[Jeno: Move On]

Rate: T for normalization of same sex relationship

Disclaimer: NCT Dream belongs to SMEnt.

Chapter 10

.

.

Tap. Tap. Tap.

Hanya suara tapak kaki yang terdengar sedari tadi. Tidak ada satupun yang mencoba memulai pembicaraan di antara mereka, seakan mereka tidak saling mengenal. Hanya dua orang asing yang kebetulan berjalan dengan arah yang sama.

"Jadi?" orang yang rambutnya lebih gelap, Jeno, akhirnya membuka mulutnya. "Kamu bilang apa ke guru soal Donghyuck?"

Renjun dengan terpatah-patah menolehkan kepala. "Eh? Guru? Ada apa?"

"Kamu kan tadi pagi sempat ribut harus bilang apa pada guru soal kenapa Donghyuck tidak masuk."

"O-ooh… jadinya aku bilang dia izin…." Renjun kembali mengarahkan kepalanya ke depan, melihat ke ujung jalan. "Tapi setelah dia membalas di grup chat, aku langsung bilang lagi ke guru, dia sakit."

Jeno mangut-mangut. "Harusnya tadi kamu masuk saja dulu. Kamar Donghyuck kayak kapal pecah. Apalagi dia jadi rada diam gara-gara sakit. Pemandangan jarang!"

Walaupun Renjun terlihat sangat jelas menghindari tatap mata dengan Jeno, tentu dia masih mendengarkan apa yang Jeno katakan. Sekarang dia sibuk mengernyitkan dahinya, tanda ia tidak begitu mengerti kata-kata Jeno.

"Dia biasa saja, ah. Tidak ada bedanya." Renjun menimpali dengan suara yang sedikit seperti bergumam. Dia rasa, dia tidak perlu berada di kamar Donghyuck hanya untuk menilai apakah ada yang berbeda dari Donghyuck atau tidak; anak itu sehat atau sakit pun tidak ada bedanya! Menurut Renjun.

Tapi Jeno langsung menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Ada, ada. Bicaranya jadi lebih pelan, matanya nanar tidak fokus, dan… yah, lebih diam."

"Hmm…." Renjun tidak terlalu membalasi. Dia tahu itu bukan sesuatu yang harus dia bela sampai akhir, tapi dia masih tidak mengerti mananya yang beda dari Donghyuck. Yah, pantas saja lah. Jeno dan Donghyuck sudah kenal lama. Perubahan kecil pun pasti akan terlihat jelas bagi mereka masing-masing.

Ingin saja menyalahkan Renjun yang tidak begitu berusaha memberikan respons yang bisa memperpanjang pembicaraan yang sudah susah-susah Jeno pikirkan, tapi memang mereka tidak lagi bicara soal apapun setelah itu. Sekarang jalannya sudah bercabang.

"Oke, aku ke kanan. Hati-hati, Renjun!" Jeno melambaikan tangan, kemudian berbalik badan. Dia hanya melihat Renjun melemparkan senyum segaris sebelum berbalik juga. Sedikit ada rasa yang mengganggunya melihat itu, tapi dia putuskan untuk tidak terlalu memikirkan.

Baru beberapa langkah berjalan, Jeno mendengar suara jatuh dari arah belakang. Suara jatuhnya tidak terlalu heboh, tapi cukup membuat Jeno merasa butuh untuk mengecek apa yang terjadi. Begitu dia menolehkan kepala, tubuhnya refleks berlari berbalik, menyusul sumber suara ketika mendapati pemandangan yang sepertinya, dia dulu pernah melihatnya. Di sekolah. Di tangga sekolah, tepatnya.

"Renjun! Kamu kenapa?"

Renjun meringkuk di pinggir jalan. Tangannya memegangi perutnya. Tidak butuh Jeno mengulang pertanyaannya lagi. Dia sudah tahu, berdasarkan pengalamannya dengan si rambut merah ini. Jeno lantas membuka-buka tas yang dibawa Renjun. "Obatmu mana?"

Napas Renjun tersengal. Dia merasa perutnya semakin sakit setiap menarik napas. "…di kantong depan…."

Tanpa buang waktu, Jeno segera merogoh isi kantong yang dimaksud. Jeno sempat meringis ketika melihat botol obat itu kosong, tapi dia perhatikan lagi isinya ternyata masih ada satu tablet yang tersisa.

"Kamu tidak bawa minum?" tanyanya saat dia tidak menemukan sesuatu yang bisa dibilang tempat minum di dalam tas Renjun.

Renjun menggeleng, tapi tangannya meraih obat yang dipegang Jeno. Jeno sempat mengira Renjun bisa meminum obatnya tanpa air. "Ini obat kunyah…," kata Renjun di tengah kunyahannya, seakan menjawabi pertanyaan yang terpampang pada wajah Jeno.

"Oh… iya ya. Obat maag kan dikunyah." Balasan yang terdengar bodoh.

Sebenarnya, butuh berapa lama obat maag untuk bereaksi? Entahlah, tapi yang pasti itu tidak langsung memberi efek dalam hitungan detik. Renjun masih meringis sakit bahkan setelah beberapa menit mereka duduk di pinggir jalan seperti itu. Beberapa orang hanya memerhatikan mereka dari jauh, yang lalu disenyumi Jeno sambil berkata pelan 'temanku sakit perut'. Tidak terlalu mengharapkan juga sih mereka akan ikut kerepotan membantu orang asing seperti Jeno dan Renjun, tapi dia sedikit kesal juga.

"Renjun, bagaimana? Bisa jalan?" Jeno kembali mengarahkan fokus perhatiannya pada yang sekarang mulai bercucuran keringat. Renjun tidak terlalu menjawab, yang lalu diartikan Jeno sebagai dia masih belum bisa berjalan tanpa merasa kesusahan. "Ngg… mau kugendong lagi? Kayak waktu itu."

"Tidak! …aduh…." Sakit! Perutnya sakit karena barusan tersentak kaget mendengar tawaran Jeno barusan! Renjun tahu, memang aneh berlama-lama di pinggir jalan seperti itu. Jeno pasti juga tidak nyaman. Tapi Renjun benar-benar tidak tahu harus apa lagi selain menunggu rasa sakitnya berkurang.

"Kupapah berjalan? Mau?"

Renjun buru-buru menyanggupi sebelum Jeno kembali menawarkan untuk menggendongnya. Tawarannya kali ini jauh lebih baik.

Perlahan, Renjun bangkit dari posisi duduknya yang tadi sudah dinyamankannya sebelumnya. Jeno sendiri sudah berdiri, siap memapah tubuh Renjun yang terhuyung-huyung. "Pelan-pelan." Jeno memeringati. Di tangannya ada tas Renjun. Jeno merasa Renjun akan lebih mudah dipapah jika dia tidak membawa tasnya.

Mereka berjalan lambat-lambat. Renjun memang sesekali bilang tidak apa-apa jika Jeno ingin berjalan lebih cepat, dia bisa mengikuti. Tapi ringisan kecilnya dapat didengar jelas oleh Jeno setiap mereka mengambil 2-3 langkah. Jadilah Jeno tidak pernah menuruti kata-kata Renjun untuk berjalan lebih cepat.

"Eh, kita mampir dulu saja di sini. Kamu butuh minum." Jeno menunjuk sebuah minimarket. Di depannya ada beberapa meja dan kursi yang disediakan. Mungkin itulah alasan kenapa Jeno mengarah ke sana –agar Renjun duduk dulu sampai tidak merasa sakit lagi.

Renjun, dalam hati, bersorak senang ketika mengetahui dia bisa mengistirahatkan perutnya dan memberi waktu untuk obatnya bekerja dengan duduk santai, dan barangkali sambil menenggak minum dari minimarket itu. Dia segera mengangguk, tanda dia setuju.

Renjun juga sudah mengira Jeno akan langsung masuk ke dalam setelah mengambil uang dan meninggalkan bawaannya di meja, meninggalkan juga Renjun yang sudah menempati salah satu kursi. Dia sudah lumayan mengerti karakter Jeno –dia akan masuk dengan uangnya sendiri, lalu keluar dengan dua botol minum yang satunya diperuntukkan Renjun.

"Terima kasih," ucapnya ketika Jeno memberikannya satu dari dua botol itu. Jeno hanya membalas sekenanya karena dia sudah sibuk meneguk minumnya –kalaupun Jeno sedang tidak minum, pun, Renjun juga memaklumi.

Mungkin memang Renjun harus mulai membawa botol minum kemanapun dia pergi, karena dia dapat merasakan rasa sakitnya hilang ketika dia mulai menelan beberapa teguk air. Seperti kebakaran baru saja dipadamkan.

Jeno tersenyum lega menyadari ekspresi Renjun yang mulai melembut, tidak lagi terlihat tegang menahan sakit. "Sudah baikan?"

Bukankah tidak sopan untuk terus menghindar menatap mata dengan orang yang sudah menolongnya sampai sebegitunya? Apalagi, orang itu juga sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun sampai-sampai dia menjadi pantas untuk tidak ditatap matanya. Renjun perlahan berusaha membalas dengan kali ini melihat tepat ke matanya. "Sudah. Berkatmu."

"Baguslah," kata Jeno, senyumnya makin lebar. "Kita jalan lagi nanti saja kalau kamu benar-benar sudah tidak merasa sakit."

Renjun membelalakkan matanya. "Eh, tidak usah! Kamu lebih baik pulang saja. Masih belum terlalu jauh kalau balik sekarang…." Dia jelas tahu dia sudah menyeret Jeno berjalan jauh dengannya. Dia tidak ingin merepotkan Jeno lebih lama lagi kalau memang dia sudah tidak sakit.

Jeno tidak langsung membalas. "Tapi nanti kalau kamu kenapa-kenapa lagi–…."

"Tidak… aku tidak apa-apa!" Renjun bersikeras. "Sekarang memang masih sedikit sakit, tapi aku bisa pulang sendiri nanti."

Entah apa yang membuat Jeno ngotot untuk tetap tinggal, tapi hal apapun itu benar-benar membuat Renjun gregetan. Padahal tidak ada untung-untungnya bagi Jeno jika dia berlama-lama di sana, menunggui sakit Renjun untuk mereda yang tidak begitu jelas kapan hilangnya, lalu belum lagi mengantarnya sampai rumah. Apa dia tidak punya kerjaan lain lagi?

Renjun menghela napas. "…padahal kamu suka Jaemin…."

"Eh?"

"Tidak. Kuberitahu sekali lagi ya, lebih baik kamu pulang. Aku bisa sendiri kok." Renjun membuang muka. Dia kembali menghindar mata Jeno, tapi kali ini dengan alasan yang berbeda.

"Tadi kamu bilang apa—…."

"Sudahlah! Aku tidak bilang apa-apa –tidak, aku tadi bilang sesuatu; kamu pulang sekarang saja. Aku sudah tidak sesakit itu sampai harus diantar pulang."

"Hah? Tapi aku ingin mengantarmu."

"Tidak perlu!"

Jeno tidak menjawabi lagi. Dengan enggan dia bangkit dari kursinya. "Serius?"

"Serius."

"Kamu tidak akan jatuh lagi?"

"Tidak akan."

"Aku pulang nih?"

"Iihh!"

Jeno langsung melangkah cepat dari sana, tidak mau kena sembur Renjun. Menurut Jeno, Renjun bukan tipe yang akan membentak atau apa, tapi dia sedang merasa… terperangah dengan sisi Renjun yang satu ini, yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Renjun melihat Jeno yang berjalan menjauh. Dia berhasil membuat Jeno tidak berjalan memutar karena mengantarnya pulang, tapi dia juga baru sadar apa yang telah dilakukannya tadi. Dia mengusir Jeno! Jeno! Orang yang menolongnya tadi! Renjun merutuki sikapnya. Dia tidak ingat ibunya mengajarkannya untuk bersikap demikian pada orang yang sudah rela untuk direpotkan.

Dia sandarkan kepalanya pada meja dalam posisi miring.

'Tadi kamu bilang apa—….'

Terngiang jelas suara Jeno barusan.

Renjun tidak begitu yakin kenapa Jeno bertanya begitu. Apa dia bertanya karena benar-benar tidak mendengar? Atau justru karena dia mendengar, jadinya dia bertanya apa maksudnya? Entahlah. Renjun lebih ingin meributkan kenapa dia bahkan bisa-bisanya berkata seperti itu dari awal.

Jaemin? Kenapa Renjun tiba-tiba membawa nama Jaemin ketika si empunya nama tidak ada di sana?

Setelah beberapa lama Renjun terlarut-larut dalam pikirannya sendiri, dia mulai sadar kalau perutnya sudah tidak terasa sakit. Dia segera mengecek jam ketika melihat langit sudah merah. Setengah 6. Wow. Dia belum mengabari orang rumah kenapa dia pulang telat. Renjun bangkit dari kursinya dengan tidak lupa membawa tasnya. Dia sempat berjalan mendekat ke tempat sampah untuk membuang botol minumnya yang sudah habis.

Ya Tuhan. Dari tempatnya berdiri –dekat tempat sampah, dia bisa melihat ada orang yang seharusnya sudah tidak ada di sana dari puluhan menit yang lalu.

"Hai. Sudah tidak sakit?"

Apanya yang 'hai'!

"Kenapa kamu belum pulang juga?!"

Bukannya jawaban, melainkan suara terkekeh yang dikeluarkan orang itu. "Soalnya aku belum melihatmu sampai rumah, Renjun."

Facepalm. Ada apa dengan Lee Jeno?!

"…nanti aku akan mengirim chat kalau aku sudah sampai rumah. Sudahlah, pulang saja."

"Tadi aku dengar apa yang kamu bilang."

"Hah?"

"Tadi kamu bicara soal Jaemin, kan?"

Hening. Renjun tidak lagi menyuruh Jeno pulang. Justru dia yang sekarang ingin segera pergi dari sana.

Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kamu bodoh, Huang Renjun!

Jeno tidak berniat menunggu Renjun untuk bergerak dari posisinya, karena nanti keburu tengah malam. "Donghyuck memberitahumu?"

Gelengan.

"Kamu mengira-ngira sendiri?"

Anggukan. "…aku menyimpulkan sendiri. Hanya spekulasi yang kuambil setelah aku mengetahui ada apa saja yang terjadi akhir-akhir ini antara Jaemin dengan Mark hyung." jawabnya pelan. "…tapi aku juga sudah bisa menyimpulkan sendiri dari caramu bertanya; soal kesimpulanku itu hanya sebatas spekulasi atau bukan."

Cerdas.

Jeno melangkah mendekat, membuat Renjun mengambil langkah mundur waspada. Jeno sedikit tertawa geli, sambil merangkulkan tangannya pada bahu Renjun, memberi gestur untuk mengajaknya bicara sambil berjalan.

Rupanya dia masih ngotot mengantar Renjun pulang.

"Kelihatan ya?" kata Jeno di sela-sela usahanya menarik Renjun untuk tidak lagi menyeret-nyeret langkahnya. Renjun mendongakkan kepala. "Iya, aku memang suka Jaemin."

Dulu.

Entah karena alasan apa Jeno tidak mengatakan satu kata terakhir itu. Tidak tahu juga akan ada perubahan macam apa dengan penambahan satu kata, tapi masih ada kemungkinan Renjun tidak akan langsung membuang muka lagi mendengarnya. Ada perasaan malu yang membuat Renjun tidak bisa membiarkan Jeno melihat ekspresi macam apa yang terpasang pada wajahnya.

"Tapi kamu tahu sendiri kan? Dia suka Mark hyung dan hyung juga suka dia."

Jeno kemudian menceritakan pada Renjun bagaimana dia dulu sempat membenci Mark dengan sesuatu sebatas praduga yang dijadikan landasan atas bencinya itu. Praduga bahwa Mark membuat-buat kondisi di mana dirinya bisa berkenalan dengan Jaemin, yang dinilai Jeno tidak terlalu sportif. Tapi ternyata semua yang terjadi itu natural. Tidak ada yang direncanakan.

"Dari situ saja, aku sudah merasa benar-benar kalah. Mana mungkin aku bisa menandingi orang macam Mark hyung," tambahnya lagi. "…aku sudah lama menyerah soal dia dalam artian aku tidak akan berusaha merebutnya dari hyung, tapi memang aku masih suka dia. Jadi bagaimana lagi?"

Renjun, jujur, tidak ingin terlalu mendengar penjelasan Jeno yang tidak dia ketahui arahnya akan ke mana. Berkali-kali dia menelan ludah, tidak nyaman dengan suasana yang melingkupi mereka saat ini. Tapi ada yang membuatnya sedikit terganggu.

"…kenapa kamu tidak bisa menandingi hyung?" tanyanya sambil pelan-pelan berusaha agar bertemu wajah dengan Jeno.

Kenapa?

Jeno tidak pernah memikirkan itu sebelumnya, tapi entah kenapa dia merasa bisa menjawab dengan mudah. "Dia baik."

"Kamu juga."

Sedikit kaget mendengar Renjun ternyata membalasinya.

"Dia pintar."

"Kamu juga."

"Dia bisa diandalkan."

"Kamu juga."

Jeno tahu apa yang akan membuat Renjun tidak akan bisa membalas kata-katanya lagi.

"Dia yang disukai Jaemin."

"…."

Bingo.

Tidak peduli seberapa banyak kesamaan dirinya dengan Mark, kunci terbesarnya adalah siapa yang disukai Jaemin: Mark atau Jeno? Itu saja.

Jeno tertawa pelan mendapati Renjun tengah menatapnya dengan tatapan bersalah. Bersalah karena tidak dapat membalas dengan 'kamu juga' lagi?

"Yang jadi masalah adalah… ada sesuatu dari Mark hyung yang dia lihat –dan sesuatu itu… aku tidak punya. Aku kekurangan sesuatu itu," tuturnya sambil menatap tanah, melihat kakinya yang berjalan pelan. "Dan Jaemin bisa melihat kekuranganku itu dengan jelas."

Sesuatu apa yang dimaksud Jeno? Salah satu keahlian Mark? Kelihaiannya main basket? Bukan, itu bukan suatu kelebihan atau apapun yang bisa dipelajari semasa hidup. Itu sudah diberikan dari lahir; jati diri seorang Mark Lee. Jaemin menyukai Mark karena dia adalah Mark.

Bisakah Jeno menjadi Mark? Tidak.

"Jadi sebenarnya hanya sebatas itu. Tidak ada yang begitu spesial soal—…."

"Jadi mataku rusak?" Renjun memotong. Jeno sedikit tersentak karena tiba-tiba saja Renjun menatapnya tepat di kedua mata. "Aku tidak melihat kekurangan yang kamu maksud tadi–yang katamu, Jaemin bisa lihat dengan jelas. Aku tidak bisa melihatnya, jadi apa mataku rusak?"

"Eh, bukan begitu…." Lambat. Jeno hanya mengusap-usap salah satu pundak Renjun, sambil berkata dia tidak ada maksud membuat Renjun berpikir begitu. Tapi lalu Jeno merasakan tangan yang dia pakai untuk mengusap pundak Renjun malah digenggam. Digenggam Renjun sendiri, menghentikan gerakan mengusapnya.

Jeno menatapnya dengan tatapan bertanya.

Renjun terlihat menarik napas dalam. "Dengar, aku hanya akan mengatakannya sekali," katanya, memberi peringatan. Jeno tidak mampu berkata-kata sementara Renjun terlihat sedang mengumpulkan segenap keberanian. "Aku suka Jeno…—kurasa."

Diam.

"…kaurasa?" Jeno mengulang. "Kamu tidak yakin?"

Renjun mengangguk. "Itu juga salah satu kesimpulan yang aku dapat. Tapi khusus yang satu itu, aku tidak tahu harus bagaimana untuk mengecek kalau itu hanya sebatas spekulasi saja atau bukan."

Jeno menundukkan pandangannya. Dia lepas rangkulannya pada bahu yang lebih kecil setelah tangannya yang tadi digenggam juga sudah dilepas.

Apa Jeno tidak kaget mendengar kata-kata Renjun? Kenapa dia bisa setenang itu?

Dia kaget, tentu saja. Dia juga merasa senang. Dia tidak menyangka Renjun akan berkata seperti itu padanya. Tapi dia lebih terpikir pada… kira-kira, ada mau apa Renjun berkata begitu? Jeno tahu Renjun itu anak baik, sangat baik. Terlalu baik, sampai-sampai Jeno sedikit banyak curiga Renjun hanya sedang kasihan padanya.

Jeno sibuk memikirkan bagaimana caranya bilang pada Renjun untuk jangan berusaha menghiburnya dengan cara ini hingga tidak mengatakan apapun pada Renjun, yang secara teknis baru saja menyatakan perasaannya –terlepas dari adanya motif lain atau tidak.

Renjun sudah mulai mendatangkan berbagai macam prasangka dalam kepala kecilnya ketika mendapat keheningan dari Jeno. "…kamu tahu kenapa aku masih bilang aku suka kamu, padahal jelas-jelas kamu baru saja bilang kamu suka orang lain?" Renjun menangkupkan mulutnya, berusaha agar getaran pada bibirnya tidak ketahuan orang di sebelahnya.

Jeno menoleh pada Renjun yang jalannya makin lambat. Dia tidak menjawab iya atau tidak pada pertanyaan Renjun barusan, tapi terlihat jelas dia sebenarnya menunggu Renjun bicara.

"Karena aku mau kamu tahu, kalau kamu juga adalah orang yang pantas ditunggu —ada orang yang mengharapkan kamu tetap sehat dan baik-baik saja…." Renjun menelan ludah sebelum bicara lagi. "…walaupun… orangnya…hanya seperti aku."

Sekilas, mata Jeno membulat mendengar kata-kata Renjun. Renjun jarang bicara, tapi kenapa sekalinya dia bicara, dia selalu menuturkan kata-kata yang terdengar sangat nyaman bagi Jeno? Bahwa dia juga tidak harus selamanya jadi pihak yang menunggu?

"…padahal waktu itu kamu marah waktu aku bilang 'orang seperti aku mana bisa'. Tapi kamu sendiri juga begitu."

"Apa boleh buat? Aku kalah jauh kalau dibandingkan dengan Jaemin."

"Aku juga, kalau dibandingkan dengan Mark hyung."

Mereka diam sebentar sebelum akhirnya tertawa lepas. Mereka berdua sama saja. Mereka harus lebih menilai yang baik-baik soal masing-masing.

Renjun tertawa dengan sangat tanpa beban, sampai menitikkan airmata. Airmata yang entah murni karena lelah tertawa atau karena memang ada yang menyayat hatinya ketika terus-terusan melabel dirinya benar-benar tidak bisa jadi bandingan Jaemin.

Sekarang, mereka berdua jadi tidak tahu harus bicara apa ketika tawa sudah hilang. Ingin saja bertanya, apa yang sebaiknya dilakukan setelah ini –tepatnya, antara mereka berdua saja. Oke, Renjun sudah meluruskan kalau dia benar-benar suka Jeno bukan karena rasa kasihan, dan Jeno percaya itu. Tapi lalu apa?

"…aku bohong kalau misalnya aku tidak mengharapkan apa-apa. Tapi kalau mau jujur, aku tidak ingin kita langsung ada apa-apa setelah ini."

"Kenapa?"

Renjun memerah. Mendengar Jeno bertanya begitu sedikit membuatnya senang. Jeno bertanya seakan dia sudah punya rencana untuk ada apa-apa dengannya setelah ini. "…karena aku tahu kamu belum merasa apa-apa tentangku. Aku tidak ingin pacaran denganmu hanya karena kamu kasihan padaku."

Wah, persis seperti yang Jeno pikir tadi. Jeno juga tidak mau dikasihani. Tapi Jeno merasa sedikit kecewa juga dibuatnya.

"Karena itu!" Renjun mengacungkan jarinya di depan wajah Jeno. Tatapannya lurus, menunjukkan dia tidak akan ragu-ragu lagi. "Aku akan membuatmu suka padaku. Entah untuk berapa lama, tapi aku pasti akan bisa membuatmu susah payah mengejarku, kebingungan ketika aku meneleponmu, tidak senang kalau melihatku dekat dengan orang lain selain kamu." Jarinya diturunkan perlahan, bersamaan dengan pandangannya yang mulai tidak kuat melihat ekspresi Jeno yang dibuat kaget. "…ketika kamu sudah tidak melihatku sebagai pengganti Jaemin, aku baru akan serius memintamu jadi pacarku."

Benarkah ini Renjun yang kemarin-kemarin membuatnya ingat pada seluruh benda imut yang ada di seluruh dunia? Sejak kapan dia berani mengajukan tantangan seperti itu? Dan lagi, justru dia yang akan meminta Jeno jadi pacarnya? Padahal, kalau misalnya Jeno sudah tidak menganggap Renjun sebagai pengganti Jaemin, Jeno-lah yang pasti akan memohon pada Renjun untuk jadi miliknya –walaupun Jeno sendiri tidak pernah melihat Renjun sebagai pengganti siapapun.

"Baiklah. Cepat taklukkan aku ya." Jeno mengusak kepala Renjun. Renjun merengut, merasa seakan tidak dianggap serius.

Sesaat Renjun terlihat seakan baru teringat sesuatu yang sangat penting. Dia memukul kepalanya sendiri. Jeno bertanya ada apa. "…aku baru ingat. Kamu sudah ada pengganti lagi kan?"

"Hah? Maksudmu?"

"Itu… yang kata Donghyuck. Soal kamu sepertinya suka sama anak dari kelasku." Renjun menuturkan lagi. "Aku masih tidak kepikiran siapa-siapa. Orang yang baik dan populer. Aku tidak tahu ada anak seperti itu di kelasku."

Renjun langsung jadi tidak semangat lagi mengetahui ternyata saingannya bukan hanya Jaemin, tapi juga orang yang namanya saja dia tidak tahu. Padahal, mengalahkan Jaemin juga sudah menjadi hal yang sangat sulit baginya, tapi sekarang juga ditambah dengan orang yang tidak begitu jelas ada atau tidaknya.

Jeno seperti merasa teringat sesuatu dari beberapa minggu terakhir. "Orang yang baik dan populer…."

"Tapi tidak apa-apa! Mau ada berapapun saingannya, aku tetap akan membuatmu suka padaku." Renjun tidak mendengarkan kata-kata yang digumamkan Jeno. Dia sudah memantapkan hati untuk tidak membiarkan mentalnya menciut.

"…anak kelas 10-2 yang baik dan populer… banyak disukai orang…." Jeno mencetikkan jari ketika akhirnya berhasil mendatangkan satu nama yang cocok dengan kriteria itu. Dia melihat Renjun dengan tatapan yang menurut Renjun sedikit menakutkan. Seakan baru melihat sesuatu yang seharusnya tidak ada. "…R-Renjun…! I-itu…!"

Renjun tidak mengerti kenapa Jeno sekarang malah menunjuk-nunjuk mukanya. "A-Ada apa? Ada apa di wajahku?"

"…!" entah apa yang tersangkut di tenggorokan Jeno sampai-sampai Jeno tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab pertanyaan Renjun.

Jeno terus memperhatikan wajah Renjun. Tidak ada apa-apa di sana, jadi Renjun seharusnya tidak merasa khawatir.

"…tidak. Tidak ada apa-apa." Jeno melemparkan semua kata-kata yang tadi tersangkut entah ke mana. Cengirannya sekarang terlihat aneh, dia yakin.

"Apa sih? Ada apa sebenarnya? Jangan bikin aku takut!"

"Tidak, sungguh. Aku tidak… aku hanya mau bilang…." Jeno memberi jeda, membuat Renjun makin mengernyitkan alis. "…boleh tidak aku memintamu jadi pacarku duluan kalau misalnya nanti kamu telat sadar aku sudah benar-benar suka padamu?"

Renjun diam sebentar sebelum akhirnya memukul-mukul Jeno sambil tertawa, seakan berkata 'itu tidak mungkin terjadi'.

Jeno tidak terlalu tahu yang dimaksud sebagai 'tidak mungkin' itu adalah soal Renjun akan telat sadar Jeno sudah menyukainya atau soal Jeno ingin memintanya jadi pacarnya. Tapi Jeno rasa, dia bisa membantah kedua kemungkinan itu.

Renjun saja tidak tahu kalau ada sekitar empat orang yang menyukainya. Tidak menutup kemungkinan Renjun juga tidak akan sadar kalau nanti Jeno akhirnya benar-benar suka padanya kan?

.

.

END

a/n. wah akhirnya gak pacaran lagi! Kesel gak. Endingnya rada gak beda jauh sama 'Malam Tahun Baru' dan 'Sebulan' ya. Hm. Sudah saatnya pensiun kali ya. Udah miskin imajinasi buat noren.

Karena chapter terakhir, jadi tembus 3k! kayaknya alurnya kecepetan. Iya gak sih.

Ada beberapa yang mengganggu di sini tapi… ah sudahlah. Semoga gak ada yang nyadar.

[Yang aku jadiin konflik di ff ini adalah soal Jeno yang ngerasa dia bukan apa-apa gara-gara Jaemin gak bales perasaan dia. jadi aku rasa, dengan bikin dia tau kalo ada yang ngarepin dia, itu bisa jadi akhiran yang clean. –walaupun hal yang sama bisa juga dibuat dengan NoRen yang akhirnya jadian juga sih. Tapi… ada beberapa pertimbangan soal itu.]

Saya rada pengen cerita soal UN hm. Rada bangsat sih tapi saya Cuma pengen lulus jadi semoga paling gak, nilai 6 dapet lah ya. Intinya sih, jangan pernah percaya kisi-kisi UN ya gengs. Gak guna.

Pokoknya! Makasih yang udah baca sampe sini! Aku gak bakal nulis sampe chapter terakhir kalo gak ada kalian-kalian yang baca dan review! Yang pengen ngamuk gara-gara mereka gak jadian lagi di ff ini, silakan pasang bom di review! Semoga kalo nanti saya nulis noren lagi yang multichapter, bisa sampe mereka jadian!

Itu kalo nulis lagi sih. Hm.