Uchiha Sasuke adalah salah satu orang paling beruntung didunia ini. Ia memiliki segalanya; kecerdasan, keluarga bangsawan, paras rupawan, dan senyum yang menawan.

Hidupnya bisa dikatakan nyaris sempurna, sebelum kejadian itu merenggut segalanya.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Pair: NarutoXSasuke

Genre: Drama, Romance, Comfort, and little bit of Hurt

Rate: T/M

Warning: BL/Yaoi! Bahasa kasar! NC gagal

.

Savage

.

.

Enjoy reading~~

.

.

"Aku mencintaimu, Uchiha-san. Jadilah kekasihku!" senior dari kelas tiga itu menyatakan cintanya secara gamblang didepan Sasuke, ditengah lapangan basket dengan ribuan pasang mata yang menyaksikannya. Pria itu terlalu percaya diri, hingga ia yakin seratus persen cintanya akan diterima.

"Maaf," Sasuke sebenarnya benci ketika dia harus menyakiti perasaan orang lain. Tapi ini masalah perasaan, dan cinta itu tak bisa dipaksakan. Ia tak ingin menjalani hubungan palsu yang justru berakhir menyakiti keduanya. Itu membuatnya berujar dengan nada tegas, "maafkan aku, senpai. Aku tak bisa."

Sekejab kalimat itu terujar, sekejap itu pula tatapan memuja nan penuh harap dari sang senior menghilang, digantikan dengan tatapan penuh kecewa.

"Kenapa?"

Sasuke hanya menggeleng lalu berbalik pergi meninggalkan lapangan basket yang sunyi itu. Mereka—para murid, masih belum percaya bahwa Sasuke telah menolak cinta sang pangeran sekolah.

Sasuke tak menyadari jika dibalik punggungnya, senior itu menatap Sasuke penuh benci.

.

.

.

.

.

Pasca kejadian itu tidak ada yang berubah dikehidupan Sasuke. Ia hanya menjalani hari-hari membosankan seperti biasa. Makan, sekolah, les, lalu tidur. Kesehariannya hanya berputar pada siklus itu, tanpa kencan, pelukan, bahkan ciuman—Sasuke bahkan belum pernah memiliki kekasih.

Kabar terakhir yang Sasuke dengar mengenai senpai itu—yang baru Sasuke ketahui namanya Hyuuga Neji, ia telah pindah sekolah. Sasuke berucap syukur karena dengan begitu dirinya tak lagi harus bertatap muka dengan senpai tingkat tiga itu.

.

.

.

.

.

2 tahun kemudian

Itu adalah hari kelulusannya dari jenjang sekolah menengah atas. Sasuke merasa resah karena orang tuanya belum datang. Bahkan hingga acara berakhir, kedua orang tuanya tidak menampakkan batang hidungnya.

Sasuke jelas merasa kecewa dengan ketidakhadiran ayah ibunya. Maka dengan wajah merengut, Sasuke pulang kerumahnya.

"Ayah, ibu, Sasuke pulang." Sasuke mengucapkan salam seperti biasa, namun ia mengernyit karena beberapa pelayan yang seharusnya menyambutnya didepan pintu tidak ada ditempat.

Dan kernyitan didahi Sasuke semakin kentara ketika daun telinganya mendengar sayup-sayup suara isak tangis.

"Hiks.. hiks—tidak, kumohon, jangan—hiks…"

Itu suara ibunya.

Seketika rasa kecewa yang ditanggungnya lenyap, tergantikan dengan rasa marah saat melihat ayahnya tergolek lemah diatas pangkuan ibunya yang menangis sesegukan diruang keluarga.

"Halo sayangku~" suara yang pernah Sasuke dengar dua tahun lalu kini menyapa indera pendengarannya. Wajah itu—

"—Hyuuga-senpai?" suara Sasuke tercekat ditenggorokan ketika melihat serigai jahat dibibir pria itu.

Sasuke tak akan lupa dengan wajah pria itu. Sasuke tak akan lupa walaupun rambut coklat panjangnya telah dipotong cepak dan kulit putih Neji menjadi lebih pucat. Ia terlihat… 'sakit'.

"Lama tak berjumpa, honey~" pria itu berjalan mendekat kearah Sasuke, membuat Mikoto kembali menjerit.

"Tidak! Tolong… jangan putraku!Ambil saja semua harta kami, tapi tolong… jangan mengambil Sasuke. Dia adalah harta kami yang paling berharga!" wanita yang masih tampak cantik walaupun usianya telah kepala empat itu menjerit histeris ketika langkah Neji semakin mendekati putranya.

"Itu harga yang pantas!"

DORR! DORR! DORR!

"Khh!"

"Mari bersenang-senang sayangku~"

Sasuke hanya mampu menatap kosong pada jasad ayah ibunya yang bersimbah darah. Ia bahkan tak bereaksi ketika tangan besar milik Neji mencekik lehernya kuat hingga ia merasa sesak.

.

.

.

.

.

Ini adalah neraka.

Sebagian besar orang akan mengatakan bahwa pernikahan adalah surga. Tapi nyatanya, pernikahan paksa yang Sasuke jalani lebih seperti neraka.

Neji mengikat Sasuke ditangannya hanya untuk menghancurkan pemuda kecil itu. Hatinya begitu hitam penuh dendam dan pria itu mengikrarkan diri bahwa ia akan membunuh Sasuke pelan-pelan.

Tubuh Sasuke penuh lebam biru keunguan dan akan tetap bertambah setiap harinya. Pria licik itu selalu mencari-cari kesalahan Sasuke, sekecilpun, secuilpun, demi menjadikan tubuh kecil Sasuke menjadi samsak tinjunya.

Setiap malam tangannya akan diborgol dan tubuhnya didudukkan disebuah kursi kayu didekat pintu kamar pria itu. Ia akan dipaksa melihat setiap persetubuhan Neji dengan wanita maupun pria yang selalu berbeda setiap harinya.

"Ah! Thereh.. ah,"

"Shit! You bitch! Ssh!"

"More.. I want morehh…"

Seperti saat ini, dimana pria itu tampak menikmati ketika penisnya keluar masuk lubang vagina seorang wanita yang mendesah dibawah tubuh pria itu.

Pemandangan itu selalu membuat Sasuke mual, apalagi ketika ada banyak benda yang digunakan Neji ketika bermain dengan partner one night stand-nya.

Apa yang Neji harapkan? Berharap Sasuke memohon untuk disetubuhi?

Tidak.

Sasuke lebih baik mati daripada menyatukan tubuh dengan pria bajingan pembunuh orang tuanya itu.

Sasuke lebih memilih memejamkan mata, menulikan seluruh indranya dari apapun itu. Sasuke terlalu lelah dengan neraka yang dijananinya seharian penuh dan itu membuat Sasuke berakhir dengan mata terpejam dan hembus nafas yang teratur—ia tetidur walau suasana kamar itu berisik penuh desahan dan suara becek.

BYUUURR!

Rasa sakit itu menghantam seluruh tubuh Sasuke dan ia langsung tergagap saat sadar dirinya berada didalam air. Rasa dingin seketika menyergapnya membuatnya merasa beku. Tangannya mencoba menggapai permukaan namun itu sia-sia karena kedua tangannya masih terborgol rapat. Mulutnya megap-megap mengambil nafas namun berakhir sia-sia karena yang ia justru menelan air kolam yang dingin. Dengan putus asa Sasuke membiarkan paru-parunya penuh oleh air dingin.

Yang ia lihat terakhir kali adalah siluet seseorang dari lantai dua yang tersenyum mengejek kearahnya.

.

.

.

.

.

"Hosh.. hosh.."

Dengan tertatih, Sasuke memaksakan diri untuk terus berlari menjauhi neraka bersampul emas itu. Tulang kakinya retak akibat Neji yang mendorongnya jatuh dari tangga. Rasa sakit itu semakin pekat membuatnya menggigit bibir menahan isakan tangis.

Tidak. Menangis akan membuatnya tampak lemah.

Walaupun harga dirinya telah lenyap sejak mendekam dalam neraka mewah itu, Sasuke masih memiliki sisa harga diri. Ia tak akan pernah menangis hanya karena masalah ini. Ia pernah mengalami yang lebih buruk dari ini dan Sasuke tak menangis.

Itu adalah pelarian ke dua puluh satu sejak tiga bulan Sasuke dipaksa tinggal di rumah iblis itu. Sasuke tidak tahan dengan segala siksaan Neji. Ia sunguh angkat tangan dengan segala luka yang diterimanya setiap hari.

Benar. Pemikirannya tentang Neji yang sakit itu seratus persen benar.

Ia hanya berharap bahwa kali ini ia berhasil kabur dari puluhan bodyguard berpakaian hitam yang mengejarnya dibelakang sana.

Apa salahnya? Dosa apa yang ia lakukan dimasa lalu hingga Tuhan menghukumnya begini hebat?

Sepanjang Sasuke mengingat, selama delapan belas tahun hidup Sasuke merasa tak pernah berbuat salah. Ia adalah anak baik yang selalu patuh kepada ayah ibunya. Ia tidak suka menyiksa binatang dan ia selalu berbagi kasih dengan sahabat-sahabat setianya.

Seruan keras nan ramai dari belakang sana membuat Sasuke berusaha menjejakkan kakinya lebih lebar dan cepat.

Ini pukul dua dini hari dan sangat mustahil ada seseorang yang bisa dimintai bantuan. Kota tampak sangat sepi dan lenggang membuat Sasuke semakin dilingkupi rasa takut. Ia takut jika harus kembali kerumah iblis itu dan berakhir menjadi samsak tinju—lagi dan lagi.

Sasuke sudah lelah dengan hidupnya. Ia mencoba bunuh diri dengan apapun benda tajam yang ia temui, dengan segala cara, namun selalu berhasil nihil.

Sasuke tetap hidup walaupun penuh derita dan sengsara.

Ia hanya berharap, Tuhan akan mengirimkan seorang malaikat untuk keselamatannya, atau seorang malaikat untuk menjemput kematiannya.

.

.

.

.

.

Naruto POV

.

.

"Aku bersumpah akan mem—"

DOORR! DOORR!

"Bersumpahlah dineraka, dasar tua bangka! Hahaha… rasakan itu!" Sai tertawa keras ketika aku telah menembakkan dua peluru tepat pada kening pria tua itu.

Aku hanya memandang datar pada tubuh tak bernyawa milik pria tua yang selama seminggu terakhir bermain kucing-kucingan denganku. Dia pantas mendapatkan itu setelah ia dengan tak tahu malu berani membawa kabur uang dan barang daganganku.

Itu mungkin tak berpengaruh terhadap kekayaanku tapi aku selalu benci dengan pencuri. Pengkhianat.

Mereka adalah hama menjijikkan yang patut dimusnahkan.

"Bereskan dia, Sai." Ujarku memerintah tangan kanan kepercayaanku itu.

"Siap laksanakan, Uzumaki-sama!" Sai memberikan senyum palsunya sebelum kembali tertawa kesetanan. Aku tidak pernah tahu hal lucu apa yang ia tertawakan hingga sedemikian itu. Ia selalu bereaksi seperti itu setiap kali melihat seseorang mati tertembak, hingga Sai selalu dianggap gila. Tapi walau demikian, Sai adalah bawahan yang sangat loyal dan berbakat.

Aku melangkah keluar dari bangunan yang menjadi arena pertarungan beberapa saat lalu. Kerusakan dan para mayat bergelimpangan membuat mataku sakit.

Aku bersandar dibadan mobil sambil menghisap dalam-dalam rokok mint dikedua jariku. Mataku terpejam erat merasakan ketenangan saat asap bernikotin itu memenuhi paru-paruku.

Bruk!

Mataku sontak terbuka mendengar suara benda jatuh tak jauh dari tempatku berdiri. Dijalanan lenggang sana, aku melihat seseorang dengan pakaian lusuhnya jatuh diatas trotoar jalan. Sosok kecil dengan rambut hitam itu kembali berdiri, melangkah terseok dan tampak akan goyah tak lama lagi. Dan benar saja, ia kembali jatuh dengan suara bruk pelan.

Meskipun tahu akan kembali terjatuh, ia tetap bangkit berdiri. Melangkah lagi dan terjatuh lagi.

Ia begitu gigih melakukannya seolah ingin segera menghilang dari tempatnya berdiri.

Dengan segera aku menyimpulkan bahwa sosok kecil itu tengah dikejar sesuatu, atau seseorang.

Dan benar saja, tak lama kemudian aku mendengar seruan ramai dari kejauhan dibelakang sosok kecil itu. Puluhan orang berbaju hitam berlari kencang mendekati sosok kecil berambut hitam itu.

Aku melihat kepanikan melanda bocah kecil itu. Kepalanya berulang kali menengok kebelakang—ini membuatku bisa melihat beberapa luka lebam keunguan diwajah putihnya, seraya mencoba kembali bangkit dan berjalan lagi. Usahanya behasil sia-sia karena tampaknya ia telah mencapai batas.

Aku tak melakukan apapun bahkan ketika sosok kecil itu dicekal kuat oleh mereka. Sebagian dari diriku merasa ada kesalahan namun aku hanya diam menonton sambil menyesap nikotin dalam-dalam.

"Ah, akhirnya kena juga kau, jalang kecil!" salah seorang pria itu berujar kasar, membuat sesuatu dalam diriku merasa tak terima dengan perkataannya.

Sosok kecil itu meronta menerima perlakuan kasar pria itu.

"Hey! Jaga bicaramu! Dia ini istri boss kita! Dia itu nyonya besar kita! Kau ingin lidahmu dipotong, hah?" pria lain menimpali dengan penuh peringatan.

Kutafsirkan ia belum genap dua puluh tahun dan apa ini... dia sudah menikah?

"Istri boss kita? Nyonya besar? Hah, salah besar! Jalang kecil ini hanyalah boneka boss besar kita. Dia hanyalah samsak tinju milik boss pribadi. Hahaha."

"Kau masih baru, pantas saja tidak tahu."

"Ohh aku baru tahu itu."

"Haha, kasihan. Menikah dalam tiga bulan tapi tak pernah mendapat belaian. Apalagi boss selalu membawa pelacur-pelacurnya tiap malam kerumah, dan memaksa si jalang kecil ini melihat persetubuhan mereka. Jalang kecil ini pasti kesepian."

"Ahh, bagaimana kalau kita mencobanya? Boss besar tak akan tahu dan mungkin juga tak akan peduli. Dia ada di Busan hingga dua hari kedepan."

Istri 'boss besar' itu menggigit tangan salah seorang pria disana membuat pria itu menampar wajah lebam sosok kecil itu.

"Sialan! Kau cukup ganas juga ya! Baiklah, mari kita lihat apakah sikapmu dibawah tindihanku masih bisa ganas seperti tadi." Pria yang digigit itu mengumpat penuh nafsu.

"Tunggu apa lagi! Ayo kita cicipi lubangnya ramai-ramai." Mereka bersorak girang dan menyeret tubuh kecil itu memasuki gang diantara dua gedung.

.

.

.

.

.

Sejak kecil aku dididik keras dan arogan oleh keluargaku. Di keluargaku memiliki tiga pantangan besar: perasaan, kebaikan, dan tangisan. Hal itu akan sangat lucu untuk dilakukan mengingat keseharian keluarga kami.

Memburu. Membunuh. Menghancurkan. Melenyapkan.

Itu adalah pokok penting mengenai kebusukan keluargaku. Kami—anggota keluargaku, memang sudah berdosa sejak keluar dari rahim ibu.

Aku tak akan mengelak jika seseorang menyebut keluarga kami sebagai keluarga monster. Itu memang kenyataan, pengecualian dengan rupa jelek dan mulut berliur ala monster dunia virtual. Kami memiliki nilai lebih daripada itu.

Aku membuat rekor baru setelah dua puluh empat tahun aku hidup.

Aku melakukan tanpa sadar ketika tangan berbalut sarung tanganku melempar sisa putung rokok dijemariku sebelum kaki kananku menginjaknya. Aku juga tidak sadar ketika kaki-kaki panjangku berlari melewati jalan raya dan menghampiri gerombolan berbaju hitam itu didalam gang.

Itu seolah ada sesuatu dalam diriku yang menuntunku untuk melakukan hal itu.

Aku baru merasa sadar ketika kedua tangan rapuh memeluk perutku erat.

"Sudah—hiks.. hentikan… mereka sudah mati—hiks!" bisikan kecil suara merdu itu serasa menghantam kesadaranku.

Mataku melirik kebawah dan kudapati seorang pria yang kutahu sering mengatai sosok kecilku dengan sebutan jalang. Wajahnya tak teridentifikasi bentuknya—nyaris hancur oleh pukulan-pukulan telak yang kulayangkan padanya.

"Hiks—hiks… hen-henti—hiks…" tangisan itu kembali terdengar. Semakin keras dan tersendat-sendat.

Apa yang telah kulakukan?

Kulihat sekeliling dan mendapati tubuh-tubuh tak bergerak para pria berbaju hitam tadi.

Tiga menit aku terdiam dan hanya mengamati sekitar, baru kusadari bahwa aku telah mengalahkan puluhan pria tadi dengan tangan kosong.

Seketika itu pula, aku tak lagi merasakan gerakan sosok kecil yang memeluk perutku, maupun suara tangis sesegukan miliknya.

Perasaan tak nyaman langsung menghampiriku membuatku lekas membalik tubuh kecilnya perlahan. Tubuhnya yang sudah terbuka dibagian atas membuat mataku melihat ruam-ruam biru bekas pukulan yang mulai memudar.

Wajah tirus dengan lebam keunguan dibeberapa bagian itu terlihat memerah oleh air mata. Bibir mungilnya tampak pucat dan ketika aku melepas sarung tangan untuk menangkup wajahnya, aku terlonjak saat merasakan betapa pipi itu terasa dingin dipermukaan telapak tanganku yang besar.

Di telapak tangan yang lain, aku merasa hangat oleh suatu hal. Ketika aku melihat telapak tanganku, warna merah pekat memenuhi pandanganku. Ia berdarah sangat banyak hingga darah yang mengucur dari kepala belakangnya menetes-netes.

"Uzumaki-sama!" seruan dari Sai membuatku menoleh. Aku melihat wajahnya tampak pucat paci ketika menatap sosok kecil diapangkuanku. Ini merupakan hal tak biasa mengingat tangan kananku itu hanya menampilkan dua ekspresi: tersenyum penuh kepalsuan atau tertawa terbahak-bahak.

"Kita pulang kerumah segera!"

Aku tak pernah menggendong orang sebelumnya, tapi aku merasa sangat benar ketika sosok kecil yang begitu mungil ini meringkuk dan bersandar didepan dada bidangku.

Sai tak lagi berucap dan berlari tergopoh membukakan pintu belakang mobil untukku.

.

.

.

.

.

Selama tiga hari kedepan, sosok kecil yang terbaring lemah diatas ranjangku belum membuka mata. Itu sangat pantas mengingat banyaknya luka yang bersarang ditubuh kecilnya. Tulang kaki retak dan ia mengalami gegar otak ringan. Aku hanya bisa berharap bahwa dia tak lupa ingatan.

Aku sangat suka menyiksa seseorang dan melihat wajah menderita orang lain adalah salah satu dari sekian banyak kesenanganku. Itu membuatku bertanya-tanya mengapa aku merasa sakit ketika melihat luka-luka yang ditanggungnya ataupun mendengarnya mengigau bergumam kata 'sakit' lalu menangis ditengah ketidaksadarannya.

Aku tidak mengerti hal apa yang membuat sosok kecil itu begitu penting hingga aku rela meninggalkan misi yang seharusnya kupimpin di Israel hanya untuk menjaganya sepanjang hari.

"Kapan kau akan bangun, little snow?" gumamku, bermonolog seraya menggenggam jemari tangannya yang kecil. Jemari tangannya yang mungil dan terasa hangat dipermukaan pipiku, membuatku merasakan ketenangan. Aku belum tahu namanya jadi aku menjulukinya seperti itu mengingat kulitnya begitu bersih dan putih—walau ada bekas lebam yang belum sepenuhnya hilang.

Perilaku Sai juga semakin aneh. Ia tak lagi tersenyum fake ataupun tertawa kesetanan. Sejak aku membawa sosok kecil ini pulang, Sai menjadi lebih banyak diam. Ia sering melamun dan menatap kosong pada little snow-ku.

"Kau mengenalnya." Aku menembak langsung saat kudapati Sai lagi-lagi menatapnya.

"Ya. Aku memang sangat mengenalnya, Uzumaki-sama." Seperti biasa, Sai selalu jujur. "Namanya Uchiha Sasuke," Sai berujar singkat lalu menatapku, seolah ia ingin aku menebak kelanjutannya.

Aku berfikir sejenak, "ia saudara yang kau ceritakan itu?"

Aku merasa dunia benar-benar sempit ketika Sai menggangguk mengiyakan. Ingatanku berputar kemasa delapan tahun lalu ketika aku menemukan seorang bocah berusia dua belas tahun di daerah pinggiran kota London. Ia yang kecil, kumal, dan kurus hingga aku mengira ia tulang berjalan. Ia adalah Sai kecil yang merengek kepadaku untuk memberikannya pekerjaan—apapun itu.

Aku menolak tegas karena, bocah kecil bisa apa? Tapi Sai kecil tetap keras kepala. Aku bahkan memukulnya hingga babak belur tapi Sai masih nekat. Sai kecil hampir mati karena pukulanku jika saja ibuku tidak menghentikanku.

"Uchiha Fugaku menikah dengan Uchiha Mikoto namun sampai lima tahun kedepan, mereka belum dikaruniai anak. Pada suatu malam Fugaku sangat mabuk dan saat itulah, seorang pelacur menggodanya dengan iming-iming seorang putra. Sebulan kemudian, pelacur jalanan itu hamil. Fugaku yang pada dasarnya sangat menginginkan seorang anak pun mengakui hal itu didepan Mikoto. Fugaku dan si jalan itu menikah dan delapan bulan kemudian, lahirlah aku.

Selama dua tahun aku menjadi anak kesayangan tapi itu tak bertahan lama sebab, ketika Mikoto hamil dan melahirkan Sasuke, aku jadi terabaikan. Aku tak pernah dianggap oleh Fugaku maupun Mikoto, namun Sasuke berbeda. Ia sangat baik dan selalu menjadikanku kakak panutan. Itu membuatku senang dan bertahan. Selalu berperilaku baik agar Sasuke tumbuh dewasa sebagai sosok malaikat baik hati. Terlebih si pelacur itu masih berstatus sebagai istri kedua Fugaku. Tapi ketika aku berusia dua belas tahun, si pelacur itu meninggal karena kanker paru-paru.

Aku tak ingat apa yang terjadi setelah pemakaman si pelacur itu, karena ketika aku sadar, aku sudah berada ditempat pelelangan. Ditawar oleh pria tua tambun untuk pemuas nafsu.

Singkat cerita, aku berhasil kabur hingga aku menemukan seorang pemuda bertindik yang berhasil menghajar lima orang dewasa dengan tangan kosong. Dia adalah anda, Naruto-sama."

Benar. Dunia memang sungguh sempit.

Aku tak pernah bertanya mengenai masa lalunya karena Sai tampak sangat ketakutan ketika aku menuntut cerita darinya. Dia hanya akan bergumam betapa dia sangat menyanyagi adiknya dan sebuah janji bahwa dia akan melakukan apapun untuk kebahagiaan adiknya. Ya, dia pernah menjadi gila hingga aku muak dan menginginkan kematian bocah kumal itu.

Tapi selalu, ibuku yang terlalu baik itu mempertahankan Sai. Ia adalah mantan dokter rumah sakit jiwa sebelum ayahku menculiknya dan membuat wanita yang paling kusayangi itu menjadi pengantinnya. Membuatnya hamil secara paksa hingga lahirlah aku kedunia hitam ini.

Sungguh awal yang bagus untuk kelahiranku.

.

.

.

.

.

Sasuke POV

.

.

.

.

.

Aku tak tahu kapan aku terakhir kali membuka mata.

Kuperoleh kesadaran saat aku mendengar beberapa makian dan umpatan keras yang berasal jauh dari tempatku berbaring.

Antara senang atau panik, aku tak tahu harus bereaksi apa ketika kudapati diriku terbaring diatas ranjang besar empuk dengan suasana kamar yang gelap. Hampir seluruh barang-barang ditempat ini terdiri dari dua warna: hitam dan putih. Ruangan ini mungkin akan gelap gulita jika dua lampu tidur yang berada dimeja nakas dikedua sisi ranjang besar ini tidak menyala, mengingat hari sudah menjelang malam.

Rasa sakit langsung menghantam kepala bagian belakangku saat aku mencoba untuk bangkit. Pun begitu, aku tetap memaksakan diri. Kulepas paksa selang infuse yang terhubung ditanganku dan melangkah sempoyongan kearah pintu bercat hitam dengan ukuran paling besar dari ketiga pintu diruangan ini—aku menyimpulkan bahwa itu pintu keluar sementara pintu lainnya adalah pintu kamar mandi dan entah-apa-itu. Aku tak tahu dan berniat tak pernah ingin tahu.

Tiga langkah aku menjejak menuju pintu keluar, pintu itu sudah menjeblak terbuka.

"Sai benar. Kau sudah sadar." sebuah gumaman datar dan itu berasal dari seseorang yang baru saja masuk.

Seorang pria dengan tubuh tinggi tegapnya berjalan mendekat kearahku. Bibirnya mengulas senyum tak biasa dan aku masih terlalu pusing untuk memikirkan apa arti dari senyum itu.

"Pepatah itu benar," ia bergumam lagi, "Jika buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya." ia semakin mendekat membuatku mundur.

Apa yang dia katakan? Ya tuhan, kepalaku terasa semakin sakit.

"Siapa?" tenggorokanku bahkan terasa sakit ketika aku berujar pelan.

Senyum pria itu muncul lagi, lebih lebar dan kulihat manik birunya berkilat berbahaya.

"Mari bersenang-senang, my little snow~~"

De javu.

Aku merasa de javu ketika bibir pria bersurai pirang itu berujar demikian. Ingatanku jatuh pada pria licik yang selama ini menyiksaku, juga pria pembunuh kedua orang tuaku.

Tapi dibanding merasa sakit akibat cekikan tangan besar, aku justru merasa pandanganku berputar ketika punggungku memantul diatas ranjang besar yang semula tempatku berbaring tak sadarkan diri.

"Sasuke…" suara bernada rendah itu mampu membangkitkan sesuatu dalam diriku hingga aku merasakan tubuhku meremang dan bergetar kecil.

"Jangan," aku menggeleng keras, "aku sudah kotor. Mereka.. pria-pria itu—" bayangan mengenai tangan-tangan kasar yang menggerayangi tubuhku membuatku sakit.

Bukannya mundur, pria itu justru tersenyum. Senyum miring yang sangat lebar, "dengan senang hati akan kubuat dirimu semakin kotor."

Aku masih ingat ketika kuku-kuku tanganku yang tajam menggores punggung lebar kecoklatan yang telanjang itu hingga berdarah-darah. Tapi pria itu tetap tak berhenti seolah tak merasakan sakit dari punggungnya yang kucakari.

Dia begitu besar dan panjang hingga aku merasa diriku dibelah dua. Aku merasa berdarah tapi pria itu tetap tak berhenti.

Ia justru menyerigai.

Aku juga masih ingat ketika aku menjerit keras hingga tenggorokanku semakin sakit. Aku menangis sangat keras hingga aku sesegukan. Air mataku meleleh dan langsung dijilat oleh lidah basah yang sedari tadi mengecap seluruh permukaan, inchi demi inchi kulit tubuhku.

Mengecap keras hingga meninggalkan ruam-ruam berwarna merah keunguan.

Aku selalu mengejek ketika melihat raut wajah para wanita atau pria yang mendesah dibawah kukungan pria brengsek yang sialnya masih berstatus suamiku itu. Aku selalu menganggap ekspresi nikmat dan liur yang menetes-netes itu terlalu dibuat-buat.

Tapi kini, aku tak akan menyangkal hal itu lagi.

Pria tegap yang bergerak cepat diatas tubuhku ini berbisik pelan, menyebutkan sebuah kata yang selalu kusebut tiap detiknya.

Sebuah geraman rendah terdengar darinya dan bersamaan dengan itu, sebuah kehangatan kurasakan didalam perutku, membuatku mendesah panjang seraya menyebutkan namanya…

"Narutoh..hh,"

Nafasku masih putus-putus tapi pria dia kembali bergerak tiga menit setelahnya. Pria itu bergerak lagi, lagi, dan lagi.

Kemampuanku hilang setelah hitungan keempat. Aku tak lagi ingat berapa kali pria itu meledak didalamku dan ketika aku tersadar, aku telah meringkuk didalam pelukannya.

Aku bergerak gelisah tapi sapuan lembuat dipipiku membuatku merasa nyaman.

"Sleep tight, Baby Sasu—" suara itu berbisik pelan, tepat ditelingaku.

Dan aku kembali tertidur.

.

.

.

.

.

End

.

.

.

.

Judul sama isi nggak terlalu nyambung sih, tapi, kuharap kalian suka one-shoot pertamaku.

Jangan lupa review, ok?

.

SuzyOnix

[03 Februari 2017]