Sparkle

Lee Taeyong - Ten Chittaphon Leechaiyapornkul


7

Ada ratusan ribu kemungkinan yang bisa terjadi dalam satu menit.

Bisa jadi Jaehyun dipanggil ke ruang BK untuk pertama kalinya karena ketahuan mencium Doyoung di kamar mandi sekolah.

Bisa juga Seola dan Eunseo yang berteriak kegirangan karena ditelepon perusahaan majalah karena lolos casting sebagai sampul majalah bulanan.

Atau barangkali kekecewaan Haechan yang menyatakan cinta kepada Somi namun perempuan itu malah menjalin hubungan dengan Vernon.

"Ada dua orang yang menghubungiku seminggu ini." Ujar Ten sambil meraup happytosnya.

"Siapa saja?"

"Yukhei, yang siswa pindahan itu, dan Arin."

"Sebentar …," Taeyong mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. "Arin yang adik kelas kita?"

Ten mengangguk.

"Berani juga. Aku kira dia sangat pemalu."

Yang berambut hitam hanya tertawa.

"Dia mengirimkan pesan dengan sangat sopan. Menggunakan permisi, kak dan banyak bahasa baku. Baru akhir-akhir ini pembicaraannya sedikit mencair." Jelas Ten.

Taeyong mengangguk. Tangannya menelusup masuk ke dalam kantong keripik itu dan memasukannya ke dalam mulutnya.

"Eh, mereka mengirimkan pesan lagi!" Pekik Ten, membuat Taeyong menyandarkan diri di tubuhnya dan mengintip isi percakapan mereka.

"Ten, Sabtu ini sibuk? Ada film bagus di bioskop."

dan

"Kak Ten, Sabtu ini sibuk tidak, Kak? Boleh minta te…"

Sahabatnya itu tidak membukanya. Membiarkan angka 1 menghiasi kedua chat itu.

Entah apa yang Ten pikirkan, tangannya lebih memilih untuk memencet home button.

Mengabaikan dua orang yang barangkali sedang berdebar menunggu jawabannya.

"Kenapa tidak dibuka?"

"Karena aku tidak tau harus memilih siapa."

"Pilih aku saja bagaimana?"

Sedetik kemudian, Taeyong dibuat bersumpah jika alasannya mengucapkan pertanyaan itu atas dasar spontan dan meminta Ten tidak perlu memikirkannya.

Tetapi jantungnya berdebar.

Dan yang Taeyong tidak tahu, Ten juga merasakan emosi yang berbeda dari yang biasanya.

Mereka menghabiskan beberapa menit dengan saling berdiam diri. Terfokus dengan handphone masing-masing.

Suara Taeyong terdengar beberapa lama setelahnya.

"Coba tunggu sampai Jumat. Yang berjuang lebih keras adalah orang yang kau setujui ajakannya."

"Bekerja keras bagaimana?"

"Yang chat lagi atau yang mengajakmu secara face to face"

Ten menggigit bibir bawahnya, "Aku tidak yakin Arin berani melakukannya."

"Kalau begitu Yukhei saja."

"Tetapi aku tidak enak dengan Arin."

Taeyong mendengus.

Ini lebih rumit daripada soal triogonometri mereka kemarin.

"Mana yang lebih membuatmu excited saat mereka mengirim pesan?"

"Uh … Tidak ada. Aku biasa saja. Seperti kalau Doyoung mengirim pesan atau grup kelas yang mengingatkan PR."

Kalau benar begitu, seharusnya Ten tidak memiliki ketertarikan dengan salah satu dari kedua orang itu.

"Intinya, gunakan saja caraku. Kalau tidak ada salah satu dari mereka yang berani, itu berarti mereka bukan orang yang tepat untukmu."

"Kau yakin?"

"Untuk apa aku berteman denganmu hingga tujuh tahun lamanya kalau belum mengerti segala hal tentangmu?" Taeyong tersenyum miring.


"Masih belum ada yang menghubungi?"

Ten menggeleng, menatap layar handphonenya khawatir.

"Berarti ajakan mereka hanya wacana, they're not the right one." Ujar Taeyong.

Yang berambut hitam berdecih, "Kita masih SMA, oke?"

"Bukan berarti kau bisa asal memilih pasangan."

Lee Taeyong itu overprotective, terlalu banyak mengatur, selalu mengomel dan tidak pernah berhenti mengganggunya.

Lee Taeyong yang sama juga selalu melindunginya, memastikan kalau dia baik-baik saja, melakukan hampir segala hal yang dia inginkan dan segalanya.

Chittaphon Leechaiyapornkul itu berisik, cerewet, sering mengeluh dan kekanakan.

Chittaphon Leechaiyapornkul yang sama juga setia menemaninya, meyakinkan dirinya bahwa dia pantas untuk mencintai dan dicintai, mengembalikan moodnya serta membelanya di masa-masa sulit sekalipun.

Tujuh tahun memberikan banyak sekali memori yang berbekas di otak keduanya. Menyatukan mereka.

"Jangan-jangan kita soulmate?"

Taeyong langsung menengok ke arahnya, "Soulmate apa?"

"Ya … soulmate. Separuh jiwaku. Ah, bahasanya sedikit menggelikan, ya?"

"Memangnya apa persamaan kita? Hanya sama-sama suka dance, suka jalan-jalan. Apa lagi? Oh, mengganggu Doyoung?"

Ten langsung tertawa.

"Tetapi aku merasakannya, Taeyong."

"Aku tidak."

"Jahat sekali." Ten mencebik.

Saat itu juga Taeyong langsung mencuri kecupan darinya. Meninggalkan raut kesal dan kaget di wajah Ten.

"Kenapa kau menciumku?"

"Karena kau terlihat sangat lucu tadi, itu saja."

Doyoung sering mengatakan, menebak dan keukeuh bahwa Ten dan Taeyong itu friends with benefit.

Dengan dahi yang mengerut dan mata kelincinya yang tajam memandangi mereka berdua secara bergantian.

"Aku memang sudah pernah melihatnya telanjang,tetapi belum pernah bertindak lebih jauh dari sekedar menyentuh kulitnya saat itu." Jelas Taeyong saat itu yang langsung mendapat pukulan dari Ten di daerah bahunya.

Doyoung hanya menatap mereka dengan mata melebar dan mulut setengah terbuka.

Taeyong memang tidak pernah melakukan suatu hal yang buruk kepada Ten, dia menjaganya.

Mereka hanya sahabat yang sedikit bertindak di luar sahabat-sahabat kebanyakan.

They're men but hugged each other, kissed each other, slept together, even took a bath together.

Tetapi mereka memiliki batasan tersendiri. Batasan yang hanya mereka yang mengerti.

"Ah, aku menyerah. Ini sudah jam enam dan tidak ada satupun dari mereka yang mengajakku lagi."

Ten menghela napasnya kasar.

Merasa tidak mendapat respon, ia melempar tatapnnya ke arah Taeyong di bangku pengemudi.

Yang sibuk dengan handphonenya.

"Taeyong …."

"…"

"Lee Taeyong …."

"…"

"Lee fucking Taeyong, I'm serious!"

"Yes, Mister Chittaphon?"

Ten langsung melepas segala kerutan di dahinya lalu tersenyum.

"Yes, good boy!"

Kurang dari sedetik kemudian sampai bunyi notifikasi Ten terdengar.

"Dibuka dulu pesannya." Ujar Taeyong.

Ten hanya menatap laki-laki itu sekilas lalu melihat layarnya, menemukan tulisan Lee Taeyong di situ.

"Kita sedang duduk bersebelahan loh." Jawabnya, namun tangannya tetap bergerak untuk membuka pesan itu.

Manusia bisa bahagia dengan hal-hal kecil sekalipun.

Merasakan hasil masakan pertamanya, mendapatkan apresiasi atas karyanya juga dipuji sebab presentasinya berhasil.

Taeyong dengan mudahnya tersenyum karena Ten yang sedang penasaran dengan pesannya.

Ten langsung melebarkan matanya saat membaca pesan Taeyong.

"Ten, Sabtu besok sibuk? Jalan-jalan seperti biasa, mau?"

Dia spontan menolehkan kepala ke arah Taeyong yang sedang bersandar di setir, tersenyum ke arahnya.

"Maksudnya apa?"

Laki-laki itu mengerjap. Wajahnya sedikit kaget.

"Ya, aku mengajakmu. Karena aku orang pertama yang mengajakmu, berarti kau pergi denganku, kan?"

"Bukan … bukan itu maksudku."

Senyum Taeyong memudar.

Laki-laki ini sedang serius.

"Waktu itu kau bilang orang yang mengajakku lagi adalah orang yang pantas bersamaku," raut jawahnya gugup. "Saat itu kau menyuruhku untuk memilihmu, dan sekarang kau mengajakku lagi."

Sejujurnya Taeyong tidak mengekspektasi ini.

Yang dia bayangkan adalah Ten yang hanya mengumpat ke arahnya lalu tertawa bersama seperti biasanya.

Tetapi Ten di depannya sedang berada di mode serius. Taeyong tidak berani untuk mengusiknya.

"Kau serius, Taey?"

"Serius apa?"

"Kenapa malah bertanya balik?"

Kenapa dia jadi marah?, Taeyong membatin.

"Aku hanya berniat untuk mengajakmu jalan-jalan besok." Jelas Taeyong.

Raut wajah Ten berubah.

"Berarti kau tidak serius, ya?"

Giliran Taeyong yang mengerjap.

Tidak lama sampai dia mengerti apa yang Ten maksud.

"Yasudah, aku turun saja. See you." Ten baru ingin membuka pintunya saat Taeyong spontan menguncinya. Menahan tangan Ten.

"Awalnya aku hanya berniat untuk mengajakmu jalan-jalan namun kau menanggapinya dengan serius." Taeyong tersenyum.

Lalu melanjutkan, "Bukannya apa-apa, aku takut kau kecewa, Ten. Aku juga termasuk orang-orang yang tidak baik untukmu, kau tahu itu. Kalau kau memang siap untuk menanggung beban sebagai kekasih Lee Taeyong yang terkenal dengan buruknya di sekolah, aku berani untuk mengatakannya. Mau tidak jadi kekasihku?"

Ini terlalu mendadak, terburu-buru. Ten tidak pernah berekspektasi tentang ini sebelumnya.

Saat Taeyong mengatakan bahwa dia hanya bercanda, sadar atau tidak, dia sedikit kecewa.

Ini konyol namun nyata.

"Kau serius?"

Dan kali ini Taeyong mengangguk. Membuat tubuhnya terasa disengat listrik ribuan volt.

Aku harus jawab apa?

"Kalau kau tidak mau, aku tidak akan memaksamu." Tangannya bergerak untuk meraih tangan Ten, mengusapnya. "Tetapi kalau kau berubah pikiran, aku harap kau tidak terlambat. Seingatku Jisoo jug—"

"Don't say that!" Ten memekik, membuat orang yang sedang memainkan jarinya mendongak.

"Why?"

"Because you're mine already."

.

.

.

FIN

.

.

a.n: for the last scene, inspired by my teacher's story! Pastinya dengan perubahan seperlunya. Pak A, aku padamu HAHAHA.

Terima kasih buat seminggunya ya, gais! Jangan lupa di tanggal 14, ada sequel Mad City!

Terima kasih buat yang udah nungguin, follow, fav & tentu aja review! Maaf gak bisa disebutin satu-satu karena posisi tidak memungkinkan.

Don't forget to follow, fav & review! See ya di project berikutnya!

p.s: Support our babies (re-nctdream) comeback! Walaupun kurang Jaemin TT