Disclaimer: Jeno/Jaemin ©SM Entertainment


Hari sudah larut ketika Jaemin pulang dari tempat kerjanya. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam dan kota Seoul masih terlihat sangat ramai. Pulang dari tempat kerjanya sebagai waiters membuat tubuhnya sangat lelah, belum lagi ia melanjutkan tugas sekolah yang belum sempat ia selesaikan, ia menghela nafas berat.

Saat sampai di flat tempat tinggalnya. Langkahnya langsung menuju dapur untuk mengambil air serta cemilam untuk menemaninya belajar. Setelahnya ia mengganti pakaian dan barulah mengerjakan tugas sekolahnya. Beruntung ia memiliki otak yang cemerlang, sehingga tidak sulit untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut.

Masuk di sekolah berprestasi dengan otaknya membuat dirinya merasa bangga, namun ada juga tidaknya. Sayang, orang-orang disana menggunakan kekayaan sebagai kekuasaan. Sebut saja salah satunya Lee Jeno. Orang yang tidak pernah absen mengganggu dirinya. Menjahilinya sampai ia puas. Tapi sayangnya, anak itu tidak pernah puas.

Beruntung ia memiliki sahabat yang bisa membantunya dari kenakalan seorang Lee Jeno. Namanya Huang Renjun. Dengar kabar ayahnya memiliki pertambangan dan produk tembaga di China. Dan alasan Renjun dapat mengusir Jeno cukup simple. Pemuda yang memiliki eyesmile tersebut menyukai Renjun. Yah, hanya beberapa orang saja yang tahu. Tapi Renjun menolaknya dengan alasan bahwa ia menyukai orang lain. Dan orang itu bernama Chenle. Bukan sekolah disini, tapi anak itu masih duduk di bangku Menengah Pertama. Hal itu hanya Jaemin yang tahu. Mereka sahabat, ingat?

Setelah semuanya selesai, hari sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Dirinya juga sudah menguap sedari tadi menahan kantuk. Sebelum beranjak tidur ia menyalakan jam wekernya agar tidak terlambat ke sekolah nantinya, barulah ia dapat tidur dengan nyenyak walau hanya beberapa jam.

.

Selama ada Renjun di sampingnya, Jaemin merasa tenang. Tidak perlu khawatir jika Jeno dan kawan-kawan mengganggu dirinya. Tapi itu hanya jika. Sayangnya pemuda yang memiliki keturunan Korea Utara itu tidak datang hari ini, dengan alasan izin. Tapi Jaemin tahu bahwa pemuda itu sedang merawat orang terkasihnya yang di landa sakit demam, diberi tahu ketika ia bangun pagi ini. Sudah terhitung sebulan lebih ia merasa hidupnya tenang sejak terakhir kali Jeno mengganggunya.

Hari ini, di jam istirahat yang ramai. Jantung berdegup dengan kencang. Mewanti-wanti agar ia tidak terlihat oleh kawanan Jeno. Nyatanya, orang-orang tersebut yang menghampirnya. Menariknya ke tempat yang lebih sepi. Ke gudang sekolah dekat loker siswa. Jika yang biasanya turun tangan adalah kawan-kawannya Jeno (sekedaf info; Jeno tidak pernah menjahilinya secara langsung), tapi kali ini pemuda tampan itu yang langsung berhadapan dengan dirinya.

Wajah sombong namun tampan itu menyeringai di depannya, yang sama sekali tidak terpengaruh pada detak jantung Jaemin. Sebenarnya ia takut. Jika saja segerombolan orang di depannya ini berbuat yang macam-macam pada dirinya.

"Lama tidak berjumpa, Na Jaemin."

Jaemin memalingkan wajahnya, ketika tangan itu mau menyentuh wajahnya. Kawanannya yang lain hanya memonton dengan seringai menghiasi wajah mereka. Membuat Jaemin semakin berdigik ketakutan.

"Ku mohon, Jeno-shi. Aku masih ada banyak pekerjaan."

Jangan harap ia lepas dengan permohonan seperti itu. Malah, ia hanya membuat senyuman di wajah Jeno semakin lebar. Tubuhnya di dorong, tersungkur kebelakang hingga kawan Jeno yang berdiri di belakangnya menangkap tubuhnya. Tapi tidak sampai di situ, tubuhnya di dorong lagi oleh kawannya tersebut. Lalu ditangkap oleh kawannya yang lain, di dorong lagi, di dorong, dan di dorong layaknya mempassing bola. Terakhir ia di tangkap oleh Jeno, lalu di dorong lagi. Tapi kakinya tersandung oleh dirinya sendiri membuat tubuhnya limbung lebih dulu sebelum kawannya yang lain berhasil menangkap tubuhnya. Wajahnya menghantam sisi meja, akibatnya pelipisnya jadi tergorea karna sisi meja itu.

Sempat hening. Selanjutnya kawanan Jeno berlari keluar ruangan terlebih dahulu, meninggalkan Jeno yang masih menatapnya dengan mata membulat. Tapi tidak berselang lama tubuh itu pergi meninggalkannya sendirian.

Jaemin meringis kesakitan, tangannya terulur untuk menyentuh pelipisnya yang terasa nyeri. Darah keluar dari sana, tidak banyak tapi membuatnya pening luar biasa. Ia menegakkan tubuhnya, berjalan keluar dari ruangan tersebut menuju ruang kesehatan dengan terhuyung, tangan yang masih menekan lukanya agar darah tidak keluar membuat orang melihatnya dengan panik.

Beruntung sekolah dengan baik memberikannya izin pulang terlebih dahulu, pening di kepalanya membuat dirinya jadi tidak enak badan. Terlebih lagi luka di kepalanya terlihat membengkak, di warnai dengan biru ke unguan terlampir disana. Ia berjalan cepat menuju halte, berharap bus sudah menunggunya di sana. Tapi sudah sejam ia menunggu dan bus juga belum datang. Dengan payah ia merogoh handphone di saku blazer sekolahnya. Mencari kontak seseorang untuk menjemputnya.

Dalam hidupnya, hanya beberapa orang saja yang menyayanginya dengan tulus selain Renjun selaku sahabatnya di sekolah. Sisanya adalah para Hyung-nya di tempat kerja. Seperti Hansol-Hyung yang notabennya adalah boss tempat ia bekerja, pemuda yang memiliki hati baik itu sudah menganggapnya sebagai adiknya sendiri, itu sebabnya ketika ia membutuhkan pertolongan, Hansol-Hyung yang terlintas terlebih dahulu di dalam pikirannya.

Ketika sampai di halte, pemuda itu dengan histeris melihat kondisi Jaemin yang terluka. Hampir membawanya kerumah sakit namun ia menepisnya dengan halus. Dirinya sudah dirawat tadi di ruang kesehatan, dan dokter sekolahnya juga sudah memberinya izin agar tidak sekolah selama dua hari untuk kesehatannya. Pemuda itu hanya menghela nafasnya pasrah. Senyuman di wajah manis Jaemin memberikan sedikit ketenangan. Alhasil, ia juga menyuruh Jaemin untuk tidak bekerja sampai ia merasa baikan.

.

Besoknya. Demam tinggi menyerang tubuh kurus Jaemin. Bergerak dari kasurpun rasanya ia tidak mampu, bergerak sedikit saja sudah membuat kepalanya terasa berat serta nyeri. Membuat air mata menghiasi wajahnya itu. Ia merapalkan do'a, berharap rasa sakitnya segera hilang. Ia menutup kelopak matanya, berharap ia bisa tidur cepat dan rasa sakit segera terlewati sambil mengenang saat-saat dulu ia tinggal di panti asuhan dan di rawat dengan baik oleh Bibi Kim pengasuhnya dulu.

Perlahan mata itu mulai tertutup, rasa sakit di kepalanya perlahan mulai menghilang. Memang menyedihkan jika hidup susah seperti dirinya. Ia tidak masalah jika tuhan benar-benar mengambil nyawanya sekarang juga. Dirinya juga sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini. Mengumbar senyuman padahal dirinya manahan sakit. Sebelum mata itu benar-benar tertutup, setetes air mata berhasil lolos keluar yang terakhir kalinya.


END

.

.

.

Gak ding! Cuman bercanda /diamuk massa/


Ketika Jaemin membuka matanya. Ia terbangun di ruang yang sama sekali tidak asing baginya. Bukan kamarnya, tapi kamar rumah sakit. Sudut matanya melihat pergerakan di sampingnya. Ia menoleh, mendapati Taeyong-Hyung yang bekerja juga di tempat kerjanya tengah mengupas apel. Pemuda yang menurut Jaemin tampan layaknya karakter di anime itu menoleh ke arahnya. Tersenyum kepadanya yang membuat pemuda itu terlihat semakin tampan.

"Kau sudah sadar rupanya." Jaemin mengangguk, rasa ngilu langsung menjalar ke otaknya. Tidak jadi mengeluarkan kata-katanya.

"Jangan banyak bergerak dulu, dokter bilang luka di kepalamu cukup parah sampai kau tidur selama tiga hari."

Mendengar itu, Jaemin langsung membulatkan matanya. Tiga hari? Setahunya ia hanya demam kemarin hari. Ia tidak tahu akan jadi separah itu.

"Heum, untung saja Hyung kesayanganmu itu sempat menjengukmu sebelum pergi kuliah. Jadi ia langsung membawamu ketika kau tidak juga sadarkan diri. Aku heran, bagaimana kau bisa seceroboh itu sampai kau bisa tersandung dan mengenai ujung meja." Ujar Taeyong panjang lebar. Ia hanya tersenyum menanggapi ucapan itu. Dalam hati, ia beruntung memiliki Hansol-Hyung dalam hidupnya.

Saat tengah asik menyuapi apel pada Jaemin, pintu ruangan Jaemin di ketuk. Menampilkan Renjun yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Taeyong meninggalkan mereka berdua, dengan alasan ingin merokok di luar. Pemuda itu meninggalkan mereka berdua yang sebelumnya mengusak kepala Jaemin pelan. Sempat terpana dengan ketampanan Taeyong yang membuatnya termenung di dekat pintu namun segera tersadar ketika pemuda itu keluar. Renjun menghampiri Jaemin dengan senyuman yang memperlihatkan gigi gingsulnya. Sempat bertanya kepada Jaemin, "Siapa itu?"

Bukannya bertanya tentang kabar Jaemin yang baru sadar malah bertanya yang sama sekali tidak penting.

"Kau sudah baikan? Aku sempat khawatir ketika mendengar kau masuk rumah sakit. Aku tahu ini pasti ulah Jeno dengan kawan-kawannya 'kan?" Ujarnya sambil menunjuk-nujuk bekas luka yang ada di pelipis Jaemin yang tadinya bengkak sekarang sudah mengempis dan sudah di tutup dengan plaster.

"Tidak apa-apa. Lagi pula, aku benar-benar tersandung kakiku sendiri. Dan juga, sekarang aku sudah merasa baikan."

Jika sudah mengenal Jaemin. Tidak ada yang bisa menolak permintaan Jaemin jika sudah menunjukkan aegyo-nya yang benar-benar terlihat menggemaskan itu. Renjun mengalah, ia memperlihatkan senyuman kemudian memeluk tubuh ringkih tersebut.

"Jadi, bagaimana dengan Chenle-mu itu?"

"Dia sudah baikan. Demamnya dengan demam-mu sangat berbeda." Ucapan tersebut mengundang tawa di ruang inap Jaemin.

Malamnya Jaemin di perbolehkan pulang. Tapi masih tetap harus beristirahat ketika sampai di rumah. Tapi bukan Jaemin jika tidak menuruti perintah Hyung-nya. Pemuda manis itu mendesak Hansol juga Taeyong untuk sekolah keesokan harinya dengan alasan sudah banyak ketinggalan pelajaran dan mau tak mau kedua orang yang lebih tua itu menuruti perintah sang adik dengan syarat mereka akan mengantar Jaemin ke sekolah juga menjemputnya ketika sekolah usai, dan harus mengabari mereka jika terjadi sesuatu.

Jaemin tersenyum. Memeluk kedua orang di depannya ini dengan erat sebelum mereka pergi meninggalkan flat-nya.

.

Keesokan harinya. Semuanya berjalan seperti biasa, hanya teman-teman kelas yang menyambutnya dengan senyuman hangat. Iapun membalas dengan senyuman yang jarang sekali ia tampilkan di sekolah, kecuali jika hanya berdua-an saja dengan Renjun.

Saat jam istirahat, Jaemin masih menetap di kelasnya. Dirinya di paksa Renjun untuk tidak banyak bergerak, dan pemuda itu juga menawarkan diri untuk membelinya makan siang. Jaemin hanya pasrah, pemuda itu sekarang terlihat sangat keras kepala di banding dirinya. Ia menopang kepalanya di atas meja, sesekali matanya melirik ke pintu ketika ada seseorang yang lewat. Dan ketika matanya melirik ke pintu lagi, Jeno sudah berada disana, seperti tengah mengintip. Terkejut, begitu juga yang berada di dekat pintu. Tapi Jeno mampu mengatasi air mukanya, dan melangkah masuk sebelum menutup pintunya. Kebetulan sekali saat itu hanya ada Jaemin seorang yang berada di dalam kelas.

Jaemin tidak berani menatap ketika Jeno berjalan menuju arahnya. Ia hanya menundukkan kepalanya, saat pemuda itu sudah sampai di depannya. Tidak ada percakapan. Hening, hanya suara kicauan orang yang berada di koridor menghapus kesunyian.

"Maaf."

Jaemin menegakkan kepalanya. Ia tidak tahu kalau ternyata Jeno cukup jantan mengakui ke salahannya. Pemuda itu mesih memandangnya, membuat Jaemin salah tingkah. Ia tersenyum kikuk, membalas ucapan Jeno.

"Eh...tidak apa, Jeno-shi. Lagi pula ini bukan kesalahanmu." Jaemin meyakinkan Jeno dengan senyuman tulusnya. Pemuda itu mengangguk kemudian berlalu begitu saja, membuat Jaemin bernafas lega kembali. Tepat ketika Jeno pergi. Renjun datang dengan membawa nampan yang berisi makanan untuk Jaemin serta wajah kebingungan.

"Apa yang Jeno lakukan disini?"

.

Sorenya ketika sekolah usai. Jaemin menunggu di halte bus dekat sekolah. Sebelumnya Renjum menawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi ia menolak dengan alasan ia akan di jemput oleh Hyung-nya. Nyatanya ia lebih memilih menunggu bus, karna tidak mau merepotkan Hyung-nya yang sekarang mungkin sibuk bekerja di restoran (Hansol-Hyung belum memperbolehkan dirinya untuk bekerja). Lama ia menunggu bus yang tak juga menampakkan wujud besinya. Sampai sebuah deruman honda besar mengalihkan atensinya dari handphone yang sebelumnya ia pegang. Oh, jangan lupakan Jeno yang duduk di atas honda tersebut.

"Naiklah." Jaemin sempat menoleh ke kiri juga kanan untuk melihat keadaan. Hanya ada dirinya di sana.

"Ah, tidak per—

"Aku tidak terima penolakan."

Mau tak mau, Jaemin menurut perkataan Jeno. Ia menerima helm yang di berikan Jeno, memakainya kemudian segera menaiki honda besar tersebut. Ini pengalaman pertamanya untuk menaiki honda besar itu selain bus kota. Sedikit takut, tapi Jeno memperingati untuk berpergangan. Ia bingung berpegangan pada apa, tidak ada penahan disini. Dan saat Jeno mulai menjalankan motornya, tubuhnya hampir saja terjungkal ke belakang jika tangannya tidak menahan pinggang Jeno. Dalam hati, ia mengutuk perbuatan Jeno.

Setelah menunjukkan arah menuju flatnya dan ketika sampai ia turun sambil mengembalikan helm tersebut pada Jeno. Mengucapkan terima kasih dan basa-basi lainnya,

"Mau mampir Jeno-shi?" Jaemin berharap Jeno akan menolaknya dan langsung pergi setelah mengucapkan salam. Nyatanya itu semua berbanding terbalik dengan pemikirannya. Ia jadi menyesal telah menawarkan hal bodoh tersebut.

Walau terlihat kecil, sebenarnya flat ini sangat besar baginya. Ruang santai (tidak terpakai) yang langsung tersambung dengan dapur, kamar mandi, serta kamar tidurnya yang cukup luas, dan juga balkon untuk memandang langit malam kota Seoul. Jaemin membiarkan Jeno masuk terlebih dahulu, berharap pemuda itu segera pergi ketika melihat flat kecilnya itu sudah rapi. Ia jadi menyesal ketika pulang dari rumah sakit kemarin langsung membersihkan flatnya.

"Sepertinya sangat nyaman." Benarkah? Ia yakin, pasti kamar pemuda itu lebih besar dari flat miliknya dan tentu saja lebih nyaman. Jaemin hanya tersenyum kikuk.

"Kau mau minum Jeno-shi?" Demi Tuhan, ia berharap setelah ini Jeno akan pulang.

Dengan anggukan mantap, "Dan aku juga lapar."

Terkutuklah dirinya. Ia berjalan menuju lemari pendingin, dengan mulut komat-kamit yang tidak diketahui Jeno, berharap lemari pendinginnya kosong, tidak ada apa-apa. Dan ya, lagi-lagi pemikirannya salah. Lemari pendinginnya sudah penuh oleh sayur-sayuran, buah-buahan, telur, daging dan masih banyak lagi. Dan untuk pertama kalinya ia menangisi perbuatan Hyung-nya yang terlalu baik. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Hyung tercintanya?

Lagi pula ia juga lapar, jadi ia memutuskan memasak sesuatu yang mudah serta juga kelihatan mewah, spaghetti. Rasanya sangat aneh, ketika Jeno berdiri di sampingnya dengan kedua tangan terlipat di dada sambil memandangnya memasak.

"Kau bisa memasak, Jaemin-ah?" Memecah kesunyian. Dan lagi, ia merasa aneh saat Jeno menyebut namanya. Biasanya pemuda itu memanggilnya dengan nama lengkap. Jaemin tersenyum kemudian mengangguk,

"Yah, begitulah." Pemuda di sampingnya itu tersenyum, menampilkan matanya yang berbentuk bulan sabit. Dapat ia lihat senyuman Jeno yang mampu membuat siapa saja terpana, tak terkecuali dirinya. Jaemin menggelengkan kepalanya ketika pikiran itu terlintas di otaknya, seharusnya tidak begini. Jeno selanjut menampilkan ekspresi bingung melihat Jaemin yang menggelengkan kepalanya. Namun, ia hanya mengidikkan bahunya.

Selesai makan, hari menunjukkan pukul delapan malam dan Jeno berpamitan untuk pulang. Jaemin dengan hati berbahagia mengantarkan Jeno hingga pemuda itu hilang dengan kendaraannya. Tapi, penderitaannya tidak sampai di situ saja. Dan masih tetap berlanjut.


To Be Continued.


Explore udah di hapus, di gantikan dengan fanfic abal-abal satu ini. Cerita ini juga udah selesai sebenarnya, tapi aku mau lihat respon kalian dengan fanfic ini.

Dan yang menunggu kelanjutan fanfic Fcking-Friend. Maaf, belum dapat ide buat ngelanjutin fanfic satu itu. Stucknya di bagian percakapan Nomin pas ketemu di rumah ;-;

Selanjutnya, rated M..

Review? Please?