Baby Ziyu
Semenjak Jiwon bisa berdiri dengan baik dan melangkah satu-dua kali di bulan kesepuluh, memiliki seorang bayi rasanya lebih menantang daripada di awal-awal dulu. Dia luar biasa aktif bergerak, hingga terkadang aku mempertanyakan darimana tubuh kecil yang ia miliki mendapat energi sebesar itu. Setiap detik rasanya penuh tantangan, setiap menit tak ada yang terlewat tanpa membuat jantungku berdebar dengan kencang. Contohnya seperti yang terjadi sekarang.
Baru satu detik aku mencegahnya berdiri di dekat konter dapur dan mencoba menggapai keranjang kecil berisi anggur yang baru dicuci, kini Park kecilku itu sudah berjalan riang ke arah meja makan sambil, menarik ujung taplak dengan tenaga penuh dan membuat apa saja yang ada di atasnya jatuh berserakan ke lantai.
"Jiwona, astaga!"
Tidak, aku berteriak bukan karena marah oleh kenyataan bahwa mangkuk berbentuk mobil berbahan plastik berisi bubur yang baru saja selesai kubuat atau air putih hangat di dalam cangkir lucu bermotif Pororo itu semuanya tumpah berhamburan hingga lantai mengkilapku jadi kotor, tidak. Atau karena bubur dengan campuran brokoli dan wortel itu ikut menciprati pakaian Jiwon hingga mungkin aku akan kesulitan untuk mencucinya nanti, bukan itu juga alasannya.
Aku hanya kesal karena merasa tak bisa mengawasi bayiku dengan baik.
"Yun! Mo-mommyyyyyyy!" Lengkingan Jiwon yang bergema di seantero dapur membuatku semakin kesal pada diriku sendiri. Aku langsung menghambur dan berlutut memeluk Jiwon, mencoba menenangkan diriku dengan cara menghirup aroma khas bayi yang putraku miliki dan mengatakan padanya kalau semua akan baik-baik saja.
"Sst, tenanglah."
Selesai berpelukan selama beberapa saat, Jiwon menatapku dari balik pelupuk basahnya dengan wajah menyesal. Aku tahu kalau makhluk menggemaskan yang ada di hadapanku itu ingin bilang 'Maaf karena telah merusak makan siangku, Mommy!', namun yang keluar dari mulutnya hanya ocehan tidak jelas karena bercampur isak tangis.
"Mommy tidak marah padamu, jangan khawatir." Jiwon melirikku sebentar kemudian tertunduk. Lelaki kecilku itu kemudian menyodorkan tangan kirinya yang terkena tumpahan bubur padaku, meminta untuk diberi perhatian lebih. Tumpahannya tidak banyak, hanya saja menimbulkan semburat kemerahan di sekeliling kulitnya yang terkena. Wajar saja, buburnya baru dimasak dan bahkan asapnya masih mengepul saat tadi kuletakkan di atas meja.
"Tapi kalau tangan Jiwon seperti ini, mommy jadi sangat khawatir. Apakah ini sakit?" Aku memegang tangannya dengan lembut sambil kutiup pelan setelah membersihkannya dengan air dan tisu. Kulitnya tidak melepuh seperti yang kutakutkan, syukurlah. Mata berair basah itu mengerjap perlahan dan aku bisa melihat sedikit ketakutan di sana—rasanya aku seperti tersedot ke masa lalu, melihat diriku sendiri dimana aku akan mendapat pukulan dari ayah atau dari saudari-saudariku atas kesalahan kecil yang kubuat meski pada waktu itu usiaku masih sangat muda.
Tentu saja, aku sudah bersumpah pada diriku sendiri untuk tidak membiarkan Jiwon mengalami hal yang sama. Baik aku sendiri, Chanyeol ataupun orang lain—tak ada yang berhak marah-marah dan melayangkan pukulan mereka ke tubuh putraku atas ketidak-sengajaan kecil yang ia lakukan. Tidak hanya putraku, tapi untuk seluruh anak yang ada di dunia—ketahuilah, tak seorang pun dari mereka yang pantas untuk mendapat pukulan karena yang harusnya mereka terima adalah cinta.
"Lain kali Jiwon harus lebih berhati-hati, oke? Menarik taplak seperti tadi berbahaya, son—bagaimana kalau tadi mangkuk dan cangkirnya mengenai kepala Jiwon hingga membuatnya terluka? Memangnya Jiwon mau melihat Mommy menangis karena melihat Jiwon kesayangan ini kesakitan?"
Aku tidak tahu apakah bayiku sudah mengerti apa yang kukatakan atau tidak, namun dari caranya kembali menyusupkan diri ke pelukanku setelah tangannya kembali bersih, aku bisa menarik kesimpulan kalau dia paham maksudku. Hatiku menghangat ketika pelukan Jiwon seolah menghantarkan kata-kata maaf yang belum bisa ia ungkapkan secara verbal.
"Sekarang, maukah Jiwon duduk yang manis dan bermain dengan Pororo selagi mommy membuatkan bubur yang baru?" bujukku beberapa saat setelah selesai membereskan kembali kekacauan yang ia buat.
Si tampan mungilku tersenyum hingga tiga giginya—Jiwon mendapatkan satu gigi baru di gusi bawah sejak bulan lalu—terlihat. Ia tidak berontak ketika aku meletakkannya di atas permadani dan langsung memeluk boneka Pororo besar yang dihadiahkan Kyungsoo untuknya. Aku menggantikan bajunya dan menemaninya sekitar semenit dan baru kembali ke dapur setelah merasa Jiwon akan baik-baik saja kalau kutinggal sebentar.
"Mom-my! Booo! Kyaaa!"
Namun hanya bertahan selama dua menit saja. Aku tengah memotong-motong wortel ketika kurasakan sesuatu menyelinap di antara kakiku diiringi dengan kikik menggelikan yang persis seperti tawa Tinkerbell di film yang pernah kutonton dulu.
"Oh, astaga! Harus kuapakan anakmu ini, Park Chanyeol?"
Saat aku menunduk untuk menatapnya, Jiwon ternyata tengah sibuk bermain petak umpet di sela-sela kakiku. Entah apa hal menyenangkan yang ia temui di sana, tapi tampaknya Jiwon seru sekali dengan kegiatannya merangkak mengitariku, menarik-narik ujung celanaku, dan hingga pada akhirnya kepala mungil itu menyundul lututku lumayan keras. Ia jatuh terduduk kemudian berdiri lagi dengan gerakan yang menggemaskan.
"Hei, Chanyeol kecil!"
Jiwon memeluk kakiku dan menengadah untuk balas memandangku—saat itulah untuk kesekian kalinya aku kembali jatuh cinta pada Park kecil yang dihadiahkan Chanyeol untukku itu. Matanya berkaca-kaca, ketakutan yang menurutku tak beralasan karena memarahi Jiwon adalah hal terakhir yang terpikirkan olehku. Ataukah lututku tadi menyakiti kepalanya hingga kesayanganku itu tampak seperti akan menangis karenanya? Tapi kuragukan itu, karena sekarang aku paham arti dari tatapan itu. Jiwon hanya sedang ingin perhatianku dan tak rela kalau aku lebih terfokus pada masakan ketimbang padanya.
"Kau sepertinya tak bisa mommy tinggal sebentar saja, iya kan? Kenapa kau ini persis sekali seperti ayahmu, hm? Baiklah kalau begitu—"
Dan sesaat kemudian, Jiwon terkikik bahagia setelah aku mengambil baby sling dan menggendongnya di punggungku. Ia tertawa sambil menjejakkan kaki kecilnya ke segala arah. Dengan cara itu pulalah aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat berantakan—memasakkan kembali bubur sekaligus menyiapkan makan siang untuk Chanyeol. Itu hanya satu dari sekian banyak cerita sehari-hari yang kulalui bersama Jiwon kalau Chanyeol sedang pergi bekerja dan di rumah hanya ada kami berdua.
Dan selanjutnya, aku tengah memberi makan Jiwon ketika ponselku berdering.
"Nuna?"
Yang menelepon adalah Anna, kakak ketigaku. Aku langsung cepat-cepat mengangkat panggilannya—khawatir kalau-kalau sesuatu terjadi pada wanita cantik kesayanganku itu. Namun kekhawatiranku menguap setelah aku mendengar suara riangnya dari seberang sana, "Bisakah kau datang ke rumah? Luhan sudah pulang dari China dan membawa kejutan untuk kita semua!"
"Benarkah?"
Minggu lalu, Luhan mendadak harus pergi ke China karena ada sesuatu—dan Sehun menyusul dua hari kemudian. Aku tidak tahu kejutan apa yang Anna maksud, tapi sepertinya aku harus pergi ke sana dan melihatnya langsung agar karena kakakku tidak mau bilang cerita selengkapnya.
"Baik, Nuna. Aku akan segera datang ke sana—"
"Jangan lupa bawa Jiwonku dan hati-hatilah dalam berkendara, oke?"
"Oke, my princess! Dah!"
Setelah panggilannya terputus, aku kemudian menelepon Chanyeol untuk meminta izin ingin pergi ke rumah ayah. Dia tidak pernah melarang, malah senang sekali karena itu artinya hubunganku dengan keluargaku semakin bagus dari hari ke hari. Chanyeol juga bilang akan menyusul segera kalau pekerjaannya di kantor sudah selesai.
"Apakah Jiwon ada di situ, Baekhyuna?"
"Tentu saja! Mau berbicara dengannya?"
"Ung!"
"Jiwona, ini Nyeolh ingin berbicara denganmu—"
"Nyeolh?"
Selagi Jiwon sibuk bertelepon dengan ayahnya—kalian pasti tidak tahan untuk tidak tersenyum kalau melihat gaya imut anakku ketika memegang ponsel, menaruh benda itu di telinganya, mendengarkan suara Chanyeol dengan wajah serius seperti orang dewasa—aku menyiapkan tas berisi keperluan Jiwon lengkap dengan mainan kesukaannya dengan cekatan. Berkunjung ke rumah ayah tidak akan berlangsung cepat, apalagi ada Anna dan yang lainnya di sana.
Dua puluh menit kemudian semua sudah beres dan aku menyetir mobil dengan Jiwon yang kuletakkan di jok belakang. Tak lupa mampir sebentar ke toko kue langganan Anna dan membawakan wanita paling penting dalam hidupku itu sebuket bunga mawar sebagai hadiah.
Dan kalian ingin tahu apa yang menyambutku di rumah ketika tiba setengah jam kemudian? Seorang bayi mungil yang masih berusia kurang dari dua minggu.
"Bukankah ini hebat? Aku sudah menganggap Luhan dan Sehun sebagai adikku sendiri—maka aku juga akan menganggap bayi imut ini sebagai keponakanku!" Anna nyaris melonjak dari kursi rodanya karena tak bisa menahan rasa bahagia atas keberadaan bayi berbungkus selimut pink yang ada dalam dekapannya.
"Akan kalian beri nama siapa malaikat ini?"
"Namanya Ziyu, my lady," jawab Luhan sambil tersenyum—saking lebarnya hingga membuat mata rusa miliknya digelayuti kristal bening yang nyaris jatuh. Aku belum pernah melihat Luhan sebahagia ini, hingga rasanya kebahagiaan itu ikut mempengaruhiku meski aku sendiri belum sepenuhnya paham apa yang tengah terjadi.
"Lengkapnya Oh Ziyu, miss—putra dari Oh Sehun dan Xi Luhan." Sehun menambahkan kalimat itu sambil menarik Luhan dalam rangkulan. Mereka berdua saling melempar senyum dengan sorot mata bertabur cinta sebelum akhirnya mencuri sebuah kecupan saat Anna tidak melihat.
"Oh Ziyu~ kau indah sekali seperti namamu! Ah, aku jadi ingat waktu dulu Jiwon masih sekecil ini! Kenapa rasanya waktu cepat sekali berlalu, iya kan?"
Jiwon yang merasa namanya disebut menjulurkan kepalanya dari balik gendongan, mencoba melihat apa yang bibinya miliki dalam dekapan—ia menatap ke satu titik itu dengan penuh penasaran dan setelahnya memandangku seolah ingin menuntut sebuah jawaban.
Jawaban yang pertanyaan saja masih bergantungan di bibirku tanpa terucap.
"Tunggu—"
Semua mata memandang ke arahku. "—jadi Ziyu ini adalah putra kalian? Ta-tapi sejak kapan? Aku tidak tahu kalau Luhan bisa mengandung sepertiku dan kalian belum menikah—"
"Dia tidak harus dilahirkan oleh Luhan untuk mendapat gelar itu, bukan? Luhan mencintainya dan aku tidak punya alasan untuk tidak mencintainya juga—itulah alasan kenapa dia menjadi anak kami, Baekhyuna," ujar Sehun bangga, ekspresi yang sama ketika Chanyeol mendengar Jiwon menyebut namanya untuk yang pertama kali. "Dan karena Ziyu sudah ada, kami akan melaksanakan pernikahan segera."
"Itu benar, Baekkie. Sebenarnya Ziyu adalah anak dari sepupuku yang sayangnya—" Luhan berhenti sebentar untuk menarik nafas, "—meninggal tepat saat Ziyu terlahir ke dunia. Pihak keluarga dari ayahnya ingin Ziyu dikirim ke panti asuhan karena mereka tidak sanggup untuk merawatnya, karena itulah aku langsung pergi ke China dan meminta pada mereka agar Ziyu buatku saja."
Astaga. Kenapa hidup tidak adil sekali bagi bayi kecil yang tengah tertidur pulas dalam pelukan nyaman Anna tersebut?
"Aku tahu Luhan tidak akan sanggup untuk merawat bayi seorang diri, karena itulah aku datang dan menawarkan diri untuk jadi ayahnya. Proses adopsinya lumayan cepat dan kami langsung membawanya ke Korea karena Luhan sudah tak sabar untuk menunjukkannya pada kalian semua."
Aku tidak tahu harus tersenyum atau bagaimana, hanya saja, aku turut merasa prihatin atas kenyataan yang baru saja kudengar tentang Ziyu. Diam-diam aku bersyukur karena bayi itu akhirnya menjadi milik Luhan dan Sehun sekarang—mereka akan menjadi orangtua yang hebat di masa depan, aku yakin itu.
"Mo-mmy?" Jiwon mengangkat wajahnya yang sedari tadi ia sembunyikan di dadaku sambil berbisik lirih. Telunjuk kecilnya ia arahkan pada Ziyu seolah sedang bertanya, "Itu apa?".
"Jiwon mau melihat Ziyu?" bisikku. Ia mengangguk malu kemudian membenamkan wajahnya lagi ke dadaku.
"Kau mau menggendongnya?" tanya Anna sembari bersiap menyodorkan Ziyu ke arahku.
"Bolehkah?"
"Tentu saja! Kau adalah paman-nya, Baekkie! Tentu saja kau boleh menggendongnya sesukamu!" Luhan tampak berbinar sekali ketika melihat Anna memindahkan Ziyu ke dekapanku, ia bahkan membantu memindahkan Jiwon agar duduk di sofa. Rasanya—mirip ketika menggendong Jiwon untuk pertama kali. Bayi cantik itu menggeliat perlahan namun tampak nyaman sekali saat kudekap. Ketika kuperhatikan lebih seksama, mungkin aku akan berpikir dia adalah bayi perempuan karena wajahnya yang kelewat mungil dan bulu matanya yang lentik-lentik itu. Persis ketika aku menduga Jiwon dulunya juga adalah seorang perempuan.
"Dia cantik sekali dan—mirip Luhan?" Aku memandangi si bayi dan Luhan secara bergantian dan setuju kalau bagian yang paling mirip dari mereka adalah matanya—sama-sama persis rusa.
"Tentu saja mirip! Ibunya adalah kakak sepupuku dan wajah kami memang sedikit mirip, nanti akan kutunjukkan fotonya padamu!"
Aku hanya terlalu takjub pada bayi yang baru saja menjadi keluarga baru kami itu hingga tak sadar kalau di sebelahku ada Jiwon yang memandangi Ziyu dengan wajah tak kalah kagumnya. Pandangan yang hanya kudapati ketika dia melihat sebotol penuh susu dan si kecilku itu nyaris tak berkedip selama beberapa saat—cukup aneh karena biasanya Jiwon sangat posesif terhadapku namun kali ini ia tak protes ketika ada anak lain yang juga mendapat kasih sayangku di depan matanya.
"Mom—" Jiwon mulai merengek pelan, menunjuk-nunjuk Ziyu yang terlelap dengan telunjuknya.
"Jiwon ingin menyentuhnya? Boleh, tapi hati-hati, ya? Sentuh Ziyu yang lembut agar dia tidak terbangun. Nah, kemarilah."
Saat itulah aku melihatnya. Persis ketika telapak Jiwon menyentuh pipi Ziyu untuk yang pertama kali, saat itu jugalah aku tahu pandangan apa yang putraku miliki di kedua matanya. Semua yang ada di sana juga melihat hingga kami saling bertukar pandang dengan sorot mata penuh arti.
"Zi-yu?"
Ziyu adalah nama ketiga yang berhasil Jiwon sebutkan dengan fasih. Butuh waktu lama untuk mendengar nama kami orangtuanya disebutkan, tapi Ziyu hanya butuh sekian menit untuk membuat Jiwon memanggil namanya dengan lancar.
"Ziyu?" Jiwon mengulanginya lagi, seolah ingin meminta pendapatku tentang apakah caranya melafalkan nama itu sudah tepat atau belum. "Ziii-yuuu?"
"Iya, Nak. Namanya Ziyu—dia adalah adik Jiwon mulai dari sekarang. Berbuat baiklah padanya, oke?"
Jiwon kembali terpaku pada wajah malaikat dalam dekapanku itu. Ini bukanlah pengalaman pertamanya bertemu bayi lain, karena aku kerap membawa Jiwon berjalan-jalan di sekitar taman dan bermain dengan anak lain yang kebetulan kami jumpai disana. Hanya saja, ini pertama kalinya Jiwon terpaku pada wajah seseorang selama bermenit-menit selain padaku dan Chanyeol.
"Ah, senangnya punya anak yang sebaya~ Nanti kita pergi berbelanja pakaian dan kebutuhan anak kita bersama-sama ya, Baekkie? Kau juga harus mengajariku banyak hal tentang cara merawat bayi yang benar! Iya kan, Sehun? Nanti kau antar kami berbelanja, oke?"
Aku tersenyum dan membiarkan saja Luhan mulai berceloteh tentang hal-hal yang akan kami lakukan bersama-sama sebagai orangtua muda. Sehun juga tampak asyik mendengarkan Luhan dan tak ada yang sadar kalau Jiwon mulai mamaksa untuk merayap ke atas tubuh Ziyu, mendekatkan wajahnya pada bayi itu dan cup—sebuah kecupan mendarat di bibirnya tanpa ada yang berhasil mencegah. Dan setelahnya, Jiwon memberikanku sebuah senyuman paling imut dan menggemaskan yang pernah kulihat. Ada sorot malu-malu di matanya, namun yang lebih mendominasi adalah kebanggaan atas apa yang telah berhasil ia lakukan di depan umum. Namun senyum itu tak berlangsung lama, karena mendadak Ziyu bergerak gelisah karena Jiwon nyaris saja menimpa tubuhnya kalau bukan karena kupisahkan dengan sigap. Tiga detik kemudian, kelopak mata sewarna bunga mawar merah muda itu terbuka dan tentu saja, dia menangis keras sekali hingga Jiwon terkejut dan ikut menangis juga.
"Oh, astaga—"
Aku langsung menyerahkan Ziyu pada Luhan karena harus menenangkan putraku yang ikut-ikutan histeris.
"Tidak apa-apa, Jiwona. Ziyu baik-baik saja, jangan khawatir."
Tapi kali ini Jiwon sulit sekali untuk ditenangkan. Meski Ziyu sudah berhenti menangis dan kini tengah disusui oleh Luhan di dalam boks kecil di depannya, Jiwon masih juga terisak namun mata persis Chanyeol yang ia miliki sesekali melirik ke arah si bayi dengan sorot penasaran. Lebih tepatnya ke arah botol susu yang baru habis seperempatnya itu.
"Ziyu—"
"Jiwona, jangan! Astaga!"
Belum sempat kucegah, Jiwon sudah turun dari pangkuanku dan tertatih menuju boks Ziyu dengan kaki gempalnya yang ia paksa berjalan lebih jauh dari lima langkah. Biasanya ia selalu terjatuh di langkah keenam, namun kali ini tidak. Perhatiannya pada Ziyu tampaknya mendorong lelaki kecil itu untuk bisa berjalan lebih lama. Persis ketika ia tiba di samping bayi Luhan itu, Jiwon langsung merebut botol susu yang tengah disedotnya dengan lahap dan kemudian memasukkan ujungnya ke mulutnya sendiri.
"Jiwona, itu bukan susu Jiwon—"
Sekali lagi, Ziyu kembali meraung hingga Jiwon kembali terkejut dan panik karenanya. Mata kecilnya bergulir resah memandangi para orang dewasa, namun ia cepat-cepat mengembalikan botol susu yang sempat ia rampas dan terdiam di samping boks Ziyu dengan wajah yang siap akan menangis. Tangannya memegangi pinggiran boks, sekali-dua kali kakinya melemah dan terjatuh, tapi rasa penasarannya akan Ziyu membuatnya kembali berdiri dan melongok ke dalam tempat bayi cantik itu berada.
Park Chanyeol, harus kuapakan anakmu ini? Dia masih bayi tapi mata jelinya sudah bisa membedakan mana yang cantik dan mana yang tidak? Bisakah kau percaya itu?
Sehun dan Anna yang dari tadi hanya diam mengamati ikut tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mereka bergurau tentang aku yang akan mendapat menantu di usia muda dan sebagainya hingga aku merasa tak enak pada Luhan. Sama seperti Jiwon, aku ikut tersipu malu namun segera kugendong kembali putraku agar tidak mengganggu Ziyu yang tengah menyusu.
"Jiwon menyukainya?" bisikku ketika kami kembali ke sofa. Semua orang dewasa yang ada di sana terbahak, tak menduga kalau Ziyu akan langsung mendapat penggemar di hari pertama ia datang ke Korea.
"Mommy tahu kalau Ziyu manis, tapi jangan flirting dengannya sekarang, oke? Nanti kalau Jiwon sudah tidak pakai diaper lagi dan telah tumbuh sebesar daddy, barulah Jiwon diizinkan untuk mendekati Ziyu," kataku sambil menciumi pipi Jiwon penuh sayang.
"Itu benar, Jiwona. Kalian masih bayi dan terlalu muda untuk mengenal cinta-cintaan. Hah, aku tidak berhasil mendapatkan Byun Baekhyun namun ternyata anak kamilah yang akan bersatu di masa depan—bisakah kau percaya itu, Lu?" Sehun terbahak hingga sudut-sudut matanya berair.
"Aku tidak keberatan menyerahkan Ziyu untuk Jiwon, iya kan Baekkie? Jiwon akan tumbuh menjadi pria yang bisa diandalkan seperti Chanyeol dan sudah pasti dia akan membuat Ziyuku bahagia!"
Sudah pasti Jiwon tidak mengerti kalau para orang dewasa tengah menggodanya. Hanya saja, sorot penasaran yang anakku miliki di wajahnya tak kunjung hilang hingga aku tak tega saat menyadari dia tak berhenti menatap ke arah boks itu seolah sedang minta izin ingin melihat lagi seseorang yang ada di dalamnya.
Pun ketika Chanyeol akhirnya datang menyusul, Jiwon lebih memilih bermain di dekat kotak bayi Ziyu sambil sesekali berdiri untuk melongok ke dalam dengan wajah kebingungan ketimbang bermain di pangkuan sang ayah seperti biasa. Ketika Ziyu akhirnya terbangun untuk sebentar, Jiwon dengan gagahnya mengeluarkan seluruh mainan yang kubawa untuk dipamerkan kepada si bayi mungil. Sudah pasti ia tidak mendapat respon seperti yang diinginkan karena Ziyu belum mengerti dan bahkan pandangan matanya masih tidak fokus.
Namun tantangan selanjutnya adalah mengajak Jiwon pulang. Dia kembali histeris begitu tahu kami akan kembali ke rumah dan dia akan berpisah dengan Ziyu yang telah merebut hatinya selama beberapa jam terakhir. Luhan dan yang lainnya ikut merasa iba dan terus memaksa agar kami menginap saja. Namun aku tidak tega pada Chanyeol—dia pasti merasa sedikit sungkan karena sedang berada dalam teritorial Byun meski ayah dan kedua kakakku yang lain sedang tidak berada di sini. Tapi tentu saja itu hanya bayanganku, karena sesungguhnya, Chanyeol adalah menantu kesayangan di keluarga kami.
"Kau ingin menginap di sini?" tanya Chanyeol sambil mengelus bahuku lembut, membentuk pola bulat-bulat dengan ujung jarinya yang hangat.
"Lalu bagaimana aku menyiapkan kebutuhanmu untuk pergi ke kantor besok pagi?"
"Kita bisa pulang pagi-pagi sekali, jangan khawatir. Dan kau juga pasti rindu tidur di kamarmu sendiri seperti dulu, jadi kupikir menginap adalah pilihan terbaik."
Aku menimbang-nimbang tawaran itu dan mengangguk setelah mataku bertemu pandang dengan Jiwon yang berkaca-kaca. "Baiklah, kau menang, Chanyeol kecil! Ayo ganti bajumu dengan piyama dan langsung tidur setelah menghabiskan susumu, mengerti?"
"U-ung!" Jiwon mengecup ringan bibirku sebagai tanda terima kasih.
In My Room
"Hah, rasanya sudah lama sekali kita tidak berduaan seperti ini. Iya kan, Baekhyuna?" Pipiku langsung semerah apel ketika Chanyeol berbaring di sisiku hingga ranjangnya terasa sempit dan langsung menyurukkan badanku ke dalam pelukan lengan panjangnya yang super hangat. "Kupikir sejak Jiwon ada, kita sudah jarang mendapatkan privasi untuk berdua."
Aku mencubit perutnya dengan lembut, "Jangan bilang kau sedang berpikir hal-hal mesum tentangku, Park Chanyeol!"
"Aku memang selalu berpikir yang mesum-mesum tentangmu, Park Baekhyun—tidak pernah tidak. Wajahmu, tubuhmu, desahanmu—semua tentangmu membuatku tak bisa berpikir jernih lagi."
"Dasar mesum!"
"Aku mesum hanya untukmu."
Pipiku panas sekali tapi menyurukkan wajahku ke dadanya malah memperparah keadaan. Entah aku harus berterima kasih pada Jiwon atau tidak—tapi keadaan ini terjadi semua karena dia. Jiwon sama sekali tidak mau beranjak dari dekat keranjang bayi Ziyu. Bahkan ketika sudah waktunya tidur dan Ziyu sudah lama terlelap setelah disusui, anak kami itu masih saja betah menunggui meski matanya sudah terkantuk-kantuk. Saat Chanyeol menggendongnya ke kamarku untuk ditidurkan, Jiwon kembali histeris dan melayangkan wajah protes pada sang ayah. Ia baru tenang setelah Sehun mengambil alih dan mengajaknya turut serta untuk tidur di kamar mereka bersama Ziyu.
Ya, Luhan adalah butler kesayangan Anna dan sudah dianggap sebagai adik sendiri—tidak hanya dia, Sehun dan Kai juga selalu dianggap sebagai bagian dari keluarga Byun sejak dulu. Karena itulah, Luhan tidak bisa menolak ketika Anna memintanya untuk tinggal bersama di rumah ini. Apalagi setelah aku dan Chanyeol menikah dan kami sudah punya rumah sendiri—Anna merasa kesepian karena kedua saudari kami yang lain dan juga ayah selalu sibuk mengurus bisnis. Jadi, kamar Luhan ada di bagian belakang dan kamarku ada di lantai atas yang kalau mau berteriak pun, tidak akan ada yang dengar.
"Malam ini apakah boleh?" bisik Chanyeol sambil mengendusi pelipisku bak serigala nakal. "Selagi tidak ada yang mengganggu kita, bolehkah aku bermanja-manja dengan Baekhyun kesayanganku ini?"
"Na-kal sekali," pekikku tertahan ketika Chanyeol tiba-tiba saja menyusupkan tangan ke dalam celana piyamaku. Kulitku langsung merinding merasakan sentuhannya, namun ini terlalu nikmat untuk dihentikan begitu saja.
"Boleh ya? Hm?"
"Satu kali saja—Chan, dan jangan keluarkan di dalam! Akh!"
Dan malam itu, Chanyeol memanjakan tubuhku hingga aku mencapai puncak kenikmatan itu tiga kali berturut-turut. Setelah kami selesai bercinta, Chanyeol beristirahat sebentar sebelum akhirnya memakai celananya kembali dan turun dari ranjang.
"Jadi, di tempat inikah Baekhyunku tumbuh besar?"
Aku seperti mengalami dejavu ketika menyaksikan Chanyeol berkeliling kamarku sambil memegangi apa saja yang bisa ia raih. Dulu aku melakukan hal yang sama di kamarnya di Jeju—ternyata rasanya sangat mendebarkan karena belahan jiwaku seakan tengah mempelajari masa laluku yang ia lewatkan sebelum kehadirannya di hidupku.
"Hanya sampai aku SMP kalau tidak salah," jawabku. Kami baru saja bercinta dan tubuh telanjangku masih terbalut selimut hingga aku merasa malas untuk turun, jadi aku tetap di ranjang dan mengamati semua yang Chanyeol lakukan. "Aku, Sehun dan Kai lebih sering berkelana di dunia luar daripada menghabiskan waktu di rumah neraka ini. Well, dulunya neraka—"
"Apakah ini Kyungsoo?" Chanyeol menunjukkan sebuah figura foto berisikan potretku dengan Kyungsoo kecil di sana. Seingatku foto itu diambil tak lama setelah dia dan ibunya masuk ke rumah kami bertahun-tahun yang lalu—awalnya sebagai pelayan. Kami tampak tertawa lebar dengan mainan robot berada di tangan—waktu itu aku berbagi mainanku pada Kyungsoo dan dia tampak bahagia sekali karenanya.
"Hm, bukankah dulu senyumannya begitu lebar dan indah? Akulah yang merusak senyuman itu dan membuatnya nyaris hilang untuk selamanya."
Chanyeol menggeleng sambil mengembalikan foto itu ke tempatnya, "Itu hanyalah masa lalu, Baekhyuna. Bukankah kita sudah sepakat untuk melangkah dari masa lalu dan berjalan menuju masa depan tanpa melihat ke belakang lagi?"
"Kau benar—" desahku pelan. Chanyeol kembali melanjutkan aksinya menginvasi kamarku, bergerak dari satu sisi ke sisi lain seolah ingin mengetahui setiap detail kehidupanku saat masih kecil. Beberapa kali juga kudengar ia mengerang tak suka ketika melihat album foto di tumpukan bawah lemari pakaianku dimana aku punya pose banyak sekali dengan Sehun.
"Ini tidak bisa dibiarkan!" Chanyeol mendesis sambil mengeluarkan satu foto dari dalam album. "Kau tampak imut dan menggemaskan sekali dalam foto ini, tapi sayangnya dua lelaki sialan yang tengah mengapitmu juga tak kalah tampan!" Yang Chanyeol maksud adalah foto kelulusan SMP-ku. Aku tengah memegang sebuket bunga dan tertawa lebar dengan dua lelaki tampan yang memelukku dari samping—Kai dan Sehun.
"Mau kau apakan foto itu?"
"Akan kugunting wajah mereka berdua hingga yang tersisa tinggal fotomu—lalu kusimpan di dompetku sebagai jimat."
Aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah Chanyeol yang ternyata tak hanya mencuri fotoku, ia juga menjarah beberapa mainan semasa kecilku yang teronggok di dalam kotak berdebu di atas lemari. "Untuk Jiwon—" Dia bilang begitu sambil memasukkan paksa sebuah boneka jerapah kecil seukuran telapak tangan ke dalam tas kerjanya yang diletakkan di dekat ranjang.
Chanyeol kembali naik ke tempat tidur setelah selesai dan langsung meng-cuddle-ku seperti boneka di dalam pelukannya yang super hangat.
"Apakah kita akan tidur sekarang, Chan?" bisikku setelah melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 2 dinihari. "Atau maukah kau mendengarkan ceritaku tentang Kyungsoo?"
Dia mengecup keningku lama sekali, "Asal kau berjanji untuk tidak menangis saat menceritakannya, aku akan mendengarkanmu selama apapun itu."
"Benarkah?"
"Hm."
Jadi Park Chanyeol, inilah yang terjadi saat aku meninggalkanmu di Jeju dan pergi menemui Kyungsoo seorang diri.
Come Alone
Kai benar, Kyungsoo memang sedang tidak terkendali dan tak ada yang bisa membuatnya tenang selain melihatku meregang nyawa di hadapannya.
Dia menghancurkan apa saja yang ia temui—karangan bunga, kursi-meja, dia bahkan melayangkan tinju pada dinding berulang kali hingga darah merembes di tangannya. Kyungsoo menjerit pilu, memanggili ibunya yang disemayamkan di rumah duka yang berada di lantai dua rumah sakit—dan saat namaku ia sebut dengan embel-embel akan kubunuh kau—disitulah aku sadar kalau mungkin hari ini adalah penghabisanku dan aku tak akan berjumpa Chanyeol lagi untuk selamanya.
Sayangnya, aku sedikit diliputi rasa takut. Bukan karena sebentar lagi Kyungsoo akan menghajarku habis-habisan atau fakta bahwa aku akan mati sebelum mendengar kata cinta terucap dari bibir Chanyeol—tapi karena dia yang sekarang ada di dalam kandunganku. Demi apapun juga, dia hanyalah janin berusia lima bulan yang tidak tahu apa-apa. Bukankah ini tidak adil kalau bayiku harus ikut meregang nyawa padahal terlahir dan melihat indahnya dunia adalah haknya?
Airmataku menetes tapi aku masih berlindung di balik pilar yang menghalangi Kyungsoo melihatku.
"Biarkan aku pergi, Kai! Biarkan aku pergiii! Akan kubunuh Byun Baekhyun sekarang juga, biarkan aku pergi!"
Lagi-lagi aku menangis melihat betapa hancurnya Kyungsoo karena kepergian Bibi Do. Kalau ingin menyalahkan seseorang, maka dia benar—aku pantas disalahkan. Aku tidak akan melakukan pembelaan apapun karena memang benar aku yang mendorong ibu Kyungsoo hingga bergulingan di tangga dan mengalami koma hingga akhir hayatnya.
Aku yang telah merenggut kebahagiaan Kyungsoo.
Aku yang membuat hubungan kami buruk hingga ia membenciku sedalam-dalamnya.
Aku membuat saudara tiri yang harusnya mendapat kasih sayang di rumah kami berubah menjadi musuh yang selalu ingin membuatku celaka.
Atau kalau aku tidak ada lagi—apakah semua akan baik-baik saja dan kembali seperti semula?
Akankah hidup Park Chanyeol juga berjalan seperti seharusnya karena aku dan bayi yang belum terlahir ini tak lagi menghalangi langkahnya untuk meraih apa yang belum sempat ia dapatkan?
Sambil terisak tanpa suara, aku terus mengelus perutku yang sesekali dibalas oleh tendangan pelan dari dalam sana. Hatiku semakin sakit karena rasanya calon bayiku tahu waktu yang kami miliki tidak banyak lagi. Kalau aku tahu akhirku akan seperti ini, harusnya aku menyatakan cinta sebanyak-banyaknya pada Chanyeol dan tak menyia-nyiakan sedetik pun waktu yang kulewatkan dengannya.
Di sana, Kyungsoo semakin tak terkendali dan Kai harus merelakan dadanya dipukuli saat ia memeluk lelaki itu untuk meredam tangisnya.
"Baiklah, apapun yang terjadi, tetaplah bersama Mommy. Kau tahu kan kalau Mommy sangat mencintaimu?" Aku mengelus perutku sekali lagi kemudian keluar dari tempat persembunyian setelah mengelap habis airmataku. Kyungsoo menatapku dari balik pundak Kai dan senyum sinis persis yang dimiliki oleh para iblis tersungging di wajahnya.
"Akhirnya kau datang juga."
Kyungsoo
Kyungsoo datang ke rumah Byun saat aku masih SD.
Aku ingat, hari itu hujan deras dan ayah datang dengan membawa seseorang berpenampilan sederhana di sebelahnya.
"Baekkie, ini Bibi Do. Beri salam padanya."
Aku membungkuk hormat sambil memperkenalkan namaku dengan suara lantang. Bibi Do yang bermata bundar itu tersenyum manis sekali lalu membelai kepalaku dengan lembutnya, "Inikah Baekkie? Dia manis sekali dan tingkahnya juga sangat sopan. Baekkie ya, apakah kau mau berteman dengan Kyungie-ku?"
Bibi Do menarik seseorang yang ternyata dari tadi bersembunyi di belakang tubuhnya. Mata orang itu sama bundarnya dan langsung menunduk takut begitu kami bertatapan. Di tangannya, ia menggenggam erat buku tulis lusuh beserta pulpen yang jelas menunjukkan kesukaannya akan belajar.
"Dia Do Kyungsoo, Kyungie, putraku. Dia beberapa bulan lebih muda namun tingkat kelas kalian sama. Maukah Baekkie menjadi teman baiknya dan tidak bertengkar dengannya meski dia hanyalah anak pelayan di rumah ini?"
Dari belakang tubuh Bibi Do, ayah menatapku tajam tapi bukan itu alasan kenapa aku mengangguk dan langsung menggamit lengan Kyungsoo secara paksa beberapa saat kemudian.
"Ung! Baekkie akan menjadi teman baik Kyungie dan tidak akan bertengkar dengannya sampai kapanpun! Kyungie juga akan berteman dengan Kai dan Sehun—Baekkie juga akan mengizinkan Kyungie meminjam mainan sebanyak apapun!"
Bibi Do terkekeh sambil mengelus kepala kami berdua secara bersamaan. Ia menatap sendu pada rangkulan tangan kami dengan senyum yang tak kunjung hilang dari wajahnya. "Kyungie-ku tidak terlalu banyak bicara, karena itulah, ajak dia bermain dan berbuat baiklah padanya, oke? Kyungie ya, kau juga harus sopan dan hormat pada Baekkie, mengerti?"
"Ung! Kyungie ya, ayo ikut Baekkie!"
Kyungsoo tampaknya masih enggan, namun dia tak bilang apa-apa saat kuseret menuju kamarku dimana Sehun dan Kai tengah sibuk mengerjakan pekerjaan rumahku yang belum selesai.
"Hei kalian—kita punya teman baru sekarang! Kai, Sehun, beri salam padanya!"
Itulah awalnya.
Selama ini hanya ada kami bertiga, tapi kini jadi empat sekawan sejak kehadiran Kyungsoo. Ayah memasukkan Kyungsoo ke sekolah dan kelas yang sama dengan kami hingga hubungan itu semakin erat. Dia mengambil peran sebagai anak baik-baik yang patuh peraturan sedangkan kami bertiga tetap menjalankan peran yang nakal-nakal. Kyungsoo membantu kami belajar, dan sebagai balasannya, kami terkadang mengajari anak itu untuk berbuat onar. Namun nakal bukanlah nama tengah Kyungsoo—ia sering kali bertengkar dengan dua butlerku ketika kami bersiap dengan rencana brilian berbuat kenakalan dan menyeretku pulang secara paksa.
Hingga sesuatu yang aneh menarik perhatianku. Waktu itu kami sudah SMP dan cukup besar untuk mengetahui fakta bahwa Bibi Do yang hanya seorang pelayan kelewat sering menyelinap masuk ke kamar ayahku dan tak keluar hingga besok paginya adalah sesuatu yang janggal.
Dan aku benar, mereka menyembunyikan kenyataan bahwa Do Kyungsoo adalah anak ayah yang dilahirkan dari hubungan terlarang dan mereka berniat untuk menikah secara resmi dalam waktu dekat.
Betapa teganya ayah. Mengingat usiaku dengan Kyungsoo yang terpaut tak begitu jauh, sudah pasti dia berselingkuh dengan Bibi Do padahal aku baru lahir dan ibuku tak selamat setelah proses mengantarkanku ke dunia. Tuan Byun yang terhormat telah mengkhianati keluarga ini dan membawa selingkuhan serta anak haramnya di rumah ini melalui sebuah kebohongan besar.
Salah siapa kalau aku murka? Salah siapa kalau rasa sayangku pada Kyungsoo berubah kebencian dan kami terus bertengkar setiap hari? Ah, mungkin salahkan saja hormon remajaku yang saat itu tengah tinggi-tingginya hingga aku selalu merasa paling benar dan berhak untuk protes saat sesuatu tak berjalan sesuai harapanku. Dan ketika adu mulut antara aku dan Bibi Do berlangsung—keegoisankulah yang menang. Aku terlalu marah sampai tak sadar telah mendorong tubuh kurus itu hingga jatuh bergulingan di tangga—menyebabkan genangan besar darah dari luka di kepala menghiasi lantai saat badannya mencapai tangga paling bawah. Di atasnya, aku tersenyum menang meski wajahku dibasahi airmata.
Aku merasa menang karena telah membalaskan sakit hati ibuku dan dendamku juga—rasanya sungguh lega sekaligus menyesakkan di saat yang bersamaan. Kyungsoo menjerit pilu sambil memohon agar ibunya membuka mata, meminta tolong pada pengawal yang lain untuk memanggilkan ambulans—tapi aku dengan congkaknya mengatakan sesuatu yang membuat Kyungsoo mengepalkan tangan erat-erat.
"Ke rumah sakit manapun kau membawanya, dia tidak akan lepas dari tanganku."
Waktu itu, Byun Tua tengah sibuk dengan urusannya di luar negeri seperti biasa. Mungkin saja ia memang mencintai Bibi Do, tapi tetap saja ia lebih mencintai bisnis yang terus menghasilkan uang untuknya ketimbang wanita yang telah memberinya anak laki-laki seperti yang ia harapkan.
Ia tidak terlalu peduli dan itu membuatku semakin menjadi-jadi. Kyungsoo mengurus ibunya seorang diri, berulang kali pindah rumah sakit karena teror yang kuberi sampai-sampai ia harus menyembunyikan keberadaan ibunya—hingga aku sadar, sebenarnya ini salah siapa?
"Kyung—Kyungsoo—a-aku minta maaf—" Bahkan untuk mengatakan maaf di depan wajahnya saja aku tak sanggup lagi. Aku tak bisa tak menangis kalau ingat apa yang telah kulakukan dulu. Bibi Do sangat menyayangiku—entah sebagai Tuan Mudanya atau sebagai anak dari lelaki yang berselingkuh dengannya. Kini aku benar-benar menyesal saat dia tak lagi ada. Namun apa guna dari penyesalanku kalau wanita itu tak bakal bisa hidup kembali dan menerima seluruh permintaan maafku?
"Maaf?" Kyungsoo menyeringai dengan mata semerah bara api. "Dia telah mati dan baru detik ini mulutmu bilang maaf?!"
Tak banyak yang menghadiri rumah duka tempat Bibi Do disemayamkan. Mungkin karena dia bukan siapa-siapa atau mungkin juga karena tak ada yang peduli padanya selain Kyungsoo, sebuah fakta menyedihkan yang membuat airmataku jatuh semakin deras. Kepada siapakah keadilan berpihak? Barangkali benar kalau ayahku mencintai Bibi Do yang telah memberinya anak lelaki seperti yang ia harapkan—lalu hak apa yang kupunya hingga tega melakukan sesuatu yang membuatnya pergi sia-sia dari kehidupan ini?
"Apa yang kau lakukan dulu saat dia minta maaf sambil bersujud di kakimu, Byun Baekhyun?" Satu airmata kembali jatuh membasahi pipi lelaki itu. Di belakangnya, tangan Kai terjulur hendak memegang bahu Kyungsoo namun urung. Kyungsoo hanya tidak tahu saja—Kai pasti merasa sama bersalahnya sepertiku saat ini. Kejadian itu juga ia saksikan dengan matanya sendiri, namun kesetiaannya padaku membuat Kai tak mau menaruh kasihan pada Kyungsoo sedikit pun.
"Kau bilang dia adalah pelacur! Kau bilang ibumu meninggal gara-gara dia! Kau bilang dia ingin mengeruk semua harta ayahmu! Dan—"
Bibir Kyungsoo bergetar hebat, menahan segala sesak dan kepedihan di dada yang anehnya sangat bisa kurasakan itu. Dia adalah saudaraku dan itu tak terbantahkan lagi. Apa yang ia rasakan, aku pun bisa merasakannya sama persis.
"—dan kau mendorongnya dari tangga sambil menyuruhnya agar enyah saja dari dunia ini!"
Kami berdua menangis, tapi yang isakannya lebih kuat adalah aku.
"Sekarang setelah dia benar-benar enyah, apakah kau sudah puas? Kau senang sekarang?"
Kau salah, Kyungsoo. Rasa bersalahku—tak ada yang bisa menggambarkannya seperti apa saat ini.
"Kyung-Kyungsoo, aku benar-benar minta ma-af—" ujarku di sela isakan. Aku mencoba memeluknya, namun sudah pasti dia menolak bersentuhan denganku sedikit saja. Pelukanku langsung ditepisnya dengan kasar.
"Aku sungguh menyesal, Kyungsoo—semuanya, aku menyesal telah melakukan semuanya—"
"APA GUNANYA KAU MENYESAL KALAU DIA SUDAH TIDAK ADA LAGI, SIALAN?" Kai dengan sigap menahan tangan Kyungsoo yang siap melayang ke wajahku. "Lepaskan aku, Kai! Lepaskan kubilang!"
"Aku tahu kau sedang berduka, tapi tak kubiarkan kau menyakiti Baekhyun, Do Kyungsoo!"
"Kenapa? MEMANGNYA KENAPA KALAU AKU INGIN MENYAKITINYA, KAI?"
"Kenapa kau bilang?" Kai mengambil posisi berdiri di antara kami berdua, menghadap Kyungsoo dan membelakangiku seperti seorang pelindung. "Karena kau memang tak berhak menyakitinya, Do Kyungsoo! Baekhyun melakukan itu semua karena sakit hati pada Bibi Do yang telah merusak keluarganya—apa untuk mengetahui itu saja otak cerdasmu itu sudah tak becus lagi?"
"Kai—" panggilku lirih, namun ternyata lelaki itu turut dihinggapi rasa emosional hingga tampaknya semua yang ia pendam selama bertahun-tahun akhirnya berhasil ia lontarkan di hadapan Kyungsoo.
"Merusak keluarganya? Kau juga ingin bilang kalau ibuku merusak keluarga Byun, begitu Kai?"
"Kalau tidak merusak lalu apa namanya, hah? Nyonya Byun tahu tentang hubungan suaminya dengan wanita lain saat dia tengah hamil besar dan patah hati yang teramat dalam membuatnya sakit-sakitan dan tak bisa bertahan lebih lama lagi. Kau anggap apa yang terjadi pada ibumu adalah sebuah ketidakadilan, lalu bagaimana tentang Baekhyun yang tak sempat merasakan kasih sayang ibunya yang meninggal tak lama setelah ia dilahirkan—kau pikir itu adil untuknya?!"
Tubuh Kyungsoo bergetar menahan isakan, namun Kai belum berhenti menyiksanya dengan kata-kata. "Kau lupa apa saja yang sudah kau lakukan beberapa tahun belakangan ini, Do Kyungsoo? Kau selalu mencoba membuat Baekhyun celaka dengan segala macam cara. Tak hanya itu saja, kau juga memfitnahnya dengan semua omong kosong yang kau ciptakan agar dia dibenci bahkan oleh keluarganya sendiri! Aku memang diam, tapi aku tahu semuanya, Do Kyungsoo!"
"Tapi kau tidak tahu apa-apa tentang perasaanku, Kai!"
Belum pernah aku melihat Kyungsoo sehancur itu. Caranya menatap Kai, caranya menahan isakan yang sebenarnya tak bisa ditahan—persis ketika aku menghiba di hadapan Chanyeol yang tak kunjung memahami perasaan yang kumiliki.
"Kau tidak tahu kalau aku tak pernah meminta dilahirkan sebagai anak dari hasil perselingkuhan! Kau tidak tahu bagaimana rasanya dianggap sebagai perusak padahal yang ibuku inginkan hanyalah sedikit kasih sayang dari ayah untukku saja! Kau—kau tidak tahu rasanya kehilangan—"
Kai terdiam dan tak bisa mengatakan apapun lagi.
Siapapun, tolong beritahu aku. Apakah semua yang terjadi ini adalah kesalahanku?
"Pergilah—" bisik Kyungsoo lemah. "—aku akan memakamkan ibuku sendirian, jadi kalian semua pergilah."
"Kyungsoo—"
"Kubilang pergi! Selama ini pun hanya ada kami berdua jadi kalian tidak perlu membuang waktu untuk hadir di tempat ini!"
Bahkan Tuan Byun yang terhormat belum memunculkan batang hidungnya untuk sekedar melihat Bibi Do untuk yang terakhir kali. Benar-benar pria berhati karang dia itu—atau jangan-jangan, dia juga tidak peduli sama sekali ketika ibuku pergi?
"Tapi aku tidak akan pergi—"
Kyungsoo yang sudah berbalik dan berjalan empat langkah kembali menghentikan kakinya. "—sebelum kau memaafkanku."
Sulit untuk melihat seperti apa reaksinya waktu itu, tapi bagiku yang terpenting adalah mengatakan semua yang ingin kubilang. "Bahkan kalau pun kau tidak memaafkanku, aku akan tetap di sini untuk menemanimu mengurus pemakaman Bibi Do!"
Tentu saja aku sudah gila kalau kupikir Kyungsoo akan terkesan dengan keberanianku mengatakan itu. Tapi karena lelaki itu hanya diam, kuasumsikan dia akan merasa sedikit tergugah karena setidaknya aku telah mengakui kesalahan meski akhirnya sudah terlambat. Dan aku juga akan merasa jutaan kali lebih buruk kalau tega membiarkan Kyungsoo mengurus pemakaman sendirian.
"Kai, bisakah kau meninggalkan kami sebentar? Aku ingin berbicara pada Kyungsoo, berdua saja."
"Tapi Baekhyuna—"
"Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja," ujarku mencoba mengurangi rasa khawatir yang lelaki itu miliki untukku. Tapi kehadirannya di antara kami hanya akan memperparah keadaan. Kata-kata tajam yang bisa keluar dari mulutnya akan semakin membuat Kyungsoo terluka jadi kupikir tidak ada gunanya membiarkan Kai berdiri di sebelahku kalau aku ingin benar-benar mengajak saudara tiriku itu berbicara empat mata.
"Tidak! Kalian berbicaralah namun biarkan aku tetap di sini—"
"Kai, kumohon—"
Keberanianku ternyata tidak berbuah baik seperti yang kuduga. Keraguan Kai untuk meninggalkan kami hanya berdua di depan ruang persemayaman lantai dua itu ternyata bukannya tanpa alasan. Ia berulang kali menoleh ke belakang dengan khawatir, tapi melihat Kyungsoo yang kini tidak beringas seperti tadi, ia pikir semuanya akan baik-baik saja.
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Kyungsoo masih belum berbalik menghadapku, jadi aku berinisiatif untuk mendatangi dan berdiri di hadapannya saja. Kulihat wajah itu terus saja dilinangi airmata dan punggung sempit itu masih naik-turun terisak tanpa suara.
"Aku benar-benar menyesal dan yang bisa kukatakan padamu hanyalah maaf—"
"Byun Baekhyun, berhenti dan pergilah sebelum aku berubah pikiran."
"Maaf untuk keegoisanku di masa lalu, maaf karena telah menyakitimu dan Bibi Do hingga seperti ini, aku minta maaf untuk semuanya—"
"Kubilang pergi, Byun Baekhyun!" bentaknya tanpa mengindahkanku yang sedang berusaha meminta maaf tanpa kembali berurai airmata. "Jangan paksa aku untuk menyakitimu—"
"Bagaimana caranya agar kau mau menerima maafku, Kyungsoo?!" Namun aku tidak tahan untuk menyimpan seluruh kesakitan di dadaku lebih lama lagi. "Ha-haruskah aku berlutut seperti yang bibi lakukan dulu? Baiklah—"
Aku membawa tubuhku untuk berlutut rendah di hadapannya. Lima menit setelahnya, aku menghabiskan setiap detik yang kupunya untuk menyesali seluruh perbuatanku. Kuterima kalau Kyungsoo berubah, kuterima kalau Kyungsoo selalu menaruh dendam—kuterima kalau semua itu aku yang menyebabkan.
"Semudah itukah?"
Aku kesulitan untuk mendongak menatap Kyungsoo karena mataku sudah kelewat bengkak dan pandanganku memburam oleh banyaknya airmata. Terlihat jelas ia tengah menatapku dengan sinis, penuh benci—pandangan yang seorang pembunuh berikan untuk seseorang yang ia habisi.
"Semudah itukah aku memaafkanmu namun ibuku yang telah pergi tak akan pernah kudapatkan kembali?"
"Kyung—"
"Baiklah kalau kau memang bersikeras ingin dimaafkan. Aku akan memaafkanmu dengan satu syarat, Byun Baekhyun—"
"Kyungsoo, tidak—apa yang akan kau lakukan, akh!"
"DO KYUNGSOO! TIDAKKK, BAEKHYUNAAAA!"
Tapi Kai yang tadinya berada di dalam ruangan terlambat untuk mencapai tubuhku. Kesigapanku untuk melepaskan diri dari cengkeraman tangan Kyungsoo di rambutku dan menyeretku paksa ke arah tangga juga terlambat. Kedatangan ayah dan ketiga kakakku juga terlambat. Semuanya sudah terlambat.
Yang mereka temui ketika menginjakkan kaki di lobi dan bersiap naik ke ruang persemayaman adalah tubuh putra bungsu Byun yang bergulingan di tangga seperti benda tak berharga. Sama seperti Bibi Do yang mungkin tidak ada yang memperdulikan, mereka juga mungkin tidak peduli akan fakta bahwa kandunganku sudah berusia lima bulan dan sesuatu di dalam tubuhku itu ikut teriksa ketika badanku menghantam lantai dengan kerasnya. Kubiarkan kepalaku terbentur hingga rasanya nyaris pecah, atau tulang-tulangku yang berderak dan mungkin akan patah di sana-sini, atau darahku yang mulai merembes entah dari mana—yang kulakukan hanyalah mencoba untuk mempertahankan nafas sambil memeluk perutku untuk melindunginya.
Jadi seperti inikah yang Bibi Do rasakan dulu? Jadi sesakit inikah yang wanita itu rasakan pada waktu itu?
Teriakan dan jeritan menggaung menyakiti pendengaranku yang tiba-tiba berdenging. Derap langkah dan tapak sepatu yang berlarian menghampiriku dalam sekejap. Mereka berusaha membuatku tetap tersadar, mereka memanggili namaku berharap aku memberikan respon namun aku tak bisa. Maksudku, aku sangat ingin mengatakan kalau aku baik-baik saja. Didorong jatuh dari tangga tidak akan membuatku mati secepat itu, bukan? Namun ketika sudut mata berairku melirik lantai yang kutiduri telah tergenang oleh cairan merah pekat dan perutku sakitnya luar biasa mengalahkan segalanya, aku tahu kalau tidak ada yang baik-baik saja pada diriku.
Kami berdua akan mati—aku dan anak kesayanganku.
"Cha-Chanyeol—" bisikku lemah sambil mencoba menyentuh perutku. Sayangnya mereka terlalu sibuk mencoba menyelamatkanku hingga tidak ada yang mau repot-repot membawakan Chanyeol ke hadapanku. Aku hanya inginkan dia, setidaknya di saat-saat terakhir seperti ini. Aku ingin dia mendengar lagi kata cinta yang kuucapkan, aku ingin dia mengecup perutku dengan lembut dan mengatakan dia ikhlas kalau aku dan bayiku akan pergi meninggalkannya segera—dan kalau boleh, aku ingin mendengar dia mengatakan, "Aku juga mencintaimu, Baekhyuna", sekali saja.
Tapi aku terlalu banyak permintaan, iya kan?
Hal terakhir yang kutahu adalah Kai mengangkatku dari genangan darahku sendiri, menggendongku dengan kedua tangannya dan terus memohon padaku untuk bertahan. Akan tetapi, untuk siapakah aku bertahan? Untuk Sehun yang cintanya tak pernah kubalas? Untuk Anna yang menyayangiku melebihi siapapun? Untuk Yoona dan Soojung yang bahkan tak peduli aku sekarat atau tidak? Untuk Ayah yang kupikir lebih pantas disalahkan atas semua ini?
Untuk bayiku yang mungkin tak akan pernah bisa terlahir ke dunia?
Atau untuk Park Chanyeol yang tak pernah membalas cintaku?
Kalau aku harus bertahan, demi siapa aku melakukan itu semua?
For Them
Jawabannya mudah, demi suamiku, Park Chanyeol—
"Baekhyuna, kau sudah berjanji padaku untuk tidak menangis."
"Ma-maaf—" Aku menyurukkan wajah lebih dalam ke dada Chanyeol hingga bagian itu basah oleh airmataku, memeluk pinggangnya lebih erat seolah tak ingin melepaskannya bahkan untuk milyaran tahun ke depan.
"Aku cinta sekali padamu, Park Chanyeol, karena itulah aku menangis saat mengingat itu semua." Kuharap mengatakan hal demikian dengan cengengnya tidak terlihat menjijikkan. Bagusnya, Chanyeol malah balas memelukku hingga dadaku merasakan sesak yang menyenangkan.
"Aku yang lebih mencintaimu, Baekhyuna—berhentilah menangis, oke? Itu membuatku ikut merasa buruk karena terlalu lama menyadari perasaanku padamu. Harusnya waktu itu aku tidak membiarkanmu pergi seorang diri—hei, kubilang jangan menangis lagi—""
"Tapi aku cinta sekali—"
"Iya, aku tahu. Aku juga cinta sekali dan paling cinta pada Baekhyunku ini, jadi berhentilah menangis karena mengingat-ingat masa lalu. Kita ada di sini sekarang, ditambah Jiwon, itu yang terpenting. Ugh, kesayanganku ini cengeng sekali!"
Chanyeol menyeka bekas tangisanku hingga menyisakan wajahku yang sembab lalu aku diciuminya lembut sekali sampai aku lupa akan apa yang baru saja membuatku menangis. Bermenit-menit, dia menyalurkan rasa cintanya melalui ciuman diiringi oleh kalimat-kalimat yang membuat hatiku berbunga indah saking bahagianya. Kami nyaris saja kembali larut memadu hasrat cinta yang menggebu kalau bukan karena ketukan di pintu yang menghentikan semua aktivitas di ranjang menggelora ini.
"Hai, kuharap aku tidak mengganggu kalian, tapi si pengacau kecil ini tidak berhenti menangis dan terus memanggili Baekhyun sejak sejam yang lalu."
"Ya Tuhan, Jiwonku!"
—dan demi anakku, Park Jiwon. Dia makhluk terkuat yang pernah kujumpai di dunia ini. Dia bahkan masih berupa janin yang belum tumbuh sempurna, namun kekuatannya membuat kami berdua bertahan meski aku yakin sekali kalau kami sudah di ambang kematian waktu itu. Jiwon memberiku kekuatan untuk melanjutkan hidup dan aku tak punya apapun lagi untuk dikeluhkan.
Aku langsung merebut Jiwon dari gendongan Sehun dan si kecil itu langsung terisak-isak begitu kepala mungilnya membenam di ceruk leherku.
"Mo-mommy—"
"Iya, son—mommy disini, tidak apa-apa,"
"Jadi dia tidak tidur semalaman ini?" tanya Chanyeol yang ikut menyusul ke depan pintu sambil melirik jam. Sudah hampir subuh, beberapa jam lagi hari akan terang namun kami belum juga memejamkan mata. Ketika mengetahui ayahnya berdiri di sampingku, Jiwon mengulurkan kedua tangan minta digendong dan Chanyeol dengan mudah memindahkan anak kami ke dalam pelukannya.
"Dia tidur, namun terbangun saat Ziyu menangis minta disusui. Jiwon punya jiwa yang perasa—mungkin ia pikir Ziyu menangis karena ia tidur di dekat keranjangnya, jadinya dia ikut menangis dan susah sekali untuk ditenangkan."
"Astaga, maaf sudah merepotkanmu, Sehuna—"
"Sama sekali tidak merepotkan, santai saja." Sehun tersenyum kecil ketika menyadari Chanyeol masih bertelanjang dada dan aku memakai piyamaku dengan acak-acakan. "Baiklah, aku harus kembali ke kamar dan maaf sekali karena harus membawakan Jiwon kemari—kalian jadi terganggu…"
Pipiku langsung merona tapi untungnya Sehun tahu diri dan cepat-cepat pergi tanpa menggodaku lebih jauh.
"Jadi, Chanyeol kecil ini ingin tidur bersama mommy dan daddy hari ini?"
"U-ung—" Jiwon mengangguk pelan dan itu membuatku langsung menciumi pipi gembilnya habis-habisan. Kami meletakkan dia di tengah-tengah, tangan Chanyeol langsung bergerak mengelusi perut lucunya dan tanganku mengambil bagian mengusap-usap kepalanya dengan lembut. Jiwon suka sekali disayang-sayang, ia langsung terlelap hanya sekitar lima menit setelah diapit oleh kami berdua.
"Chan, tentang Ziyu—"
"Hm, ada apa dengannya?"
"Kalau nanti di masa depan Jiwon benar-benar menyukai Ziyu, apakah kau akan keberatan? Maksudku—kalau ternyata Jiwon itu seperti kita—jadi maksudku, Jiwon itu suka—"
"Kau ingin tanya bagaimana reaksiku kalau ternyata nantinya Jiwon adalah gay, begitu?"
"Hm,"
"Jangan khawatir, Baekhyuna. Aku menyerahkan masa depan Jiwon di tangannya sendiri, begitu juga orientasinya. Dia menyukai laki-laki atau perempuan, sama sekali bukan masalah buatku. Aku akan berbahagia untuk keputusan apapun yang ia ambil dalam hidupnya. Kalau kau bagaimana?"
Aku tersenyum lega dan cepat-cepat mengangguk, "Sama! Itu semua bukan masalah untukku. Terlebih lagi Ziyu juga manis sekali dan berbesanan dengan Sehun adalah jalan cerita paling indah dalam kisah kita, iya kan?"
"Kau sudah memikirkan tentang berbesanan? Astaga, sebenarnya apa saja yang kau pikirkan di kepala kecilmu ini, hah?"
"Sejujurnya aku memikirkan yang mesum-mesum,"
"Yak! Putraku masih terlalu kecil untuk itu, Baekhyuna!"
"Tapi apa salahnya? Jadi menurutmu, apakah nanti Jiwon akan sehebat dirimu saat di ranjang?"
"Yak!"
Malam itu, kami lanjut bercerita tentang apa saja dengan Jiwon yang terlelap damai di antara tubuh kami berdua. Tak peduli fajar mulai menyingsing atau besok Chanyeol harus kembali bekerja, kami terus berbagi kisah yang mungkin sempat terlewat di lembar-lembar cerita kehidupan. Aku baru merasa kantuk menghampiri saat Chanyeol bergantian mengelusi kepalaku sambil menggumamkan tentang dia yang sangat cinta sekali padaku dan hingga ia juga tertidur pulas dengan lengan panjang yang melingkupi tubuhku dan Jiwon.
Luhan's Ring
"Baekhyuna, sepertinya Jiwon minta adik baru."
Bagaimana mungkin Chanyeol bisa mengatakan hal demikian dengan wajah polos tanpa beban seolah yang baru saja ia katakan adalah Jiwon kami minta dibelikan mainan baru?
"Yah, aku hanya bilang saja—bukan aku yang minta, sungguh! Kau lihat, Jiwon benar-benar tidak bisa dipisahkan dari Ziyu dan kupikir alasannya bukan karena Jiwon suka padanya—tapi lebih kepada karena dia selama ini kesepian! Ya, anak kecil sepertinya memang gampang sekali merasa kesepian dan ketika bertemu dengan yang sebaya dan bisa diajak bermain bersama, dia jadi sulit untuk dipisahkan—ya, begitulah,"
Aku menghentikan kegiatanku mengiris apel untuk Chanyeol dan mengacungkan pisau buah itu di hadapannya dengan wajah datar.
"Katakan dengan jelas apa maksudmu sebenarnya, Park Chanyeol."
Dia menelan ludah kemudian menggaruk kepalanya dengan gerakan canggung, "Maksudku—Jiwon minta diberikan adik baru, mungkin? Iya kan, Jiwona?"
"Yang minta sebenarnya Jiwon atau kau?"
Sambil menahan senyum malu, Chanyeol menunjuk Jiwon yang sibuk menggigiti apelnya di kursi bayi tinggi tempat ia duduk tapi kemudian telunjuk itu mengarah ke dadanya sendiri, "Aku."
"Yak!"
Sudah dua minggu sejak Ziyu datang dan selama itu pula Jiwon lebih sering menghabiskan waktunya di tempat mereka ketimbang bersama kami. Hal pertama yang ia cari saat terbangun di pagi hari adalah Ziyu. Mau makan pun, dia harus diiming-imingi akan diajak ke tempat Ziyu terlebih dahulu. Kalau ia menangis dan sulit untuk didiamkan, sebut saja nama Ziyu maka isakannya akan berhenti secara otomatis. Pekerjaan harianku jadi bertambah—membawa Jiwon ke rumah Byun dan mengawasi anakku itu bermain dengan bayi Ziyu sampai sore. Tidak buruk juga karena di sana, aku bisa bercengkerama dengan keluargaku dan menghabiskan waktu yang berkualitas secara bersama-sama.
Tapi yang paling kasihan adalah Chanyeol.
Kami jadi jarang berkunjung ke kantor karena sekarang Jiwon tidak bisa kalau tidak melihat Ziyu sehari saja. Sore saat Chanyeol pulang pun, yang ia dapatkan adalah Jiwon yang tertidur dalam gendonganku karena letih bermain sepanjang hari. Ziyu belum bisa apa-apa selain menangis, jadi lebih tepatnya yang ia lakukan adalah bermain sendirian di dekat Ziyu dan dengan sigap menunjukkan mainannya saat bayi Luhan itu mulai meraung kuat-kuat.
"I-ni—Ziyu, ini—"
Mungkin Jiwon ingin bilang, "Ini mainanku buatmu saja, tapi jangan menangis ya?"—namun ia belum bisa mengucapkan kalimat selanjutnya dengan sempurna. Singkat cerita, Jiwon bertindak sebagai pengasuh Ziyu selama dua minggu terakhir dan kesibukan itu membuatnya lupa akan Chanyeol—itulah yang suamiku pikir. Jadi sesungguhnya bukan Jiwon yang kesepian, tapi ayahnya. Dia kesepian karena sang anak lebih terfokus pada seseorang yang lain dan karena itulah dia minta diberikan bayi baru yang bisa dipeluk-peluk sesuka hati karena Jiwon sekarang lebih sering meronta dan berlari kabur tiap kali akan di-cuddle.
"Ya, Baekhyuna? Beri aku bayi baru, mau ya?"
"Aku mau—"
"Yes! Ayo langsung ke kamar kalau begitu," Chanyeol dengan senyum kelewat lebarnya nyaris beranjak dari kursi dalam hitungan sepersekian detik.
"—tapi tidak sekarang."
Bahu Chanyeol merosot secara otomatis dan bibir tebalnya mengerucut seolah mengundangku untuk mendaratkan sebuah kecupan.
"Kenapa tidak? Kan membuatnya sangat gampang—tinggal bercinta dan—"
"Tapi hamil itu sangat sulit, Chan. Aku harus melewati trimester pertama yang sangat menyiksa, belum lagi aku harus mengasuh Jiwon dan mengurusmu sehari-hari—itu tidak semudah yang kau bayangkan," ujarku mencoba memberinya pengertian.
"Aku juga ingin sekali menimang seorang bayi baru, tapi kupikir lebih baik menunggu agar Jiwon bisa sedikit mandiri dulu agar ia tidak merasa tersisih karena kehadiran adiknya di antara kita. Aku tidak ingin punya adik malah akan membuatnya merasa kehilangan kasih sayang kita, kau mengerti kan maksudku?"
Chanyeol mencebik kesal namun setelahnya ia lampiaskan kekesalannya pada Jiwon dengan cara menciumi pipi anak itu habis-habisan. Untungnya hari ini hari Minggu dan suasana hati Jiwon sangat bagus karena sebentar lagi kami akan berkunjung ke tempat Ziyu, jadinya dia hanya terkikik lucu ketika perutnya jadi sasaran dari kepala Chanyeol yang diusakkan ke sana.
"Hei, little boss—kau dengar apa kata mommy barusan? Boleh punya adik baru asal kau sudah tumbuh lebih besar sedikit. Bukankah itu menyebalkan sekali? Ah, daddy benci menunggu lebih lama~"
Jiwon tertawa dan menggumamkan kata baby berulang kali sambil bertepuk tangan dengan bangganya. Ulangtahun pertamanya tinggal beberapa minggu lagi dan kami kerap terkejut dengan kosakata baru yang bisa ia kuasai setiap harinya. Dia tumbuh dengan baik dan kami bahagia akan kenyataan itu.
Setelah Jiwon selesai dengan snack time-nya, kami langsung bergegas mengunjungi Ziyu seperti biasa, tapi kali ini dengan Chanyeol yang mengemudi. Sesampainya di sana, Jiwon dengan tak sabarannya berlari masuk ke rumah dengan langkah-langkah oleng yang membuatku terus mengikutinya dengan panik, namun ia berhasil mencapai pintu depan setelah terjatuh beberapa kali.
"Ziyu ya, Jiwon datang~" panggilku ketika memasuki rumah.
"Selamat datang Jiwonie kesayangan—lihat, Ziyu mau mandi sebentar lagi. apakah Jiwonie ingin ikut memandikan Ziyu juga?" sambut Luhan sambil tersenyum lebar dan memberikan putraku sebuah pelukan.
Oh tidak. Sehun dan Chanyeol terbahak begitu melihat reaksi Jiwon yang sungguh diluar nalarku ketika Ziyu dibaringkan di permadani dan Luhan mempreteli pakaiannya satu persatu. Si kecilnya Chanyeol itu tak berkedip di sepanjang prosesnya, menatapi kulit Ziyu yang seputih kertas terpampang polos di depan matanya—dan selanjutnya, ia merengek minta bajunya dilepas juga.
"Tapi tadi Jiwon sudah mandi—"
"Nghh, bu-ka!" Jiwon berusaha menarik bajunya ke atas, namun tersangkut di kepala dan dia merengek lagi karena hal itu. Ziyu yang baru pintar menoleh ke samping tiba-tiba saja tersenyum hingga gusi polosnya kelihatan dan menjejakkan kedua tungkainya kesana-kemari hingga Luhan pikir bayinya itu juga sangat senang akan ide mandi bersama yang ia usulkan.
"Chan, tolong—" bisikku tanpa suara tapi Chanyeol hanya mengedikkan bahu dan malah memanas-manasi Jiwon agar ikut mandi bersama Ziyu. Kerlinganku kepada Luhan juga tidak membantu. Malah lelaki itu dengan senang hati membukakan pakaian Jiwon dan menggiring bocahku ke kamar mandi untuk berendam di ember lucu dengan balon-balon busa beraroma stroberi kesukaannya ditemani oleh mainan bebek karet yang bisa bersuara ketika perutnya ditekan.
"Lu, bagaimana ini? Jiwon merepotkanmu saja setiap hari," kataku merasa bersalah saat kami berdua sudah ada di kamar mandi dan berjongkok di depan ember anak masing-masing. Luhan yang sedang memandikan Ziyu di ember lainnya menggeleng cepat-cepat, "Dia tidak merepotkan, sungguh! Malah aku senang sekali karena Ziyuku ada yang menemani setiap hari—aku berterima kasih pada kalian,"
Aktivitasku memandikan bayi itu harus terhenti ketika Sehun memanggil dan memintaku untuk keluar sebentar.
"Aku ingin memberi kejutan untuk Luhan. Besok adalah ulangtahunnya dan aku ingin melamarnya saat itu juga. Bisakah aku minta tolong padamu dan Chanyeol untuk pergi membelikan cincin, Baekhyuna? Luhan akan curiga kalau aku pergi sebentar saja, karena itulah aku butuh bantuan kalian."
"Benarkah? Wah, aku senang sekali, Sehuna! Tapi, bukankah sebaiknya kau sendiri yang memilihkan cincin untuknya? Aku tidak tahu bagaimana selera Luhan dan kupikir aku akan sedih sekali kalau ternyata dia tidak suka cincin yang kami pilihkan,"
"Jangan khawatir—aku percaya padamu dan kujamin Luhan akan suka pada apapun yang kau pilihkan," kata Sehun sambil tersenyum dan mengelus lembut bahuku.
"Benarkah? Baiklah kalau kau bilang begitu,"
"Ehm, siap berangkat, Baekhyunku sayang?" Chanyeol muncul entah dari mana dan menepis tangan Sehun yang masih berada di bahuku dengan gaya posesif, "Dia hanya milikku, kau tahu?"
"Ya, ya, aku tahu, Park Chanyeol!" balas Sehun sambil terkekeh. Aku tahu mereka hanya bercanda, tapi rona merah di pipiku menjelaskan kalau aku merasa tersanjung akan klaim kepemilikan Chanyeol atas diriku.
"Kalau begitu, aku titip Jiwon sebentar, oke?"
Permintaan Sehun itulah yang membuat kami terjebak di toko perhiasan ini selama berjam-jam kemudian. Aku tidak pernah tahu kalau memilihkan cincin pasangan akan sesulit ini—kupikir tinggal pilih, bayar dan selesai. Namun ternyata, ribuan koleksi yang toko ini miliki membuatku sampai sakit kepala karena tidak tahu harus membeli yang mana. Hingga pada akhirnya, sesuatu yang terletak di baris paling sudut etalase mewah itu menarik perhatianku.
"Kau tahu, Chan—" Aku menunjukkan sepasang cincin pada Chanyeol dan dia langsung mengarahkan pandangannya pada objek yang kumaksud, "—kupikir ini cincin yang sempurna, Luhan pasti akan sangat menyukainya, kujamin!"
"Benarkah? Tapi modelnya sederhana sekali dan—"
"Itulah poin utamanya! Cincin sebagai lambang cinta itu tidak harus diwujudkan dalam kemewahan puluhan berlian. Biarpun sederhana, tapi cincin pernikahan terbaik adalah yang bisa mengingatkan seseorang akan kenangan manis yang mereka lewati bersama orang tercinta hanya dengan melihatnya saja. Bukankah itu indah sekali?"
"Hm, begitukah? Nona, tolong perlihatkan pada kami cincin yang ini."
"Baik, Tuan."
Aku terkagum-kagum pada cincin sederhana berbahan platinum dengan berlian biru mungil yang berada di tengahnya itu. "Sempurna!" gumamku saat tanpa sadar memasukkan cincin itu ke jariku dan membolak-balik tanganku di depan wajah.
"Cantik, kan?"
"Anda benar, Tuan. Cincinnya terlihat bagus dan cocok sekali di jari Anda!" komentar si gadis penjaga sambil tersenyum lebar. Dia benar, cincin itu terlihat pas sekali di tanganku yang putih mulus.
"Benarkah? Tapi sayangnya cincin ini bukan untukku—"
Gadis itu diliputi kecanggungan saat melihat aku melepas cincin itu dan mengembalikannya lagi ke wadahnya.
"Baiklah, tolong perlihatkan aku yang ini—"
Tak terkira banyaknya cincin yang sudah kucobai, tapi pada akhirnya, pilihanku jatuh pada cincin sederhana bermata biru yang tadi telah merebut hatiku sejak tadi. Karena Chanyeol juga tak kunjung menjatuhkan pilihan, akhirnya kami sepakat untuk membeli yang itu saja.
"Kuharap Luhan bakalan senang, iya kan? Dilamar oleh Sehun, diberi cincin seindah ini, memiliki Ziyu—aku berani bertaruh kalau Luhan akan merasa paling bahagia di dunia ini."
Chanyeol hanya membalas ocehanku dengan senyuman dan setelahnya kami pergi dari toko perhiasan itu sambil bergandengan tangan mesra menuju ke mobil.
CHANYEOL
I Love Him
"Baekhyuna, mau sampai kapan kau tak sadarkan diri seperti ini terus?"
Aku ingat pada kenangan kelam itu.
Para dokter akhirnya berhasil menyelamatkan Baekhyun dan calon bayi kami namun dia tak kunjung membuka mata meski sudah tiga hari berlalu dari mimpi buruk itu. Selang-selang terpasang di hidung dan tangannya, ia bernafas dengan teratur dan detak jantungnya juga sudah normal—harusnya ia bangun saja dan memakiku, menjambakku, melakukan apa saja—tapi kenapa ia betah sekali memejamkan mata sedangkan di sampingnya aku tampak luar biasa kalut karena ketakutan dia tak akan pernah sadar untuk selamanya?
"Tolonglah, kumohon—sadar dan bilang padaku kalau kau baik-baik saja—"
Tidak adanya jawaban dari Baekhyun menambah rasa frustrasi yang kumiliki beberapa hari belakangan. Kulekatkan telingaku di perutnya yang tertutup selimut dan mengajak berbicara pada sesuatu yang ada di dalam sana—bodohnya aku yang berharap akan menerima respon padahal aku sangat tahu kalau aku tak akan mendapat jawaban apapun darinya.
"Baekhyun, to-long—"
Lagi-lagi aku menangis sepuasnya di samping tubuh Baekhyun. Tidak ada yang bisa menghentikanku kali ini. Keluarga Byun tengah menghadiri pemakaman Bibi Do dan Anna telah melarang siapapun untuk masuk ke ruangan tempat Baekhyun dirawat selain aku dan para dokter. Aku tidak terlalu peduli tentang Kyungsoo yang histeris dan hampir bunuh diri setelah melihat Baekhyun nyaris mati karena perbuatannya. Atau Kai yang terkena sabetan pisau di bagian lengan karena berusaha menghentikan Kyungsoo. Atau Tuan Byun yang terus-menerus menangis menyesali kesalahannya di masa lalu—persetan dengan itu semua. Entah pada siapa aku harus marah, namun diriku sendiri adalah yang paling tepat untuk disalahkan.
Seandainya saja aku tidak membiarkan Baekhyun pergi sendirian, pasti semua ini tidak harus terjadi padanya.
Keesokan harinya, doa-doa yang kupanjatkan ternyata menembus langit dan Baekhyun akhirnya membuka mata setelah mengigaukan namaku berulang kali.
"Chan—Chanyeol,,," Dia bilang begitu puluhan kali dan aku adalah orang pertama yang ia temui saat akhirnya siuman dengan sepenuhnya.
"Apa—aku masih hidup? Ba-bayiku?"
Tak kuhiraukan pertanyaannya karena aku sibuk memeluk tubuh ringkih itu untuk menyembunyikan tangis bahagiaku di dadanya. Baekhyun adalah lelaki terkuat yang pernah kutemui. Dia bisa pulih hanya dalam waktu singkat dan kembali beraktivitas seperti biasa meski kejadian itu hampir saja merenggut nyawanya.
"Cintaku padamulah yang membuatku kuat dan tetap bertahan," bisiknya malam itu ketika kami sudah pulang ke rumah. "Dia juga bertahan karena aku tahu dia juga sangat mencintaimu," tambahnya lagi sambil menarik tanganku dan meletakkannya di perutnya. Belum pernah kulihat mata Baekhyun berbinar seterang itu—tapi wajah bahagia dan kata-kata cinta yang ia beri untukku malah membuatku takut.
Aku takut belum bisa membalas perasaannya.
"Uhm, kupikir ini waktunya untuk minum obat," Aku sengaja mengelak ketika dia mau menciumku. Atau ketika dia memelukku dari belakang, aku menepis tangannya pelan dengan alasan ini sudah malam dan dia butuh istirahat. Puncaknya ketika dia lagi-lagi menyatakan cinta, aku menghindar dengan sengaja dan itu membuat Baekhyun luar biasa marah.
Aku sengaja berlama-lama di luar sana dengan alasan tengah bekerja paruh waktu, padahal yang kulakukan sebenarnya adalah menjaga jarak agar aku tidak perlu mendengar kalimat cinta yang membuatku tersiksa itu. Saat aku pulang, yang kudapati adalah Baekhyun yang menungguku di ruang tamu dengan wajah sembab dan ribuan caci-maki yang ia simpan untukku.
"Apa maumu sebenarnya, Park? Mengajakku berbulan madu, bercinta, menungguiku di rumah sakit—kenapa kau harus melakukan itu semua kalau ternyata kau tak mencintaiku sedikit pun?" tanyanya diiringi oleh isak memilukan.
Aku tak meladeni apapun yang ia katakan, hanya berdiri di sana dan menatapnya dengan hati pilu.
"Kupikir kau sudah berubah. Kupikir kau ternyata menyimpan perasaan yang sama seperti yang kurasakan. Kalau pun pikiranku itu salah, tidak bisakah kau mencintaiku sedikit saja? Atau kau bisa mencintai bayiku kalau seandainya membalas perasaanku adalah hal yang mustahil."
"Memangnya apa yang kau dapat dari mencintaiku, Byun Baekhyun?"
Baekhyun tergugu dan menatapku dengan sorot mata penuh luka.
"Lihat apa yang terjadi padamu! Itulah yang kau dapatkan kalau kau tetap menaruh perasaan sialan itu untukku, kau mengerti?"
Park Chanyeol hanyalah lelaki bodoh, kalian ingat? Mengabaikan hatiku yang menjerit sakit, airmataku yang seakan berlomba untuk tumpah dan jutaan perasaan lainnya—aku mengurung diri di kamar dan membiarkan Baekhyun menangis terisak-isak di ruang tamu seorang diri.
Sampai akhirnya aku sadar, aku tidak melihat Baekhyun selama tiga hari setelahnya. Dia tidak kutemukan dimana pun, bahkan jejaknya saja tidak ada. Baekhyun membawa seluruh barang-barangnya hingga tak ada yang tersisa—dan lucunya, hal itu membuatku hampir gila.
Bagaimana kalau Kyungsoo menyakitinya lagi? Bagaimana kalau cuaca dingin ini membuatnya demam? Apakah dia sudah makan hari ini? Apa bayi kami baik-baik saja dan tidak menendangi perutnya keras-keras seperti biasa?
Dan apakah ini artinya Baekhyun sudah menyerah dan ingin bercerai dariku?
Harusnya aku merayakannya dengan minum-minum di bar sampai pagi, berpesta pora dengan para gadis, kembali memikirkan rencana brilian untuk menata hidup setelah terbebas dari Baekhyun—namun nyatanya aku hancur. Sangat. Aku kerap berhalusinasi dan menyangka tiap lelaki berperawakan mungil yang kutemui di jalanan adalah Baekhyun. Saat aku tengah merenung seorang diri di kamar, aku seolah mendengar ocehan, rengekan, dan omelan lelaki itu jelas sekali terngiang di telingaku. Malam hari rasanya begitu menyiksa. Aku tidur di bekas kamar Baekhyun dan berharap dia ada di sampingku saat aku terbangun—namun yang menyambutku hanyalah kehampaan, sama seperti hatiku.
Kenapa aku tidak mencari Baekhyun saja di kediaman keluarga Byun? Gampang, aku terlalu pengecut untuk melakukannya.
Aku persis seperti orang gila ketika menyusuri jalanan dan terus mengalami halusinasi parah sepanjang hari. Sedikit-sedikit aku seperti melihat sosok Baekhyun. Sedikit-sedikit aku seperti mendengar dia memanggilku dari kejauhan. Dan ketika kudengar orang-orang yang melewatiku tengah membicarakan tentang seseorang yang sedang hamil baru saja mengalami kecelakaan, kewarasanku tidak lagi pada tempatnya. Mereka hampir saja melaporkanku ke kantor polisi karena aku tiba-tiba mengobrak-abrik rumah sakit dan memasuki setiap kamar yang ada hanya untuk mencari Baekhyunku.
Benar-benar menyakitkan. Tak pernah kusangka kalau hidupku tanpa Baekhyun bisa sesakit ini.
"Pergilah, temui Baekhyun dan ajak dia berbicara secara baik-baik."
Aku memegang secarik kertas berisi alamat yang Sehun berikan dengan tangan gemetar.
"Tapi ingat, Park Chanyeol—ini adalah kesempatan terakhir yang kuberi untukmu. Kalau kau tak berhasil membawanya pulang ke rumah, itu artinya kau harus merelakan Baekhyun menjadi milikku. Ceraikan dia dan jangan muncul di hadapan kami sampai kapan pun."
Sehun tak pernah main-main dengan ucapannya, aku tahu dia lebih dari serius kali ini. Karena itulah, aku pergi ke alamat yang ia beri dengan satu tujuan—membawa Baekhyun pulang ke rumahku. Bagaimana pun caranya, kami harus pulang bersama hari ini.
Tapi ternyata takdir kembali mempermainkanku dengan keajaibannya. Bukan hanya berhasil membawa suamiku pulang, sesuatu yang orang sebut sebagai cinta itu akhirnya menyeruak dari hati terkecilku dan terucap melalui bibirku tanpa bisa kutahan-tahan. Tawanya ketika menunjuk awan yang bergerak di atas sana kepada seorang bocah kecil di gendongan, ketulusan yang kedua mata indah itu pancarkan ketika mengecup pipi anak itu dengan sayang—mungkin aku sudah jatuh cinta padanya jauh sebelum hari ini, tapi ini yang paling parah. Kuberitahu, jatuh cinta itu sungguh indah namun menyesakkan dada.
"Aku mencintaimu, Byun Baekhyun!"
"Eh?"
Dengan tidak sabaran, kuturunkan saja bocah TK yang sedang Baekhyun gendong saat itu dan kutarik tangan kurusnya menuju sebatang pohon besar di dekat taman. Di sana, aku mencium lelaki itu tanpa persetujuan siapapun. Dia sedikit meronta ketika ciumanku sedikit kasar, namun setelah beberapa saat ia diam saja dan membiarkan aku melakukan apapun yang kumau.
"Kau milikku," bisikku berkali-kali seperti orang kesurupan. Kuciumi sekujur wajahnya dan kupeluk erat tubuhnya dengan segenap perasaan membuncah yang kupunya. "Kau hanya milikku untuk selamanya."
Kini aku tahu apa nama perasaan itu, cinta. Perasaan ingin memiliki Baekhyun hanya untukku seorang, perasaan ingin melindunginya dari kejamnya dunia, perasaan ingin memberikan apapun yang ia mau—kini aku mengerti kenapa Byun Baekhyun rela meninggalkan semua yang ia miliki demi hidup bersamaku atas nama cinta.
"Aku juga mencintaimu, Baekhyuna. Maaf karena aku terlalu keras kepala untuk menyadarinya. Aku memang bodoh dan tak bisa diandalkan, tapi kumohon, pulanglah bersamaku. Rumah terasa seperti neraka saat kau tidak ada."
Waktu itu, aku sangat takut Baekhyun akan menolakku seperti aku menolaknya. Ia hanya diam saja ketika aku mencoba membuatnya yakin akan perasaanku, itu membuatku sangat panik. Terlebih ketika ia menepis tanganku dan berjalan duluan—kupikir waktu itu aku sudah tak punya harapan lagi.
"Kenapa diam saja? Kau mau pulang atau tidak?" teriaknya dari kejauhan. Aku masih terpaku karena belum sembuh dari serangan jatuh cinta yang mematikan itu. "Barang-barangku ada di rumah Sehun. Bantu aku mengambilkannya kalau kau serius ingin mengajakku pulang,"
Proposal
Dan beberapa bulan kemudian, kami berdiri di tempat yang sama dengan airmata bahagia mengalir di pipi masing-masing.
"Byun Baekhyun, aku belum pernah melamarmu secara romantis. Aku juga menikahimu dengan cara terburuk yang pernah ada. Cincin yang kau idam-idamkan pun masih belum terpasang di jari manismu hingga saat ini. Aku tahu, kau tidak pernah mengharapkan seseorang seperti Park Chanyeol untuk menjadi suamimu dan terjebak dengannya menjalani kehidupan sampai kau tua nanti."
Aku mengeluarkan kotak kecil berisi cincin pilihan Baekhyun yang kami beli sejam lalu kemudian berlutut di hadapannya dengan satu kaki. Kubuka perlahan kotak penutupnya dan Baekhyun terisak semakin kuat ketika menyadari apa isinya.
"Aku sudah merancang kata-kata terbaik sejak seminggu lalu dan bahkan berlatih di depan cermin, namun berlutut di hadapan pria paling luar biasa yang pernah ada malah membuatku lupa akan semua hafalanku."
Baekhyun tertawa pelan meski airmatanya tak kunjung berhenti.
"Tanpa membuang waktu, maukah kau menerima cincin sederhana pemberianku ini sebagai simbol kau bersedia menghabiskan sisa hidupmu bersamaku dan anak-anak kita kelak? Aku memang bukan yang terbaik dan kau sering kesal karena kebodohanku. Karena itulah, tolong ajari aku untuk menjadi seorang suami dan ayah yang lebih baik lagi,"
Aku berhenti sejenak karena rasa haru membuatku kesulitan untuk merangkai kata.
"Kau selalu berpikir kalau kau yang lebih mencintaiku, tapi itu salah, Baekhyuna. Akulah yang paling mencintaimu di dunia ini. Aku cinta sekali padamu, hingga kalau suatu hari nanti aku sudah tua dan terkena pikun, kupastikan kau tetap berada di pikiranku dan tak akan pernah kulupakan meski pada saat itu aku telah melupakan namaku sendiri."
Kami kembali tertawa dan menangis di saat yang bersamaan.
"Maukah kau menerimanya?" tanyaku penuh harap.
"Tentu saja aku mau, Park Chanyeol!"
"Aku tahu kau tak akan menolakku."
Tepat saat aku memasangkan cincin itu ke jari Baekhyun dan dia balas memakaikanku cincin pasangannya sambil berurai airmata bahagia, bunyi terompet dan sorak-sorai menyeruak dari dalam bangunan TK milik Anna diiringi dengan orang-orang yang bermunculan tak ada habisnya.
Baekhyun langsung menangis lebih kencang setelah menyaksikan kejutan yang kami persiapkan untuknya. Seluruh anggota keluarga Byun ada di sana. Kedua orangtuaku juga. Sehun, Luhan dan Ziyu anak mereka sudah pasti ada. Begitu juga dengan Kai dan Kyungsoo yang sengaja terbang dari Paris untuk ikut menyaksikan rencana bahagia ini—dan tak lupa Jiwon yang sedang berada di gendongan Kyungsoo lengkap dengan baju lucu yang membuatnya tampak seperti bayi beruang itu.
Lututnya bergetar menahan tangis hingga aku harus memeluk badannya agar tidak jatuh merosot. Ia memukuli dadaku tanpa tenaga ketika kuberitahu kalau kami semua telah bersekongkol untuk membuat acara lamaran sederhana ini karena aku belum pernah melamarnya secara resmi.
"Kyungsoo? Kai? Kalian datang juga?" tanyanya tak percaya sambil memeluk mereka bergantian.
"Tentu saja kami datang. Memangnya siapa yang mau melewatkan acara sebahagia ini meski Chanyeol pada akhirnya lupa akan kata-kata romantis yang sudah ia persiapkan sebelumnya?"
"Kyungsoo benar. Kami juga sudah rindu pada Jiwon dan ingin melihat keponakan kami yang baru—Oh Ziyu," sambung Kai dengan senyum lebarnya yang selalu tampak hangat itu.
"Eomma, appa—bahkan kalian juga datang?"
Rasanya hatiku teduh sekali ketika melihat Baekhyun memeluk orangtuaku secara bergantian. Tapi lebih teduh lagi ketika Baekhyun juga menerima pelukan dari Papa Byun dan kakak-kakaknya yang tak bisa menyembunyikan airmata. Dan setelah semua orang selesai memeluk dan mengucapkan selamat pada Baekhyun, sasaran selanjutnya adalah aku.
Ketiga kakak Baekhyun memelukku dengan erat, tak ketinggalan Papa Byun juga.
"Aku merestuimu, Nak." Papa Byun hanya mengatakan satu kalimat singkat itu namun efeknya membuatku malah terisak lebih parah dari Baekhyun. Beliau memang sudah merestui kami sejak lama, tapi mendengar kata itu keluar langsung darinya, rasanya seluruh beban yang mengganjal dadaku terangkat dan aku merasa ringan seketika.
Sorak-sorai yang tadinya membuat Jiwon terus terkikik lucu malah membuatnya tiba-tiba menangis kencang ketika melihat suasana berubah penuh keharuan. Si kecilku itu pasti belum mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Melihat Baekhyun dan aku berurai airmata, ia pasti menduga kami tidak sedang baik-baik saja.
"Astaga, Jiwonku!"
Baekhyun langsung mengambil Jiwon dari gendongan Kyungsoo dan mendekapnya erat-erat di depan dada.
"Mommy tidak apa-apa, sungguh! Hei, tidakkah kau sebaiknya memberi mommy ucapan selamat atas cincin baru yang indah ini?" Kilau berlian biru itu menarik perhatian Jiwon dan membuatnya berhenti menangis saat itu juga. Ia menyentuh bulatan berlian itu dan tersenyum sampai-sampai kami tidak tahan untuk tidak mencium pipinya yang menggembung lucu.
"Baiklah, sebaiknya kita pindah ke dalam untuk melanjutkan acara yang berbahagia ini dengan makan malam bersama," kata Papa Byun sambil mengarahkan seluruh tamu undangan yang pada dasarnya adalah orang-orang terdekat kami itu untuk masuk ke aula yang ada di sebelah barat. Ia bahkan berjalan beriringan dengan ayahku dan tak sungkan untuk saling merangkul, bahkan aku juga melihat Yoona dan Soojung menggandeng tangan ibuku di kanan-kiri dan tertawa bersama ketika mereka berjalan masuk—pantaskah aku mendapatkan seluruh kebahagiaan ini setelah apa yang terjadi sebelumnya?
"Jadi ini semua rencanamu?"
Aku hanya terlalu terpana melihat akurnya keluarga kami hingga tak sadar yang tersisa di sini tinggal aku dan Baekhyun saja. Kai telah mengambil bayi beruang kami, Jiwon, entah sejak kapan dan mereka baru saja menghilang di pintu masuk aula dua detik yang lalu.
"Ya. Kau tak berhenti membicarakan tentang Sehun dan rencana pernikahannya dengan Luhan yang akan segera dilaksanakan, jadi kupikir kau iri—"
"Aku tidak iri!"
"Dan melihat wajah kecewamu di toko perhiasan tadi ketika penjaga tokonya pikir cincin itu untukmu, aku semakin yakin kalau sebenarnya kau iri—"
"Aku tidak!"
"Ya, ya—Baekhyunku tidak iri, tolong beri aku satu ciuman di sini." Aku mengalah karena sampai kapan pun Baekhyun tak akan mengakui kalau sebenarnya ia iri pada Luhan yang akan segera dilamar dan dinikahi oleh Sehun itu.
"Menyebalkan sekali!" Baekhyun menangkup pipiku dengan gemas lalu mengecup bibirku pelan, hanya bersentuhan selama kurang dari sedetik dan dia melepaskannya dengan cepat.
"Masih kurang," protesku. "Boleh minta lagi?"
"Tidak! Itu hukuman karena kau sudah berani menipuku seharian ini! Apa-apaan dengan tiba-tiba ingin kencan di TK-nya Anna selagi Jiwon ditinggal di rumah? Dan oh—cincin untuk Luhan?"
Aku terkekeh. Sepulangnya dari toko perhiasan, aku memang mengajak Baekhyun menikmati waktu berdua kami dengan makan es krim di tempat langganannya kemudian dilanjut dengan aku yang mengajaknya singgah ke sini dengan alasan ingin bernostalgia. Dia tidak curiga sama sekali. Kami berjalan dengan tangan saling bergenggaman, aku menceritakan kembali waktu aku menyadari cintaku padanya di tempat ini dan Baekhyun tidak sadar langkahnya sudah kugiring menuju pohon tempat aku menyatakan perasaan dulu.
Cup. Muach.
"Dan itu hadiah pembuka karena aku sangat bahagia akhirnya aku melamarku secara resmi,"
Aku terpana ketika Baekhyun kembali menangkup pipiku dan berjingkat untuk melumat bibirku dengan lembutnya. Karena ia kesulitan meraih bibirku, aku terpaksa menunduk untuk membiarkannya menyelesaikan apa yang sudah ia mulai pada salah satu bagian favorit Baekhyun dari tubuhku itu.
"Apakah akan ada hadiah utama dan penutup?" Sebuah seringai miring tercetak di wajahku dan Baekhyun membalas dengan kerlingan manjanya.
"Ada, tapi nanti malam—"
"Yak!"
Baekhyun meremas selangkanganku dengan nakal kemudian berlari menjauh sambil menjulurkan lidahnya padaku sebelum aku sempat memeluknya.
"Ayo tangkap aku!"
"Jadi kau menantangku? Oke!"
Kami berlarian sebentar dan dia memekik kaget ketika langkah panjangku bisa mencapainya hanya dalam waktu singkat. Aku tak memberinya ampun—langsung saja kusiksa bibirnya dengan ciumanku yang menggila hingga ia terengah-engah dan pelipisnya berkeringat begitu saja.
"Hei, apakah belum selesai? Makan malamnya tidak akan dimulai kalau kalian tidak ada,"
Kalau bukan karena ibuku yang muncul lagi di depan aula dan meneriaki kami, mungkin entah apa yang akan terjadi pada Baekhyun sekarang. Wajahnya memerah secara otomatis karena malu ibuku menangkap basah kami sedang berciuman. Ia mencubiti pinggangku sebelum akhirnya berlari kecil memasuki aula sambil menahan senyum yang sebenarnya tidak bisa ditahan-tahan.
"I love you," bisiknya tanpa suara ketika ia menoleh ke belakang sebelum tubuhnya mencapai pintu. Ia juga membuat simbol hati dengan dua jarinya lalu mengecup simbol itu dengan gaya yang menggoda.
"BAEKHYUNA, I LOVE YOU TOO!" Sebagai balasannya, aku menangkupkan tangan di sekitar mulut dan meneriakkan kalimat itu sekuat yang kubisa. Dan setelahnya, aku ikut menyusul ke aula yang disulap sedemikian rupa menjadi tempat makan malam paling indah dalam hidupku bersama orang-orang yang kami cintai itu—duduk mengelilingi meja yang sama dan menyantap hidangan lezat sambil terlibat obrolan ringan tentang apa saja.
"Jangan lupa nanti malam," bisikku pada Baekhyun yang duduk di sebelahku. Yang lainnya sedang sibuk bercengkerama ringan dan tak sadar kalau aku diam-diam tengah menggoda Baekhyunku tanpa sepengetahuan mereka. Ia mengedipkan mata sambil menjulurkan tangannya menyentuhku lagi. "Ung, aku milikmu semalaman. Malam ini dan selama-lamanya, aku milikmu seorang, Park Chanyeol."
Oke, bukankah ini adalah sebuah akhir yang sangat indah untuk cerita cinta yang kulalui bersama teman hidupku?
The Basque Country, el once de febrero, dos mil diecinueve.