Red Little Secret (In Your Dirty Room)


Main Cast: Wu Yifan (Kris), Chanyeol

Support Cast: Kyungsoo, Sehun, Ryo Yoshizawa, Nat Wolff, Jongdae

Rating: M+

Warning: Female panty fetish, crossdressing, gender fuckery/queerness, gay sex with underage boy, yaoi, boy love boy in secret, incest between uncle and his nephew, feminizing talk, contains lots & lots of kinks.

Genre : Romance, AU, OOC, yadong, comedy, dll

Length: 2-2

Bahasa: Indonesia campur aduk

Summary Lengkap: Tujuan Yifan ke LA demi memenuhi harapan ibunya, mencari kerja. Bukan terlibat cinta terlarang aneh dengan keponakannya yang sinting dan punya ketertarikan langka dengan pakaian dalam wanita. Itu gila! G-I-L-A. Mana sang keponakan manis gencar sekali menggodanya, Yifan musti gimana?!


CHAPTER 2


Chanyeol tidak seperti kebanyakan remaja-remaja pria pada umumnya.

Remaja-remaja pria penggemar payudara raksasa.

Disaat semua teman-temannya bersorak gila ketika menonton video porno tentang pasangan heteroseks yang mahir bercinta, cuma dia yang diam membisu, sambil sesekali mengupil dan gigit jari. Demi Tuhan! Dia betul-betul tidak mengerti dimana serunya!? Merasa kurang puas dan bingung dengan diri sendiri, Chanyeol mencoba ritual ini di rumah. Tiap hari, ketika semua orang tertidur, dia rajin bangun tengah malam menonton triliunan video porno yang dia simpan di folder khusus di laptopnya. Apakah dia terangsang? Ya, pada gunung otot milik model laki-lakinya justru. Bukan pada sepasang susu sempurna yang bergelantungan di dada model wanita. Saat itulah Chanyeol segera menyadari fakta-fakta seperti berikut ini:

Pertama, dia suka laki-laki. Dia telah melihat kasus serupa di berbagai belahan dunia, orang-orang yang mungkin punya kemiripan dengan dirinya, tapi dia hanya berani berbagi rahasia ini dengan dua sampai empat persen penduduk laki-laki dari seluruh dunia, terutama beberapa teman dekatnya di sekolah, yang Chanyeol kenal dari kecil. Dia menemukan fakta mengejutkan ini ketika usia pra-remaja, suatu fase dimana manusia normal pada umumnya mulai tertarik pada seks untuk pertama kali. Dulu itu tidak seperti sekarang. Dulu Chanyeol terlalu sibuk menyangkal dan selalu beranggapan suatu hari nanti dia akan sampai ke tahap ajaib dimana dia tiba-tiba sadar payudara wanita adalah benda terindah di seluruh muka bumi. Well, harapannya tak terkabul. Itu tidak pernah terjadi. Dia selalu saja tertarik pada gunung otot, bulu dada, dan selangkangan pria.

Untung Ayah dan Ibunya mau menerima Chanyeol dengan sangat mudah. Meskipun mereka masih bersikeras ingin punya cucu kelak. Entah itu dengan cara adopsi atau menggunakan rahim ibu pengganti. Kakeknya hanya tertawa dan bersedia menerimanya juga. Dia bahkan bercerita tentang seorang teman Italia yang gay dan mereka pernah hidup di bawah atap yang sama waktu masa-masa kuliah. Kakek Chanyeol—ayah Junmyeon—ternyata adalah advokat besar untuk hak-hak kaum LGBTQ di Amerika. Yah, agak mengejutkan, bukan? Pantas saja ayah dan ibunya tidak protes atau menghapus nama Chanyeol dari daftar penerima harta warisan. Bahkan jika anak mereka lurus seperti tiang (maksudnya orientasi seksual Chanyeol, bukan tinggi badannya), mereka tetap akan memberi pengertian kepada sang buah hati untuk menghargai keputusan orang lain, bahwa tidak ada yang salah dengan perbedaan orientasi seksual seseorang. Satu hal lagi yang bisa disyukuri Chanyeol dari keluarganya, ini membuat dia nyaman dengan diri sendiri. Nyaman dengan identitasnya.

Sifat unik kedua yang dia miliki selain ketergantungan terhadap pakaian wanita adalah ketergantungan terhadap bulu-bulu halus pria dewasa. Chanyeol suka pria-pria yang lebih tua. Pria dengan bahu bidang, rahang manly yang keras dan tumpukan rambut pada tubuh mereka, terutama di bagian dagu. Chanyeol lebih tertarik secara seksual pada rambut di dagu mereka ketimbang penis di bawah pusar mereka. Menurut Chanyeol, acara tv The Apprentice jauh lebih menarik daripada menonton sekumpulan cowok remaja ikut audisi pakai topi warna-warni dan celana olahraga kedodoran. Jantungnya kebat-kebit di atas normal tiap kali melihat pria-pria mapan berjas eksekutif muncul di tv, berbicara di podium dengan suara dewasa mereka yang dalam dan bijaksana... ugh! Apalagi janggut, bulu-bulu dan brewok mereka... ugh! Rasanya pingin dia elus-elus sampai rontok.

Chanyeol-sungguh-sangat-jatuh-cinta-setengah-mati!

Dia lebih peduli dengan gambar-gambar iklan di internet yang modelnya tengah asik bercukur sambil telanjang dada atau iklan obat penumbuh kumis yang modelnya bapak-bapak arab berbulu lebat daripada iklan pornografi yang gambarnya dihiasi model-model pria cantik bertangan kurus. Dia suka membaca cerita fan-fiksi tentang kisah percintaan Peter Hale dan Derek Hale dalam film Teen Wolf, yang diperankan oleh Ian Bohen (umur 40) dan Tyler Hoechlin (umur 29). Chanyeol suka! Apalagi dua-duanya tipe-tipe hot daddy yang dagunya enak dielus-elus. Dia sering berkhayal tentang bagaimana jika dirinya yang terlibat cinta segita antara Ian dan Tyler, lalu kedua pria itu rela membunuh demi mendapatkan dirinya. Agak gila ya? Memang! Begitulah Chanyeol. Tolong jangan tertawa.

Walaupun, akhir-akhir ini, harus dia akui, kiblat bendera dunia fantasinya telah berputar arah, menghadap ke pamannya sendiri, orang dewasa yang pernah dekat dengan dia semasa kecil. Kala itu Chanyeol tidak mengerti apa-apa, dia bocah enam tahun dan otomatis alangkah bahagianya diperlakukan bak putra mahkota oleh paman kesayangan. Tapi semuanya berubah saat ibunya menunjukkan foto Yifan pada Chanyeol kira-kira sebulan yang lalu, sebelum pria itu tinggal bersama mereka. Paman Yifan—di mata Chanyeol—sangat memenuhi kriteria pangeran idamannya. Tinggi, tegap, tampan, bahu bidang, sorot mata tajam, brewokan, dan yang paling penting—pria dewasa. Apalagi bentuk aslinya ternyata tidak jauh beda dengan bentuk di foto. Seketika dia ingin... dia ingin... ugh!

.

.

.

.

Chanyeol punya beberapa teman-teman akrab, mereka sering kumpul selain nge-band bareng. Jika kalian berpikiran kalau rata-rata anak band itu playboy dan pemburu wanita berdada besar... nah, sebaiknya mulai detik ini kalian harus tendang pemikiran kolot itu jauh-jauh, karena teman-teman Chanyeol semuanya...

Eng... semuanya...

Pemburu pria berpenis besar.

Oke, kayaknya empat susunan kata diatas kurang sopan. Terlalu frontal! Mari kita ralat.

Pemburu pria berselangkangan menggoda.

Yang tadi juga masih terlalu pornografi. Sekali lagi.

Pemburu pria tampan aduhai...?

Nah, ini agak mendingan.

"Aku ingin kita sesekali kolaborasi dalam hal lain," celetuk Kyungsoo waktu mereka kumpul bareng.

Ryo Yoshizawa—satu-satunya cowok jepang di grup sekaligus drummer—duduk tegak dari posisi rebah, kelihatan super duper antusias. Ryo selalu tampak antusias dalam hal apapun. Dia orang paling positif yang memandang segala peristiwa unik dalam hidup ini dengan kebahagiaan tiada tara bercampur rasa ingin tertawa. Truk penyedot debu, cewek boker di iklan parfum toilet Poo-Pourri, es krim stroberi saus cabai setan, es krim siput goreng tiram, corat-coret kreatif berbentuk curhatan miris di tembok. Kyungsoo yang tiba-tiba mencetuskan ide "kolaborasi dalam hal lain" adalah salah satu contoh peristiwa unik yang pantas mendapat perhatian super darinya.

"Kolaborasi dalam hal apa misalnya?" dia bertanya dengan mata melotot.

Kyungsoo melempar-lempar bantal bola bisbol di tangannya, naik ke udara, tangkap, naik ke udara, tangkap, "Kita harus kolaborasi bikin fanfiction."

Sehun—bassist manis berkulit pucat—berguling dari posisi tengkurap ke posisi terlentang, ikut memandangi Kyungsoo penuh minat. "Fanfiction gay maksudmu?"

"Ya jelaslah, memangnya kau sanggup bikin fanfiction hetero?" balas Nat, menyambar jatah bicara Kyungsoo.

Nat a.k.a Nathaniel Marvin Wolff—satu-satunya penduduk lokal di grup, dalam artian dia lahir dan tumbuh besar di LA, setengah Israel setengah Jerman-Amerika, posisi di grup sebagai gitaris sekaligus vokalis—sering dijuluki pinokio oleh teman-temannya saking tinggi dan lancipnya hidung Nat. Untungnya hidung anggota-anggota lain juga berkecukupan, jadi tidak ada yang merasa iri apalagi terintimidasi oleh kehadiran hidung Nat. Sangat terobsesi pada aktor muda Ansel Elgort dan bercita-cita ingin menikahinya suatu hari nanti. Entah 'nanti' itu kapan.

Nat sering diledeki 'Asia Wannabe', 'Asia abal-abal', 'Cowok kesasar' dan 'Korea gagal' karena teman-teman nongkrongnya orang korea dan hanya dialah satu-satunya kaukasian. Tapi toh, dia tak ambil pusing dengan cibiran orang. Malah, banyak yang menganggap band mereka unik karena baru kali ini ada satu cowok kulit putih rela 'dikepung' orang-orang asia di atas panggung.

Berhubung dia vokalis, otomatis pusat daya tariknya para penggemar, terutama kaum hawa. Rumor versi anak-anak di sekolah mengatakan: dia sedang jadian dengan Margareth si kapten cheers, setelah putus dari Suki si kapten klub cerdas-cermat. Rumor versi anak-anak di band mengatakan: dia sedang jadian dengan Ansel (dalam mimpi basah), setelah patah hati karena dicampakkan oleh Austin si kapten rugby.

Tidak hanya Nat yang dirumorkan pacaran dengan cewek selayaknya pria normal, anggota lain juga tak luput dari pemberitaan miring. Contohnya Sehun yang beberapa minggu sebelumnya dikabarkan terlibat cinlok dengan Heather Lin, partner kelompoknya di kelas biologi. Mereka dituduh terlalu mesra karena duduk berdempetan. Nah, masalahnya, kalau mereka duduk berjauhan, praktikum bedah kataknya tidak bakalan selesai gara-gara Heather kerjanya cuma berteriak dan menangis, cewek itu 'kan phobia katak akut! Walaupun teman-temannya di band curiga cewek manja itu pura-pura phobia katak supaya bisa menempeli Sehun seharian. Apakah Sehun berminat? Jawabannya jelas TIDAK. Jangan mimpi!

Kyungsoo lebih parah. Dikabarkan dekat dengan enam cewek sekaligus! Gara-gara sekolah minggu di gerejanya didominasi oleh anak perempuan ditambah guru-guru sekolah minggu yang semuanya wanita lajang. Hanya ada empat anak laki-laki termasuk Kyungsoo. Itupun tiga anak lainnya semacam pejantan tangguh reinkarnasi Herkules berwajah pemurung. Beramah-tamah dengan mereka sama saja cari mati menurutnya, jadi dia lebih sering bergaul di kelompok cewek.

Wajar Kyungsoo jadi anak emas di sana, karena suaranya paling bagus, anaknya paling ramah, dan obrolannya paling nyambung. Guru-guru juga kerap menggodanya. Jadi enam cewek itu belum termasuk jumlah guru-guru sekolah minggu yang naksir Kyungsoo. Kalau mereka semua ditambah, dijumlah dan dikalikan, maka berita "Kyungsoo dikabarkan sedang mendekati enam cewek sekaligus" perlu dipertanyakan kebenarannya.

Ryo? Yaah, biasalah. Kutu loncat. Gombal sana gombal sini. Padahal target sebenarnya adalah cowok di kelas fotografi bernama Munro Chambers. Ceritanya dia ingin membuat si Munro ini cemburu berat, tapi bukannya Munro yang terkesan, Ryo justru kena karma. Dia kelabakan sendiri menghadapi korban-korbannya yang kebanyakan.

Dari kelima orang itu hanya Chanyeol yang tidak mau repot-repot mendekati siapapun. Dia malah membangun imej cuek dan bikin penasaran. Ibarat harta karun, walaupun diletakkan di puncak gunung tinggi dipenuhi jebakan berduri, yang namanya harta karun pasti banyak yang mau.

Di sini, patut diingatkan sekali lagi, tidak ada satupun anggota grup yang benar-benar normal. Okelah mereka boleh tampan. Okelah mereka boleh keren. Okelah mereka boleh cuek. Okelah mereka boleh bergaya manly. Tapi konotasi "Normal" bagi mereka sebenarnya "Jika masih bisa hidup, bernapas, makan, minum, buang air selayaknya manusia biasa" itulah "Normal" versi mereka. Meskipun sempat terlibat kisah cinta sejenis di sekolah, toh tak ada yang curiga mereka sebenarnya agak beda, karena oknum-oknum yang terlibat pun bersedia merahasiakan hubungannya. Lagipula, mereka dekat dengan siapa saja, baik cewek maupun cowok, terutama anak-anak cewek (bukan karena naksir, tapi lebih kepada ingin berbaik hati sambil dengar gosip-gosip terkini) jadi tak heran kalau banyak rumor simpang-siur tentang hubungan palsu mereka beredar luas. Mereka sih tidak masalah, peduli setan dengan rumor, yang diuntungkan mereka juga. Gara-gara masing-masing member punya 'hubungan palsu', kedok mereka yang sebenarnya jadi tersimpan rapat-rapat di belakang panggung.

Di luar rumah boleh mereka boleh kelihatan manly, tapi kalau pas lagi kumpul begini, entah kemana perginya manly.

"Kita harus bikin fanfiction, diatas satu nama pena," usul Kyungsoo. "Masing-masing bikin cerita, nanti disatukan. Nama penanya pakai nama band kita."

"JANGAN!" pekik Nat terlalu heboh. "Apa kau gila?! Kita jangan pakai nama band!"

"Kalau begitu kita pakai gabungan inisial nama kita," Kyungsoo merengut. "NCKSR. Singkatan dari Nathaniel, Chanyeol, Kyungsoo, Sehun, Ryo."

Nat tepuk jidat. "Sekalian saja kita pasang foto telanjang kita yang sedang berpelukan."

Sehun mengangkat satu tangan tinggi-tinggi. "Aku tahu! Kita pakai nama pena Five's P.!"

Nat menggeleng-geleng protes. "Tidak bisa, tidak bisa, nama band kita Paradiz Five. Kalau cuma dibalik sedikit orang-orang bakal cepat tahu lalu menghubung-hubungkannya dengan kita."

"Jadi? Apa saranmu jenius?" balas Sehun dengan nada dingin, yang membuat Chanyeol bergidik, meskipun nada dingin itu jelas-jelas bukan ditujukan untuk dia.

"Coba WtW Mine," usul Nat. "Aku ambil dari judul film favoritku Were The World Mine. Pokoknya tentang cowok yang merasa teraniaya di sekolahnya karena selalu ditindas, lalu dengan bantuan bunga ajaib Shakespeare, dia bisa merubah orang-orang di sekolah itu jadi gay, termasuk pemain rugby yang dia taksir."

"Pemain rugby seperti Austin mantanmu ya," sindir Sehun.

Nat pura-pura kehilangan telinga.

Kyungsoo buru-buru mencatat di lembar buku note. "Boleh juga. Ada saran lain?"

Giliran Ryo angkat tangan, tampak antusias. "Aku punya usul lain, ini juga film favoritku, Brokeback Mountain, tapi kita bisa plesetkan sedikit jadi Brokeback Cowboys. Karena filmnya 'kan tentang kisah percintaan dua pria koboi. Kita bisa jadi koboi-koboi kasmaran yang keren."

Idih. Apa pula koboi-koboi kasmaran yang keren? Chanyeol hendak memprotes tapi yang lain keburu bertepuk tangan. Idih. Mereka semua setuju jadi koboi-koboi kasmaran? Itukah identitas mereka di dunia maya? Koboi-koboi kasmaran?

Sebuah bayangan ganjil tiba-tiba melintas di kepala Chanyeol, mereka berlima di atas kasur, kompak memutar-mutar tali lasso sambil menduduki pasangan gay masing-masing yang sedang berakting jadi kuda peliharaan, lalu berteriak heroik: "Ahoooy! Kamilah koboi-koboi kasmaran yang keren! Berani dekat, kami jerat!"

"Chanyeol? Kau punya saran lain?" Kyungsoo menoleh ke arahnya.

"Aku..." Chanyeol gelagapan tiba-tiba ditanya. Masalahnya dia belum sempat mengarang nama apapun karena daritadi jiwanya melayang-layang mencari dimanakah gerangan paman tersayang. "Aku ikut suara terbanyak saja."

"Aku mau menulis tentang rapper favoritku si ganteng Kai!" suara serak-serak genit Sehun yang aneh pecah duluan. Matanya berbintang-bintang. "Pokoknya akan kubuat momen kami semesra mungkin."

Kyungsoo memutar bola mata. "Momen kami apa?" cibirnya." Kai itu rapper kesayanganku. Cari rapper lain sana."

"Jadi," balas Sehun dalam nada yang lebih dingin.

Kyungsoo mengernyit. "Apa?"

"Jadi."

Chanyeol bisa melihat bahwa Sehun berniat membuat saingan cintanya itu gemetar ketakutan hanya dengan mengucapkan satu suku kata dan memasang wajah super dingin, tapi usahanya tidak terlalu sukses. Kyungsoo hanya bengong, semakin tidak mengerti.

"Jadi? Apa maksudmu? Jadi apa?"

"Kami—aku dan Kai—adalah dua sejoli yang tak terpisahkan. Aku sudah menunggu momen kami sejak lama. Tidak akan kubiarkan kau merusaknya." Sehun maju selangkah, matanya mirip laser. "Tidak akan."

Ya Tuhan. Sehun benar-benar meniru penjahat di film James Bond. Chanyeol yakin si pucat itu berharap punya kucing putih untuk dielus-elus seperti dalam film.

"Hei, hei, kalian bisa berbagi kan?" saran Nat. "Tidak perlu ribut. Sekalian saja kalian kerja sama, bikin ceritanya berdua. Kyungsoo bisa jadi orang ketiga, atau Sehun yang jadi orang ketiga. Terserah kalian. Ini dalam rangka kolaborasi kan? Nanti aku juga mau bikin kisahku dengan Ansel, terus Ryo jadi orang ketiganya."

"Ih, aku ogah jadi orang ketiganya Ansel. Silahkan ambil dia. Dia untukmu sepenuhnya. Aku rela," ledek Ryo yang langsung mengundang pelototan berang dari Nat. "Soalnya aku sudah punya pasangan sendiri. Masahiro Higashide!" koarnya heboh sambil menunjuk langit-langit pakai tangan kanan, tangan kiri di pinggang, sangat ksatria baja hitam sekali.

Nat mendengus penuh dendam, "Ansel Elgort lebih terkenal dari Masahiro Higashide."

Ryo menyipitkan mata sinis, "Oh ya? Lebih terkenal, heh? Kalau dia lebih terkenal, kenapa aku tidak kenal?" balasnya tak kalah nyinyir.

"Itu karena kerjamu cuma menggoda cewek-cewek tidak penting, coba sesekali nonton film The Fault in Our Stars dasar ketinggalan jaman!"

"Hanya karena aku tidak nonton satu film tentang orang-orang sekarat penyakitan bukan berarti aku ketinggalan jaman!"

"Itu bukan film tentang orang-orang sekarat penyakitan!" suara Nat mendadak naik sepuluh oktaf.

"Lalu kenapa pemeran ceweknya pakai selang infus di hidung?"

"Kau tidak mengerti apa-apa," Nat cemberut sedih. "Sudahlah. Kau mengecewakan. Ansel buatku saja."

"Ya sudah sana!"

"Ya sudah!"

Berisik, pikir Chanyeol muram. Duduk dan terjebak di sini bersama sekumpulan cowok remaja tukang mengkhayal tidak membantunya sama sekali dalam mencerahkan suasana hati.

"Kurasa kita semua tidak masuk akal," kata Chanyeol tanpa tedeng aling-aling. Sudah begitu tidak nyambung pula. Habis ikut-ikut berkelahi dengan teman kita tentang selera cowok masing-masing tidak bakal ada habisnya, jadi sebaiknya dia yang bertugas membelokkan topik. "Apa-apaan kita ini? Pura-pura suka cewek di luar. Tapi nyatanya punya imajinasi seksual dengan aktor laki-laki. Bagaimana ceritanya kita sanggup membohongi diri sendiri biseksual padahal giliran disuruh lihat gunung kembar langsung loyo tak bertenaga?"

"Ngg..." Sehun berdengung tidak jelas. "Aku baru sadar."

"Aku tidak pernah loyo lihat gunung kembar," bantah Ryo. "Maksudku, gunung kembar yang banyak pepohonannya. Mengerti kan? Yang bisa ditempati piknik dan bakar-bakar ikan."

"Yah, sayang sekali, Ryo bodoh, bukan gunung kembar itu yang dimaksud Chanyeol," jawab Nat agak ketus, masih dendam kesumat rupanya.

Chanyeol buru-buru buka mulut menimpali sebelum duo kucing dan anjing itu berkelahi lagi. "Tuh, kalian saja tidak ada yang bisa menjawab. Lagipula orang-orang biseksual itu agak membingungkan, kenapa ada orang yang mau jadi pihak tengah-tengah? Tidak masuk akal! Ceritanya, biseksual ini orang-orang galau yang sulit memutuskan akan berdiri di pihak yang mana."

"Biseksual, aseksual, homoseksual, heteroseksual, panseksual, semua itu pilihan masing-masing," sahut Kyungsoo, kalau nada bicaranya begitu, pasti dia hendak mengucapkan sederet kalimat bijak. "Bukan tugas kita yang menilai mereka salah atau benarnya. Tiap individu punya orientasi seksual yang beda-beda, saling menghormatilah."

Ryo tiba-tiba meloncat berdiri dari kasur, meluruskan badan di hadapan Kyungsoo kemudian pasang pose hormat-grak ala prajurit yang hendak berangkat perang. "Hormat, juragan!"

Kyungsoo memutar mata malas, tak berselera meladeni selera humor aneh Ryo.

Sementara Chanyeol asik menyerocos. "Saking bingungnya, mereka bakal kesulitan sendiri, contoh nih, misalnya mereka lihat ada cewek bahenol lewat, terus bilang, "Wah aku naksir cewek berpantat gemuk itu!" lalu ada cowok cakep duduk sekitar dua meter dari mereka, tiba-tiba selera mereka berubah dalam sekian detik, terus bilang, "Oh, tunggu dulu, aku batal suka si cewek pantat besar, yang kutaksir sebenarnya cowok yang di sana!", kan tidak masuk akal."

"Aku sendiri juga bertanya-tanya," Sehun mengusap-usap dagu, sarat akan perenungan.

"Biseksual itu orang-orang yang fleksibel menurutku, soalnya mereka tidak terpaku sama satu orientasi, mereka bisa suka siapa saja sesuka hati," tukas Nat. "Aku sendiri sudah lama kepingin jadi biseksual."

"Tapi tidak bisa, iya kan?"

Nat mengangguk. "Terlalu susah. Cewek-cewek terlalu berisik."

Ryo menyetujui. "Yap, mereka memang berisik."

"Dan menyebalkan."

"Menyebalkan."

Taktik khotbah panjang lebar Chanyeol berhasil membuat dua orang itu sepemikiran. Dia tersenyum lebar, "Biseksual itu cuma tameng para gay yang galau menurutku," Chanyeol melipat tangan di dada, jidatnya berkerut kritis mirip pakar. "Mereka terlalu malu untuk mengakui diri mereka homo, makanya berpura-pura bilang ke semua orang kalau "Setiap manusia itu indah, baik laki-laki maupun perempuan, kita tidak boleh berpihak, kedua-duanya pantas dicintai", cih, lagu lama. Andaikan mereka bilang, "Sungguh, aku benar-benar biseksual! Aku bisa suka siapa saja!" bukannya malah seram? Gimana nasib anak istrinya nanti? Mendapati fakta kalau suami mereka rupa-rupanya punya simpanan lelaki brondong."

"Tapi bukankah manusia diciptakan punya kecenderungan untuk suka dua-duanya? Laki-laki dan perempuan?" tanya Sehun.

Chanyeol mendengus geli. "Mustahil, ah. Memangnya kau bisa begitu? Ketemu cewek cantik naksir, ketemu cowok gagah naksir. Serius kau bisa begitu? Suka dua-duanya?"

Sehun menunduk ragu, "I-iya sih. Kalau aku pribadi rasanya mustahil. Sampai sekarang saja aku masih tidak berminat dengan Heather."

"Dengan Heather saja?"

"Dengan cewek-cewek lainnya juga," jawab Sehun mendadak yakin. "Entah seleraku yang terlalu langka atau apa, tapi kok di sekolah itu tidak ada satupun cewek-ceweknya yang membuatku tertarik. Aku malah lebih senang nongkrong di pinggir lapangan olahraga, memelototi paha-paha berotot calon-calon atlit."

"Kau suka tonjolan paha ya?" celetuk Nat. "Aku suka tonjolan yang lain."

"Aku suka tonjolan Munro," jawab Ryo sambil mengedip-ngedipkan mata, menjijikkan.

"Aku suka tonjolan Ansel," balas Nat mengecap-ngecap ngiler, sama-sama menjijikkan.

Ryo berdecih, "Ansel lagi." Tapi Nat tidak terlalu menghiraukannya, dia menengadahkan kepala, kedua matanya sayu-sayu ganjil, pasti sedang asyik berfantasi erotis.

Ryo merasa perlu menginterupsi khayalan siang bolong Nat, dia melempari muka bergairah cowok itu pakai bantal, "Jangan di depan teman-temanmu, jorok! Cari kamar mandi sana, bego! Hal paling tidak kuinginkan di muka bumi ini adalah melihatmu masturbasi."

Hal paling tidak diinginkan Chanyeol berikutnya adalah melihat Kyungsoo menyeringai lebar sambil menatap dengan mimik mencurigakan, "Kalau Chanyeol sih jangan ditanya, pasti fans berat tonjolan Paman Yifan."

Mata sendu Nat mendadak bersinar penuh kepedulian, "Paman Yifan? Oh iya, Paman Yifan ganteng-mu mana? Kok aku tidak melihatnya daritadi?"

"Halah," Ryo melempari muka Nat lagi, kali ini pakai guling. "Urus Ansel-mu sendiri. Buat apa tanya-tanya Paman Yifan?"

"Aku 'kan cuma bertanya," Nat merengut gondok. "Memang salah ya peduli pada paman seorang teman?"

Sehun juga duduk tegak, beringsut maju ke depan Chanyeol, "Serius nih, aku juga dari kemarin tidak lihat Paman Yifan. Memangnya dia kemana sih? Apa sudah kaya raya jadi lupa pulang?"

Reaksi cowok-cowok ganjen ini tidak perlu dipertanyakan, mereka memang sudah naksir Paman Yifan sejak pandangan pertama, sejak tahu pria itu punya daya tarik memikat yang sangat sulit ditolak. Hanya saja mereka ogah bersaing dengan teman sendiri.

"Kalian ini," desis Kyungsoo. "Jangan sembarang ngomong. Lihat tuh Chanyeol lagi sedih."

Beginilah resiko punya teman-teman senasib, mereka pasti bakal berebut dan ramai-ramai naksir paman gantengnya. Chanyeol jadi makin ragu untuk cerita. Chanyeol sudah pasti tidak ingin membagi Paman Yifan dengan segerombolan cowok SMA kelebihan hormon ini, sekalipun mereka sahabat dari kecil. Dia menginginkan Paman Yifan untuk dirinya sendiri. Chanyeol tidak mengerti kenapa ada orang yang mau repot-repot mengumpulkan orang asing yang suka memuja diri kita. Apa enaknya dikerubuti banyak orang yang ingin mengerumuni hidupmu? Orang-orang yang mencoba memasuki hidupmu? Mereka itu ibarat serangga yang bertelur di bawah kulit kita. Walaupun, Chanyeol yakin Paman Yifan tidak akan dengan sengaja mengumpulkan para serangga, toh pria itu memang magnet dalam kemasan madu. Magnet madu dengan daya tarik yang terlalu tinggi.

Apalagi Paman Yifan tidak pulang selama berhari-hari, memikirkan paman kesayangannya menuang cocktail sambil main mata dengan cewek-cewek bar membuat Chanyeol marah, tetapi dia tidak mengerti alasannya, kenapa dia harus marah atau dimana harus melampiaskan kekesalannya. Chanyeol sudah menunggu kira-kira... 9 tahun, waktu yang cukup lama untuk bisa bertemu kembali dengan Paman Yifan. Dia tahu betul dia menginginkan pamannya, menyukainya, dan mungkin akan sangat menikmati ciumannya. Di luar alasan-alasan tadi, Chanyeol tidak tahu apa lagi yang dia inginkan dari pamannya. Apa kelanjutan dari itu semua? Yifan bukan anak-anak sepantarannya, juga bukan seorang cowok pemukul bola yang ganteng di sekolah, mereka bukan orang lain, atau dua orang asing yang kebetulan bertabrakan di suatu tempat. Mereka keluarga.

Keluarga...

Tetapi Yifan keluarga yang menyenangkan! Dan berada di dekat pria itu membuatnya merasa aman dan tenang, sesuatu yang jarang dirasakannya ketika dia bersama teman-temannya yang lain atau siapapun. Chanyeol tidak perlu berpura-pura di depan pamannya. Dia bisa menjadi diri sendiri.

Chanyeol menghela napas. Terlau banyak yang harus dipikirkan. Otaknya mulai terasa sakit. Sebelum berubah pikiran, dia mencari nomor Paman Yifan di ponselnya dan menelponnya. Merasakan gelenyar aneh di perutnya, yang dia pikir aneh, karena sejak kapan niat menelpon paman kandung jadi momen paling gugup dan emosional begini. Seperti mau telpon-telponan dengan pacar saja.

"Bagaimana?" Kyungsoo menatap Chanyeol penasaran. "Diangkat tidak?"

Chanyeol menggeleng lemah, lalu mematikan sambungan. "Nomornya tidak aktif."

"Datangi coba," usul Sehun. "Daripada bertanya-tanya tanpa hasil. Mending temui langsung. Tapi sebelumnya kabari dulu."

"Oke, oke," Chanyeol membuka aplikasi messenger. "Tunggu sebentar..." kedua jempolnya menari-nari lincah di atas tuts. "Nah. Sip. Terkirim!"

"Perlu ditemani?" tawar Nat cengar-cengir penuh arti. "Daripada jalan kaki mending naik mobilku."

.

.

.

.

Yifan di sana ketika mereka datang.

Mereka?

Yap, Chanyeol sudah memutuskan untuk numpang di mobil Nat, dengan resiko keempat cowok-cowok kelebihan hormon lainnya ikut. Karena terlalu mustahil membiarkan yang lain jalan kaki sementara dia keasikan diterpa AC mobil.

"Wow... bar ini ramai sekali!" Ryo memandang berkeliling, bibirnya merekah menjadi senyum lebar ketika matanya menangkap segerombolan cowok sedang beraksi menyundul bola bilyar ke sana kemari, dengan tongkat, bukan dengan kepala mereka.

"Aku mau gabung," dia keburu ngeloyor tanpa basa-basi.

"Aku juga!" Sehun menyusul kepergiannya.

Nat curi-curi lirik ke barista bergigi cemerlang yang sedang membolak-balik shaker es di tangan bertatonya. Seperti orang-orang kebanyakan di LA, pria itu mirip model runway, berbadan tegap dan berkulit eksotis, dengan mata cokelat yang indah. Nat agak-agak naksir padanya sejak pertama kali datang, tapi sulit mendekati seorang pria jika ada cincin di jari manis mereka.

Yah. Pupuslah harapannya. "Aku haus," dia melenggang ke salah satu meja kosong. Jalan paling depan dan terlihat elegan. Coba rambut gelap Nat lebih panjang, dia pasti punya sesuatu untuk dikibas-kibaskan.

Kyungsoo segera mengekor di belakang, berjalan cepat-cepat bagai anak itik yang berusaha mengejar induknya. Maklum, diantara semuanya, hanya Kyungsoo yang paling imut-imut, jadi terkadang dia ngos-ngosan setengah mati menjejeri langkah rakus Chanyeol, Sehun dan Nat yang mirip raksasa.

Chanyeol mau tidak mau mengikuti teman-temannya ke meja. Padahal rencananya dia mau langsung menyambangi ruang staff. Siapa tahu ketemu Yifan di... itu dia!

Akhirnya...

Selama lima belas menit Chanyeol hanya menatap takjub, seperti baru bertemu penampakan makhluk mitos. Sementara Yifan dengan santainya menuangkan beraneka macam alkohol ke gelas-gelas bir milik pengunjung, berbasa-basi dengan para pelanggan setia, menuruti instruksi yang diberikan staf-staf senior, dan memastikan semua orang mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Sekarang si paman idola tengah mengaduk-aduk semangkuk adonan sambil bersiul-siul riang. Melihat Paman Yifan terlihat jauh lebih bahagia di luar rumah tanpa kehadirannya malah memperparah mood Chanyeol.

Iya, iya. Chanyeol tahu dirinya memang egois. Habis dia berharap mau melihat apa? Yifan menangis kocar-kacir sambil melempari para pengunjung dengan es batu? Chanyeol benar-benar keliru kalau dia menduga akan melihat pamannya duduk termenung di sudut ruangan dengan wajah bercucuran air mata, memeluk botol bir paling besar lalu memaki pengunjung yang tidak sengaja menginjak sepatunya.

Yifan juga tidak luntang-lantung kesana kemari sambil dicekam penyesalan. Dia kelihatan senang.

Padahal selama ini...

Padahal sms yang Chanyeol kirim bertumpuk...

Tapi kok...

"Chan," Kyungsoo menyikut pelan lengannya. "Kau jadi pesan minuman? Nat sudah mau pesan lho."

"Cepat pesan," ucap Nat lebih mirip perintah. "Mau kutraktir apa tidak?"

Intinya, Chanyeol tidak sedih. Dia cuma kecapekan dan merasa bersalah karena menganggap dirinya sendiri sebagai penyebab hengkangnya Yifan dari rumah. Dan tujuannya kemari hanya untuk melihat pamannya itu baik-baik saja. Memang benar. Dia baik-baik saja.

Jadi apa lagi yang harus Chanyeol khawatirkan?

Bodoh sekali dia karena mengasihani orang lain. Paman Yifan jelas tidak perduli. Siapa tahu kalian lupa, pamannya itu tidak pernah punya perasaan apa-apa. Jika Chanyeol tidak wara-wiri dan sibuk menggodanya, akankah pria itu bersedia menatapnya penuh hasrat? Tentu saja tidak! Malahan, jika seandainya Yifan tidak pernah muncul di LA, akankah mereka tetap saling berkomunikasi? Chanyeol tidak yakin. Kedengarannya memang jahat, tapi tidak ada gunanya lagi dia membohongi diri sendiri. Lagipula hasrat itu sama sekali berbeda dengan perasaan sayang. Tidak ada cinta di dalamnya, murni nafsu. Yifan sengaja menghindarinya karena tak ingin terlibat lebih dalam. Karena dia tahu hubungan mereka tidak mungkin.

Kenapa Chanyeol baru sadar sekarang sih?

"Selamat datang adik-adik manis cantik!" kata sebuah objek buram yang barangkali adalah Jongdae. "Kalian sudah memutuskan mau pesan apa? Hari ini ada diskon spe—hei, Chan, matamu kok berkeringat ya?"

Eh? Berkeringat?

"Chan!" Kyungsoo meremas pundaknya dan mengguncang-guncangnya, "Kenapa? Ada apa? Matamu kemasukan debu?"

Kyungsoo ini... kenapa malah melontarkan pertanyaan bodoh?

Chanyeol menggeleng, lalu buru-buru menghapus secuil air tidak sopan di matanya. "Bukan. Ini keringat. Maaf ya, aku permisi dulu, kalian pesan duluan saja," Chanyeol menarik diri, bangkit dari tempat duduk secepat yang dia bisa, tanpa perlu berkontak mata dengan Kyungsoo, Nat, maupun Jongdae.

Chanyeol berhasil sampai ke toilet sebelum jantungnya sempat meledak lalu berhamburan. Dia duduk di atas toilet yang tertutup selama beberapa menit dengan kepala bertumpu di atas lutut, bernapas sepelan dan sedalam yang dia bisa. Pikirannya kalut marut.

"Apa kau baik-baik saja di dalam sana?" Itu suara Kyungsoo. "Kami mengkhawatirkanmu."

"Aku baik-baik saja," jawab Chanyeol gemetaran. "Aku akan keluar beberapa menit lagi."

"Yakin?" kali ini Nat. "Semoga kau tidak berencana mengiris apapun. Kami bisa langsung mengantarmu pulang kalau kau berhasil keluar dengan selamat."

Chanyeol menggerung, "Aku tidak mau bunuh diri! Cuma sakit perut!" Damn. Bisa-bisanya Nat berprasangka yang jelek-jelek begitu tentang dia. "Pokoknya perutku mulas sekali. Aku kebelet buang air besar." Chanyeol menirukan suara ledakan-ledakan pantat seperti 'mprtt... prftuuutt... berrttt', lalu berakting ngeden sekuat tenaga. "Tuh kan, kalian dengar?"

"Aneh sekali. Kok kami tidak mencium bau amis," jawab Kyungsoo.

Sialan dia.

"Chan, kami bisa mendobrak pintu ini, lho. Atau setidaknya, Nat yang akan mendobrak pintu ini dengan kaki pohon cemaranya," ancam Kyungsoo, tidak terdengar menakutkan.

"Aku juga bisa mendobrak pintu ini pakai ubun-ubun Kyungsooo yang sekeras batu marmer. Jadi jangan macam-macam."

Ck, mereka malah berlomba-lomba melontarkan lelucon jayus yang tidak ada lucu-lucunya. Chanyeol makin jengkel. "Sudahlah, kalian kembali saja. Nanti aku menyusul."

Ketika dia yakin teman-temannya sudah pergi, dia membuka pintu bilik dan berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan dan wajahnya. Tungkai kakinya seperti tidak bisa menopang badan dengan benar sehingga dia harus bersandar di pinggiran wastafel. Air tidak membantu mencerahkan matanya, dia terlihat lebih buruk, pucat dan berhidung merah.

Dalam perjalanan kembali ke meja, Chanyeol menangkap ada empat wajah sekaligus yang menatapnya dari kejauhan.

"Astaga, kau sepucat mayat." kata Ryo prihatin bercampur kasihan, senyumnya pupus setelah Chanyeol mendekat dan duduk di sampingnya.

Sehun menepuk-nepuk lengan kiri Chanyeol. "Menurutku sebaiknya kau pulang. Nat tidak keberatan kok mengantarmu. Iya kan, Nat?" dia menoleh untuk mendapat persetujuan si empunya mobil.

Nat mengangguk. "Kalau perlu kita ganti suasana, kita pergi ke tempat lain."

"Wuhuu!" Malah Ryo yang bersemangat, meja dia gebruk-gebruk seolah sedang memukuli drum, mengundang perhatian pengunjung sekitar, mereka kompak berhenti minum kemudian menengok heran.

"Soalnya aku tahu tempat yang bagus, aku akan mengajak kita ke suatu tempat yang seru sampai Chanyeol lupa caranya menangis."

"Atau... kita tidak usah kemana-mana."

Ucapan Kyungsoo mirip pesona sihir. Semua orang diam, terpaku sesaat. Orang-orang di meja Kyungsoo, bukan semua orang di bar ini.

"Jadi... apa yang akan kita lakukan?" Chanyeol menggigit bibir. Sedangkan tiga lainnya tenggelam dalam kekecewaan karena batal bersenang-senang. "Tolong jangan suruh aku mendekat kesana, karena tidak ada gunanya. Sudah kuputuskan untuk menyerah sampai di sini." Dia berbicara dengan nada tenang, tapi tetap terdengar goyah.

"Ya Tuhan, jelas tidak!" Kyungsoo menggeleng cepat, balas memelototi Chanyeol seakan ide itu super gila. "Aku bukan mau menyuruhmu mendekati pihak lawan. Nah, sebelumnya aku minta maaf karena menyebut Paman Yifan 'pihak lawan'. Tapi karena dia tidak peka dan berpura-pura kau semacam hantu, maka untuk sementara kita sebut dia begitu. Lagipula kau tidak boleh menyerah secepat ini."

"Betul. Kita tidak boleh pulang," protes Sehun berapi-api. "Kau sedang menjalankan suatu misi. Kau perlu menuntaskannya. Akulah yang mengusulkan ide supaya kau mendatangi dia secara langsung. Menyerah sekarang berarti kau mengkhianatiku," ucapnya berlagak amat sangat terluka.

Tatapan judes Chanyeol beralih pada Sehun. "Tapi aku sudah tidak tahu harus gimana lagi selanjutnya. Aku tidak—" Chanyeol mendadak bungkam, mana mungkin dia berani cerita soal umpan celana dalam merah berenda favorit pamannya. "Pokoknya aku tidak bisa! Aku telah gagal dan dia tidak peduli, melirik sedikit pun tidak!" Nada tinggi Chanyeol teredam suara Lady Gaga yang asik bersenandung, "Rah-rah-ah-ah-ah-ah! Roma-roma-mamaa! Ga-ga-ooh-la-la! Want your bad romance! Rah-rah-ah-ah-ah-ah! Roma-roma-mamaa! Ga-ga-ooh-la-la! Want your bad romance!" seperti hendak mengejek Chanyeol. Bad Romance... itulah dia. Lagu ini sedang menyindir dia rupanya. Siapa yang sengaja memutar lagu ini? Paman Yifan?! Mood Chanyeol semakin drop dead. Dia kehilangan nafsu bicara.

"Sebenarnya..." sela Kyungsoo. "Sempat terlintas di kepalaku suatu ide."

"Oh ya?" Ryo menatapnya antusias. "Apa?"

"Agak aneh sih," Kyungsoo sedikit ragu-ragu. "Agak gila, bahkan."

"Kalau begitu ayo ceritakan," desak Ryo diangguki oleh tiga kepala. "Apa ide gilamu?"

Kyungsoo masih tampak tidak yakin. "Sudah kubilang... kau pasti tidak bakal suka."

"Tidak apa-apa," ujar Nat memberi dukungan. "Kau selalu punya ide-ide gila yang bagus. Ceritakan, Fungi." Dia menjuluki Kyungsoo 'Fungi' karena waktu masa kanak-kanak dulu, model rambut andalan Kyungsoo mirip kubah jamur. Meskipun Kyungsoo sudah tidak sudi rambutnya dipotong model kubah jamur lagi, panggilan sayang itu tetap melekat di jidatnya sampai sekarang.

"Oke," Kyungsoo ragu sejenak, kemudian mencondongkan tubuh ke depan, kursinya ditarik lebih maju. "Aku ingin Chanyeol mendekatkan telinga."

Chanyeol mendekatkan telinga dengan patuh namun agak ragu.

"Gimana, Chan? Kau setuju?" Kyungsoo dan wajah-wajah lainnya menatap penuh harap.

Dengan bimbang Chanyeol menoleh menatap pamannya yang menjelma menjadi orang asing tidak peduli. Lalu menatap teman-temannya.

"Oke," jawabnya pasrah. "Apa aku kelihatan punya pilihan lain?"

Keempat-empatnya bersorak.

.

.

.

.

Yifan tahu dirinya bodoh. Oke. Egois juga. Tapi dia sengaja bertingkah bodoh dan egois bukan tanpa alasan. Ini demi kebaikan Chanyeol. Dia yakin sedang melakukan hal yang benar. Memang agak jaha... jujur. Bukan jahat, dia mencoba untuk bersikap jujur. Kadang-kadang kau harus bertindak jujur walaupun kelihatannya jahat, untuk menunjukkan pada yang bersangkutan kalau perilaku mereka kurang pantas dan itu keliru! Dia tidak bisa berpura-pura menyukainya... yah, well, meskipun Yifan memang menyukainya. Tapi sekali lagi... itu keliru. Sangat keliru!

Tentu saja reaksi Chanyeol buruk, tentu saja dia marah-marah. Awalnya selalu begitu, tapi suatu hari nanti dia akan berterima kasih pada Yifan, sebagai paman kesayangannya—dalam artian positif, karena telah menyadarkannya dari sesuatu yang salah.

Yah, mungkin...

Dia mungkin akan berterima kasih pada Yifan... suatu hari nanti... mungkin...

Yah, oke, kecil kemungkinannya Chanyeol akan berterima kasih. Tapi intinya, Yifan adalah seorang paman. Oke? P-A-M-A-N.

Seorang paman teladan tidak melarikan diri saat situasi sedang sulit. Apa? Tidak! Ini bukan melarikan diri! Yang dilakukan Yifan sama sekali bukan melarikan diri. Dia sedang memberi pelajaran. Melarikan diri... memberi pelajaran. Itu dua hal yang berbeda. Catat!

Yifan sudah bertekad kuat tidak akan menerima omong kosong lagi. Dia harus tegas, penuh kemantaban hati, dan tidak teralihkan oleh penampilan—

Astaga, itu dia.

Berjalan dengan santai, pakai atasan kemeja merah maroon yang keren dipadu celana panjang denim biru agak longgar tapi sempurna, semua itu memperindah penampilannya. Tanpa cela. Kulitnya mengilat dan senyumnya menawan. Yifan seketika lupa diri. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah Chanyeol masih pakai celana da... arkkh! Otak nakal!

Tersenyum. Teruslah tersenyum. Jangan lihat matanya. Jangan lihat.

"Hai, Chanyeol. Senang sekali melihatmu di sini. Ada apa?" tanya Yifan dengan akting super jeleknya.

"Paman," Mimik muka Chanyeol tampak formal dan resmi. Sensasinya seperti berada di persidangan cerai atau upacara kenegaraan. Dan reaksi Chanyeol itu sukses membuat Yifan merinding. "Ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu," lanjut Chanyeol, suaranya gemetar dan sorot tatapannya tertuju pada suatu titik di belakang bahu Yifan. Dia sungguh-sungguh mengikuti instruksi Kyungsoo. "Aku tahu mungkin selama beberapa minggu ini tindakanku kurang pantas. Dan..." Chanyeol tarik-buang napas. "Aku benar-benar ingin minta maaf karena telah menempatkanmu dalam posisi yang sulit."

Yifan serta beberapa bartender dan pengunjung di sekitar lokasi membeku di tempat, ikut menyimak kemana arah pembicaraan anak muda canggung ini.

"Makanya aku ingin kita memulai lagi dari awal. Duduk bersama, mengobrol, selayaknya paman dan keponakan. Tidak ada prasangka. Setelah itu aku berjanji tidak akan mengganggu paman lagi. Apa paman bisa melakukannya untukku?"

Dari reaksi Chanyeol sekarang, anak itu seperti ingin menangis, tapi mati-matian dia tahan. Yifan jadi tidak tega. Ya Tuhan, mungkin dia sudah kelewatan. Demi setan, Yifan tak pernah membuat keponakannya itu bersedih sebelum-sebelumnya...

Apa-apaan sih dia?

Terjadi keheningan canggung ketika tidak ada satupun yang berbicara. Yifan memandangi Chanyeol dan mengamatinya dengan penuh perhitungan.

"Baiklah, apa yang bisa kulakukan untukmu?" kata Yifan akhirnya menyerah.

Chanyeol masih memandangi satu titik di belakang bahu Yifan, dia bahkan cuma tersenyum sedikit. Persis waktu mereka masih jadi orang asing yang baru dipertemukan kembali.

"Temui aku di rumah nanti malam. Kita berdua saja."

"O...oke." Perasaan Yifan berkata ada sesuatu yang tidak beres karena jantungnya berdebar kencang. Naluri Yifan tidak pernah salah. Di sisi lain dia tak bisa kabur dan mengecewakan keponakannya. Bahu Yifan merosot. Pokoknya dia pasrah. Apapun yang terjadi. "Baiklah. Tentu saja aku bisa."

"Oke kalau begitu," Chanyeol melangkah mundur lalu berjalan pergi menyusul teman-temannya yang sudah berdiri di pintu. "Sampai jumpa, paman. Sampai ketemu di rumah."

Jongdae geleng-geleng kepala, "Man, apa-apaan tadi? Obrolan keluarga yang sangat menarik. Kalian seperti bukan paman dan keponakan," ada dengusan geli dan tawa tertahan dalam suaranya.

Yifan ingin tertawa—hanya saja dia terlalu pusing untuk melakukannya. Miris. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka situasinya akan berjalan serumit ini. Pura-pura kehilangan ponsel dan menghindar terbukti tidak memberikan pelajaran apapun pada Chanyeol.

"Apa kau bakal pulang nanti malam?" tanya Jongdae.

"Mau bagaimana lagi?" Yifan menyahut. "Aku harus pulang. Mau tidak mau."

Jongdae menepuk pundaknya lalu meremasnya. "Kalau begitu semoga beruntung, kawan. Semoga kalian benar-benar bisa ngobrol selayaknya keluarga kali ini. Yaah, sebagai paman dan keponakan."

Yifan meringis. "Amin."

.

.

.

.

Suasana di Skybar memang menyenangkan, orang-orang di sana tidak sulit diajak berteman, ditambah lagi pemiliknya—seorang pria kulit hitam berkepala plontos—benar-benar ramah. Jongdae sendiri orang yang bersahabat dan rela berbagi kamar dengan Yifan, kalau-kalau dia tidak ingin pulang dan sudah kerasan tinggal di sana. Tapi Yifan tidak bisa. Alangkah tidak tahu dirinya dia sebagai adik kalau sampai main minggat begitu saja tanpa pernah pamit. Lagipula, pikiran-pikiran tentang Chanyeol sangat menghantuinya. Dalam perjalanan pulang, dia tak henti-hentinya melihat Chanyeol bergentayangan di setiap sudut bangunan. Perasaan yang amat sangat menyiksa! Yifan tahu persis anak itu sengaja melakukannya, menunjukkan padanya, seakan-akan dia semacam tontonan menarik dan dia ingin sang paman yang polos melihat semua itu. Dia suka... sialnya dia justru tertarik membayangkan Chanyeol setiap hari lalu menjadi gila, dan dia berani bertaruh akan menyerahkan apa saja demi untuk bertemu keponakannya lagi. Kenapa pula dia pake menghindar segala?! Memangnya masalah ya kalau dia punya keponakan aneh yang keranjingan seks dan suka memakai pakaian perempuan?

Yifan berhenti di tempat, instingnya mengatakan kalau dia tidak sendirian di jalan sepi ini, lalu menoleh untuk memeriksa jalanan lengang nan gelap di belakangnya. Perasaan tadi ada suara kasak-kusuk orang melangkah?

Angin malam bertiup di sekelilingnya, menusuk tulang walaupun dia sudah pakai jaket tebal. Pohon-pohon di atas kepalanya membungkuk dan bergetar. Di atas atap-atap rumah yang gelap, bulan yang bersinar pucat timbul-tenggelam di balik awan.

Gelap sekali di sana. Lampu jalanan di pojok mati, mungkin bola lampunya putus.

Ketika memalingkan muka, di seberang jalan dia melihat empat anak kecil tertawa cekikikan ketika mendekati rumah yang ada lampu berbentuk bangau di terasnya. Barangkali suara langkah anak-anak itu yang tadi dia dengar.

Yifan mengedikkan bahu tidak perduli, acuh tak acuh kembali melangkah menyusuri jalan yang gelap.

.

.

.

.

Cowok mungil berjongkok ketakutan di belakang tembok, meringkuk sedalam mungkin di tempat persembunyiannya. Tiga menit lewat dengan sia-sia, dia masih tidak berani bergerak, mengintip, ataupun bernapas. Dia takut ketahuan. Sumpah. Orang itu tinggi besar dan brewokan! Bagaimana kalau dia bawa pulang bogem mentah di pipi gara-gara ketahuan menguntit? Ck. Ini semua salah Chanyeol. Merepotkan! Lagipula jatuh cinta kok sama paman sendiri. Dasar anak aneh.

Kyungsoo mengintip pelan-pelan begitu dia dengar suara langkah kaki yang semakin jauh. Syukurlah ada empat ekor kambing hitam lewat di sekitar lokasi pengintaian, jadi nyawanya terselamatkan. Begitu kondisinya benar-benar aman, Kyungsoo kembali menyalakan ponsel dan menghubungi nomor Chanyeol.

.

.

.

.

Begitu sampai di rumah, benar saja dugaannya, lampu-lampu ruangan seluruhnya gelap, hanya menyisakan satu lampu remang-remang di ruang makan. Berarti seisi rumah sudah terbang ke alam mimpi. Yes, yes, yes. Aman. Itu artinya Chanyeol juga sudah tidur.

Meski dengan pencahayaan minim, Yifan berhasil melalui ruang tamu dan lorong tanpa menabrak sesuatu dan membangunkan seisi rumah. Dia samar-samar menyadari ada cahaya redup yang datang dari celah-celah pintu kamar tidurnya yang entah kenapa terbuka sedikit. Apa waktu pergi dulu dia lupa menutupnya? Apa tidak ada seorangpun yang perduli dengan pintu kamarnya? Dia tak terlalu memperhatikan keanehan itu, dan mendorong pintu tanpa pikir panjang, hingga pintu terkuak lebar, menampakkan punggung seseorang...

"Chanyeol?!" Yifan nyaris menjerit kemudian pingsan, tapi untung dia berhasil mengontrol rasa kagetnya. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya buru-buru menutup pintu sambil melotot.

"Menunggu paman," Chanyeol menjawab polos, disertai cengiran sedikit.

Chanyeol berdiri di tengah ruangan, berhadapan dengan cermin. Yifan tidak bisa bergerak, tidak bisa berkata-kata, dia hanya membeku di pintu, menatap shock. Chanyeol mengenakan gaun hitam ber-glitter yang roknya mekar seperti bunga, begitu lembut, begitu pendek, begitu menonjolkan paha mulus jenjangnya dan mengekspos puncak renda dari stocking yang membungkus kaki panjangnya. Dia tampak lebih tinggi dari biasanya, dan ketika Yifan berhasil menggerakkan leher, dia lihat sepatu merah polos dengan hak sekitar tiga inci terpasang di kaki Chanyeol. Dadanya telanjang nan putih di bawah cahaya lampu yang redup, ikat pinggang warna keemasan tersandang rendah di pinggangnya, mempermanis rok bunga-bunganya yang mekar bagai air terjun sutra yang indah. Make-up di wajah Chanyeol tampak halus dan natural, tapi dia yakin disekitar mata anak itu ada perpaduan warna hitam dan trik permainan warna yang rapi, dan bibirnya tampak bersinar, lebih penuh, dan lebih merah dari biasanya. Seolah-olah wajah itu telah dirias oleh tangan-tangan para pakar kecantikan yang terlatih, seolah-olah ini bukan kali pertama dia menggunakan make-up. Ya Tuhan, jangan bilang keponakannya sering dandan sembunyi-sembunyi tengah malam begini? Disaat semua anggota keluarga yang lain terlelap pulas. Yang benar saja...

Yifan begitu sibuk memelototi setiap jengkal dari tubuh Chanyeol, matanya menari-nari disana-sini, hinggap mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala, sampai-sampai dia tidak sadar tatapan Chanyeol begitu menusuk ke matanya, penuh keyakinan. Sepasang mata bulat yang indah, tersirat berjuta makna, berhasrat, penuh pengharapan, serta terpancar keinginan kuat untuk memiliki.

Yifan masih asik menikmati pemandangan indah di hadapannya. Dia tidak tahu berapa lama dia berdiri diam dan hanya menatap, terlalu banyak hal yang bisa dilihat, terlalu banyak yang bisa dinikmati, semua terbungkus dalam satu paket lengkap di depan mata. Ketika tatapannya naik ke wajah Chanyeol lagi, tiba-tiba dia menyadari ekspresi yang terpasang di sana: Menantang, sekaligus puas. Puas karena orang yang dia harapkan terpesona setengah mati. Puas dengan penampilannya sendiri.

Chanyeol tidak bergerak panik, atau malu-malu, atau salah tingkah, dia tidak bersembunyi di belakang gorden atau menutupi dirinya. Dia tetap berdiri di sana, lurus, memandangi Yifan penuh harap. Juga menantang. Yifan tahu anak itu tidak akan bergerak, dia sengaja melakukan ini semua, berdiri di sana. Justru itulah yang bocah ini harapkan, menunggu Yifan pulang, lalu menyambutnya dengan cara mengejutkan. Sekarang keputusan sepenuhnya ada di tangan Yifan, mau dia lempar begitu saja kesempatan ini ke air dan membiarkannya musnah, atau bermasa bodoh dan melangkah maju, memanfaatkan lawan main yang sedang ready-to-fuck di hadapannya.

Yifan telah membuat keputusan. Dia melangkah lebih dekat sambil bergumam, "Aku tidak... aku..." Apa yang harus dia katakan? Otaknya benar-benar korslet saat ini. "Kau kelihatan sangat... cantik, Chanyeol. Benar-benar... sangat..." Yifan bingung harus berkomentar apa selain, "Spektakuler!"

"Kumohon jangan bilang siapa-siapa," katanya dengan suara serendah mungkin, berat dan serak, menggelitik lubang telinga Yifan, "Please..." Dia menekan kedua tangan di pahanya, mendorong rok-nya naik perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Yifan dapat melihat pita hitam di ujung stokingnya, sangat mencolok di kulit pucat anak itu. Dia melihat gerakan tangan Chanyeol yang sedikit bergetar ketika dia menarik ujung rok-nya lebih lanjut.

Mata Yifan menangkap sekilas kain merah berenda yang familier di balik rok Chanyeol, dan sebelum pikiran dan hatinya sadar seratus persen, sekujur tubuhnya lebih dulu bereaksi, menerjang maju, tangannya mencengkram pinggul kurus Chanyeol dan menabrakkan tubuh rampingnya ke tembok, mulutnya menyerang bibir mengkilap Chanyeol tanpa ampun, kalau bisa sampai mereka berdua sama-sama kehabisan napas.

Namun, beberapa bagian dari dirinya masih berharap untuk didorong, atau bahkan dijotos sekuat tenaga. Tapi yang dia dapati malah gerakan rileks Chanyeol di bawah kurungannya dan mulutnya terbuka, tidak ada penolakan sama sekali. Yifan lebih dari terkejut. Ketegangan sirna, dan lidah Chanyeol mendorong masuk ke dalam mulutnya, ciuman mereka panas dan panik, membuat kepala Yifan serasa berputar. Dia bisa merasakan dada Chanyeol terhadap dirinya, bisa merasakan kulitnya yang halus, dan panas...

Perasaan itu menyambar-nyambar di kepalanya seperti petir. Yang tercetus di pikirannya saat ini adalah cepat-cepat membuang Chanyeol ke atas tempat tidur, mendorong rok-nya dengan liar, merobek celana dalam merahnya dan... dan... entah apa lagi. Yang penting sang keponakan manis terengah-engah dan sesak napas di bawahnya, dia ingin melihat gambaran nyata wajah sang keponakan yang kacau balau, dengan eyeliner yang belepotan, lipstik yang tercoreng sampai ke pipi serta stoking yang kusut karena ditarik. Dia ingin mendengar suara-suara berisik itu di telinganya. Dia ingin menjadi penyebab suara-suara berisik itu. Dia tidak ingin terjebak sendirian, frustasi seperti malam-malam kemarin, melampiaskan amarahnya di kamar mandi lalu berpura-pura tidak memikirkan Chanyeol sama sekali.

Oke, ini... ini tidak benar. Tidak seharusnya dia melakukan ini. Apa-apaan?! Apa yang kau lakukan Yifan?! Sadarlah, Chanyeol itu keponakanmu, anak Yixing—kakak kandungmu, parahnya dia remaja laki-laki! Tidak peduli seberapa besar Yifan menginginkan Chanyeol, tidak perduli berapa tahun-tahun hilang yang telah Chanyeol lewatkan tanpa kehadirannya, tanpa kehadiran Yifan yang mendampingi masa kecilnya, tetap saja tidak mengubah fakta kalau mereka memiliki hubungan darah. Mereka berbagi darah.

Oh, jangan lupa Junmyeon, Yixing dan Anson masih tinggal di bawah atap yang sama dengan mereka.

"Please," bisik Chanyeol tiba-tiba, menarik Yifan keluar dari pergulatan batin. Napasnya terengah-engah. "Please don't..."

Yifan menelan ludah. "Jangan apa?" Dia bahkan tidak sadar kalau ciuman panas mereka sudah berhenti daritadi.

Bulu mata Chanyeol bergetar, tebal dan gelap saat ia melihat ke bawah lantai. "Don't stop me," katanya, lalu menarik Yifan kembali dalam ciuman berantakan.

"Kita tidak bisa melakukan ini, tidak bisa..." Yifan tergagap dan menjauhkan Chanyeol dari bibirnya, meskipun otaknya sudah tiba di ranjang lebih dulu, apa yang Yifan lakukan jelas berlawanan dengan suara dalam dirinya yang berteriak, "Banting dia, kawan! Ayo banting! Kasur tepat di belakang kalian, dan dia sudah jamuran karena menunggu!"

Jari Chanyeol agak berkedut saat menarik ujung roknya lagi, mengangkatnya, dan dia sedikit memiringkan kepala menatap Yifan, tatapannya sungguh-sangat-tidak-dapat-ditolak. Yifan mengikuti arah tatapan Chanyeol, dia ikut menunduk dan melihat celana berenda merah itu sedang menggodanya di bawah sana. Warnanya cerah, tipis, transparan, dengan benda panjang nan keras menonjol di balik kain.

"Aku mencintaimu. Aku selalu menunggu saat-saat ini sejak lama," Chanyeol berbisik lirih, "Aku senang sekali waktu melihatmu di bandara, berpikir akhirnya impianku terwujud. Jadi tolong jangan pergi, jangan tinggalkan ak—" Tapi Kris menelan sisa kata-katanya dengan ciuman, satu tangannya mencengkram pinggul Chanyeol dan tangan yang lain meluncur di bawah rok, menekan lembut, merasakan kulit kejantanan keponakan manisnya panas dan bereaksi keras terhadap telapak tangannya.

Yang mengejutkan, Chanyeol mengerang, panik dan senang, jantungnya melompat-lompat. Sewaktu-waktu seseorang bisa saja mendengar mereka, terus merebos pintu dan menemukan mereka dalam posisi ganjil seperti ini.

Chanyeol tergagap, jari Yifan menerobos celah dalamannya, menekan-nekan puncak kepala penisnya, naik-turun, setelah itu tangannya bergerak memompa, naik-turun. "Oh, fuck-"

Yifan mendadak ingat, Chanyeol belum pernah disentuh oleh siapapun sebelumnya, dan tiba-tiba perasaan bersalah memenuhi kepalanya.

"Jangan berhenti, Paman..." gumam Chanyeol, napas gemetar, "Terus... lakukan..."

Sungguh menakjubkan, betapa cantiknya Chanyeol, dengan pipi memerah dan rasa frustasi ingin dibelai yang terlalu kentara, ini akan jauh lebih mudah jika keponakannya itu wanita tulen. Tapi... dimana serunya?

Yifan dengan buas dan serampangan kembali menggerakkan tangannya, menggerayangi tekstur renda dan kulit di bawahnya. Chanyeol menggigit bibir bawahnya, matanya terpejam rapat.

Yifan tidak perlu mengatakan "naik ke tempat tidur", karena punggung Chanyeol sudah terbang secara sukarela ke sana. Yifan memanjat di atasnya dengan kaku, merangkak hingga posisi hidungnya benar-benar menyentuh hidung Chanyeol. Yifan membungkuk sedikit, bibirnya menekan kulit Chanyeol lagi, lalu bibir, kemudian ke lehernya, menghisap lembut kulit putihnya. Chanyeol membuka pahanya lebar-lebar, melingkarkannya di pinggang Yifan. Dia bisa merasakan ereksi bocah itu menekan perutnya.

"Kenapa kau... kenapa kau berpakaian seperti ini?" tanyanya, berharap Chanyeol tidak akan malu atau tersinggung.

"Entahlah," Chanyeol bergumam. "Aku hanya merasa lebih... nyaman."

"Kau menyukainya?" tanya Yifan. Dia benar-benar penasaran, sama penasarannya keinginan untuk melepas stoking yang dikenakan Chanyeol untuk, yang membuatnya tampak begitu menarik.

Chanyeol menggeliat, pipinya merah delima. "Ya," katanya, "Ya, begitulah aku... shit..." Napas Chanyeol putus-putus, bibir merahnya terbuka dan megap-megap. "Paman Yifan..."

Tangan Yifan bergerilya ke bawah, menyentak ujung rok Chanyeol naik ke pinggangnya. Dia menarik celana dalam bocah itu dari pinggulnya, mencoba mengeluarkan kejantanannya yang keras dan panjang. Chanyeol sudah menggeliat kesetanan di bawah tindihannya, tidak sabar. Yifan menggenggam ereksi keponakannya yang kaku, sekeras besi.

Chanyeol terengah-engah, dan menggigit bibirnya lagi, keras, bibirnya merah dan perih. Matanya melirik ke pahanya yang gelap oleh stoking, melihat Yifan mengencangkan cengkeramannya, menggerakkan jempolnya, memutarnya cepat di atas kepala kejantanan Chanyeol. Yifan berhenti sesaat, ingin benar-benar melihat sekali lagi ekspresi berpeluh keponakan manisnya. Rok itu terbelit di sekitar pinggang Chanyeol yang kurus, dan salah satu stokingnya telah hilang, Yifan membiarkan satu stoking agak kendur di sekitar paha jenjang Chanyeol. Yifan menjilat bibir, mengulum dan menjilati kemaluan di antara kaki Chanyeol, celananya sendiri mengetat saat dia mengocok penis Chanyeol dengan bibirnya, licin dan panas, mengisapnya lebih dalam ke mulutnya. Chanyeol mengeluarkan suara tercekik di tenggorokannya, lalu menyumpal mulutnya rapat-rapat dengan tangan, satu tangan lagi menarik seprai hingga terlepas dari kasur. Yifan terus bergerak, bibirnya meluncur ke atas dan ke bawah di penis bocah itu. Menggoda ujungnya. Sudah lama sekali dia menginginkan ini, menunggu keponakan mengakui perasaannya, menyerahkan dirinya secara sukarela, dan berhenti bermain cuek. Yifan memerhatikan ekspresi tersiksa Chanyeol yang sedang menengadahkan kepala. Kemudian pria itu meremas sesuatu yang kenyal di bawah penis Chanyeol, memainkannya dengan jari, menjilatinya.

Yifan melirik tenggorokan Chanyeol, bulatan jakunnya bergerak sangat menggoda saat dia mengisap dengan napas tajam. Dia menjilati satu garis panjang di penis Chanyeol, dagunya yang belum dicukur sedikit menyentuh kulit Chanyeol saat kepalanya bergerak-gerak.

"Apa?" bisik Yifan.

"Brewokmu," bisik Chanyeol, tapi dia menyeringai lebar.

"Aku... aku minta maaf," gumam Yifan, lalu menyentuh rambut kasar di dagunya.

Chanyeol menggeleng. "Tidak, tidak." katanya, pipinya memerah lagi, "Aku suka kok."

Yifan hanya menatapnya beberapa saat, kemudian beraksi kembali, menelan semuanya sedalam yang dia bisa, menjilati puncaknya yang sudah basah dengan ujung lidahnya. Chanyeol mengerang. Gemetar dipenuh sensasi gatal dan hasrat yang gelap. Yifan membuka ritsleting celanya sendiri dengan tergesa-gesa, tidak dapat menahan diri lagi, melepas celana dan melemparnya entah kemana, kemudian mencengkeram kemaluan Chanyeol. Dia mengocok penis Chanyeol kembali, merasakannya, bermain-main dengan urat-uratnya yang terukir jelas, menekan 'pintu'-nya dengan lidah, mendongak untuk melihat Chanyeol melengkungkan punggung. Yifan menghantamkan penisnya yang besar tanpa aba-aba, lebih besar dari milik keponakannya, ke lubang Chanyeol yang berkedut-kedut. Hangat sekali...

Menjepit batang kemaluannya... basah, ketat, sempit, dan nikmat, menelan seluruhnya begitu dalam... seperti mulut pelacur wanita.

Yifan sengaja menariknya kembali, mendengar Chanyeol merintih protes sebagai jawaban.

Chanyeol hampir tidak bisa berkonsentrasi pada dirinya sendiri saat ini, celana renda-renda merahnya tersangkut di antara kedua pahanya, terjepit di sekitar tumit, rambutnya berantakan, basah oleh keringat, sementara pria di atasnya sebodo amat, terus menusuk dan menghajar manhole-nya. Yifan tahu Chanyeol sudah hampir mencapai klimaks, jadi dia memegangi pinggulnya dengan mantap, mencium bibir merahnya sekali lagi, melumat, melahap, lidahnya menggoda lidah keponakannya dengan brutal, hingga bocah itu menggelinjang dan gemetar di bawahnya, mendesah keras, memenuhi mulutnya.

Yifan mengulum cepat, lalu menggerakkan pinggulnya sendiri dengan cepat. Dia hampir tidak memiliki kesempatan untuk mengasihani tatapan Chanyeol yang lemas dan terengah-engah di ranjang, tubuhnya yang ramping terbentang pasrah dan menguarkan aroma seks, karena penisnya terabaikan, Chanyeol mendorong satu tangannya ke bawah, meraba-raba kemaluannya. Jari-jarinya yang panjang dan ramping membungkus kemaluannya dan dia mengocoknya sambil mengumpat, merasakan mata tajam Yifan mengawasinya. Bibir mereka saling bertarung, ketika pertarungan berakhir, Chanyeol mengelus bibirnya yang basah oleh liur pamannya dengan gaya sensual, dan Yifan mencengkeram pinggul anak itu, jari-jarinya menancap di kulitnya yang lembut. Menggerakkan tubuh keponakannya dengan liar

Chanyeol merenggut jari telunjuk Yifan dan menempelkannya ke bibirnya. Entah bagaimana sensasi Chanyeol mengisap jari-jarinya terasa seperti tontonan paling indah sejagat raya, lidah anak itu berguling kesana-kemari di ujung jarinya, kemudian tangan kirinya sendiri meluncur di kemaluan panjangnya, mengocoknya cepat. Chanyeol... sungguh... sangat... keterlaluan... cantiknya! Membuat pertahanan Yifan pecah, menyembur keluar bagai lahar panas di dalam Chanyeol, keponakannya itu mendesah keras sambil memejamkan matanya, tubuhnya menyentak ke depan. Yifan menggeram lega. Semenit kemudian Chanyeol juga menyemburkan sperma putih yang mengotori gaunnya sendiri, juga baju Yifan.

Sepertinya mereka bahkan tidak bisa bergerak selama beberapa menit. Yifan baru sadar setelah Chanyeol dengan lembut menyeka perutnya menggunakan tisu, kemudian menciumi lehernya dengan lembut. "Kau tidak bisa tertidur di sini," bisiknya.

Yifan terkekeh lemah. "Ya, aku tahu."

Chanyeol mencium bibirnya, kemudian duduk, menarik celana merahnya ke posisi semula. Yifan juga baru sadar dia belum menanggalkan atasan sama sekali.

"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Yifan.

"Mmhm," gumam Chanyeol.

"Darimana kau dapat semua—"

"Semua omong kosong berbau cewek ini?" potong Chanyeol.

Yifan tertawa canggung. "Ya, begitulah. Darimana kau dapat... ini...?"

"Kalau belanja baju, aku selalu bilang ini untuk pacar cewekku," Chanyeol mengakui dengan gaya malu-malu, beda jauh dari ekspresi binalnya tadi, kemudian dia menguap, "Yang tidak pernah ada."

Yifan baru saja hendak berkata "bagus", tapi Chanyeol menyambar lebih dulu. "Bisakah aku bertanya?"

"Tentu saja," jawab Yifan, meski dia harus mengakui rasanya gugup sekali berduaan tanpa berbuat apa-apa.

"Kau mabuk?" tanya Chanyeol hati-hati.

"Ya," jawab Yifan jujur, meski jawabannya akan membuat Chanyeol sedikit kecewa... mungkin.

"Oh," sahut Chanyeol dengan nada kecil. Keheningan yang melingkupi terasa tak berujung, namun kenyataannya Yifan itu cuma berlangsung sepuluh detik, Chanyeol kembali bersuara. "Kuharap Paman sangat mabuk, lalu di pagi hari bertindak seolah-olah ini tidak pernah terjadi."

Yifan tertawa lagi, anak ini sangat terbuka dan jujur, mungkin sedikit terlalu blak-blakan. "Tidak," katanya sambil menggeleng, dan mencium Chanyeol di dahi. "Tidak, kayaknya kita sudah selesai dengan permainan itu."

Chanyeol agak terkejut, tapi kemudian dia menyeringai dan menggelengkan kepalanya. "Sebaiknya kita tetap begitu... seperti biasanya." jawabnya. "Bertingkah seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi saat kita berada di dekat orang lain. Jadi sekarang sebaiknya Paman kembali ke tempat tidurmu sendiri."

Yifan menggeleng pelan. Dia tahu mungkin semua ini hanya pengaruh alkohol. Dia tahu mungkin ini hanya sensasi yang mengaburkan batas antara benar dan salah. Lalu besok pagi mungkin dia akan merasa panik dan dihantui perasaan bersalah lagi, tapi Yifan menolak membuat dirinya khawatir. Jalani saja. Itu dulu. Keponakan manisnya adalah sesuatu yang ingin dia miliki dalam waktu yang sangat lama. Seutuhnya. Sejak usaha bunuh diri yang dia lakukan di pub dengan cara menghantamkan blender ke kepala, Yifan takut akan berakhir naas dan memalukan seperti itu lagi. Makanya sekarang dia ingin membiarkan dirinya tidak terbebani apapun.

"Hei, Chan, sebaiknya kau hapus make-upmu," Yifan membelai bibir Chanyeol dengan jempolnya.

"Keluar sana!" usir Chanyeol sambil tertawa.

Dan Yifan menurut, karena ada suara yang berbisik kepadanya, dengan penuh percaya diri, bahwa dia akan berakhir di ranjang keponakannya... besok malam.

.

.

FIN—

A/N: HAIII

SELESAAIIIIIIIIIIIII JRENG JRENGG JREEENGGG!

Gimanaa? Kurang bagus? Semoga pembaca tetep suka ya? Maaf kalau kelanjutannya kurang panjang atau gimana. Habis kepala saya lagi mumet. Hehe. Mohon review cerita ya, guys :*. Kalau soal gaya penulisan dan lain-lain, let it be mine.

Salam bersahaja_Rainey lova :*