15.22 P.M KST
Pemuda setinggi seratus delapan puluh centimeter lebih itu tampak masih berdiri tegak di depan sebuah toko buku yang lumayan ramai oleh pengunjung.
17.11 P.M KST
Kali ini pemuda itu mulai mengambil langkah masuk ke dalam toko, namun tak sampai sepuluh detik Ia mengambil langkah maju pertamanya, kakinya kembali melangkah mundur. Dan, lagi – lagi pemuda itu memposisikan tubuh jangkungnya di depan kaca tembus pandang toko buku tersebut.
20.32 P.M KST
Takkan bisa terhitung lagi berapa jam sudah pemuda tersebut telah menghabiskan waktunya untuk berdiam diri disana. Wajahnya yang lugu dan tenang membuat beberapa pengunjung berpikir bahwa laki – laki bersurai hitam berkilau itu sedang menunggu seseorang di dalam sana. Akan tetapi, faktanya saat seorang petugas toko yang tidak dapat menahan rasa ingin tahunya bertanya pada pemuda itu, si jangkung hanya menjawab, 'aku hanya ingin diam saja disini,' dan tentu saja, petugas itu tak dapat berkata apa – apa lagi.
Aneh? Tak bisa dipungkiri aura aneh di sekeliling pemuda tersebut menguar lebih kuat daripada aura keluguannya, tapi entah mengapa tak ada seorang pun yang berniat menggangu kegiatan anehnya itu.
Di lain sisi, awalnya pemuda bersurai cokelat almond di dalam sana tak peduli dengan sosok jangkung yang sedaritadi mendapatkan perhatian banyak pengunjung toko buku itu. Well, saat itu dia sedang sibuk mencari buku referensi untuk tugas makalah sekolahnya, hingga membuatnya mau tak mau harus tak acuh dengan keadaan sekitarnya, termasuk dengan kehadiran pemuda lugu tersebut. Tapi setelah menemukan buku yang Ia cari, dan membayarnya, akhirnya pemuda bertubuh kurus itu sadar akan sesuatu; laki – laki yang menjadi seleb dadakan dalam beberapa jam terakhir itu sedang memperhatikannya. Antara tingkat kepekaannya yang sangat rendah atau memang pandangan laki – laki jangkung yang sedaritadi memperhatikannya itu tak dapat Ia rasakan, tapi sungguh deh, pria seperti raksasa itu benar – benar menyeramkan di matanya sekarang.
Setelah tumpukkan buku mengenai akuntansi itu dibayarnya, pemuda tanpa ekspresi itu pun langsung menghampiri si tersangka kehebohan beberapa saat lalu. Dia tak mau rasa penasaran terus tersimpan di benaknya saat pulang nanti.
"A – ah? maaf, aku hanya bingung saja," itulah jawaban dari pertanyaan pemuda yang lebih pendek, menyebabkan lawan bicara si jangkung mengernyitkan kening. "err.. maksudku, kurasa aku pernah melihatmu di suatu tempat," lanjutnya dengan nada canggung yang kentara.
"Oh, dimana?"
Pemuda kelebihan kalsium itu kemudian tersenyum lebar, "Di dalam dunia fantasiku,"
Jadi, sebenarnya yang bodoh itu sang pemuda tanpa ekspresi atau si pemuda kelebihan kalsium itu, sih? Yah, apapun jawabannya, yang jelas mereka berdua akhirnya memutuskan untuk pergi ke arah yang berlawanan setelah hening berkepanjangan.
Namun, ceritanya tak berakhir sampai disitu, justru baru saja akan dimulai.
.
Seoul Broadcasting High School.
"Kau tak sungguh – sungguh ingin ngambek seharian ini 'kan, hyung?"
Yang lebih tua hanya mengendikkan bahunya. Kotak bekal berwarna biru laut itu lalu dibukanya dengan tidak sabaran—kentara sekali kalau dia lapar. Pemuda bersurai hitam legam di hadapannya langsung mendengus kesal, kemudian mendaratkan bokongnya di kursi yang bersebrangan dengan tempat duduk orang yang tadi ia ajak bicara. Dagunya Ia topang di atas meja, semakin membenarkan betapa hancurnya moodnya pada siang itu.
"Maaf. Aku tak bermaksud untuk meremehkan khayalanmu itu, tapi—haah, aku sama sekali tidak mengerti alur pikiranmu, Mingyu hyung," ucapnya lurus. Kemudian Ia menelungkupkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya.
Pemuda yang dipanggil Mingyu itu hanya menggumam sebagai respon atas ucapan juniornya—Lee Chan. Pikirannya hanya terfokuskan pada makanan di depannya membuat Chan yang kesal pada akhirnya harus mengalah dengan cara diam saja melihat sikap ke-masa bodohan seniornya.
Setelah cukup 'kenyang' melihat Mingyu memakan bekalnya dengan sangat lahap, Chan kemudian menghela nafas panjang, posisi badannya kembali Ia tegakkan, "Kalau misalnya memang benar akan terjadi sesuatu pada si Jeon Wonwoo itu, kenapa kau tak memberitahunya kemarin?"
Kedua tangan cukup kekar itu kontan berhenti bergerak. Sumpit yang awalnya ia pegang kini sudah tergeletak tak berdaya di samping kotak makan miliknya. Sekilas, bibir tipis berwarna merah muda itu membentuk sebuah seringaian yang tak dapat diartikan. Sementara itu, pemuda yang lebih muda di depannya nampak mulai kebingungan.
"Takkan ada yang mau menutup buku cerita yang terlihat menarik pada halaman awalnya," Mingyu berucap sebelum lidahnya bergerak membasahi bibir kissable miliknya, "begitu juga denganku."
Chan terpatung.
"Let's start it!"
.
Kedua gadis berpakaian serba hitam itu tampak sedang mengobrak-abrik lemari bergaya khas eropa kuno yang terletak di pojok ruangan. Mereka berdua sama-sama menyibukkan diri untuk mencari sebuah buku tebal yang biasanya menjadi buku panduan mereka dalam belajar.
Salah satu dari kedua gadis itu menggeram, mata rubahnya bergerak gusar, "Kau yakin menaruhnya di sekitar sini, eonni?"
Gadis yang lain menjawab, "Aku yakin, Jihoon-ah. Teruslah mencari."
Tangan kecil nan kurus milik gadis mata rubah itu mengobrak-abrik isi bagian atas lemari. Hampir putus asa karena kakinya lelah berjinjit sedang dirinya tak kunjung mendapatkan barang yang sejak tadi Ia cari—salahkan saja tubuh kelewat kecilnya itu. Kegigihannya berbanding terbalik dengan tingginya, hingga sampai gadis bermarga Lee itu berhasil menggapai sebuah kotak berukuran 30x30 cm berwarna emas yang terletak jauh di ujung bagian atas lemari.
"Jeonghan eonni! Aku mendapatkannya! Tolong bantu aku mengambilnya, tanganku tak sampai," Jihoon berseru nyaring, membuat gadis bernama Yoon Jeonghan di bawahnya sedikit tersentak, namun tersenyum sumringah sepersekian detiknya.
Dengan cepat, Jeonghan berdiri dan mengambil barang yang dimaksud oleh temannya, Jihoon. Senyum lega tercetak jelas di wajah cantiknya, melupakan fakta bahwa penampilannya sudah tak karuan saking frustasi saat mencari barang yang ada di genggamannya itu sekarang. Pun Jihoon terlihat senang sekaligus lega, walau sebenarnya Ia tidak membutuhkan barang itu; Jeonghan lah yang pangling mencari barang tersebut, tapi Jihoon–yang kebetulan sedang sial–lewat di depan kamar Jeonghan, dan mau tak mau harus ikut membantu seniornya itu untuk mencari barangnya yang hilang.
Jeonghan membuka kotak emas itu, dan terperangah kemudian. Isi kotak itu hanyalah selembar kertas dengan sebuah post warna cokelat diatasnya.
Kotak itu memang milik Jeonghan, sebab itu adalah pemberian salah seorang pengajar di kelas terakhirnya, praktek mantra, sebelum gadis bersurai ungu cerah itu memutuskan untuk rehat sejenak dari sekolah sihir. Anak semata wayang dari keluarga Yoon itu divonis mengidap sebuah penyakit aneh (entahlah apa namanya, Jeonghan sendiri masih amatir dalam dunia sihir) yang kata Ibunya disebabkan oleh penyihir lain yang menaruh dendam pada keluarganya. Mau tak mau, Jeonghan harus menghentikan proses belajarnya yang sudah mencapai tahap akhir–ujian mantra–dan fokus untuk menyembuhkan penyakitnya. Namun, ketika Ia sudah sembuh, dan mengumpulkan seluruh niatnya untuk menyelesaikan pendidikan sihirnya, mendadak kotak itu menghilang, menyebabkan sang empunya kotak kelimpungan. Dan setelah ditemukan pun, kotak itu tetap berhasil membuat Jeonghan panik bukan main.
"Oh, form OTUASS, ya? Pengajarmu tampaknya kejam sekali, eonni," Jihoon berdengung, "biasanya 'kan, form penting begitu akan berisi banyak kertas panduan sihir, tapi milikmu hanya berisi satu kertas dan post cokelat saja–"
Jeonghan tidak menghiraukan ocehan Jihoon, tangannya bergerak mengambil kertas di dalam kotak itu, membacanya.
Sementara Jihoon mengoceh, matanya sedikit mencuri – curi pandang ke arah kertas yang kini tengah dibaca seksama oleh pemiliknya. Alih – alih penasaran dengan isi kertas itu, sesungguhnya Jihoon malah lebih penasaran dengan post cokelat yang masih bertengger manis di belakang lembaran kertas yang Jeonghan baca. Itu terlihat menarik di mata gadis mungil tersebut.
.
FORM OTUASS (Objek Test Ujian Akhir Sekolah Sihir)
Nama : Jeon Wonwoo.
Umur : 16 tahun.
Daerah : Changwon, Gyeongsangnam-do.
Hobi : Membaca, Bermain game, Menonton film, Mengintip siswi perempuan saat karyawisata–coret.
(foto ada di post selipan)
Guidance : Yoon Jeonghan kerjakan test terakhirmu ini dengan benar, arrachi? ^^ (A+ untuk keberhasilanmu nanti! Semangat!) ~ Choi Ren.
.
–dan kosong. Yeah, hanya segitu saja sudah berhasil membuat kepala Jeonghan terserang pening berkelanjutan. Pengajarnya itu tampaknya sungguh – sungguh saat mengatakan ingin menguji mental Jeonghan di tahap ujian akhir ini.
"Jadi, objekmu benar – benar 'seorang laki – laki', eonni?"
Gadis dengan poni menjuntai di sisi kanan itu menoleh ke arah juniornya, sempat lupa kalau Jihoon masih berada di sampingnya sejak tadi, "Ya begitulah. Bersyukurlah pengajar kelas akhirmu nanti bukan Choi Minki," ujar Jeonghan lesu. "dia benar – benar sudah gila."
Jihoon terkekeh di sela – sela kegiatan menutup pintu lemari milik Jeonghan, "Itu cukup sulit, tapi bukankah keturunan keluarga Yoon menyukai tantangan seperti itu?"
"Haah, entahlah. Kali ini rasanya tantangan ini agak menjengkelkan. Salah sedikit saja maka tamatlah riwayatku sebagai penyihir. Kau tahu maksudku 'kan, Ji?"
"Aku tidak tahu. Aku 'kan penyihir spesialis emosi manusia."
"–dan aku adalah seorang penyihir spesialis kelakuan manusia yang harus mengubah riwayat dan fisik seorang manusia semasa hidupnya, hanya untuk test akhir sekolah sihir. Oh, Perfect." diakhiri sebuah decihan penuh rasa jengkel pada sekolahnya–terutama pengajarnya.
Ketika tubuh kurus Jeonghan mendarat di kasur berukuran besar miliknya, suara tawa Jihoon mulai menguar, mengalahkan suara kelompok the harmony zympths yang sedang berlatih di halaman asrama sekolah.
Jeonghan mengerang kesal, meratapi nasib sialnya.
.
Seoul Academy Of Performing Arts High School.
Disana, laki – laki kelahiran Changwon itu terpaku. Kedua obsidian terangnya melayangkan tatapan nyalang pada sesosok pemuda mungil berseragam kebesaran yang kini tengah menundukkan kepalanya. Laki – laki jangkung itu bernama Jeon Wonwoo, dan sekitar lima belas menit yang lalu, dirinya menangkap basah pemuda mungil di depannya sedang mengubek – ubek loker pribadinya.
Untuk ke-empat kalinya, Wonwoo mengeluarkan pertanyaan yang sama, "Apa yang kau cari di lokerku?" dan responnya pun berakhir sama, pemuda itu tetap diam dengan kepala menunduk; menghindari kontak mata dengan Wonwoo.
Wonwoo mulai lelah untuk mengindahkan sang pelaku pembongkar loker yang Ia curigai sebagai pencuri; tapi kenyataan mencoret dugaan itu karena barang – barang di lokernya tidak ada yang hilang, hanya berantakan saja. Tak mau kehabisan waktu istirahat, Wonwoo kemudian mengambil beberapa peralatan sekolahnya, lalu mengunci lokernya rapat – rapat.
Sudut mata Wonwoo melirik pemuda kelewat mungil–bahkan Wonwoo sempat mengira dia adalah murid Sekolah Dasar di seberang sekolahnya–yang tak dikenalnya itu, lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Toh, barang – barangnya selamat. Jadi, tidak ada yang perlu dibesar – besarkan, begitu pikirnya.
Akan tetapi, di sisi lain, sang pemuda mungil yang tertangkap basah oleh Wonwoo tampak sudah dibanjiri keringat basah. Setelah Wonwoo pergi, pemuda bersurai peach itu langsung merapal mantra, hingga sebuah sinar terang melingkupi tubuh mungilnya.
Pemuda itu berubah menjadi seorang gadis mungil yang begitu manis nan menggemaskan. Dan sosok itu ternyata adalah Lee Jihoon.
Jihoon merengut sebal ditengah rapalan mantra untuk berkomunikasi dengan orang diluar dimensi pertama; dunia manusia. Ketika sosok transparan yang diajaknya berkomunikasi mulai nampak, Jihoon kontan berteriak, hendak meluapkan seluruh emosinya yang terpendam saat Wonwoo menghakiminya tadi.
"Eonni jahat sekali! Yang punya tugas akhir 'kan dirimu! Kenapa aku yang harus pergi ke dimensi pertama untuk mengambil sehelai rambut si Jeon Wonwoo itu, huh? Dan kau sungguh tega sekali menyuruhku untuk berubah menjadi laki – laki! Lihat saja, akan kulaporkan kau ke pengajar Choi nanti!"
Kekehan khas Jeonghan terdengar menyebalkan di telinga Jihoon, seolah tak menggubris ancaman dari yang lebih muda. Gadis yang telah berusia lebih dari 150 tahun itu mengerling genit, jubah hitam kebanggaannya Ia sibakkan, menampilkan lekuk tubuh indahnya dalam balutan baju terusan hitam ketat di atas lutut. Simpang empat terpajang di pelipis Jihoon. Mentang – mentang postur tubuhnya sempurna, dia jadi congkak begitu. Huh.
"Aku bisa membantumu saat kau menempuh tugas akhirmu nanti, Ji. Lagipula exillire-mu akan bertambah kalau kau membantu sesama penyihir 'kan? Tentunya aku tidak mengambil keuntungan sendiri disini."
Mendengus, Jihoon kemudian membetulkan letak topi kerucut hitamnya, salah tingkah sebab apa yang dikatakan Jeonghan itu benar.
Jihoon menyatukan kedua tangan mungilnya, lalu menggosoknya secara bersamaan, hingga seberkas percikan sinar hijau muncul. Sejurus kemudian, muncul lah sehelai rambut milik Wonwoo di genggaman tangan Jihoon.
"Sudah aku dapatkan. Cepat kembalikan aku ke dimensi tiga, eonni!"
Bayang transparan yang menyerupai Jeonghan itu tersenyum puas. "Sesuai permintaanmu, Jihoonie sayang." Menjentikkan jarinya, dan –poof! Kedua sosok penyihir itu pun menghilang tanpa jejak.
Well, Jihoon dan Jeonghan mungkin memang tidak menghilangkan jejak, akan tetapi sosok laki – laki berseragam sekolah di balik koridor sana lah yang akan menjadi jejak nyata kehadiran dua penyihir remaja itu di dunia manusia.
"Dimensi ketiga?"
.
Mingyu menguap lebar. Ia berdiri dari tempat duduknya lalu merenggangkan otot – otot tubuhnya yang kaku akibat terlalu lama duduk. Setelah merasa cukup rileks, pemuda Kim itu merapikan barang – barang di atas meja pribadinya di ruang khusus belajar sekolahnya.
"Kau mau langsung pulang?"
Xu Minghao, kenalannya yang memiliki meja pribadi di samping miliknya bertanya dengan lugu. Mejanya dan meja Minghao hanya dibatasi oleh sekat kaca buram transparan. Oleh sebab itulah Seungkwan tahu kalau Mingyu akan pulang.
Seraya melempar senyum lima jari, Mingyu menjawab, "Ya. Ini sudah pukul 9 malam. Lagipula semua materi pelajaran besok sudah selesai kupelajari," laki – laki bergingsul itu mengeratkan coat musim dinginnya, lalu tersenyum sumringah, merasa cukup puas dengan hasil kerja kerasnya hari ini. "bagaimana denganmu, Hao-ie?"
"Aku masih harus mengerjakan tugas Bahasa Inggris-ku. Ini sungguh sulit," keluh Minghao.
"Padahal aku baru saja ingin mengajakmu pulang bersama."
"Aktingmu semakin bagus ya, Kim. Aku terkesan."
Mingyu terkekeh pelan menanggapi reaksi dari laki – laki bermarga Xu di sekat sebelahnya. Kawannya itu sepertinya sudah hapal betul sifat dari si bungsu Kim. Tapi beruntungnya, teman – teman Mingyu tampak tidak mempermasalahkan sifat menyebalkannya itu. Justru, Mingyu malah memiliki banyak teman karena selain Ia terkenal menyebalkan, dia juga pintar dan supel. Hal itulah yang menyebabkan Mingyu merasa bahagia dengan keadaannya sekarang.
Dirasa sudah selesai dengan urusannya, Mingyu pun pamit pada Minghao dan teman – temannya yang lain di ruang khusus belajar. Tungkai kaki panjangnya Ia langkahkan besar – besar, berusaha sebisa mungkin untuk menggapai halte bus terdekat demi memperkecil kemungkinan ibunya akan mengomelinya saat pulang nanti.
"– saat itu aku kira Wonwoo akan memukul siswa pendek itu, tapi dia malah berlalu begitu saja!"
Entah pendengaran Mingyu yang tajam atau memang suara laki – laki bersurai silver gelap itu seperti toa, yang jelas Mingyu refleks menatap ke arah laki – laki itu. Hanya satu hal yang membuat Mingyu penasaran, ada nama Wonwoo di kalimat orang asing itu barusan.
"Kau benar – benar mengantuk ya, Soon?" orang yang diyakini Mingyu sebagai teman dari si laki – laki bermata sipit itu terlihat malas menanggapi omongan temannya.
"Tidak, Jun! Aku yakin betul kalau aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Dan anehnya lagi, siswa itu bisa berubah menjadi seorang anak perempuan menggemaskan dengan jubah hitam yang kebesaran! Aku terkesima saat itu, sampai – sampai aku tidak sadar kalau anak kecil itu menghilang secara tiba – tiba."
"Apa anak perempuan itu memakai topi kerucut berwarna hitam yang aneh?"
Mingyu menginterupsi percakapan kedua orang asing yang memakai seragam berbeda dengannya; dan disitu Mingyu tahu kalau mereka berdua adalah siswa SOPA. Awalnya si rambut silver terlihat mengerutkan keningnya ketika Mingyu tiba – tiba menimbrung pembicaraan serunya dengan temannya, akan tetapi setelah mendapatkan senggolan tangan dari temannya, Ia pun akhirnya berdehem sebelum membalas, "Iya, benar."
Segera Mingyu mengambil tempat duduk di sebelah laki – laki asing itu, menyebabkan orang di sampingnya kini semakin heran. Namun pemuda Kim itu tampak tak peduli. Ada beberapa spekulasi dalam benaknya yang harus terjawab oleh pernyataan dari orang asing tersebut.
"Bisakah kau menceritakan detailnya padaku?"
.
Minggu pagi. Cerah seperti biasanya karena pertengahan bulan Oktober adalah waktu yang pas bagi pepohonan di daerah Seoul untuk menggugurkan daun – daunnya. Beberapa burung gereja mulai berkicauan di luar sana, membuat sosok pemalas di kediaman Jeon terpaksa membuka matanya. Ia menguap lebar, berguling ke arah kanan – kiri, hendak melanjutkan kegiatan tidur nyenyaknya. Tak ada niatan sedikit pun bagi sosok itu untuk bangun dan memulai aktivitas minggu paginya.
"Wonwoo noona! Cepat bangun! Kau 'kan hari ini ada janji dengan Minkyeong noona!" suara berat milik si bungsu Jeon tampak tak berpengaruh sama sekali terhadap sosok di balik selimut itu. Nyatanya sosok bersurai cokelat almond yang terdeteksi sebagai Jeon Wonwoo itu masih tidur dengan pulasnya.
Hingga pemilik suara berat itu memutuskan untuk memberikan percikan air pada wajah sang kakak, "Bangunlah~ Bangun! Bangun! Bangunlah~"
Terganggu, Wonwoo akhirnya membuka matanya. Walau Ia kesal bukan main, namun Ia tetap beranjak dari tempat tidurnya, pergi ke kamar mandi. Terlalu malas untuk membuat keributan seperti bertengkar di pagi hari dengan si keparat Jeon Bohyuk–adiknya.
"Ya! Noona! Kenapa kau tidak memakai baju!"
Wonwoo tersentak, kemudian berbalik dan menatap heran Bohyuk yang kini sedang menutup kedua matanya dengan wajah memerah. "Apa kau bilang?"
"Jeon Wonwoo noona, pakailah bajumu sekarang juga!"
"Apa – apaan sih kau? Aku 'kan memang sering tidak memakai ba–"
Pada detik dimana kedua obsidian Wonwoo bertemu dengan dua buah gundukan menyerupai gunung kembar di dadanya sendiri, suara melengking khas seorang wanita pun berkumandang.
.
Jeonghan tertawa heboh, sampai – sampai pengawas asrama yang sedang ber-patroli heran dengan suara tawanya. Jihoon, yang kala itu ada di sebelah Jeonghan hanya memutar bola matanya malas. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuat Jihoon heran.
"Bukankah seharusnya Ia tidak bersikap seperti itu, eonni?"
Gadis bersurai ungu cerah itu sontak menghentikkan tawanya. "Maksudmu?"
Sementara Jihoon mengambil buku panduan sihirnya, Jeonghan terlihat merapal mantra hingga bayang transparan dimana Ia bisa melihat aktivitas Wonwoo menghilang dengan sendirinya. Jihoon melebarkan mata setelah menemukan apa yang dia cari di buku panduan sihirnya.
"Wow. Kurasa kita mendapatkan masalah, eonni."
Jeonghan merebut buku panduan sihir dari tangan Jihoon. Sejurus kemudian, kedua matanya pun melebar dibarengi dengan gerakan tangan yang menepuk dahi.
"Astaga! Aku lupa mengubah memorinya juga!"
Jihoon dan Jeonghan melempar tatap satu sama lain. Mereka meneguk ludah dengan susah payah, memikirkan konsekuensi dari satu kesalahan fatal yang telah mereka perbuat.
Dan cerita ini baru saja benar – benar akan dimulai.
.
TO BE CONTINUED