"Inaho itu anak yang manis, lihat saja, kau pasti akan langsung jatuh cinta padanya!" Mazuurek memandang gadis yang duduk di sampingnya dengan mata berbinar sebentar, sebelum pandangannya kembali fokus ke jalanan. senyum di wajah tampan itu tak pernah luntur selama sang pria membicarakan subjek yang sama sejak Mazuurek menjemputnya.

"Slaine juga anak yang lucu dan tampan. Tapi dia sudah mulai tumbuh besar... rasanya aku tidak ingin melihatnya dewasa! Kedua ponakanku yang manis... saat ini saja Slaine sudah mulai memberontak ketika kupeluk. Aku harus bagaimana? Tidak sanggup..."

Menutupi mulutnya dengan punggung tangan, si gadis hanya tertawa kecil untuk menanggapi tingkah antusias kekasihnya. "Sudah tiga kali kau mengatakan hal yang sama, Mazuurek."

"Habisnya-"

"Habisnya, kau sangat menyayangi mereka, kan?" potongnya. Dilihat dari wajah senang dan antusiasnya setiap Mazuurek membicarakan ponakannya kepadanya, bahkan orang bodoh pun akan menyadarinya. "Ya ya, aku tau. Aku jadi tidak sabar ingin cepat bertemu Nao-mu dan kakaknya yang sering kau ceritakan itu."

"Kau tidak akan menyesal, Yuki!"

.

.


.

HEAVENLY LIES © Nameless Pierrot

.

ALDNOAH ZERO © Project A/Z, Olympus Knights, A-1 Pictures, Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama

.


.

.

Walaupun itu belum tentu kenyataan yang terjadi sebenarnya, tapi untuk melupakan suatu ingatan yang menyakitkan tidaklah mudah bagi Inaho.

Selalu, ingatan yang datang ketika dia tertidur tentang sang Papa yang menghajarnya dengan tangannya sendiri. Dia berteriak dengan wajah penuh amarah kepada Inaho, terkadang menamparnya. Dan yang masih bisa dia ingat adalah cambukan yang perihnya minta ampun.

Inaho sangat bersyukur kakaknya tak sebrutal Papanya di sana. Yang dia lakukan hanya memandangnya dengan wajah kasihan, atau memejamkan mata kala Panglima Cruhteo memulai ritual malamnya. Slaine selalu terlihat di sisi Cruhteo setiap Papanya itu datang mengunjungi, yang bisa diartikan mimpi buruk bagi Inaho.

Tapi kehadiran Slaine di sana, jujur membuat perasaannya agak lega. Nyatanya, kakaknya, walau berada di pihak musuh masih peduli dengan Inaho. Terkadang di saat tidak ada yang berjaga, dia diam-diam akan datang ke sel tempatnya dikurung, membawa air dan roti untuk Inaho yang kelaparan dan kehausan. Menyuapinya pelan-pelan. Orang-orang sana tak ingat kalau Inaho, walaupun menurut mereka berbahaya, masih manusia biasa yang butuh makan dan minum, dan mereka melupakan hal itu. Lantas, Inaho dianggap apa di sana? Batu?

Inaho ingat dirinya sempat bertanya kepada kakaknya mengapa dia sebaik ini kepada musuh. Dia pernah melihat dirinya hampir menghancurkan robot yang dikendarai Slaine saat mereka bertarung. Dengan kata lain, Inaho hampir membunuh Slaine.

Slaine menutupi mulutnya dengan roti yang sudah dipotongnya kecil ke mulut Inaho, lalu berkata, "Makan saja dan jangan banyak tanya, Orenji!"

Dia selalu memanggilnya orenji, tak sekalipun menyebut namanya. Bukan karena tidak tahu, Cruhteo pernah menyebutkan namanya beberapa kali, selain memanggilnya 'Makhluk Bumi'.

Mungkin karena Inaho mengendarai kataprakht berwarna oranye? Sungguh penamaan yang tidak kreatif.

Hanya saja di saat terakhir, Inaho menyesalkan kenapa harus dia yang membunuhnya?

"Maafkan aku, Inaho-san." Hanya di saat itu dia memanggil nama Inaho. Berbisik pelan dengan suara bergetar sambil memeluknya, hangat…. Rasanya seperti kak Slaine yang memeluknya di sini, kak Slaine yang selalu menenangkannya ketika Inaho bermimpi buruk—

"Semoga di kehidupan berikutnya, kita bisa hidup bahagia… bersama…"

Lalu, Tuhan mengabulkan doanya.

Ketika Inaho untuk kali pertama memimpikan keluarganya di dunia ini, rasanya seperti dia mendapat harapan.

Dia kira dia tak akan pernah merasakan itu. Selama dua minggu penuh yang dilihatnya ketika tertidur hanya kekacauan. Darah, mayat, teriakan putus asa, dan mimpi yang berulang tentang kakak dan sang ayah. Mengerikan. Inaho tidak sanggup… dia tidak akan bisa melewati semuanya, jika tak ada sosok kak Slaine dan Papa Cruhteo yang selalu sigap menenangkannya ketika Inaho terbangun dari mimpi buruk. Memang rasanya agak lucu… tapi mereka memang benar-benar orang yang berbeda, makanya Inaho membiarkan salah satu dari mereka memeluknya ketika dia ketakutan dan kebingungan, tak tau harus berbuat apa.

Paginya dia baru saja bermimpi buruk. Sesuatu yang sepertinya bukan bagian dari milik Inaho di dunia penuh perang itu. Mungkin miliknya. Tapi itu juga tak kalah mengerikan, karena yang bisa Inaho rasakan hanya keputusasaan. Rasanya sesak, dia ketakutan, orang-orang yang mengerikan itu….

-Jika memorinya di sini juga mengerikan, maka Inaho bersyukur dia melupakan segalanya. Karena mempunyai dua ingatan berbeda yang sama menakutkan tidak baik untuk kesehatan jiwanya. Inaho khawatir dia tidak bisa mempertahankan kewarasannya sendiri.

Musim gugur, taman, mereka berpiknik. Papanya, paman Mazuurek, kak Slaine, kak Harklight ada di sana. Mereka berbagi tawa dan kehangatan. Inaho tau ini hanya mimpi, tapi mimpinya begitu indah. Baru kali ini dia bermimpi indah dan sedamai sekarang.

Rasanya Inaho tidak ingin bangun. Dia ingin terus di sini, bersama orang-orang yang menyayangi dirinya.

Tapi kemudian Inaho merasakan sesuatu, memaksanya untuk membuka mata, dan semuanya berakhir.

Dia terbangun.

.

.

"Aku pulaaaaang~"

Slaine disapa oleh kesunyian rumahnya yang besar. Begitu sepi. Tak ada jawaban, atau bocah kecil yang berlari memeluk kakinya mengatakan "Okaeri, kakak!"

Dia menghela napas. 'Jangan terlalu berharap kau bisa kembali ke masa itu dengan keadaan Inaho yang sekarang, Slaine.' Mengingatkan dirinya sendiri.

Slaine berniat langsung menuju kamar pribadinya. Pikirnya mungkin Inaho sedang tertidur di kamarnya. Ketika melewati ruang tamu, tak sengaja iris hijau menangkap sesuatu berwarna kecoklatan di sofa sana. Itu Inaho. Benar dia sedang tertidur, tapi bukan di kamarnya. Adiknya sedang tertidur di sofa. Slaine hati-hati mendekat, tak ingin membangunkan.

Berjongkok, Dia kemudian memerhatikan wajah damai adiknya yang sedang tertidur. Manis sekali dan sangat polos... perasaannya menghangat. Senyum tipis muncul. Tanpa sadar tangannya bergerak membelai helai kecoklatan Inaho penuh sayang. Rasanya seperti kejadian kemarin hanya mimpi, mimpi buruk bagi keluarganya, terutama si kecil Inaho.

Lalu tangannya turun ke pipi dan terhenti di sana. Melihat memar yang masih menghiasi ujung bibir adiknya, menandakan bahwa itu bukanlah mimpi, atau lebih tepatnya mimpi buruk itu benar-benar menjadi nyata. Alisnya berkerut tak senang. Orang-orang brengsek itu... Berani-beraninya mereka melukai adiknya.

Kelopak mata Inaho bergerak-gerak, menandakan sebentar lagi dia akan terbangun, tetapi kakaknya tidak menyadari. Perhatiannya masih fokus pada luka, juga kejadian yang baru saja menimpa saudaranya.

Sampai mata bulat itu terbuka sempurna. Inaho berkedip beberapa kali, pandangannya sedikit kabur karena baru terbangun. Awalnya dia kira Slaine yang berada sangat dekat dengannya hanya bayangannya saja, karena dia baru saja memimpikan kakaknya. Tapi wajah itu tak menghilang, malah semakin jelas. Wajah Slaine yang terlihat tertekan, marah, dan sedih. Si kecil akhirnya menyuarakan kekhawatirannya.

"...kakak?"

"Ah?" Menyadari adiknya sudah terbangun, Slaine buru-buru menyingkirkan tangannya. "O-ohayou, Inaho!" Dalam sekejap segala kekhawatiran yang barusan menghiasi wajahnya digantikan oleh senyum cerah yang selalu dipasangnya di depan Inaho.

"Mm, aku ketiduran, ya..." Selimut yang selama ini menutupi sekujur tubuh Inaho jatuh ke lantai ketika si kecil bangkit tak dipedulikan. "Kak Slaine selalu saja berkata Ohayou setiap aku bangun, ini kan sudah sore."

"Ahahaha, tidak boleh ya? Refleks, Inaho!"

"Mm," Inaho mengucek matanya. Sebelum fokusnya kembali pada kakaknya, memandang Slaine intens. Yang diperhatikan hanya menggaruk tengkuk lehernya, jelas sekali sedang gugup. Dia merasa adiknya menyadari kegelisahannya.

"Okaeri, kak Slaine," katanya dengan senyum manis di wajah inosen itu.

Slaine membeku. Sudah lama sekali sejak Slaine mendengar itu dari mulut adiknya. Dia amat merindukannya, namun tak ingin terlalu berharap dengan keadaan sekarang. Yang dia inginkan hanya kesembuhan adiknya, meski Slaine tahu itu tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang tak sebentar. Tapi dia akan terus ada menemaninya melewati masa sulit ini. Slaine yakin badai ini akan berlalu. Lalu ketika semuanya berakhir….dia bisa mendengar ucapan selamat datang dari mulut adiknya lagi. Slaine tak berpikir akan mendapatkannya secepat ini...

Dia meletakkan kepalanya di atas rambut adiknya, lalu membelainya lembut, "Kakak pulang, Inaho…" tak lupa memasang senyum tampan. Membuat pipi Inaho bersemu melihatnya.

"Um!" Si kecil hanya memejamkan mata sambil menikmati perlakuan dari sang kakak.

"Eh? Papa juga sudah pulang. Okaeri!" kata Slaine

.

.

"Okaeri, Papa," sambutnya setelahnya.

Cruhteo berhenti, berdiri di sana tanpa menjawab salam kedua anaknya. Perhatiannya terpaku pada si putra bungsu, menatap dengan mata yang penuh dengan emosi. Lega, sedih, bersalah, dan... marah?

Apa yang telah Inaho lakukan sampai membuat papanya memasang wajah seperti itu?

Mata mereka terkunci satu sama lain, berusaha saling mengeksplorasi perasaan masing-masing. Inaho mengunci dirinya sebelum Cruhteo masuk lebih dalam ke pikirannya, takut papanya membaca apa yang ada di otaknya.

Cruhteo memutusnya lebih dulu dengan cara mengedipkan matanya. Kali ini mata itu penuh dengan rasa bersalah, tanpa sempat mengeluarkan pertanyaan "kenapa" pada ayahnya, Cruhteo berjalan cepat menuju Inaho, memeluknya.

"P-papa?"

"Pasti sulit ya..."

"Semua yang telah kau lalui, sendirian... maafkan Papa ya, Inaho..."

Inaho tidak mengerti mengapa Papanya tiba-tiba berkata begitu. Melihat Slaine yang sedang memerhatikan keduanya dengan wajah bingung, rasanya dia juga tak ada ide mengapa sang ayah bersikap demikian

Jadi dia hanya membalas pelukan papanya. Lalu Inaho teringat sesuatu, hitung-hitung untuk memecah suasana membingungkan ini.

"Tidak apa-apa, Papa..."

"Tadi Inaho melihat Papa dan kak Slaine di mimpi Inaho..."

Wajah Cruhteo dan Slaine langsung menegang. Kalau maksud Inaho mereka hadir di mimpi buruknya, maka ini bukan sesuatu yang bagus. Berkali-kali Inaho mengeluh tentang keberadaan mereka di mimpinya, tapi keduanya bisa apa? Mereka juga tak tahu kenapa mereka di sana, dan memgambil peran penjahat pula.

"Bukan yang itu... tapi ini!" Dia menunjukan bingkai yang sedari tadi dipeluknya, yang baru disadari Slaine meski dirinya telah berada di sisi adiknya sejak dia terbangun. Jadi selama ini Inaho memeluk itu? Itu foto yang diambil tiga tahun lalu…

Meletakkan benda itu di pangkuan, Inaho mulai menunjuk satu persatu wajah pada potret di sana.

"Papa, Paman Mazuurek, kak Harklight, kak Slaine... kalian orang baik. Inaho bisa merasakannya. Kalian berdua selalu ada untuk menenangkan Inaho. Makanan paman Mazuurek enak dan Inaho suka. Kak Harklight... dia lembut dan perhatian. Mm… Inaho yakin. Inaho tidak akan bingung lagi sekarang.

Meski harus hidup tanpa ingatan dan mimpi-mimpi aneh itu. Kita bisa membuatnya lagi kan, kak, pa? Semuanya."

Bagaimana keduanya bisa menolak?

Inaho yang sudah menerima keadaannya saja membuat baik Cruhteo atau Slaine terharu. Terlebih dia sendiri yang mengajak mereka untuk membuat kenangan baru. Mimpi buruk Inaho yang entah kenapa melibatkan keduanya, tidak membuat bocah dengan sepasang mata berwarna merah bulat ini ragu untuk menghabiskan waktu bersama, lagi.

"Apapun untuk Inaho!" kata Slaine dan ikut memeluk Papa juga adiknya, lalu tertawa. Mengundang dua lainnya untuk mau tak mau ikut memasang senyum senang.

.

.

.

"Tuan, maaf, ada Tuan Mazuurek dan tamunya datang berkunjung."

"Halo, semuanya!"

Harklight muncul membawa dua tamu. Yang satu sudah jelas disebutkan, tapi satunya?

"Selamat sore."

Sosok itu muncul. Seorang wanita muda, kira-kira usianya sekitar 20an. Rambutnya berwarna kecoklatan, wajahnya cantik khas orang Asia.

"Namaku Tanizuka Yuki. Senang bertemu dengan kalian."

Tapi Inaho hanya terbengong melihatnya. Ia akhirnya bertemu sosok dalam mimpinya.

Dalam sekejap pikirannya mengabur, tak mengindahkan obrolan di sekeliling. Mata bulatnya fokus pada satu entitas.

Perempuan cantik berambut hitam kecoklatan sebahu, yang sering memanggilnya "Nao-kun" kini berdiri di hadapannya. Dia yang selalu memarahinya jika Inaho berbuat macam-macam, wajah khawatir itu, suara tangisan dan putus asa yang kerap didengarnya pun Inaho yakin berasal dari wanita ini, karena suara mereka begitu sama.

Mazuurek yang pertama kali menyadari keponakannya yang melamun namun matanya mengarah pada Yuki.

"Ada apa, Inaho?" tanyanya, membuat perhatian si kecil beralih kepada Mazuurek. Sesaat mata bulat itu hanya menatapnya kosong. Membuat Mazuurek terkejut.

Inaho keburu menggeleng-gelengkan kepalanya. Memutus ingatan yang ingin menelannya. Padahal Inaho dalam kondisi sadar, kenapa 'itu' masih saja senang menghantuinya?

Tangan memegang kepala. Inaho pusing. Terlebih diingatkan tentang mimpinya yang tak biasa, membuatnya ingin menangis. Mimpi yang mengerikan, di mana banyak orang yang mati karena perang, termasuk dirinya yang tewas di tangan musuh, Tangan kakaknya sendiri, Slaine Troyard. Dia tidak ingin mengingat itu lagi. Kenyataannya Slaine di sini adalah orang yang baik dan lembut kepadanya. Bukan orang yang tega menusuk dadanya sampai mati. Cruhteo juga sama, meski kaku, tapi Inaho tahu dia sangat mengkhawatirkannya. dia tidak sama dengan Panglima Cruhteo yang tak punya hati dan senang menyiksanya berhari-hari.

Yuki berjongkok agar menyamai tinggi Inaho yang sedang berpegang pada kaos kakaknya.

"Halo, apa kau baik-baik saja?"

Inaho otomatis bersembunyi di balik tubuh kakaknya begitu menyadari seseorang mendekatinya. Sontak perilakunya membuat orang di sekitarnya khawatir melihat Inaho yang seperti ketakutan.

Meski Yuki menyadarinya, dia tetap bersikap biasa. Senyum manis tak pernah luntur dari bibirnya. Dia harus menunjukkan kalau dia bukan orang jahat. "Namaku Yuki." Dia memperkenalkan diri. "Boleh aku tahu namamu?"

Tangannya masih menggenggam kaos Slaine. Kakak pirangnya meletakkan tangannya di atas kepala, mencuri perhatian adiknya. Inaho mendongak, kakaknya mengangguk. "Tidak apa-apa, Inaho," katanya pelan, menenangkan.

Ragu, Inaho mulai keluar dari persembunyiannya. "N-namaku Inaho."

"Boleh aku memanggilmu Nao-kun?"

Inaho terdiam sebentar sambil menunduk, Yuki sempat khawatir anak manis ini masih takut dengannya, dilihat dari tingkahnya yang waspada terhadapnya, tak lama ia mendongak lalu mengagguk. "Um...Apa aku boleh memanggilmu… Yuki-nee?"

"E-eh?"

"Apa aku boleh memanggilmu begitu?"

"Oh ya ampun apa aku semuda itu?" Yuki tertawa kecil. "Tentu saja boleh, Nao-kun," katanya sambil membelai lembut rambut Inaho. Melihat senyum hangat di wajah cantik itu membuat pipi Inaho memerah.

"Naooooo, kau seharusnya memanggilnya Bibik karena dia-"

"Mazuurek, ssshhhh" Yuki cepat-cepat membungkam mulut kekasihnya.

"Apa aku boleh memanggilmu Yuki-nee juga?" Tanya si sulung tak mau ketinggalan. "...karena, menurutku, Yuki-nee sangat cantik."

"Belajar dari mana kamu kata-kata seperti itu, Slaine?" Mazuurek yang menjawab. "Jangan bilang kamu mau merebut kekasihku?!"

"Itu kenyataan kok! Paman saja yang terlalu paranoid. Oh, apa paman takut kekasihmu akan kuambil?" Slaine menantang. "Kenapa juga Yuki-nee mau sama paman Mazuurek? Dia itukan berisik dan tukang gombal. Dilihat dari wajahnya seharusnya Yuki-nee tahu kalau paman Mazuurek itu tipe yang begitu."

"Kenapa, ya... mungkin takdir?" "Takdir yang mempertemukan kita dan membuatku jatuh cinta padanya."

.

.

.

Mazuurek dan Slaine bertengkar, Yuki berusaha memisahkan, Cruhteo geleng-geleng melihat pertengkaran keduanya, Harklight hanya bisa tertawa kecil melihat kelakuan tuannya.

Kemudian suara sesuatu membuat mereka terdiam. Semua otomatis melihat Inaho, asal suara, yang sedang menutupi perutnya dengan kedua tangannya. Menunduk, pipinya disepuhi warna merah muda. "M-maaf..." ujarnya pelan menahan malu.

"A-ah... aku lupa Tu-maksudku, Inaho belum makan siang, jadi wajar... biar saya hangatkan dulu makananmu yang tadi siang."

"Hm. Kurasa saatnya aku menunjukan kemampuanku pada calon istriku."

"Eh? Kemampuan apa?" Yuki jelas bingung.

"Paman Mazuurek akan memasak lagi?" tanya Inaho yang tiba-tiba melupakan lapar di perutnya.

"Tentu saja. Mana bisa aku diam mendengar suara perutmu itu, Nao!" katanya dengan senyum bangga. "Apa kau menyukai masakan buatanku, Nao?" tanyanya lagi.

"...suka." jawabnya hampir berbisik. "Nao suka sekali makanan paman..." katanya lebih keras. "Jadi tolong, buatkan Nao makanan seperti semalam?"

Melihat wajah kelewat imut milik Inaho membuat Mazuurek buru-buru memalingkan wajahnya. Oh tidak...

"B-baiklah! Jika Inaho sampai memohon seperti itu pasti akan paman buatkan yang paling enak! H-harklight kau bantu aku ayo!" Salah tingkah, dia menarik tangan sang pelayan. Harklight menahannya. "T-tapi Inaho sedang kelaparan dan saya harus mencarikan-"

"Iya sekaranglah waktunya, Harklight. Jangan banyak omong dan ikuti aku!" Tangan Harklight ditarik paksa, Mazuurek membawanya langsung ke dapur.

"Kurasa aku harus ganti baju dulu. Ms. Yuki, bisakah kau menemani Inaho dulu? Slaine kau baru pulang kan? Cepat mandi."

"Inaho juga pasti belum mandi kan? Mandi bareng kakak yuk!" ajak Slaine.

"Belum sih kak, tapi..."

"Tidak usah malu. Kita juga dulu sering mandi bersama lho. Nanti kita gantian menggosok punggung masing-masing. Hehe."

"Kalau begitu aku akan menyiapkan cemilan untuk kalian berdua. Kalian pasti lapar." Yuki.

.

.

.

.

Sepertinya ide Slaine untuk mandi bersama salah.

Berdua di kamar mandi, keduanya sudah menanggalkan baju masing-masing.

Slaine bisa melihat jelas luka-luka yang menghiasi tubuh polos adiknya. Memar dan... bercak merah yang ada di leher dan badannya itu, astaga...

Inaho yang menyadari tatapan tajam dari kakaknya mulai menutupi tubuhnya dengan tangan

"Ah." Sadar kalau dia telah membuat adiknya tak nyaman, Slaine,mengalihkan perhatiannya, kembali ke rencana mereka sebelumnya. "A-ayo kita mandi, Inaho. Kau pasti sudah lapar ya."

Inaho tak bergerak dari tempatnya berdiri, dan malah membalas. "Kakak... kakak pasti jijik dengan Inaho, ya?"

.


.

Bsb~

.


.

Note: saya suka shota inaho. Titik.