Diamond no Ace by Terajima Yuuji

Anemone

By Yuki'NF Miharu

Warning! : OOC, typo(s), dan segala kekurangan lainnya. Don't Like? Don't Read. Please Leave This Page.

Enjoy and Happy Reading!

.

Chapter 5

29 April

Seido vs Maimon. Dan kemenangan diraih oleh Seido dengan skor akhir 16-7. Tak bisa dibilang sulit untuk memenangkan pertandingan, tapi bisbol adalah olahraga yang tidak bisa diprediksi akhirnya.

Seusai perenggangan, seluruh anggota tim baseball Seido—baik pemain maupun yang ada di tribun—langsung menuju bus untuk kembali ke sekolah. Pengecualian untuk Sawamura yang hendak ke toilet dan Miyuki yang biasanya sering mengantarnya.

"Cih! Kenapa kau ikut-ikutan, Miyuki-senpai? Kau juga ingin ke toilet?"

"Eh? Kenapa? Kau keberatan jika kutemani?" Miyuki menyeringai lebar di belakang Sawamura. "Akan merepotkan kalau kau sampai tersesat."

Ketika mereka sampai di depan toilet, Sawamura menghentikan langkahnya, berbalik ke arah Miyuki dan menatap sang catcher dengan tatapan kesal. "Sekarang aku sudah kelas dua, Miyuki Kazuya! Aku bukan anak kecil lagi! Dasar menyebalkan!" Setelah itu Sawamura melangkah masuk toilet dengan langkah kesal.

Miyuki tertawa sesaat. Seperti biasa, ia akan menyandarkan punggungnya pada dinding dan melipat kedua tangannya di depan dada saat menunggu Sawamura. Beberapa menit berlalu, Sawamura masih belum keluar dari dalam sana. Aneh. Padahal juniornya itu tengah sendiri di sana, Haruichi dan Furuya yang biasanya ikut, sudah duduk manis di dalam bus tadi.

Miyuki tergerak untuk masuk ke toilet, tapi baru selangkah, sosok Sawamura tiba-tiba muncul di hadapannya dengan senyuman, namun terlihat seperti… dipaksakan, mungkin. "Sawamura kau..."

"Kau menunggu lama ya, Miyuki-senpai?"

"Sawamura wajahmu," kata Miyuki menggantungkan kalimatnya sebelum melanjutkan, "Agak pucat."

Sawamura tertawa keras, tapi Miyuki sadar bahwa tawa renyah itu terdengar hambar di telinganya. "Ini karena aku terlalu lama menahan untuk buang air kecil."

Miyuki masih menatap Sawamura dengan tatapan tak percaya.

"Sudahlah. Jangan dipikirkan. Ayo kembali ke bus sebelum semuanya mengamuk padaku." Dan setelah itu Sawamura berjalan mendahului Miyuki yang masih terdiam di tempatnya.

.

.

Sawamura menarik napas ketika ia hendak naik bus. Ia pasti akan disembur dengan segala amarah dari senior dan teman-temannya. Yah, tidak apa-apa, lagipula ini bukanlah hal baru.

Ketika Sawamura naik ke dalam bus, yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Tidak ada suara Kuramochi yang biasa memarahinya karena terlambat naik bus. Tapi Sawamura sadar kalau ada yang aneh dengan posisi duduk rekannya. Tidak ada kursi kosong untuknya. Sekalipun ada, kursi kosong itu digunakan untuk menyanggah kaki-kaki mereka. Sawamura menautkan kedua alisnya.

"Apa yang kalian lakukan?! Kalau kalian duduk seperti itu, aku mau duduk dimana, hah?!" Sawamura menunjuk rekannya dengan kurang ajar.

"Oh, Sawamura. Kau boleh duduk di bawah kalau mau." Kuramochi yang tengah memejamkan mata tersenyum licik.

"Ya, bukankah duduk di bawah lebih luas?" kini giliran Kanemaru.

"Maafkan aku, Eijun-kun." Haruichi memasang ekspresi menyesal karena tak bisa menolong sahabat baiknya karena Furuya duduk tepat di sebelahnya.

"Ka-kalian kejam sekali!" Sawamura nyaris menangis lebay.

"Haha kau ini kasian sekali, Sawamura." Miyuki yang sudah mendudukkan dirinya di kursi baris paling depan tertawa. Memang tak pernah ada yang menduduki kursi baris paling depan selain Miyuki dan Chris. Awalnya Sawamura tampak kesal dan ingin membentak sang kapten, namun sebelum membuka mulut, Miyuki kembali berujar. "Kau boleh duduk di sampingku. Tentu saja kalau kau mau."

Bibir Sawamura terkatup. Ia tak mampu mengucap kata-kata lagi. Untuk beberapa saat ia terdiam, memerhatikan kursi kosong yang biasanya diduduki Chris sebelum senior yang paling ia hormati itu lulus.

"Ka-kalau begitu aku akan duduk di sini," kata Sawamura tak punya pilihan lain selain duduk di kursi tepat di samping Miyuki. Senior kesayangannya.

.

.

Di sepanjang perjalanan, Miyuki hanya memandang ke arah luar jendela. Tidak seperti kebanyakan rekannya yang lain, Miyuki tidak bisa tidur dalam dalam bus. Apalagi setelah pertandingan. Lehernya bisa pegal nantinya. Jadi tak ada kegiatan lain selain memandang suasana jalan kota Tokyo dari jendela di sampingnya.

Miyuki tersentak ketika merasakan sesuatu yang membebani bahunya, ketika ia menoleh, kepala Sawamura bersandar pada pundaknya. Miyuki tersenyum tipis, lalu memerhatikan lekukan wajah tenang juniornya. Mungkin hanya pada saat pitcher itu tertidur wajahnya bisa begitu tenang.

"Padahal hari ini kau tidak main, tapi kenapa kau tidur seperti orang kelelahan?" Miyuki menyentuh helaian cokelat Sawamura dengan lembut hingga kulitnya bersentuhan dengan sesuatu yang kasar, tersembunyi di balik surai itu. "Luka ini," gumamnya pelan saat melihat bekas jahitan di kepala sang junior.

Sawamura membuka matanya dan mengernyitkan dahi. Ia menatap Miyuki dengan tatapan sayu, sebelum akhirnya terkejut karena ia bersandar di pundak seniornya.

"Ah, maaf. Apa aku membangungkanmu?" tanya Miyuki, menarik tangannya kembali dari kepala Sawamura.

Sawamura menggeleng pelan. "Tidak. Lagipula sakitnya sudah hilang."

"Hm? Kepalamu masih sakit?"

Sawamura terperanjat di tempatnya, melebarkan mata, dan rasanya ingin sekali menampar wajahnya sendiri. Bodoh, kenapa ia bisa kelepasan bicara begini? Sawamura tersenyum lebar dan menggelengkan kepalanya. "Ti-tidak. Aku baik-baik saja."

Miyuki menatap Sawamura dengan pandangan tak percaya. "Aku yakin pendengaranku tidak salah."

Sawamura menenguk ludahnya sendiri. "Yah, tadi kau memegang lukaku, kan? Maksudku, sebelumnya bekas jahitan ini sangat sakit, tapi sepertinya tidak sakit lagi saat kau menyentuhnya."

"Benar? Kau yakin? Perlu kutemani pergi ke rumah sakit untuk memeriksanya?"

Sawamura tersenyum lebar, memerlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi ke arah Miyuki, lalu mengacungkan ibu jarinya di depan wajah senior. "Daijoubu! Tidak perlu ada yang kau khawatirkan."

"Baiklah, kalau kau bilang begitu."

Miyuki menarik sedikit sudut bibirnya ke atas saat melihat senyum Sawamura. Baguslah kalau dia tidak apa-apa. Meskipun juniornya bilang baik-baik saja, perasaan aneh apa yang mengganjal di hatinya ini? Miyuki menutup matanya sesaat, berusaha menyingkirkan pikiran anehnya. Ya, semuanya akan baik-baik saja.

xxx

.

.

18 Mei

Bagi Seidou, turnamen musim semi tidak begitu penting, meskipun mereka tetap mengincar juara. Jadi bukan masalah besar kalau kalah sekalipun. Pertandingan semi final melawan SMA Ichidai tak bisa diselamatkan lagi ketika Furuya dan Kawakami melakukan satu kesalahan saat melempar. Begitupula dengan tim penyerang yang masih belum cukup kuat untuk menembus pertahanan SMA Ichidai. Setelah kekalahan ini, Seidou mulai menetapkan satu tujuan mereka.

Menjadi lebih kuat untuk menembus koshien musim panas.

Dan seperti biasa, Sawamura tetap jadi orang paling berisik di ruang makan ketika seluruh anggota tengah menikmati santapan makan malam.

"Kalian semua payah sekali! Jadi ini kekuatan kalian tanpa adanya aku?! Lebih baik kalian semua pindah di bangku cadangan sana!"

Dan Kuramochi secepat kilat langsung melingkarkan lengannya untuk mencekik sang adik kelas yang kurang ajar.

Tak jauh dari sana, Miyuki meringis melihatnya. Tidak bermainnya Sawamura dalam pertandingan membuat pertahanan tim sedikit menurun. Tiga pitcher utama di Seidou punya karakteristik melempar yang berbeda.

Kawakami Norifumi yang punya beberapa variasi lemparan, tapi terlalu berhati-hati. Furuya Satoru yang punya lemparan super cepat, namun kelemahannya sampai saat ini ialah stamina dan kontrol, jadi beberapa orang yang terbiasa dengan lemparannya akan bisa memukul dengan mudah. Berbeda dengan Sawamura Eijun. Pertama, ia kidal. Kedua, gaya lemparannya unik. Ketiga, memiliki stamina tinggi, bahkan tak ada habisnya. Keempat, kontrol bolanya bagus. Yah, meskipun Sawamura masih payah dalam hal memukul.

"Kuramochi-senpai, kau mau membunuhku, hah?!"

Lamunan Miyuki terhenti ketika mendengar suara teriakan Sawamura lagi. Miyuki tersenyum tipis, ia menopang dagunya dengan sebelah tangan. "Kuramochi, aku ingin melihatmu mencekiknya dengan kaki."

"Tolong jangan!"

Miyuki tertawa.

"Jangan tertawa, dasar kapten kejam!"

Dan setelah itu Kuramochi dan Sawamura bergulat di lantai, sedangkan yang lain hanya menontonnya dengan nikmat. Nikmat melihat penderitaan Sawamura yang disiksa senpainya.

"Saa, kalian lanjutkan saja. Aku mau pergi dulu." Miyuki bangkit dari posisi duduknya dan melangkah santai menuju pintu.

"Miyuki-senpai, apa kau mau pergi ke tempat pelatih?"

Miyuki menolehkan kepalanya. "Memangnya kenapa?"

"Boleh aku ikut?" tanyanya balik seraya berusaha melepaskan cengkeraman Kuramochi dengan susah payah.

"Tentu saja. Kenapa tidak?" Miyuki kembali berbalik dan berjalan lebih dulu.

.

.

Miyuki melangkah dengan santai. Yah, sekalian menunggu Sawamura yang tertinggal di belakang. Juniornya pasti sulit membujuk Kuramochi untuk melepas gulatannya. Miyuki terkikik geli, ia pasti akan merindukan Sawamura jika ia lulus nanti.

"Haaah... akhirnya aku lepas juga dari cheetah itu. Dia itu mau membunuhku, ya?"

Miyuki mendengus kecil saat mendengar keluhan Sawamura di belakangnya. Ketika Sawamura mensejajarkan langkah kaki dengannya, ia menoleh ke arah sang junior. "Kenapa kau ingin bertemu pelatih? Tumben sekali."

"Yah, pelatihan neraka musim panas kan tinggal beberapa hari lagi, aku ingin pulang ke rumahku."

"Kau ingin pulang lagi?"

Sawamura mengangguk. "Hanya ingin menunjukkan diri pada orang tuaku bahwa anaknya ini baik-baik saja untuk ikut pertandingan musim panas. Mungkin mereka masih agak khawatir."

Miyuki mengangguk paham. "Benar juga."

Saat tiba di depan pintu ruang pelatih, Miyuki mengetuk pintu beberapa kali sebelum membukanya. "Permisi," ujarnya seraya masuk dan diikuti Sawamura di belakang. "Aku datang, kantoku."

"Oh, Miyuki. Hanya memastikan, bagaimana kesiapan tim kita?"

"Mereka baik-baik saja. Kekalahan melawan Ichidai bukan masalah besar bagi mereka, setelah ini mereka akan lebih keras latihan."

Pelatih Kataoka tersenyum tipis. "Seperti tahun lalu, aku akan menambahkan dua pemain ke tim utama sebelum pelatihan musim panas. Aku akan memasukan orang yang berlatih keras dan bermain bagus saat latih tanding. Katakan itu pada mereka."

Miyuki tersenyum. "Baik!"

"Kau juga, Sawamura. Kuharap saat musim panas tiba kau benar-benar pulih," kata pelatih Kataoka saat melihat Sawamura berdiri di belakang Miyuki.

Sawamura mengangguk mantap. "Bahkan aku sudah siap kalau harus bertanding sekarang!" serunya sambil mengangkat tinjunya di udara.

"Jadi, ada apa kau ke sini?" tanya pelatih Kataoka.

"Oh! Bisa aku ambil izin pulang ke rumah? Kupikir orang tuaku akan khawatir kalau tahu aku akan ikut turnamen musim panas. Jadi, aku harus menunjukkan diriku pada mereka kalau aku sudah benar-benar sembuh. Tak lama, aku tinggal di sana satu malam saja."

Pelatih Kataoka berpikir sejenak. "Baiklah, tapi aku ingin kau mengajak satu orang untuk menemanimu."

Kening Sawamura berkerut. "Kenapa? Aku bisa pulang sendiri, kok!"

"Tidak ada yang tahu kalau nanti akan ada musibah lagi. Hanya untuk berjaga-jaga."

Sawamura menghela napas. Siapa yang harus ia ajak pergi ke rumahnya? Ia yakin seluruh rekannya sedang berlatih keras untuk persiapan musim panas. Mana mungkin ada yang dengan senang hati menemaninya pulang. Yare-yare, kenapa merepotkan sekali?

"Bagaimana kalau aku temani?"

"EH?!" Sawamura tersentak mendengar Miyuki dengan entengnya menawarkan diri. "Ta-tapi kau harus latihan, kan?"

Miyuki menyeringai lebar. "Aku akan tetap berada di tim inti. Pelatih tidak mungkin menurunkanku ke tim cadangan. Jadi, tidak apa-apa." Lalu Miyuki memasang wajah sombong.

Untuk beberapa alasan Sawamura sangat benci wajah menyebalkan Miyuki. "Dasar arogan!"

"Yah, kalau kau tidak mau Miyuki menemanimu, berarti kau tidak perlu pulang. Aku akan menelepon orang tuamu." Pelatih Kataoka melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ya, baiklah! Aku akan pergi bersama Miyuki-senpai besok!" kata Sawamura tak punya pilihan lain. Lagipula kenapa pelatih Kataoka seperti mendukung Miyuki? Menyebalkan.

xxx

.

.

Kuramochi merenggangkan tubuhnya setelah berlatih mengayun untuk merilekskan sendi-sendinya. Ia menengadah, menatap langit hitam pekat di atasnya, mungkin sudah jam sebelas malam. Kemana adik kelasnya yang hobi latihan sampai tengah malam itu? Selama latihan mengayun di indoor, ia sama sekali tidak mendengar suara berisik Sawamura. Apa dia sudah tidur?

Niat untuk kembali ke kamar pun urung saat ia sadar bahwa tadi Miyuki juga tidak ada di indoor. Apa mungkin mereka berdua sedang latihan di tempat lain? Kuramochi tak tahu itu dan memutuskan untuk pergi ke tempat di mana Miyuki biasanya latihan mengayun sendirian.

.

.

"Ternyata dugaanku benar kau di sini." Kuramochi menyeringai lebar.

Miyuki menghentikan latihan mengayunkan dan tersenyum tipis. "Aku memang selalu di sini tiap latihan mengayun."

Kuramochi berkacak pinggang saat berdiri di depan Miyuki. "Kenapa tidak di indoor? Kau tidak mau dilihat adik kelas saat latihan mengayun, ya?"

Miyuki tak menjawab, ia lebih memilih menghapus peluhnya dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya. "Jadi, kenapa kau di sini?"

"Hmm... kukira Sawamoron bersamamu."

"Bukannya dia latihan melempar di indoor?"

"Kalau aku melihatnya, tidak mungkin aku mencarinya ke tempat latihanmu ini."

"Yah, kau benar juga," ujar Miyuki tak terlalu ambil pusing. "Aku sudah selesai latihan, mau kembali?"

Kuramochi mendengus. "Untuk apa mau lama-lama di sini?" balasnya sewot dan lebih dulu berbalik pergi. "Sawamura... kalau aku sudah lulus, siapa yang akan mencekiknya nanti?"

Miyuki yang menyusul dari belakang dan mensejajarkan langkahnya dengan Kuramochi tertawa mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan rekan seperjuangannya itu. "Jadi, kau hobi sekali mencekiknya, ya?"

Kuramochi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Bukan itu. Dia itu tipe orang semangat yang kelewat bodoh sekaligus ceroboh. Kuharap ada orang yang mau menangani kebodohannya. Mungkin Kanemaru bisa."

Miyuki kembali tergelak mendengarnya. "Sepertinya kau terlalu khawatir."

Kuramochi mendecak kesal. "Dia itu adik kelas kita, tahu!"

"Kau tahu? Sawamura itu tipe orang yang tidak bisa diprediksi. Selama ini aku mengenalnya seperti itu." Miyuki tersenyum tipis ke arah Kuramochi yang masih terlihat sangar, mungkin karena dulunya dia mantan yankee. "Dia pasti akan baik-baik saja."

"Kuharap begitu," balas Kuramochi sambil mendengus kecil.

"Oh iya, besok kuserahkan tim padamu dan Zono, ya?"

Kuramochi mengerutkan kening. "Memangnya kau mau ke mana?"

"Pergi ke rumah Sawamura." Kuramochi menatapnya tajam, menuntut Miyuki untuk menjelaskan lebih detail. "Yah... musim panas sebentar lagi tiba. Setidaknya orang tuanya harus tahu kalau anak mereka sudah sehat dan siap untuk turun di pertandingan."

"Oh... jadi begitu?"

"Jya, sampai besok. Oyasumi." Miyuki melambaikan tangannya pada Kuramochi, lalu berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Kuramochi membuka pintu kamar bernomor lima. Seperti biasa saat ia masuk, Asada—murid kelas satu—itu sudah terlelap di kasur, dan Sawamura tengah duduk di meja belajarnya, tengah menulis sesuatu lagi. Lalu untuk kesekian kalinya, setiap kali ia kembali, Sawamura akan menyudahi kegiatan menulisnya. Menyimpan kertas yang baru ditulisnya ke dalam laci meja belajarnya, lalu menguncinya. Terkadang Kuramochi bertanya-tanya, apa yang ditulis juniornya itu?

"Oh, Kuramochi-senpai, kau sudah kembali?"

Seperti sebuah rutinitas, Kuramochi selalu disambut senyuman lebar Sawamura saat ia kembali ke kamar.

"Tentu saja. Ini sudah malam. Aku mau tidur." Kuramochi mengganti pakaiannya yang penuh keringat dengan yang baru, lalu langsung merebahkan diri di tempat tidur.

"Yosh! Kalau begitu aku akan pergi latihan!" Sawamura dengan semangat melangkah menuju pintu.

"Aku akan menghajarmu kalau kau membuka pintu."

Sawamura menghentikan langkah dan berbalik menatap Kuramochi. "Naze?!"

Kuramochi mendecak pelan. "Jangan tanya kenapa, bukannya besok kau ingin pulang ke rumahmu? Lebih baik tidur sekarang."

"Hmm... benar juga, sih." Lalu Sawamura menuju kasurnya yang ada di atas tempat tidur Asada.

"Kau tidak membantahku?" tanya Kuramochi heran, tak biasanya Sawamura akan menurut.

Sawamura tertawa sesaat. "Mungkin sesekali aku harus mendengarkan kata-kata senpai. Yah, sekali saja. Lagipula aku tidak mau bergulat lagi denganmu. Oyasumi."

Setelah itu Sawamura tidak berujar apa-apa lagi. Kuramochi menatap tempat tidur Sawamura beberapa saat, mungkin saja juniornya itu bohong ingin tidur. Nyatanya selama ia memandanginya, Sawamura tak bergerak dari tempat tidurnya. Mungkin dia sudah tidur, pikir Kuramochi saat itu. Akhirnya ia beranjak untuk mematikan lampu, lalu tidur.

xxx

.

.

"Ah! Segarnya mandi sepagi ini!" seru Sawamura semangat seraya mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk.

Langit masih lumayan gelap. Matahari belum sepenuhnya terbit, udara masih terasa dingin, tapi cukup menyegarkan tubuh, karena itu Sawamura sangat suka jonging pagi-pagi seperti ini. Namun pagi ini ia tidak bisa melakukannya, jadawal keretanya untuk pergi ke Nagano tepat pukul 7.30 dan butuh waktu untuk pergi ke stasiun.

"Apa Miyuki-senpai sudah—ugh!" Sawamura tiba-tiba jatuh terduduk seraya memegang kepala. Ia meringis kesakitan. Kepalanya seperti ditusuk bertubi-tubi, seolah akan menghancurkan otaknya. Ayolah, ini masih pagi. Sudah cukup ia merasakan sakit semalaman, dan ia bersyukur Kuramochi tidak menyadari suara ringisannya tadi malam.

"Oke, aku harus tenang," gumam Sawamura mulai mesugesti dirinya sendiri. "Ini akan hilang, ya sakitnya akan hilang." Ia memejamkan mata, menarik napas dan menghembuskannya perlahan, lalu nyeri di kepalanya perlahan memudar.

"Sawamura-senpai? Apa yang kaulakukan?"

Sawamura menengadah, sosok Okumura Koushuu menyambutnya dengan tatapan datar. Ah, dasar manusia serigala, makinya dalam hati. Entah mengapa melihat sifat Okumura mengingatkannya pada Furuya. Untung saja dia seorang catcher, bukan pitcher. Setidaknya saingannya tidak bertambah.

"Senpai, kau tersandung?" tanya Okumura lagi.

Sawamura cepat-cepat bangkit dari posisinya dan berkacak pinggang, lalu menatap Okumura penuh dengan aura kesenioran. "Yah, ternyata berendam di air hangat terlalu lama membuatku sedikit pusing."

"Hmm... kalau begitu, aku pergi dulu." Okumura kembali melanjutkan langkahnya, namun ia kembali berhenti, dan berbalik ke arah Sawamura yang belum beranjak dari tempatnya. "Oh iya, Miyuki-senpai sudah siap. Sebaiknya kau juga cepat bersiap."

"Eh?! Dia sudah siap?! Cih, padahal rencananya aku ingin memakinya karena sudah membuat kouhai menunggu senpai. Nyatanya malah aku yang membuat senpai menunggu. Setelah ini dia pasti mengejekku." Sawamura lalu berbalik pergi setelah berterimakasih pada Okumura.

Ketika Sawamura membuka pintu kamarnya, saat itulah kedua iris keemasannya melebar. Di sana, tepat di depan meja belajarnya, Kuramochi tengah memegang surat yang selama ini ditulisnya. Tidak, tidak. Belum boleh ada yang tahu tentang ini. Sawamura masuk, menutup pintu, lalu mendekati Kuramochi.

"Kuramochi-senpai, a-apa kau membacanya?" tanya Sawamura dengan suara lirih.

Kuramochi menoleh ke arah Sawamura dengan mata menyipit. Ia mengangkat amplop putih yang tengah dipegangnya di depan wajah Sawamura.

"Sawamura, apa yang sedang kau sembunyikan?"

.

To be continued

A/n: CUT! Oke saya potong adegannya sampai di situ #dihajar. Well, yang gantung itu lebih greget kan? :) #dihajarlagi

Ternyata sudah dua bulan saya nggak update fic ini :') Maafkeun keterlambatan saya, ya. Saya memang tipe author yang updatenya lama. Maaf juga kalau wordsnya masih belum begitu panjang, tapi biasanya kalau sudah mencapai klimaks, nanti panjang dengan sendirinya kok (?).

Makasih banget buat yang udah baca dan menyempatkan diri untuk review, favorite, dan follow. Saya seneng banget. Aku cintah kalian semua. Muah! :*