"Air." panggil Taufan.

"Hum..?" Air tetap fokus memejamkan matanya. Sejuk tidur di teras atas rumah.

Taufan menekuk kakinya, memeluk, "Aku rasa.. Ada informasi yang kurang kau beritaukan padaku."

"Kau tau? Informasi setengah-setengah itu tak terlalu berguna untuk mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik." celotehnya.

Air mengernyit tapi tetap berada dalam posisi 'sedapnya menikmati udara dipagi hari ini'. Menyahut lagi pun tidak. Membuat Taufan kesal dan langsung menggoyang-goyangkan bahunya.

"Informasi apa..? Jangan mengganggu tidurku lagi, Fan." akhirnya ia menjawab.

Dua alis Taufan tertaut, "Informasi apa!? Tentu saja informasi tentang siapa yang mendonorkan matanya untuk Gempa yang tak kau jawab dulu!"

Spontan Air melompat bangun, "Apa maksudmu?" tanyanya curiga.

Taufan menyeringai, "Aku menemukan berkas yang berisi dua surat persetujuan operasi. Satu atas nama Gempa dan satunya tertulis nama seseorang yang tak ku kenal."

Ia mengalihkan pandangannya kembali ke depan menatap indahnya langit biru diatas sana.

"Yang menjadi pertanyaanku, mengapa surat persetujuan atas nama orang tersebut ada dirumah ini. Bukankah seharusnya disimpan oleh keluarga atau orang tersebut?"

Berkas? Mengejutkan sekali. Dimana Taufan mendapatkannya? Semua pertanyaan itu mulai memutar dikepalanya.

"Kau dapat dimana?"

Bahkan Air sendiri sudah tak ingat dimana berkas itu disimpan oleh ibu dan ayahnya.

"Jangan bilang kau bahkan tidak tau tentang berkas itu?" Tanya Taufan penuh selidik. Netranya kini menangkap kebingungan dari Air yang entah tengah memikirkan apa.

"Aku tau."

Tapi jawabannya mengesalkan. Ternyata dia tau lalu mengapa ia tak memberi tau Taufan?

"Ka--"

"Dimana berkasnya?" pinta Air siap berdiri mengambilnya. Tepatnya, mungkin ia akan buang/bakar agar tak ada siapapun lagi yang membacanya setelah dirinya dan Taufan.

Taufan menggeleng tegas. Dia tak akan memberitaukan Air dimana berkas itu tersimpan sampai ia mengetahui jawaban atas pertanyaannya.

"Taufan.. Oh, ayolah!"

"........"

Air menggigit bibirnya. Jika berkas itu bisa ditemukan oleh Taufan, besar kemungkinan Gempa juga akan menemukan serta bertanya pertanyaan sama yang Taufan ajukan.

Cukup Gempa berubah setelah ia diberitahu jika Halilintar pergi ke luar negeri dan besar kemungkinan tak akan kembali untuk menemui Gempa.

"Berikan dulu baru aku akan memberitaukanmu." putus Air.

Taufan setuju, "Oke. Wait."

Segera ia kembali mengambil duduk, bersandar di tembok sambil menunggu kedatangan Taufan.

"Ini--"

"Eits- beritau aku dulu." Taufan langsung manarik jauh tangannya dari jangkauan Air.

"Okay." kesal Air.

Taufan mengambil duduk, meletakkan berkas itu dibelakangnya. "Aku siap didongengkan" ucapnya membuat Air menghela napas.

"Apa yang membuatmu penasaran?" tanya Air ulang.

"Mengapa ada dua surat persetujuan dirumah ini. Siapa yang sebenarnya mendonorkan matanya pada Gempa?"

"Kau sangat ingin tahu?"

"Apakah ada kata lain diatas sangat?" Taufan gemas jadinya.

Air menarik tangan Taufan. Mengambil pulpen disakunya dan mulai menuliskan rangkain kata ditangan Taufan.

'Yang mendonorkan matanya itu seseorang dari keluarga kami.'

"Siapa?"

"Aku akan memberitahumu nan--"

"Dan kau juga akan mendapatkan berkas itu nanti." ujar Taufan cepat. Tolonglah, bisakah Air tak bicara setengah-setengah?

Air kembali menulis, "Kakaknya Gempa sendiri."

"........"

"....."

"Ha. Ha. Are u kidding me?" Tawa Taufan. Air pasti bercanda. Tidak mungkin kan, Halilintar?

"Terserah jika kau tak ingin percaya." ujar Air ia mulai memajukan badannya untuk menggapai berkas dibelakang Taufan.

Taufan mendorong dahi Air dengan jari telunjuknya. "Yang jelas dong!" Ia mengerucut sebal.

"Memang benar seperti itu." Air kembali berusaha mengambil. Bahkan ia siap berdiri. Tapi lagi-lagi Taufan menghalanginya dengan menarik Air duduk kembali.

"Bagaimana bisa?"

"Ceritanya panjang dan aku tak tau secara keseluruhan." jawab Air. Tidak tau kapan Taufan akan memberikan itu padanya.

"Yang kau tau saja."

"Gempa sedang ada dirumah. Aku tidak mau dia mendengarnya."

"Dia sedang keluar bersama temannya. Katanya mau ke pasar beli bibit tanaman."

Oh, Air tahu Gempa pasti pergi dengan Thorn.

"Sekarang kau ingin beralasan apa lagi?" tanya Taufan datar.

"Bagaimana jika dirumah ini ada cctv-nya?"

"Kenapa kau harus bertanya sedangkan ini rumahmu? Apa kau pernah merasa memasang cctv?"

"Tidak pernah." jawab Air dengan innocent. Taufan tersenyum paksa.

"Ada lagi?" tanyanya.

"Tidak ada. Tenang saja." Air menjawab dengan tenang. Ia tersenyum membuat Taufan mendengus akhirnya anak itu akan memberitaunya. Tapi, kenapa Air malah menaruh tangannya dibelakang?

"Kau mau kemana pula?" Taufan bertanya, mendongak menatap Air yang kembali berdiri.

"Thanks atas berkasnya!!!" dan lari darinya dengan berkas yang ia angkat ke udara.

Tunggu.

Taufan tidak paham.

Bagaimana ia bisa kecolongan sebegitu cepatnya?!!!!

"AAAAIIIIIIRRRRRRRRR!!!!!!!"

~~~¤¤¤~~~

"Kau mau tanam apa Thorn?"

"Kurang tau.. Aku masih mikir-mikir." gumam Thorn. Sekarang dirinya dan Gempa ada di pusat pembibitan tanaman. Tidak jauh dari kota.

Awalnya mereka berdua hanya berniat mencari dipasar saja. Tapi ternyata sudah pindah entah kemana.

Gempa mulai kembali berkeliling. Melihat-lihat apa-apa saja yang ada disini. "Kau tak mungkin tanam mangga dikebun univers, kan?" tanyanya iseng.

Thorn menggeleng masih stay dengan gaya berpikirnya. Yang bertanya mengangguk sambil berjongkok, melihat lebih jelas bibit mangga yang menjadi bahan pertanyaannya tadi.

Bibit mangga dihadapannya ini lebih kecil dibanding yang lain. Gempa mulai menyentuh daunnya.

"Bagaimana kalau mawar?" tanya Thorn tiba-tiba membuat Gempa segera berdiri dan mencari keberadaan Thorn yang ternyata sudah berada dibagian tanaman hias.

"Hm.. Bukannya kau mau menanam yang ada hasilnya, ya?"

"Mawar ada hasilnya kok. Hasilnya itu bunga merah yang akan memperindah kebun." beritau Thorn asal.

"Jauh lebih bagus kalau kau mencari tanaman yang bisa menghasilkan sesuatu seperti... Chili dan tomat, mungkin?"

"Uhm.." Bingung Thorn. Bibirnya kembali terpaut. Itu juga yang ia rencanakan awalnya, tapi disini terlalu banyak tanaman yang indah dan bermanfaat.

Seperti tanaman obat juga misalnya.

"Aaaaa bingungggg!!!!"

NEED U
BoBoiBoy©ANIMONSTA

Tak mengejutkan bagiku ketika mendengar pembicaraan kak Hali dan paman Gopal bahwa aku buta.

Terdengar suara benda jatuh dan sebuah ringisan.

"Kontrol emosimu Hali.." Disusul suara paman Gopal.

"Bagaimana bisa tidak ada sama sekali pendonor, paman?!!" Seru kak Hali. Spontan aku bangun dari tidurku.

"Kak Hali..." lirihku kecil. Tapi sepertinya tak ada yang mendengarkan dan menyadari bangunku.

Aku tak tau mereka persisnya dimana.

"AKU TAK MAU GEMPA BUTA SELAMANYA! KEHIDUPANNYA MASIH PANJANG PAMAN!!"

"Jaga suaramu Hali! Ingat, ini rumah sakit!"

"Ck!"

"Dan ingat, begitukah cara bicara dengan seseorang yang lebih tua darimu!?"

Rasanya sesak. Ku raba-raba sekitarku. Membuat berbagai suara yang bisa menyadarkan kak Hali atau paman Gopal bahwa aku sudah bangun.

"Kak Hali.. Hiks."

Mereka tetap berdebat. Tanpa sengaja ku ikut menjatuhkan barang disekitarku. Tak tau apa.

Cklek..

"Astaghfirullah!!"

"Hiks hiks.."

Aku takut. Aku takut melihat kak Hali marah-marah begitu selagi aku tak bisa mengetahuinya dengan jelas. Selagi aku tak bisa memeluknya seperti biasa ketika ia marah.

Aku tak bisa dengan mudah lagi menggapainya..

Grep

Seseorang menarikku ke dalam dekapannya.

"Sstt.."

Itu kak Hali. Akhirnya, ia menyadari keberadaanku.

"Hiks hiks, jangan marah-marah kak.. Hiks, Gempa susah memeluk kakak." Tangisku pecah.

Sakit. Tentu saja.

Kak Hali meremas bahuku. Aku tak tau ekspresi apa yang ia keluarkan saat ini.

Ku harap kak Hali tak menangis. Ku harap..

Karena aku tak ingin melihat kak Hali 'sakit' karenaku. Aku tak mau melihat kak Hali menyalahkan siapapun atas kejadian ini. Disaat aku sudah mengikhlaskannya.

"Gempa tak apa.." lirihku memberitahunya.

~With U~


Dengan pilihan yang sangat matang akhirnya Thorn berhasil mendapatkan pasangannya.

Tidak, tidak, maksudnya pasangan untuk tanamannya di univers.

"Dari sekian lamanya--"

"Berhasil ku dapatkaannn!!"

"Ini jauh lebih menguras otakku lebih dari saat kita ujian!" Bibirnya terpaut lucu. Thorn membolak balik kantong kresek berisi tanamannya itu. Mereka berdua sedang berada dalam perjalanan pulang.

"Kau harus mentraktirku Thorn! Hahaha." tawa Gempa senang. Ia senang melihat Thorn begitu gembira. "Of Course! Mau ku traktir apa? Ice cream? Mie kuah? Nasi Padang?" Tawar Thorn.

"Hm.."

"Semuanya?"

"Iya! Semuanya!!" Seru Gempa membuat Thorn membelalak kaget sendiri.

"BERCANDA TAUUU!! MANA BISA AKU MENTRAKTIRMU SEBANYAK ITU!? LAGIPUN KAU TAKKAN HABISKAN!!" Pekik pecinta tanaman itu.

Jangan salahkan jika mereka menjadi pusat perhatian di keramaian kota saat ini.

"Sudah, jangan berteriak-teriak. Ku tak bisa fokus bawa motornya."

"Kita singgah ke tempat biasa!!"

Spontan Gempa menutup satu telinganya. Thorn lagi-lagi memekik heboh.

"Iya-iya.."

Untung saja ia sudah terlatih didalam atau diluar rumah tuk mendengar lantunan suara seperti itu.

Hum.. Dirumah, sih, ada Blaze dan Taufan.
Diluar rumah.. Gempa punya banyak pelatih. Salah satunya Thorn.

Thorn mengguncang-guncang bahu Gempa.

"IYAAA THOORRRNNNN!!!" Seru Gempa dengan suara kencang. Karena saat ini mereka memasuki zona sibuknya para pengendara.

Thorn terkekeh sendiri dibelakang. Berhasil membuat Gempa teriak, YEAY!!!

"Gem, lihat mereka!" Tunjuk Thorn pada segerombolan anak kecil di lampu merah dengan berbagai macam dagangan bawaan mereka.

Manik hazel milik Gempa hanya mengerjap. Sebuah helaan napas menyelinap keluar dari bibirnya.

"Begitulah Thorn.."

"Kasihan ya mereka..." Prihatin Thorn ikut menghela napas.

"-bagaimana rasanya menjadi mereka ya..?"

"Turunlah."

"Buat apa?"

"Beli tisu dan beberapa minuman dari mereka. Bantu-bantu sedikit tak apa, kan?" Gempa menolehkan kepalanya kebelakang sejenak, "Aku akan menunggumu diseberang sana."

Kembali Gempa jalankan sepeda motornya. 

Thorn berjalan mendekat ke arah anak -anak tersebut. Tersenyum riang.

"Dek, jual apa?"

"Biasa kak. Tisu, air putih, gula-gula." jawab anak berbaju putih.

"Airnya tolong 4, tisu 1, dan gula gulanya 3 ribu."

Sang anak mengangguk. Dengan cekatan ia membungkus pesanan Thorn.

"Eh, ambil saja kembaliannya." Thorn tersenyum lebar ketika anak itu menggeleng. "Oke, terimakasih dek!!!"

"Loh, kak? Kak! KAKK!!"

Anggaplah Thorn tuli. Ia berlari kecil menyebrangi jalan menghampiri Gempa. Syukurlah sedang lampu merah.

"Apa yang kau beli??" tanya Gempa.

"Air, tisu, dan.. gula-gula!" beritahu Thorn membuat kedua alis Gempa berkedut, "Kau beli Air? Uhm, Air tidak dijual! Diapun ada dirumah bagaimana adik-adik itu menjualnya?"

"Aaa----?"

"Gurau je, haha. Cepat naik!"

"Ha. Ha. Lucunya~!" balas Thorn dengan wajah datarnya.