Ini sekuel dari Savage

Kalau lupa ceritanya, harap baca lagi agar tidak bingung :v

Mungkin sedikit plotless, tapi ya... semoga suka ^_^


Sasuke POV

Suatu hal terkadang berada diluar nalar dan akal pikiran. Tidak mampu diberi arti bahkan untuk dipikiri.

Aku kerap kali mengalaminya hingga membuat kepalaku terasa berputar, dan itu berakhir kuabaikan. Yang kulakukan kala itu hanya diam. Berbaring bisu diatas ranjang king size-ku dan menatap kosong langit-langit kamarku yang bercatkan biru langit.

Ibuku adalah wanita terhebat yang pernah kutemui. Ia selalu tahu disaat kapan aku tengah bersedih. Ibu memang terlalu peka, atau mungkin itu ada hubungannya dengan ikatan ibu dan anak. Ibu akan datang kekamarku, menanyakan berbagai hal yang meresahkan fikiranku.

.

"Hei, putra ibu. Kau tampak buruk hari ini. Adakah hal yang membuatmu seperti ini? Berbagilah kepada ibu jika kau ingin, Sasuke. Mungkin beban didalam fikiranmu bisa berkurang."

.

Ibu tidak akan memaksa jika aku enggan bercerita. Aku melakukannya karena hal yang mengganggu fikiranku itu hanya hal kecil, yang bahkan cenderung sepele.

.

"Aku baik-baik saja, bu." Ujarku dengan senyum, yang disambut belaian sayang tangan halus ibu dirambut hitamku.

.

Aku hanya berkata sekadarnya kepada ibu bahwa aku baik-baik saja.

Jika sudah begitu aku akan menghabiskan banyak waktu dikamar, hingga tak jarang lupa untuk makan.

.

"Kau terlalu pemikir, Sasuke."

.

Itu yang selalu ibu katakan padaku: aku berfikir terlalu dalam. Ibu kerap kali mengingatkanku jika aku tak boleh melakukan hal itu terlalu sering, karena itu tidak baik untuk kesehatanku—untuk kesehatan fikiranku.

.

"Ayah sudah pulang?!" aku memekik bahagia dan berlari kepelukan ayah.

"Kejutan!" Pria kepala empat itu menunjukkan senyum diwajah lelahnya dan mendekapku erat, mengelus punggung sempitku dan mengecup puncak kepalaku penuh sayang. "Bagaimana mungkin ayah tak pulang kerumah sedangkan putra ayah tengah berulang tahun ke-15 tahun?"

"Sasuke sayang ayah!"

"Ehem," ibu yang berdiri tak jauh dari kami berdehem dan memasang wajah sedih.

"Sayang ibu juga!" lanjutku, dan ibu tersenyum kemudian berjalan mendekat.

Sungguh cover keluarga bahagia.

.

Aku mengingat lekat segala hal baik dan buruk tentang ibu dan ayahku. Mereka sangat menyayangiku seolah aku adalah harta paling berharga milik mereka. Mereka tak memaksaku melakukan suatu hal yang tak kuingini. Mereka tak memaksaku menikah dengan seorang pria dewasa yang bahkan memberikan penawaran menggiurkan demi kemajuan perusahaan keluarga yang semakin berkembang pesat. Mereka menolaknya karena mereka berfikir aku masih terlalu kecil untuk membangun rumah tangga. Mereka juga mengerti bahwa aku memiliki mimpi besar untuk kuwujudkan, dan 'pernikahan' hanya akan menghambat perjalanan mimpiku itu.

Aku sangat dimanja oleh ayah ibu dan aku tak akan menampik jika seseorang mengatakan aku anak manja.

Namun itu semua hanya memori.

Kenyataannya kini, aku tak akan merasakan kasih sayang ayah dan ibu lagi. Mereka telah tiada sejak timah panas itu menembus kulit mereka tak hanya satu kali.

Tragis.

Orang tuaku meninggal secara tragis dan mungkin aku akan berakhir seperti itu.

Mungkinkah?

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Pair: NarutoXSasuke

Genre: Romance, Crime, Hurt/Comfort

Warning: BL/Yaoi!

Don't like don't read, please!

.

.

.

Ketika aku kecil, tepatnya diusiaku yang ke-7, aku dan keluargaku tengah berlibur ke Hawai. Bersama bibi Rin—istri kedua ayahku, dan Sai, putra bibi Rin yang berusia dua tahun lebih tua dariku. Walaupun Sai hanya kakak tiri, tapi aku sangat menyayanginya. Ia adalah sosok hebat dimataku; selalu mendapat juara, memenangkan banyak kejuaraan, dan Sai menguasai tiga bahasa—walaupun usianya masih sangat muda, 9 tahun. Ia selalu tampak sempurna membuatku sangat mengidolakannya.

Di Hawai kami bersenang-senang. Ayah berjemur dipinggir pantai, ibu dan bibi Rin berenang, kemudian aku dan Sai sibuk bermain pasir—kami membuat istana pasir waktu itu dan berakhir kesal karena istana pasir itu hancur disapu ombak.

Ayah turun tangan melihat wajah cemberut kami. Ayah mendatangi kami dengan seember besar ice cream bertoping buah-buahan. Kami bertiga, disusul ibu dan bibi Rin, memakan ice cream dingin itu dibawah payung besar beralaskan tikar lebar.

Aku merasa senang dengan ketentraman keluargaku.

Ketika aku berusia sepuluh tahun, bibi Rin meninggal. Wanita 35 tahun menderita kanker paru-paru membuatnya mendekam di rumah sakit selama dua minggu penuh hingga menghembuskan nafas terakhir ditempat penuh sakit itu.

Aku bersedih akan kejadian itu namun hal yang lebih membuatku bersedih adalah kepergian Sai—kakak tiriku, seminggu setelah upacara pemakaman bibi Rin.

Ayah dan ibuku kebingungan mencari Sai. Wajah mereka terlihat pias dan sangat jelas ada kekhawatiran disana, begitu pula aku.

Aku ingat seberapa keras aku menangis sesegukan, memanggil nama Sai berulang kali.

Tapi pada akhirnya, kami tak pernah bisa menemukan Sai. Polisi berkata jika Sai adalah korban penculikan dengan tujuan penjualan organ-organ dalam.

Ayah dan ibu putus asa mencari keberaadaan Sai.

.

"Semoga kau tenang dialam sana, Sai. Bersama ibumu." Ujar ayah, mengelus batu nisan putih bertuliskan 'Uchiha Sai', padahal tak ada jasad Sai dibawah gundukan tanah ini. Hanya peti kosong berisi beberapa barang kesayangan milik Sai.

Aku telah kehilangan kakak sekaligus idolaku.

Saat itulah mimpiku muncul: Menjadi dokter.

Aku ingin menjadi dokter agar bisa menyembuhkan penyakit seseorang dan setelahnya tidak akan ada lagi orang yang merasa kehilangan akibat ditinggal mati.

.

Tok! Tok! Tok!

Pintu coklat dalam ruangan besar ini terbuka, menunjukkan seorang pria arogan berwajah dingin masuk.

"Ada apa denganmu?" ia bertanya dengan nada dingin setelah mengambil duduk disamping tempat aku duduk bersandar dikepala ranjang.

Aku hanya diam, duduk membisu tanpa ada niat menjawab pertanyaannya.

"Kenapa tak sesendokpun makanan itu bersarang diperutmu?"

Lagi-lagi aku mengabaikan pertanyaannya. Saat aku meliriknya dari ekor mataku, aku melihat wajah marahnya. Alis pirang yang bertaut, bibir menjadi satu garis lurus, dan rahang tegasnya mengeras. Pemandangan itu membuatku cepat-cepat mengalihkan perhatian karena jujur saja, itu adalah kali pertama aku melihatnya semarah ini.

Satu minggu aku berada dibangunan mewah ini.

Satu minggu setelah aku tersadar dari pingsanku ketika aku dikejar puluhan bodyguard Neji—suamiku itu. Satu minggu pula sejak aku melakukan seks pertama kali dengan pria dihadapanku ini: Uzumaki Naruto.

Bukankah ini sungguh lucu? Aku telah bersuami tiga bulan lamanya dan sekalipun tidak pernah melakukan hubungan sakral pasangan suami-istri, namun dilain waktu, aku melakukannya—menyerahkan kesucianku kepada seorang pria yang bahkan baru kutemui.

Jika tidak kulihat adanya bercak darah dan ceceran sperma kering di sprei pagi hari satu minggu lalu, aku pasti akan menyangkal jika kejadian malam itu hanyalah sebuah mimpi. Juga rasa sakit disepanjang tulang belakangku semakin menguatkan kenyataan bahwa keintiman antara aku dan pria itu bukanlah imajinasi semata.

Tidak banyak yang kami lakukan maupun perbincangkan dipagi hari itu. Sejauh yang kuingat, aku terbangun dipelukannya. Dengan keadaan kotor dan bau khas percintaan yang menyengat. Ia—Naruto, memboyongku kekamar mandi dan kami mandi bersama disebuah bathup yang besar. Aku lupa godaan apa yang ia berikan padaku hingga pagi hari itu, aku kembali berada diatas tubuhnya; naik-turun dengan desahan erotis yang kukeluarkan dari bibirku saat sebuah ujung benda tumpul menumbuk telak titik nikmatku.

Terakhir yang kuingat, ia menemaniku sarapan dengan aku yang duduk bersandar diranjang(mengingat aku tak mau meninggalkan kamar untuk sekedar kemeja makan padahal aku hanya perlu diam dan berpegangan erat dilehernya). Naruto lalu berkata tentang 'Makanlah dengan baik dan aku akan menemuimu dua minggu kemudian'. Aku bertanya 'Kemana?', namun tak kudapati jawaban selain senyuman yang amat tipis.

Tiga hari pertama setelah kepergian Naruto aku masih makan dengan lahap—mengingat jika aku jarang diberi makan ketika berada di mansion Hyuuga, namun dihari selanjutnya mimpi-mimpi buruk mengenai kematian orangtuaku kembali muncul kepermukaan dan menghantuiku, membuatku kehilangan selera makan.

"Kau bilang akan datang dua minggu lagi? Ini bahkan masih minggu pertama." Ujarku setelah beberapa saat hening. "Mengapa?"

"Kau tak suka?" tanpa menjawab pertanyaanku, Naruto melontarkan pertanyaan dengan nada sinis.

"Kau pasti sibuk." Balasku, sedikit melirik takut kearahnya.

Aku merasa tatapan tajamnya menghunus tepat kearahku, membuat indraku mendingin dan bergetar takut. Lalu tak lama kemudian terdengar desah nafas lelah. "Aku akan lebih sibuk jika kesayanganku dirumah tidak menyentuh makanannya sedikitpun."

DEG!

Kedua tanganku dibawah selimut mengepal erat merasakan detak jantungku meningkat drastis. Seketika wajah dan mataku terasa panas. "Bolehkah aku memelukmu?"

"Tentu."

Dan aku bersumpah aku melihatnya tersenyum kearahku.

Tiga bulan berada dibawah tekanan dan siksaan 'si kejam Hyuuga Neji' mungkin membuatku trauma. Aku bahkan belum mendapat gambaran mengapa Neji menikahiku jika hanya untuk selalu menyiksa dan menyakitiku. Jika alasannya hanya untuk itu, bukankah Neji bisa melakukan hal itu sepuasnya tanpa menikahiku?

Apakah Neji sangat dendam kepadaku, karena penolakan yang kulakukan padanya dua tahun lalu semasa sekolah menengah atas?

Entahlah. Sekalipun Aku tidak pernah tahu jalan pikiran pria kejam itu. Aku hanya remaja delapan belas tahun. Aku masih labil dan emosional. Aku butuh banyak cinta dan kasih sayang diusiaku yang masih belia, bukan siksaan dan tekanan yang membuat mentalku rusak.

BRUK!

Aku sedikitpun tidak menghiraukan ringisan sakit yang keluar dari bibir Naruto saat Aku menubruk tubuh besar itu hingga terjatuh membentur lantai berkarpet mahal itu.

"Kenapa kau begitu bersemangat? Apa satu minggu tidak bertemu denganku membuatmu sangat merindukanmu, hn?" godaan dari bibir tipis Naruto itu kuhiraukan begitu saja. Aku tak menjawab selain terisak pelan didada pria bermata biru itu.

"Kudengar dari Kiba kau selalu berteriak saat malam hari. Apakah mimpi buruk yang menghantuimu membuatmu tidak nafsu makan?" Aku tak merespon selain mengangguk diatas dada bidangnya.

Uzumaki Naruto itu pria yang tahu segalanya, terlebih mengenai diriku. Aku tak pernah bercerita mengenai masa laluku, tapi tampaknya Naruto sudah lebih dari tahu bahkan dari diriku sendiri. Entah ia mendapat sumber darimana, aku juga tak tahu. Naruto tak pernah mengungkit hal-hal yang berkaitan dengan masalaluku, seolah dia tahu benar bahwa aku akan kembali merasa sakit jika dia memunculkan topik itu ke permukaan.

"Tenanglah, selama kau berada disisiku, sekalipun tak akan kubiarkan orang lain menyakitimu." Ujar Naruto berjanji.

Tangan besar milik Naruto mengelus rambut dan berlanjut kepunggungku. Dibawah sentuhan lembutnya aku merasakan sesuatu dalam diriku bergejolak.

Sesaat kemudian wajahku telah mendongak oleh cengkeraman lembut tangannya dirahangku. "Apakah kau mempercayaiku?" mata birunya menyorot tajam kearahku. Tapi walaupun begitu, aku justru merasa ia sedang melindungiku.

Aku tak mengerti mengapa Naruto bersikap baik padaku. Naruto menolongku. Naruto bersedia menampungku dihunian besar dan mewahnya dengan sukarela. Dan sekarang, Naruto menjanjikan keamanan padaku selama aku berada disisinya.

Apa yang kurang? Pria itu bermakna lebih dari kata 'sempurna'. Naruto itu tampan, kaya, dan punya segalanya.

Jadi apa yang bisa kujawab selain kalimat, "Ya. Aku mempercayaimu."

Tapi lebih dari segala kesempurnaan yang Naruto miliki, aku memilih mempercayainya karena sejujurnya aku merasa kosong saat pria itu tidak berada disisiku. Aku ingin selalu berada disisinya. Mungkin, aku mulai menyayanginya.

Yeah, mungkin saja.

Sasuke POV end

.

.

.

.

.

Naruto POV

Perang telah meluas dari Timur Tengah hingga ke daratan Eropa. Mereka bertarung merebutkan gelar 'Negara Adi Kuasa' yang sebelumnya menjadi julukan Negara Amerika Serikat. Pertarungan itu bukan bermakna besar seperti perang dunia ke dua, tapi justru pertarungan skala kecil namun secara bertahap. Target dimulai dari orang-orang kelas rendah dengan dalih sebagai sandra agar penguasa menyerahkan diri. Namun tidak sedikit Negara yang menargetkan pemimpinnya agar para masyarakatnya tunduk kepada Negara penjajah.

Kata 'Damai' hanya ada dipikiran anak kecil dan orang-orang awam yang polos dan inosen. Permintaan senjata dari berbagai Negara terkadang membuatku harus melemburkan ribuan pegawaiku yang tersebar di ratusan pabrik diseluruh dunia demi memenuhi permintaan meraka yang membludak itu.

Aku sendiri berdiri dikubu netral. Bukan, tapi kubu yang kubuat sendiri untuk Negara-Negara yang meminta perlindungan dibawah kekuasaanku. Terhitung telah ada 79 negara yang berada dibawah kuasaku, termasuk Jepang dan Negara di Asia timur. Sedikitpun tak ada niatku untuk merebutkan title itu, namun jika sekelompok pemimpin Negara datang meminta perlindunganku, apa yang bisa kujawab selain mengiyakan? Lagipula ini tidak merugikanku sama sekali. Aku justru merasa beruntung karena dengan bertambahnya Negara-negara dibawah kuasaku, Kubuku semakin kuat.

Dengan begitu, tak akan ada Negara lain yang menargetkan Negara dibawah kuasaku menjadi jajahannya karena jika memang ada, Aku pasti akan meremukkan tulang-tulang mereka tanpa ampun.

Aku orang yang keji? Ya, itu memang benar.

Orang awam akan mengenalku sebagai seorang pengusaha tampan yang telah sukses diusia muda. Aku yang ramah, sopan, dan penuh kharisma. Membuat banyak gadis dan pemuda disegala usia menginginkanku. Tapi satupun tak ada yang menarik perhatianku.

Status single masih melekat padaku hingga diusiaku yang ke dua puluh delapan tahun. Dan disepanjang usiaku itu, aku tak pernah jatuh cinta.

Ayahku—Uzumaki Minato, berkata jika keluarga Uzumaki adalah keluarga terkutuk sejak dulu. Entah apa yang melatarbelakanginya, aku juga tak tahu. Tapi pada intinya, anggota keluarga Uzumaki hanya bisa mencintai satu orang selama seumur hidup.

Dan dalam diriku, itu berarti Uchiha Sasuke.

Awalnya aku mengira jika ketertarikanku kepada Sasuke hanya karena gairah seks dalam beberapa waktu dan akan segera hilang ketika aku telah mendapatkan apa yang aku inginkan—menyetubuhinya.

Aku berniat meninggalkannya selama dua minggu untuk menjalankan misiku—itu adalah hal yang biasa kulakukan kepada teman tidurku sebelum-sebelumnya. Selama dua minggu aku memberikan segala kemewahan padanya, menuruti segala kemauannya dan setelah aku pulang dua minggu kemudian, aku akan membunuhnya karena fatal bagiku membiarkan seseorang yang pernah kutiduri untuk bernafas bebas.

Tapi untuk Uchiha Sasuke semuanya terasa berbeda.

Aku selalu dihantui akan wajah basah dan tangisannya tiap waktu. Aku bahkan mendapat dua timah panas bersarang dilengan tangan kananku karena kehilangan fokus dimedan peperangan. Dan itu bertambah buruk ketika Kiba—seorang bawahanku yang kutugaskan untuk menjaga dan mengawasi Sasuke, mengabari jika Sasuke tidak menyentuh makanannya sedikitpun. Dengan itu, tanpa pikir panjang aku meninggalkan medan pertempuran di Irak dan langsung terbang ke Jepang menggunakan pesawat jet.

Tubuhnya kurus ketika aku menemuinya. Sasuke hanya duduk termenung diatas ranjang. Dengan kantung hitam dibawah matanya, aku menyimpulkan jika Sasuke susah tidur dimalam hari. Aku tak lagi heran mengenai itu, mengingat jika Sasuke memiliki masa lalu yang buruk.

Nyatanya bertemu dengan Sasuke tidak mengobati rasa rinduku padanya. Justru rada rinduku padanya semakin membuncah hingga aku hanya ingin menyimpannya untuk diriku sendiri.

Dari sana, aku menyadari satu hal yang benar-benar penting dalam hidupku.

Naruto POV end.

.

.

.

.

"Mengapa kita berada ditempat ini?" pemuda delapan belas tahun itu berbisik lirih. Tangannya mencengkeram erat lengan Naruto sementara pandangannya menyapu sekitar membuatnya bergidik seketika saat melihat banyaknya ceceran darah kering ditiap sudut tempat bau dan pengap itu. Sasuke berjuang keras agar makanan diperutnya tidak keluar untuk pemandangan menjijikkan itu.

Naruto, pria dewasa berusia dua puluh delapan tahun itu menahan senyumnya saat melihat wajah ketakutan Sasuke, yang baginya sangat lucu itu. Tangannya yang dipeluk Sasuke ia tarik sebelum ia menggunakan lengan itu untuk melingkarkannya dipundak sempit Sasuke. "Tenanglah, aku hanya ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Setelah melewati tikungan dan memasuki pintu besar berwarna hitam, kini mereka dihadapkan pada seorang pria pucat yang membawa sebuah tongkat baseball penuh bercak darah, dan seorang pria lain yang tergeletak lemas diatas lantai, dengan baju kumal dan darah disekitarnya.

Manik hitam Sasuke membulat, "Astaga!" rambut coklat pendek dan kulit putih yang telah membiru itu, tidak salah lagi. Pria itu adalah Hyuuga Neji, pria yang menikahinya sekaligus membunuh kedua orang tuanya tiga setengah bulan lalu. Dan pria pucat itu… Sai?!

"Kejutan." Bisik suara bass rendah Naruto tepat ditelinga Sasuke.

"Sai nii-chan?!" pekik Sasuke tak percaya.

Pria pucat serba hitam itu tersenyum lebar, "Halo, Sasuke-chan!" sapanya ceria.

Tidak butuh waktu lama untuk Sasuke menghambur kedalam pelukan kakak tirinya yang selama delapan tahun ini menghilang. Tangisnya tumpah membasahi setelan hitam yang dikenakan Sai.

Tapi bau darah yang menyengat dari tubuh Sai—terlebih dengan adanya tubuh berdarah Neji didekat kaki Sai, sontak membuat perjuangan Sasuke selama beberapa menit terakhir sia-sia.

Sasuke sukses memuntahi setelan hitam kakak tirinya, membuat Sai meringis. Sementara Naruto, pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi selain berjalan mendekat dan menangkap tubuh Sasuke yang seketika lemas setelah muntah. Tapi didetik itu, Sai bersumpah bahwa ia melihat pemimpinnya itu tersenyum walau amat tipis!

"Sai, panggil dokter untuk mengobati Neji. Pastikan Neji tidak mati sampai disini." Titah Naruto dengan suara tegasnya setelah menggendong Sasuke ala bridal.

"Tentu, Uzumaki-sama!"

.

.


TBC or END? /gampar


Last word, thank you for read, fav, foll, and review!

See you^^