"Toneri san, anda sudah keterlaluan!" kali ini, suara sang wali kelas gadis itu yang berbicara tegas menilai bahwa tak seharusnya seorang guru berkata demikian terhadap muridnya.

"Kuharap kau menindaklanjuti tindakan murid sialan itu, Sakura san." Sakura tak menjawab, Ia hanya menundukkan kepalanya setelah itu Ia keluar berlari mencari satu murid yang mendapat perhatian khusus darinya sekaligus anak dari sahabat masa kecilnya.

•••

"Hinata." Yang dipanggil namanya hanya menoleh sekilas kemudian Ia kembali menenggelamkan wajahnya ke dalam lengannya.

"..." Sakura menghampiri gadis itu dan duduk tepat di sebelahnya. Di sinilah mereka sekarang, di bawah pohon sakura yang teduh, tempat favorit Hinata di kala gadis cilik itu sedang sedih dan kesepian.

"... Bukan aku." Suara itu memecah keheningan yang tercipta di antara mereka. Sakura menghela nafasnya kemudian mengusap pucuk kepala indigo itu dengan sentuhan lembut.

"Aku tahu. Hinata menendang Toneri sensei karena Ia menghina Ayahmu bukan?" Hinata mengangguk pelan, namun bukan hanya itu alasan sebenarnya di balik penyerangan yang dilakukannya terhadap guru olahraganya itu.

Hinata tahu, bahwa jika Ia membocorkan apa yang dilakukan Toneri sensei terhadap dirinya maka sang Ayah dan wali kelasnya tak akan tinggal diam. Namun ancaman mengerikan yang dilontarkan Toneri kepadanya membuat Hinata memilih untuk bungkam dan menyimpan segalanya di dalam hati kecilnya.

"Tidak apa - apa, Hinata anak yang baik. Kau gadis yang baik." Sakura membawa Hinata ke dalam dekapan hangatnya. Wanita musim semi itu sedikit prihatin karena Ia mengetahui kondisi Hinata yang berat untuk anak seumurannya.

"Apakah malam ini Ayahmu akan pulang telat lagi? Mau kuantar pulang?" ujar Sakura menawarkan tumpangan. Hinata menggeleng, Ia tak ingin merepotkan guru kesayangannya lagipula Ayahnya tak akan pulang hingga larut malam. Hinata tak akan tega melihat sensei-nya pulang larut malam karena dirinya.

"Aku baik - baik saja. Kurasa hari ini Tou chan akan pulang cepat." Hinata tersenyum dan membungkukan badannya, Ia kemudian berpamitan dan melambaikan tangan kanannya kepada sensei-nya lalu berjalan pulang.

Kondisi ekonomi yang buruk membuat Hinata tak mempunyai uang untuk sekedar naik kereta atau membeli sepeda seperti anak - anak lainnya. Ia harus berjalan kaki cukup jauh dari apartemennya yang terletak di pinggiran kota dengan lingkungan yang kumuh.

Jika orang lain berpikir bahwa Ayahnya begitu tega menyuruhnya untuk berjalan kaki mereka salah. Ayahnya begitu menyayangi Hinata sehingga Ia rela untuk menyisikan uang makannya demi membayar tiket kereta dan bekal untuk Hinata namun gadis itu menolak dengan alasan bahwa Ia lebih senang pulang bersama temannya dengan berjalan kaki atau temannya membawakan bekal makan siang untuknya.

Tentu saja semuanya itu bohong. Hinata tak mempunyai teman. Ia dikucilkan karena Ia miskin. Tak ada yang memandang gadis cilik itu meski Ia berprestasi, tak pernah ada yang memberinya ucapan selamat hanya karena Ia miskin. Air keran mengalir pada jam makan siang sudah cukup untuk mengisi kekosongan perutnya.

Namun Hinata tak pernah mengeluh dan Ia tak akan mengeluh selama Ayahnya selalu berada di sisinya.

•••

"Tadaima." Hinata membuka pintu apartemennya yang reot, tak ada sahutan atau pun jawaban dari dalam sana. Gadis itu hanya menghela nafasnya, kemudian Ia meletakkan sepatunya dan mengganti baju seragamnya.

'Kurasa Tou san akan pulang larut malam lagi.' batinnya saat melihat secarik memo yang tertempel pada kulkasnya.

Ada nasi kari sisa semalam di dalam kulkas, panaskan saja. Maaf aku pulang telat lagi, aku akan membelikan cinnamon roll untukmu. Aku mencintaimu. Dari isi memo tersebut Hinata dapat menyimpulkan bahwa sang Ayah telah melupakan janjinya untuk tidak lembur malam ini.

Gadis itu kemudian membuka kulkasnya dan mengeluarkan semangkuk kari dingin dari dalamnya dan memanaskannya di dalam microwave. Gadis itu makan dengan lahapnya di tengah kesenderian yang menyelimuti dirinya. Suapan demi suapan masuk ke dalam mulut mungilnya diiringi air mata yang menetes tanpa mampu Ia hentikan.

"Jangan menangis Hinata! Baka!" Hinata menampar pipinya pelan, Ia lalu mulai melakukan kebiasannya sehari - hari. Mulai dari mencuci piring, mengepel lantai, mencuci pakaian dan menyikat kamar mandi. Namun Ia tetap tak melupakan kewajibannya sebagai seorang murid teladan.

Ketika segala urusan rumah tangganya sudah selesai, maka Hinata akan kembali pada mejanya, membuka buku dan mengerjakan PR-nya dengan rajin. Kadang gadis itu akan melewatkan makan malam hanya karena ingin makan bersama sang Ayah atau untuk mendapat perhatian lebih dari Ayahnya.

'Sudah jam 11.00, Tou san cepatlah pulang.' batin Hinata sendu saat melihat ke arah jam yang terus berjalan. Kedua matanya sudah lelah, Ia ingin segera kembali ke tempat tidurnya namun Ia tak kuasa untuk menahan rasa rindu terhadap Ayahnya.

"Tadaima." Hinata langsung berlari ke arah pintu ketika pendengarannya menangkap gelombang suara sang Ayah yang telah lama ditunggunya.

"Okaerinasai Tou chan." ujar Hinata senang, Ia langsung melompat ke dalam pelukan Ayahnya membuat pria pirang itu sedikit terkejut akibat ulah putrinya.

"Uwaa, Hinata chan, kenapa kau belum tidur?" tanya pria itu dengan tatapan kesal.

"Hina kangen Tou chan, kenapa Tou chan melanggar janjimu. Uh - " Hinata menggembungkan wajahnya. Hinata bukanlah anak yang cengeng dan manja namun jika sudah menyangkut Ayahnya, gadis itu tak akan pernah bisa berkutik.

"Maafkan Tou chan, Hinata. Tapi kau tahu kan, pekerjaanku - "

"Aku tahu, karena itu aku menunggumu Tou chan." Hinata memotong ucapan Ayahnya, terbesit rasa bersalah dalam hatinya jarena sudah memaksakan sang Ayah untuk pulang cepat.

"Hah, kali ini kau kumaafkan tapi lain kali aku tak akan memaafkanmu jika kau masih berani tidur di atas jam sembilan malam." ujar Naruto mengalah. Ia kemudian menurunkan tubuh putrinya dan menggandengnya masuk namun Hinata malah melepaskan tangan mungilnya dari genggaman sang Ayah dan menutup mulutnya.

"Hinata? Kau baik - baik saja sayang? Kau terlihat pucat." tanya Naruto khawatir namun putri kecilnya itu menggeleng cepat.

"Huweeekk." Tak dapat menahan lebih lama rasa mual yang terdapat pada perutnya, Hinata memuntahkan segala yang mengganjal pada tenggorokannya. Wajah gadis cilik itu berubah menjadi pucat pasi.

"Ma..af - " Belum sempat Hinata menyelesaikan ucapan maafnya, tubuhnya ambruk. Untunglah tubuh mungil itu dengan cepat ditangkap oleh sang Ayah sebelum Ia jatuh ke dalam muntahannya sendiri.

"Hinata?!" Naruto mengguncang pelan tubuh gadis cilik itu, tak ada respon dari Hinata. Suhu tubuhnya naik dan badannya menggigil. Dengan raut wajah cemas, Naruto menggendong tubuh mungil Hinata dan berlari keluar.

Ia berlari dengan sekuat tenaga menuju rumah sakit yang berjarak cukup jauh dari sana, tak mempedulikan rasa lelah yang menimpanya. Dengan nafas terengah - engah, pria itu mencoba mengehentikan taksi dan membayar tarif yang cukup mahal tanpa mempedulikan isi dompetnya yang kian menipis. Persetan dengan apapun sekarang, yang lebih penting sekarang ialah keselamatan Hinata.

•••

"Tolong, tolong putriku." ujar Naruto panik.

"Tenanglah Tuan, anda harus mengurus formulir ini terlebih dahulu." jawab petugas resepsionis rumah sakit itu ramah. Kemudian Ia segera membawa tubuh Hinata yang tak berdaya untuk langsung ditangani.

Naruto menunggu di luar dengan rasa khawatir yang menyerang hatinya. Ia tak mampu duduk dengan tenang bahkan pria yang terkenal workaholic itu sudah mengurus surat ijinnya untuk besok agar mampu menemani putri kecilnya.

"Tuan Uzumaki?"

"Ya? Bagaimana keadaannya dokter? Apa yang terjadi dengan putriku?" tanya Naruto bertubi - tubi.

"Nona Hinata baik - baik saja, Maag-nya kambuh ditambah dengan tubuhnya yang kelelahan dan kurasa Ia mengalami stres dan tekanan yang cukup berat." ucapan dokter itu membuat Naruto tersentak. Sejak kapan Hinata menderita sakit maag?

Bukankah Ia selalu tak pernah melewatkan jam makan sekali pun? Atau mungkin Naruto yang salah, karena pria itu tak pernah memantau dan mengetahui kegiatan sehari - hari putrinya.

"Stres dan tekanan yang cukup berat, huh?" Naruto tahu persis sifat Hinata. Meski baru berumur sembilan tahun namun sifat Hinata berbeda dari anak kebanyakan. Ia terlihat begitu matang dan dewasa, ditambah dengan pekerjaan Naruto yang membuatnya harus meninggalkan Hinata setiap hari membuat gadis itu memiliki kemandirian serta rasa tanggung jawab yang besar.

"Ini resep obat yang harus diminum oleh Nona Hinata." Naruto meraih secarik kertas yang diberikan dokter itu kepadanya, total obat yang harus ditebus tidaklah murah namun pria itu akan melakukan apapun demi putrinya.

"Terima kasih dokter." Naruto membungkukkan badannya. Ia kemudian beranjak masuk ke dalam kamar tempat Hinata masih terbaring lemah. Gadis cilik itu sudah mulai sadar dan menatap Naruto dengan tatapan bersalah.

"Jangan menatapku seperti itu atau aku akan marah." ujar Naruto, Ia mencubit pipi Hinata pelan.

"Maafkan aku, Tou chan. Apa kita bisa pulang ke rumah saja? Hinata tidak suka di sini lagipula uangnya - " ucapan Hinata terputus saat Naruto menyelentik dahi gadis cilik itu cukup keras membuat gadis itu meringis sambil memegangi dahinya.

"Kau pikir Tou chan tidak memiliki uang?" Naruto menatap Hinata dengan tatapan jengkel, Ia menarik pipi Hinata kasar.

"Ah, gomen - gomenasai Tou chan." cicit Hinata pelan. Naruto perlahan melepaskan tangannya, kemudian Ia mengelus pipi putih itu dengan sentuhan lembut.

"Kenapa Tou chan mencubitku. Rasanya sakit sekali sampai aku hampir mati." ujar Hinata dengan nada hiperbola-nya.

"Itu karena kau tumbuh menjadi anak yang menyebalkan Hinata. Bersikaplah selayaknya anak pada usiamu, huh." ujar Naruto setengah bergurau namun dalam hati kecilnya pria itu bersungguh - sungguh.

Ia tak ingin Hinata menanggung beban yang sama dengannya, cukup dirinya. Ya, cukup Naruto saja yang menanggung segala beban itu. Tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang Ayah yang memenuhi kebutuhan putrinya.

"Beristirahatlah, Tou chan akan menjagamu." Naruto mengecup kening putrinya dengan lembut, mengantarkan Hinata pada tidur lelapnya.

"Oyasuminasai Tou chan." Hinata memejamkan kedua matanya erat.

Dalam hati, gadis itu sedikit bersyukur karena Ia dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan sang Ayah namun kembali pada sisi dewasanya yang merasa bersalah karena membuat sang Ayah harus merogoh kocek lebih dalam demi membayar biaya perawatannya.

'Hontou ni gomenasai Tou chan, aishiteru yo.'

•••

つづく

02.02.17 | Xx - Yuki Hime