Shintarou benar-benar pergi setelah memasangkan kancing kemeja terakhirku.

Ia tak mengatakan apapun, hanya berbisik jika kami akan pulang pukul tujuh malam nanti dan ia akan menjemputku di sini. Satu kecupan mendarat di keningku yang masih berkeringat, seperti biasa, ia tampak begitu mengagumkan dengan raut muka datar dan penampilannya hampir tak berubah, kecuali bagian depan kemejanya yang kusut akibat bergesekan dengan tubuhku saat...

Aku menghela napas, sedikit meringis ketika berhasil duduk di kursi yang tadi ia tempati, terlambat menyadari jika bebatan dasinya meninggalkan jejak di pergelangan tanganku. Kurasa Shintarou mengikatnya terlalu kencang hingga bekas merah samar melintang di sana, namun aku tak mau repot-repot mengadu hanya untuk membuatnya kembali marah.

Apa dia akan marah pada dirinya sendiri? Aku tak mau tahu.

Sakit di leherku belum sepenuhnya menghilang, terlebih saat mengingat ia nyaris membuatku kehabisan napas akibat tercekik sebanyak dua kali dan hentakan pinggulnya sama sekali tak membantu. Tanpa sadar romaku meremang kala bayangan itu kembali berputar di pikiranku seperti kaset rusak. Mawar merah, pesta dansa, dan perkataannya padaku sebelum berangkat menuju pertemuannya pagi ini...

Apa semua yang dikatakannya itu benar?

Apa dia sungguhan mengetahui segala hal tentangku?

Lagi-lagi aku menghela napas, caranya mengguruiku tadi benar-benar mengerikan. Aku menghempaskan diri pada sandaran kursi, berusaha tak menyakiti punggung dan bagian belakang tubuhku yang telah dia hajar habis-habisan. Sisa hentakannya masih terasa hingga pinggulku ngilu tiap mengingatnya, pun dengan kerasnya meja yang membentur punggungku tadi, kurasa tubuhku akan remuk redam jika dibiarkan terlalu lama.

Dengan itu, aku memilih untuk memutar otak. Mengingat kembali kejadian yang kualami tadi malam, perayaan Hallowe'en dan pesta dansa yang konyol. Yang mulanya kuanggap begitu diberkati, namun membawa bencana tepat setelah matahari terbit. Tak perlu menyangkal lagi. Aku sudah berusaha keras untuk melupakan semuanya, namun hal itu malah makin menghantuiku seperti mimpi buruk.

Seorang pesulap yang janggal kehadirannya di antara lima belas orang peramal yang masing-masing menyebar di keramaian. Apa ia juga tamu biasa sepertiku? Apa secara kebetulan, ia sungguhan seorang pesulap yang ingin memamerkan kemampuannya padaku?

Omong kosong.

Kepalaku rasanya sakit akibat terlalu banyak berpikir. Siapa sebenarnya Von Fersen berambut pirang itu, dan apa yang ia inginkan dariku?

Apa dia berniat untuk menjebakku? Apa dia berniat untuk merusak hubungan antara Shintarou dan aku?

Jangan konyol, sekonyong-konyong aku menyentak dalam hati, mana mungkin ia mengetahui hubunganku dan Shintarou? Sudah pasti sesuatu yang ada di antara kami dirahasiakan olehnya, bukan begitu? Kalaupun ia memang ingin menjebakku, keuntungan apa yang akan ia dapatkan?

Secara tiba-tiba bayangan Shintarou muncul dalam benakku ketika memikirkannya. Rambut dan bola matanya yang kelam ketika menjelma menjadi Von Axel Fersen malam tadi, meski tampak sangat keren dan gaya, aku tak bisa menyangkal bahwa penampilannya malah membuat Shintarou tampak begitu menyeramkan.

Dan entah mengapa, bagiku, semua hal yang ada pada diri Shintarou sangatlah menyeramkan.

Ia bukan seperti dirinya sendiri. Kalau boleh jujur, lensa kotak yang dikenakannya sangat menggangguku. Aku tak bisa menelaah dengan pasti apa yang disampaikannya lewat tatapan itu. Kurasa ia telah berbohong saat melihat mawar merah yang kugenggam, karena nyatanya, ia mengetahui segala hal yang terjadi dalam pesta dansa laknat itu lebih dari yang kubayangkan.

Lebih-lebih ketika Kazu dan cengiran lebarnya menggantikan Shintarou dalam pikiranku. Si belah tengah yang mengaku sebagai orang dalam kediaman Midorima yang megah dan serba mewah. Terlebih, apa yang ia maksud dengan orang dalam? Apa Shintarou punya agen intelijen untuk menjaga ketentraman rumahnya?

Kalimat 'ini pertama kalinya Shin-chan mau keluar pada malam Hallowe'en' dan 'dia selalu menolak semua undangan pesta' sedikit banyak mulai mengganggu kewarasanku. Apa yang membuatnya begitu membenci Hallowe'en? Apakah sesuatu terjadi di masa kecilnya hingga menimbulkan trauma yang masih membekas sampai sekarang?

Entah sudah berapa kali aku menghela napas hari ini, terlampau lelah berpikir hingga isi kepalaku kacau. Pagi sudah berganti siang dan kuyakin Shintarou baru akan selesai rapat sekitar dua atau tiga jam yang akan datang. Apakah aku harus menunggunya? Tentu saja. Aku tak mau mengambil resiko dan berakhir menyakiti diriku sendiri seperti tadi.

Dering telepon yang berbunyi membuat lamunanku terbuyar. Setengah keheranan karena bisa-bisanya aku tak sadar jika tengah melamun, dan untuk apa seseorang menelepon sektetaris rumah sakit siang-siang begini?

Seharusnya mereka menelepon resepsionis untuk melakukan reservasi atau menanyakan jadwal praktik dokter. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata penelepon ini adalah klien Shintarou yang ingin menanyakan dirinya? Aku tak tahu mana yang benar, tapi banyak orang yang mengatakan jika presiden direktur selalu susah dihubungi karena kesibukannya.

Menyerah, aku mengangkat punggung dari sandaran kursi dan meraih gagang telepon itu dengan tanganku. Sedikit berdeham untuk menetralkan tenggorokan sebelum benar-benar mengangkatnya, lalu menempelkan telepon itu di telinga setelah memutus deringnya. Namun belum sempat aku membuka mulut untuk berbicara, suara di seberang sana lebih dulu menyela seperti sedang diburu waktu,

"Halo, dengan Midorima Hospital?"

.

.

.

.

.

.


Twelfth Shades : Thinking Out Loud

"Kuulang sekali lagi," ia kembali bersuara, menimbulkan denting berisik dari tuts yang ditekannya dengan siku. Kepalanya mendongak, menatapku yang masih duduk di atas piano dengan lensa kacamata yang berkilat ditimpa cahaya bulan, "manusia bisa jatuh cinta dengan berbagai cara yang misterius. Menurutmu, apakah hal itu telah direncanakan sedari awal oleh seseorang, Seijuurou?"


.

.

.

.

.

.

Aku masih diam beberapa saat setelah suara itu terdengar. Keningku berkerut dalam, apa-apaan dia ini? Langsung menyambar bahkan sebelum aku sempat menarik napas, dan memastikan teleponnya tidak salah sambung saat itu juga? Dasar orang aneh.

"Ya, dengan Midorima Hospital," meski begitu aku berusaha menjaga sikap dengan tetap menyapanya dengan suara seramah mungkin, "ada yang bisa saya bantu?"

"Sei-chan?!" kerutan di keningku bertambah dalam ketika tahu-tahu penelepon itu menyebut namaku. Dari suaranya, terdengar jelas jika ia terkejut mengetahui jika aku yang mengangkat teleponnya... tapi mengapa aku begitu familiar dengan pemilik suara ini? "Sei-chan, kau kah itu?"

"Ya, ini aku," lalu hening. Aku berkedip sesekali, masih diam beberapa saat begitu menyadari bahwa aku sungguhan mengenal siapa pemilik suara ini, "Reo?"

"Astaga Sei-chan!" aku menjauhkan telepon dari telinga ketika ia berteriak, dalam hati bersyukur memiliki refleks yang bagus atau ia akan menyakiti pendengaranku dengan suaranya yang membahana, "kau melupakanku? Jahat sekali! Dan apa-apaan 'Reo' yang terkesan ragu itu?!"

"Maaf, maaf," lagi-lagi aku terdiam, memutar otak, merasa kebingungan ingin menjawab apa, "aku sedang... banyak pikiran."

Yang kutahu selanjutnya, perkataanku hanya akan membawa bencana ketika Reo berteriak heboh, dan aku bertanya-tanya apakah ia takkan sakit tenggorokan jika terus berbicara sekeras itu?

"Banyak pikiran? Apa yang membuatmu menjadi seperti itu?! Apa pekerjaanmu banyak? Apa Sir Midorima tidak memberikanmu waktu yang cukup untuk beristirahat?"

Tiba-tiba jantungku serasa berhenti berdetak. Bulu romaku meremang ketika ia menyebut nama Shintarou. Tanpa sadar aku menelan ludah, menolak untuk kembali mengingat apa yang telah ia lakukan padaku dalam kurun waktu dua hari ini, lalu menggelengkan kepala untuk benar-benar mengusir bayangan itu dari pikiranku.

"Kau tak perlu khawatir, pekerjaanku tidak separah bayanganmu, kok," aku terkekeh, mengutuk dalam hati ketika menyadari suaraku terdengar begitu memaksa, berharap ia tak menyadarinya atau aku akan dibombardir dengan ratusan pertanyaan yang nantinya mampu membuatku sakit kepala, "waktu yang diberikan sir untuk istirahat juga cukup. Dan ya, ia memperlakukanku dengan sangat baik."

Bohong. Bohong!

Aku berteriak dalam hati untuk menyangkal perkataanku sendiri. Memang kapan ia pernah memperlakukanku dengan sangat baik selama ini?

"Nada suaramu terdengar tak meyakinkan, tapi baiklah kali ini kuanggap kau telah mengatakan suatu kejujuran," diam-diam aku menghela napas, bersyukur karena Reo tak berminat untuk mengungkitnya, namun di sisi lain aku harus bersikap lebih waspada untuk mengatasi pertanyaan lain yang mungkin saja lebih berbahaya, "ngomong-ngomong, bagaimana keadaanmu selama tinggal dengan sir di apartemen? Apa kau baik-baik saja?"

Aku nyaris menjatuhkan telepon ketika ia mengatakannya. Tanganku bergetar, berkeringat, kuat-kuat meremas gagang telepon yang rupanya masih kupegang untuk mengatasi kegelisahan yang muncul secara mendadak. Sial. Sial. Untuk apa ia mengatakannya? Untuk apa ia mengungkit kenyataan bahwa aku dan Shintarou telah tinggal bersama sejak ia pergi liburan?

"Sial memang. Aku cemburu pada Sir Midorima yang bisa melihatmu sepanjang hari. Asal kau tahu Sei-chan, liburan ini memang menyenangkan, Selandia Baru juga tak kalah menyenangkan, tapi rasanya tak lagi sama saat aku tahu masih ada beberapa hal yang harus kulakukan dan semuanya berhubungan dengan pekerjaan!"

Aku mencoba untuk mengatur napas sembari mendengarkannya berbicara. Pelan-pelan menaruh satu tangan di meja dan membenamkan wajah di sana, berusaha tak menimbulkan suara atau Reo dan pendengarannya yang tajam akan kembali ribut menanyai apa yang terjadi padaku. Astaga, aku lelah sekali. Rasanya ingin berbaring saja di kasur dan melupakan segala hal yang sedang terjadi di dunia ini.

"Apa Selandia Baru memang sebagus itu?" Aku memutuskan untuk bertanya, mengangkat wajah dengan mata melirik ke arah jam dinding yang tergantung di atas meja Riko—yang semula ditempati Reo. Sudah pukul setengah satu. Berapa lama aku larut dalam pikiranku sendiri, dan mengapa aku jadi ikut merindukan Reo sekarang? "Aku melihat banyak sekali artikel yang mendeskripsikan keindahan New Zealand di internet. Entah benar atau tidak, jadi anggap saja aku memastikannya padamu yang sudah menjejakkan kaki di sana."

"Tentu! Semua artikel itu tidak mengada-ada, bahkan kupikir New Zealand lebih indah dari apa yang mereka gambarkan di sana," ada jeda yang Reo ambil ketika suara grasak-grusuk terdengar, sepertinya ia sedang mencari kursi untuk dijadikan tempat duduk, "aku menghabiskan waktu hampir sebelas jam di udara, dan apa kau tahu, Sei-chan? Mayuzumi-sama ternyata gampang mabuk di perjalanan! Hahaha! Kau harus lihat wajahnya saat menahan mual, ia berkeringat tapi nyaris tak berekspresi, dan aku tak bisa mengontrol tawaku saat melihatnya! Untung saja ia tak mudah tersinggung, kalaupun iya, sudah kupastikan Mayuzumi-sama akan langsung melemparku keluar dari jendela! Hiii! Seram, Sei-chan!"

Aku meringis, berhasil mendapat gambaran mengenai ekspresi Mayuzumi-sama yang Reo jabarkan dengan sangat jelas, dan aku merutuk dalam hati untuk meminta maaf pada wakil direktur yang secara tak sengaja telah kuejek dalam hati. Bisa kudengar helaan napas yang Reo ambil jadi sedikit tak beraturan, mungkin nyaris kehabisan suara setelah berbicara dengan kecepatan tinggi dan meledak-ledak seperti tadi.

"Lalu kalian sudah pergi ke mana saja? Sky Tower? Milford Sound?" Aku menegakkan tubuh, mulai tertarik mendengar cerita tentang Selandia Baru dan segala bentuk keindahannya dari sudut pandang yang Reo berikan, "ah, kau membuatku iri. Aku juga ingin pergi ke sana untuk jalan-jalan."

"Hahaha! Tidak perlu iri, Sei-chan. Kupikir label liburan itu hanya semacam alibi untuk menghibur kami yang penat bekerja, karena nyatanya, aku kemari bukan untuk murni jalan-jalan. Sir bahkan masih merecokiku dengan berbagai macam pekerjaan yang melelahkan," keningku berkerut saat mendengar perkataannya. Apa benar Shintarou melakukan hal itu? "Oh iya, Sei-chan! Aku ingin memastikan pertanyaanku yang tadi. Apa kau dan Sir Midorima baik-baik saja selama tinggal bersama?"

Oh sial.

Aku terdiam, merenung beberapa saat. Aku harus menjawab apa? Berterus terang pada Reo jika kami tak lagi tinggal di apartemen, dan adanya perjanjian khusus yang mengikat di antara Shintarou dan aku?

"Tentu... kami baik-baik saja," akhirnya aku memutuskan untuk berbohong, mengantisipasi kalau saja ia akan meledak secara tiba-tiba dan melupakan liburannya, lalu pulang dari New Zealand untuk menarikku secara paksa dari tangan Shintarou, oh, betapa indahnya, "ia tidur di kamarmu, dan mengenakan pakaianmu di beberapa hari pertama. Apa kau diberitahu tentang hal itu?"

"Ya, dia mengatakannya padaku. Kurang persiapan, katanya. Toh aku tak yakin ukuran bajuku akan muat di tubuhnya yang seperti raksasa," dalam hati aku membenarkan perkataannya, Shintarou memang terlihat seperti raksasa, apalagi kalau kau memandangnya dari dekat, "hal apa yang kalian lakukan selama aku tak ada? Apa dia masih kaku seperti biasa?"

Aku mulai kesulitan menjawab, "kami pergi ke pusat perbelanjaan untuk belanja stok makanan, itu saja. Dan ya... kurasa ia tak sekaku dari yang biasa kita lihat di rumah sakit."

"Oh syukurlah! Aku sudah takut kalau nanti hari-hari kalian akan diisi keheningan karena tak ada satupun yang mau berbicara," suara kekehan Reo membuatku ikut terkekeh, kurasa aku benar-benar merindukan sosoknya di sini, "selain belanja, apa kalian juga bepergian ke tempat lain? Kau tidak berniat untuk pindah rumah, 'kan?"

Entah sudah berapa kali aku diam. Rasanya lidahku mendadak kelu, gugup, dan lagi-lagi aku menelan ludah. Bingung ingin menjawab apa, dan ketika ponsel yang kuletakkan di atas meja berbunyi, aku menghela napas seolah lega telah diselamatkan, "tidak, kok. Kami jarang bepergian kecuali untuk berangkat kerja. Sebentar, Reo. Ada pesan masuk."

Aku mengapit gagang telepon di antara bahu dan telinga, lalu meraih ponselku dan mengecek siapa yang mengirimkan pesan, oh, Aida Riko. Ia menanyakan apakah aku mau menitip sesuatu untuk makan siang? Bahkan aku baru sadar kalau ia tak berada di sini sedari pagi. Apa ia mendapat izin masuk siang dari Shintarou?

"Dari siapa?" Suara Reo terdengar lagi. Aku menimpalinya dengan gumamam, konsentrasiku dikerahkan sepenuhnya untuk mengetikkan jawaban di atas layar ponsel, "Riko-san. Ia menawariku kalau ingin menitip sesuatu untuk makan siang."

"Oh benarkah? Baik sekali!" aku bisa membayangkan binar di matanya ketika berbicara, dan entah mengapa hal itu membuat hatiku menghangat, "aah, aku benar-benar merindukan kalian! Dua malaikatku yang begitu manis ketika bersama."

"Kami juga merindukanmu," aku tersenyum tipis, mengatakan pada Riko kalau aku menitip dua buah onigiri dan susu kotak dan aku akan membayarnya nanti. Balasan datang lebih cepat yang kuduga, katanya santai saja, tidak perlu formal begitu. Aku terkekeh, menggerakkan jari untuk membalasnya sembari membuka mulut, bersiap menanyakan sesuatu pada Reo yang berteriak dengan suara tercekik. Aku bisa mendengarnya mengatakan sesuatu seperti 'gemas!' dan 'aku ingin memelukmu, Sei-chan!'

"Oh iya, ngomong-ngomong, Reo. Aku ingin menanyakan sesuatu."

"Ya, Sei-chan? Kau ingin bertanya apa?"

Aku mengangkat kepala ketika Riko tak lagi membalas pesanku. Gagang telepon itu kupindahkan lagi ke tangan kanan, menempelkannya di telinga, dan berdeham untuk mengumpulkan suara, "mengapa kau menghubungiku lewat telepon rumah sakit? Maksudku, kau masih bisa menggunakan ponselmu, 'kan?"

Kemudian hening. Aku mengerutkan dahi, bertanya-tanya apakah aku telah salah bicara? Tapi aku yakin kalau Reo belum menutup sambungan telepon kami, aku masih bisa mendengar hembusan napasnya di seberang sana, "Reo?"

"A—ah, ya, Sei-chan?" Aku berkedip beberapa kali, merasa janggal dengan suaranya yang mulai terbata. Apa aku sungguhan salah bicara? "Aku kehabisan baterai dan meminjam ponsel Mayuzumi-sama saat ia sedang di kamar mandi, dan... aku tak bisa menemukan kontakmu di ponselnya. Ya, aku hanya menemukan nomor Sir Midorima dan telepon sekretaris satu di sini, dia 'kan anti sosial."

Dua alisku terangkat tinggi, menyadari perubahan pada nada suaranya, dan menarik kesimpulan bodoh bahwa Reo telah berbohong, "kau serius?" Bahkan aku tahu kalau ia menghapal nomorku dan Ogiwara di luar kepala, dan bisa-bisanya ia tak berpikiran untuk menambahkan kontakku ke dalam ponsel Mayuzumi-sama?

Lupakan. Meski terkadang Reo sedikit barbar, aku yakin bahwa ia takkan selancang itu melakukannya.

Ngomong-ngomong tentang Ogiwara, bagaimana kabarnya sekarang, ya?

"Apa aku pernah berbohong padamu?" Alih-alih menjawab, ia malah balik bertanya. Sebuah tawa canggung diselipkannya ketika menarik napas dan menghembuskannya kembali, seperti tengah menenangkan diri, "kau percaya padaku, 'kan?"

"Tentu saja," akhirnya aku memutuskan untuk menurut, tak ingin menambah canggung suasana dengan memborbardirnya dengan pertanyaan lain yang mungkin saja membuatnya kesulitan menjawab, "kau sedang apa di sana, Reo? Apa cuacanya cerah?"

"Ya, matahari bersinar cerah dan aku melihat padang hijau di sejauh mata memandang!" aku menghela napas ketika intonasi suaranya kembali meninggi, bersyukur karena Reo tak lagi mengungkit pertanyaanku tadi, "oh, Sei-chan, Mayuzumi-sama sudah selesai dengan urusannya, dan aku juga ingin mandi. Kau ingin berbicara dengannya?"

"Tidak perlu, Riko sudah hampir sampai dan kami akan makan siang bersama," aku menolak dengan halus, dalam hati menolaknya mentah-mentah, mengetahui bahwa Mayuzumi-sama bukan tipe orang yang asyik diajak ngobrol seperti Reo dan topik apa yang akan kami bahas nantinya? Kenaikan saham rumah sakit? "Jaga dirimu, Reo. Makan dan minum yang cukup, jangan terlalu kelelahan karena aku tahu kau suka jalan-jalan. Aku sangat merindukanmu."

"Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu, Sei-chan," ia kembali terkekeh, kali ini lebih ringan dan suaranya melembut, "jaga dirimu baik-baik selama aku tak ada, oke? Akan kupastikan Sir Midorima memperlakukanmu dengan sangat baik," meski begitu aku meringis ketika lagi-lagi ia menyebut nama Shintarou, menyebalkan, "aku juga saaaaangat merindukanmu. Tunggu aku setengah tahun lagi, ya? Sampai nanti, Sei-chan!"

"Ya, sampai nanti, Reo."

Pintu terbuka ketika aku meletakkan gagang telepon. Riko menyembulkan kepalanya dari luar, mengedarkan padangan ke sekeliling dan tersenyum lebar saat mata kami bertemu.

"Sei-juu-rou-kuuun!" ia berseru, membuka pintu lebih lebar dan masuk dengan langkah tak kalah lebar. Pintu cokelat itu dia biarkan berdebam, tergesa-gesa menuju mejaku dan menghamburkan kantung belanjaannya di sana, "apa kau menunggu lama? Siapa tadi yang menelepon?"

"Tidak, kau datang lebih cepat dari yang kukira," aku mengulum senyum, menunduk, memilah isi kantung yang dibawanya dengan kening berkerut, "dari Reo, ia bilang kalau ia sangat merindukanmu. Ngomong-ngomong, bawaanmu banyak sekali, Riko-san."

"Yang benar?! Aku berkirim pesan dengannya sekitar satu minggu yang lalu, Reo memang onee-san yang manis dan baik hati," ia terkekeh, dan aku ikut tertawa mendengar bagaimana caranya memanggil Reo dengan sebutan onee-san, "oh, ya, ini persediaanku untuk satu bulan ke depan. Aku juga sangat merindukan Reo-san, pekerjaan sebagai sekretaris lumayan berat juga ya? Apa dia baik-baik saja di sana, Seijuurou-kun?"

"Ia baik-baik saja," aku kembali tersenyum, meski tipis, lalu mengucapkan 'terima kasih' pelan ketika ia menyerahkan sebungkus onigiri padaku, "dan kuharap, seterusnya, ia akan baik-baik saja."

"Apa benar begitu?" Bukannya mengiyakan, ia malah balik bertanya. Aku mengerutkan kening, mendongak, menatap Riko dengan raut bertanya dan mata kami bertemu. "Apa maksudmu?"

"Lupakan saja," Riko menyangkal pertanyaanku sambil menyunggingkan senyum aneh, "jangan dipikirkan, Sei-kun. Ngomong-ngomong wajahmu tampak sedikit lebih pucat, apa kau sakit?"

"Aku baik-baik saja, terima kasih sudah bertanya," aku melirik ke arah jam dinding dengan tangan merobek bungkus onigiri. Sudah pukul setengah dua, seharusnya jam makan siang sudah selesai sejak pukul satu, "Riko-san, waktu istirahat sudah berakhir sejak setengah jam yang lalu. Kita harus cepat makan kalau tak ingin diburu pekerjaan yang lainnya."

"Aku mengerti!" Riko mengangguk, diraihnya satu kotak susu dari kantung belanja dan berbalik menuju mejanya, "yang itu milikmu, Sei-kun. Jangan berpikiran untuk mengganti uangnya atau aku tak mau lagi mentraktirmu makan siang, hahaha! Hanya bercanda."

"Tentu saja." Aku hanya membalasnya dengan senyum meski tahu ia takkan melihatnya. Dan ketika aku menunduk untuk memandangi bungkus onigiri yang kupegang, senyum aneh Riko terus berputar di pikiranku.

Apa Reo sungguhan akan baik-baik saja?

.

.

.

"Kau sudah selesai?

Aku menoleh ke arah pintu ketika benda kokoh itu terbuka. Seperti dugaanku sebelumnya, bahkan ketika suara itu terdengar, sosok Shintarou muncul di sana. Dengan tangan memegang knop dan tubuh yang sedikit membungkuk, menghindari kusen pintu yang mungkin akan membuatnya terbentur ketika melangkah masuk.

"Persis seperti yang kau kira," terakhir melihat jam, waktu menunjukkan pukul setengah lima sore. Ia datang lebih cepat dua jam dari perkataannya tadi siang, "rapatmu sudah selesai?"

"Ya, seperti itulah," aku mengerutkan kening ketika ia kembali bersuara. Apa-apaan nada yang digunakannya itu? Mengapa ia terdengar tak yakin dengan jawabannya sendiri? "Ayo pulang. Apa kau mau mampir ke suatu tempat untuk makan malam?"

"Tidak, aku hanya ingin segera pulang," aku menggeleng, berdiri seraya memegang lengan kursi ketika ia mendekat. Sedikit meringis saat ngilu kembali menyerang pinggangku dan ia cepat merespon dengan meraih lenganku, "kau tak apa?"

"Aku baik-baik saja, tapi pinggangku rasanya sakit sekali," balasku enteng, mencoba tak peduli kalau saja perkataanku akan menyakiti perasaannya. Namun alih-alih tampak menyesal, ia justru mengatupkan bibir dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Apa dia ini sungguhan manusia? "Ayo pulang."

Seterusnya kami hanya diam, bahkan saat ia mengaitkan lenganku dengannya ketika menuju lift dan perjalanan pulang menuju rumah di dalam mobilnya. Aku sendiri tak mau repot-repot membuka mulut dan menanyai bagaimana harinya berjalan sejak urusannya denganku berakhir tadi. Apa ia selalu seperti itu? Melupakan semua yang telah kami lakukan, lalu bertingkah seolah tak mengerti apa-apa?

Tanpa sadar aku menghela napas ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di pekarangan rumahnya. Tubuhku rasanya sungguhan remuk dan ingin segera berbaring di ranjang. Oh, tentunya sehabis mengguyur diri di bawah pancuran air hangat. Memikirkannya seolah bebanku sedikit berkurang, jadi aku menoleh pada Shintarou yang masih diam di kursinya. Matanya menatap lurus ke depan, tampak sedang memikirkan sesuatu.

"Tak apa 'kan jika aku turun duluan?" Tanyaku, memecah keheningan, dan ia masih tak bergeming, "aku ingin segera berbaring. Jangan lupa ganti bajumu dan makan malam setelahnya." Supaya tak mengurangi kesopananku pada seorang presiden direktur, aku mencondongkan tubuh ke arahnya dan meraih pipi Shintarou dengan bibirku. Meninggalkan satu kecupan di sana sebelum akhirnya membuka pintu dan berjalan memasuki pekarangan rumahnya.

Hanya saja, ketika aku berhasil meraih gagang pintu, sebuah tangan mengejutkanku dengan menggenggam tanganku yang berada di sana. Aku mendongak, lengkap dengan kening berkerut, menatap Shintarou yang tinggi menjulang meski berdiri di belakangku.

"Ada apa?" Aku memutuskan untuk bertanya, keheranan. Ia menjawabnya dengan dehaman, sedikit meremas tanganku yang berada di genggamannya, "Shintarou, apa kau baik-baik saja?"

"Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," akhirnya dia berbicara, meski nyaris seperti menggumam. Aku menautkan alis, belum sempat memikirkan jawaban ketika ia mendorong gagang pintu itu dan meraih tanganku dengan tangannya yang lain, "sebentar saja. Ayo ikut denganku."

"Shintarou, sebentar, tanganku sakit." Aku meringis ketika secara tak sadar genggamannya di tanganku mengerat. Itu bekas ikatannya tadi pagi. Heran, mengapa rasanya sakit sekali? Apa aku memang selemah itu?

Walau begitu ia tak lagi menggubris, bagai larut dalam pikirannya sendiri ketika memimpin langkahku menuju suatu tempat. Prasangka burukku mulai memberontak, bagaimana kalau ia kembali membawaku menuju ruang penyiksaan yang ditunjukkannya kemarin?

Tidak mungkin.

Meski begitu aku memutuskan untuk tetap waspada, terlebih ketika langkahnya berbelok menuju lorong tempat ruangan itu berada...

Namun ia melewatinya. Pintu besar yang terkesan kuno itu bahkan sama sekali tak diliriknya. Aku mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hati. Apa ia akan membawaku ke kamarnya? Tidak mungkin. Pemandian yang dikelilingi kaca dan uap panas yang membumbung? Tidak mungkin.

Langkahnya terhenti di sebuah pintu lain yang penampakannya tak jauh berbeda dengan tempat yang ia sebut sebagai ruang penyiksaan. Ruangan apa ini? Ruang bermain jilid dua?

"Shin?" Aku memutuskan untuk memanggilnya. Tangan Shintarou yang menggenggamku terasa sedikit basah, apa ia berkeringat? "Kau tak apa?"

"Ya." Jawabnya singkat. Tangannya yang lain bergerak membuka pintu itu, dan kegelapan menyambut kami dari dalam. Aku mengernyit, keheranan, lalu kembali mendongak untuk menatapnya, "Shintarou?"

"Diam dulu sebentar." Nada yang digunakannya masih datar meski tak sedingin biasanya. Ia menarikku memasuki ruangan itu, menutup kembali pintunya, dan membuat kami tenggelam dalam kegelapan. Semuanya hitam dan aku tak bisa melihat apapun. Sebenarnya, apa yang ingin ia lakukan? Derap langkahnya memecah sunyi di sekitarku, dan ketika suara tirai yang ditarik terdengar, aku menyipitkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk setelahnya.

"Wah..." dan selanjutnya, aku tak bisa menahan kekaguman saat melihat pemandangan yang disuguhkan padaku sekarang. Shintarou masih berdiri di sana, di jendela besar itu, dengan tirai yang ditahan dengan kedua tangan. Rembulan menyorot kami dari luar, memberikan penerangan, dan cahayanya jatuh tepat di atas grand piano yang terletak di tengah ruangan. Ini mengagumkan. Benar-benar mengagumkan!

"Ruangan ini kugunakan untuk menghilangkan stres dengan bermain piano," kedua alisku terangkat ketika Shintarou berbalik, mengikis jaraknya denganku, dan berhenti ketika ujung sepatunya menyentuh kakiku, "apa kau ingat kalau aku suka bermain piano?"

"Tentu saja," tanpa sadar aku mengulum senyum, mengingat pertemuan pertama kami yang terkesan konyol dan keinginan terbesarku untuk menampar wajahnya saat itu, "apa kau juga punya biola?"

"Tidak, tapi aku bisa membelikanmu biola suatu saat nanti," tangannya meraih daguku, dan aku mendongak sesuai keinginannya, "tapi sekarang, biarkan aku mengatakan sesuatu padamu dengan leluasa."

"Shin!" aku berteriak dengan suara tercekik ketika ia mengangkat tubuhku. Terkejut, dan ia menurunkanku di suatu tempat. Aku mengalihkan pandangan ke sekeliling, lagi-lagi tersentak ketika tahu ia mendudukkanku di atas grand pianonya, "Shintarou, ada apa dengan—"

"Apa aku menyakitimu?"

Aku mengerutkan dahi ketika ia memotong perkataanku. Cahaya bulan membuat kacamatanya berkilat dan aku tak bisa menatapnya dengan jelas, "kau ini bicara apa?"

"Apa aku menyakitimu, Seijuurou?" Ulangnya sekali lagi. Kedua tangannya menahan bobot tubuh dengan bertumpu di sisi kanan dan kiriku, kepalanya menunduk, dan ia menempelkan kening di bahuku ketika mengatakan, "jawab aku, dan jangan membuatku menunggu."

"Apa maksudmu?" Alih-alih menjawab seperti yang diinginkannya, aku malah balik bertanya. Kebingungan. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan?

"Apa kau ingin seterusnya menyembunyikan sesuatu dariku?" Ia mengangkat kepala, mensejajarkan wajahnya denganku yang masih mengerutkan kening. Kedua tangannya bergerak dari posisi semula, meraih tanganku, dan menggenggamnya erat. Aku berjengit ketika ia menunduk dan mengecup pergelangan tanganku dengan bibirnya, tepat di bekas merah yang masih samar terlihat, dan bertanya-tanya pada diriku sendiri bagaimana ia bisa mengetahuinya? "Apa aku menyakitimu, Seijuurou?"

"Tidak," meski dengan penuh keraguan, aku memutuskan untuk tetap menjawab. Bulu romaku meremang ketika ia memejamkan mata, berpindah mencium jemariku yang berada di genggamannya, bobot tubuhku seolah menghilang ketika menatap wajahnya yang tenang dan penuh kedamaian, "apa yang membuatmu berpikiran seperti itu, Shintarou?"

"Kau bilang tanganmu sakit," katanya, tak berniat menjauhkan bibir dari tanganku bahkan ketika sedang berbicara, "siapa yang bisa menyebabkannya selain aku? Kau juga bilang pinggangmu sakit saat kita pulang tadi, bukan begitu? Apa aku sungguhan menyakitimu?"

Aku membiarkan mulutku terbuka sedikit untuk menimpali perkataannya, "Shintarou?"

"Maafkan aku," suhu tubuhku seolah menurun ketika ia kembali berbicara. Matanya terbuka dan melirik ke atas hingga pandangan kami bertemu, "aku tak bisa mengontrol diriku sendiri. Maafkan aku, Seijuurou. Seharusnya aku tak membiarkan semuanya tumpah padamu saat itu. Seharusnya—"

"Thinking Out Loud."

Kali ini ia yang menatapku dengan kening berkerut. Ia menegakkan tubuh, mendongak untuk menatapku yang kini menyunggingkan senyum tipis, "apa?"

"Mainkan Thinking Out Loud untukku dan aku akan memaafkanmu," aku mengedikkan bahu, seakan mengingatkannya tentang posisi kami saat ini. Aku masih duduk di atas grand pianonya dengan ia yang berdiri di antara kedua kakiku, "apa kau mau melakukannya?"

Alih-alih menjawab, Shintarou justru membalas perkataanku dengan tawa. Ia mendekati wajahku, dan napas kami bertemu dalam satu tarikan yang sama, "Seijuurou, pernahkah aku berkata jika seleramu itu sangat gaya?"

"Belum, tapi syukurlah kau mengatakannya padaku saat ini," aku membalas senyumnya, kali ini lebih lebar ketika ia memiringkan wajah dan mengecup bibirku. Genggaman kami terlepas ketika ia menarik diri, duduk di kursi pianonya dan membuka penutup tuts yang kulihat sedikit berdebu, "kau bisa melakukannya untukku, 'kan?"

"Kau meremehkanku?" Ia mendongak, kedua alisnya terangkat, dan kami larut dalam tawa, "tapi maaf, aku tak bisa menyanyikannya untukmu. Kau tahu, suaraku jelek sekali. Kalau mau, kau saja yang menyanyi untukku."

"Tidak perlu, suaraku juga tak enak didengar." Tanpa sadar aku melebarkan senyum ketika jemarinya bergerak, menari di atas tuts dan mulai memainkan melodi yang kuinginkan. Sesekali menggumamkan lirik yang kuhapal meski hanya sedikit untuk menyandingi nadanya dalam hati. Sejak pesta dansa malam itu, Ed Sheeran selalu menghantui pikiranku. Tidak dengan adanya dua Von Axel Fersen, dan apa yang Shintarou lakukan padaku setelahnya.

"Seijuurou."

Dan ketika aku menoleh untuk menatap Shintarou, sinar bulan yang semula tertutup awan mendung mulai menampakkan kilaunya. Salahnya sendiri yang mematikan lampu saat bermain piano, namun aku tak bisa berbohong kalau nada yang dia hasilkan begitu indah, nyaris sempurna, meski terhalang oleh kegelapan.

"Ada apa?" Aku membalas panggilannya sambil menggoyangkan kaki, grand pianonya lumayan tinggi juga untuk diduduki.

"Kata Ed, manusia bisa jatuh cinta dengan berbagai cara yang misterius," yang membuatku heran, permainan nadanya masih tetap menawan meski sedang berbicara, "menurutmu, apakah hal itu telah direncanakan oleh seseorang?"

Aku menautkan alis, sedikit keheranan dengan pertanyaannya yang datang tiba-tiba. Darimana ia mendapatkan pemikiran tentang hal itu?

"Maksudmu?" Meski begitu aku menolak untuk menjawab, lebih memilih menyanyikan sebuah bait yang mengiringi permainan Shintarou dalam hati,

People fall in love in mysterious ways

Maybe it's a part of a plan

Me i fall in love with you every single day

I just wanna tell you I am...

"Kuulang sekali lagi," ia kembali bersuara, menghentikan permainannya secara mendadak, denting berisik timbul dari tuts yang ditekannya dengan siku. Kepalanya mendongak, menatapku yang masih duduk di atas piano dengan lensa kacamata yang berkilat ditimpa cahaya bulan, "manusia bisa jatuh cinta dengan berbagai cara yang misterius. Menurutmu, apakah hal itu telah direncanakan sedari awal oleh seseorang, Seijuurou?"

Aku menyambut pertanyaannya dalam diam, dan ia mengikutiku dengan bibir terkatup rapat seolah enggan bersuara. Aku mengangkat alis, memiringkan kepala, menimpalinya dengan senyum geli dan menggeleng beberapa kali, "apa wajahku terlihat seperti orang yang ahli dalam percintaan?"

"Sejujurnya, tidak," ia terkekeh pelan, menurunkan kembali penutup tuts, lalu bangkit dari duduknya. Ia melangkah memutari piano untuk mencapaiku, kembali pada posisinya semula dengan memerangkapku yang kini mengulurkan tangan, menyambutnya dengan usapan pada pipi yang sedikit berkeringat, "hanya iseng, siapa tahu kau mengetahui jawabanya."

"Kau harus menanyakannya pada Ed untuk mendapatkan kejelasan, Shin." Aku tertawa ketika kening kami beradu, dan Shintarou menyuntik tubuhku dengan kehangatan yang ia berikan. Rasa nyaman itu selalu kudapatkan ketika berada di dekatnya.

"Ya, kapan-kapan aku akan pergi untuk menemuinya," ia mengulum senyum untuk menjawab pertanyaanku, dan aku tahu ia hanya mengada-ada. Kepalanya dimiringkan, dan aku memejamkan mata, bersiap untuk menerima kecupan darinya. Namun keinginanku tak pernah tercapai ketika ia berhenti, menghembuskan napasnya di atas bibirku dan aku kembali membuka mata. Pandangan kami bertemu, dan kedua sudut bibirnya tertarik lebih ke atas ketika menatapku, "tapi apa kau pernah memikirkan hal ini, Seijuurou?"

"Hm?" Aku hanya membalasnya dengan gumamam.

"Apa menurutmu..." Aku memundurkan wajah ketika Shintarou mencondongkan tubuh untuk mencapai telingaku. Aku bergidik, tanpa sadar meremat pelan rambut Shintarou ketika lidahnya terjulur dan meninggalkan jejak sensual di lekukan cuping telingaku ketika berbicara, "ikatan kita ini telah direncanakan oleh seseorang, Seijuurou?"

Perkataannya terus terngiang di pikiranku, bahkan ketika Shintarou menarikku turun dari piano dan mengantarku ke kamar untuk beristirahat. Bahkan ketika ia meninggalkanku yang baru selesai mengguyur tubuh dan keluar dari kamar mandi, aku masih tak bisa melupakannya begitu saja.

Apa benar ikatan kami terbentuk akibat campur tangan seseorang?

Omong kosong. Terkutuklah Shintarou dan mulutnya yang suka bicara sembarangan.

Aku menghela napas, duduk di sisi ranjang dengan perasaan lega sehabis mandi. Hari yang melelahkan, kurasa aku ingin segara tidur—

beep!

Keningku berkerut, menoleh pada ponselku yang terletak di atas nakas. Layarnya berkedip beberapa kali, menandakan bahwa ada panggilan masuk dan aku memutuskan untuk meraihnya. Dari nomor tak dikenal. Siapa manusia iseng yang mau membuang pulsanya untuk meneleponku malam-malam begini?

Meski begitu aku mengedikkan bahu, memilih untuk menggeser tombol hijau dan mengangkat teleponnya. Hanya saja, belum sempat aku membuka mulut untuk berbicara, sebuah suara terlebih dahulu menyapaku dari seberang sana,

"Halo, dengan Midorima Hospital?"

.

.

.


a/n : HALOOOOOO bertemu lagi dengan MNOH yang (lagi-lagi) dianggurkan selama tiga tahun *geplaked* meskipun saya tahu peminat mnoh sudah menyublim entah kemana, tapi entahlah, ilham untuk meneruskan ff lejen ini tiba-tiba muncul entah darimana, anyway terima kasih untuk ai-san yang masih bersedia mampir ke lapak saya dan shoujo sedai-san yang telah mengingatkan saya tentang keberadaan bapak presdir dan sekretarisnya yang uwu ini, hehe semoga suka yaa! *digerus*

terima kasih telah menyempatkan waktu untuk membaca dan tak lupa, RnR?