Between Love and Dream

By keiaries

T+

Romance, Drama

Genderswitch

NCT punya SM, cerita punya saya :)

OOC, sorry for typo(s)

.

.

.

.

.

.

.

"Aku…"

Johnny menunggu jawaban Ten diiringi dengan suara dentuman keras di dadanya. Dari matanya Johnny bisa melihat ada secercah keraguan disana. Ia bisa melihat jika manik sekelam malam itu tengah tak fokus pada apapun. Sedikitnya ia sangat takut Ten akan menolak tawaran ini hanya karena genre yang akan mereka gunakan.

"Apa kau ragu?" Tanya Johnny kemudian, karena Ten tak kunjung memberikan jawaban.

"A-ah... Itu… Aku sebenarnya…" Ten menggigit bibir bawahnya. Mata gadis itu mengalihkan pandangannya dari tatapan lembut Johnny.

Pikirannya tengah berkecamuk untuk menemukan jawaban yang harusnya menjadi sederhana. Sebagai Chitta ia memang mengiginkannya, namun sebagai Ten ia tak bisa menerimanya.

Johnny yang mendapati Ten semakin bimbang, mengendikkan bahunya. Ia tak tahu jika pertanyaan sederhananya membuat seorang Ten sampai sebimbang ini. Pemuda jangkung itu mengulurkan tangannya ke puncak kepala Ten, aku tidak boleh egois.

Sebuah elusan lembut membuat Ten tersadar dari pikiran kusutnya. Kepalanya mendongak mendapati Johnny yang tersenyum lembut. Sangat lembut. Seperti ada sebuah pendaran cahaya halus dari senyum yang menenangkan itu. Bahkan Ten bisa merasakan kelegaan hanya dengan melihat senyum itu.

"Tak apa jika kau keberatan, aku tidak akan memaksamu.."

Debaman di dada Johnny ikut menular pada dada Ten. Keping hitam Ten yang tadinya redup kini kembali berbinar. Keping hitam itu balas menatap tatapan teduh dari manik kecoklatan milik Johnny. Gadis itu meneguk salivanya pelan. Ada sebuah getaran halus yang tersampaikan ke hatinya hanya dengan melihat tatapan itu.

"Aku tidak keberatan kok.."

Johnny membulatkan matanya mendengar jawaban yang baru saja meluncur dari bibir kucing Ten, "Be-benarkah?"

Ten mengangguk. Kau berhasil mengalahkan Ten, Chitta. Ten sendiri tak tahu kenapa ia bisa mengeluarkan jawaban seperti itu. Keinginan Chitta mendadak begitu kuat ketika getaran halus yang dikirimkan Johnny tersampaikan ke dalam dadanya. Ini pertama kalinya ia bertindak mengikuti ego-nya dalam berkarir.

"Huuft.." Seseorang yang tadinya terdiam sebagai penonton menghela nafasnya lega, "Aku khawatir jika Ten-ssi menolaknya.." Ia berdiri dari duduknya, "Kalau begitu kita bisa mulai mengedit lagu yang akan kita gunakan.."

"Lagu apa yang akan kita pakai?" tanya Ten pada koreografer—atau kita bisa memanggilnya Rio saja dari sekarang.

Rio disana tersenyum senang, "Love me like you do."

Mendengar hal itu Johnny membulatkan matanya, sedangkan Ten bertepuk tangan senang, "Wah.. Aku suka lagu itu.." ujarnya polos. Johnny yang mendapati raut senang Ten hanya bisa menggeleng, sepertinya gadis polos satu ini tak tahu 'apa' yang ada di balik lagu itu.

Rio yang sepertinya puas dengan reaksi Ten pun ikut bertepuk tangan, "Nah.. Kalau Ten sudah setuju, berarti tidak ada masalah apapun lagi.." Rio mengedipkan sebelah matanya pada Johnny. Yang diberikan kedipan, hanya memutar bola matanya malas. Ingatkan dia untuk setidaknya memberikan ddakbam gratis untuk Rio.

"Namun, untuk hari ini sampai disini saja pertemuan kita, berhubung hari sudah sangat malam dan kurasa tidak baik bagi gadis seperti Ten-ssi pulang semalam ini.." Rio kembali berujar.

"Ah.. tidak apa-apa kok, aku bisa minta manager-ku untuk menjemput.."

"Bukankah manager ONCE juga seorang gadis?" tanya Johnny. Ten menengerjap, benar juga.

"Ya sudah kau antar Ten pulang sana.. " Rio merogoh sesuatu di tasnya, "Kau bisa gunakan mobilku, jika tak ingin diikuti paparazzi.." Dan melemparkan kunci mobilnya pada Johnny.

Johnny yang sigap menangkap kunci mobil Rio, ia mengerjap pelan. Dengan ini maksudnya ia akan berduaan saja dengan Ten begitu?

Tak berbeda jauh dengan Johnny, satu-satunya gadis di ruangan itu pun tengah membulatkan mata dan mulutnya karena kaget. Tenggorokkannya tiba-tiba kering, meneguk salivanya pun terasa sangat susah. Wajah putih gadis itu kini sudah berubah warna merah. Satu mobil dengan Johnny—bahkan mereka hanya akan berdua di dalam mobil.

Ya Tuhan. Ten harus menguatkan hatinya agar tidak meleleh.

"Oh ya satu lagi.." Rio kembali bersuara, "Bukan hanya menari, kalian akan menggunakan kemampuan akting kalian disini.. Aku harap kalian mendalami peran kalian sebagai Grey dan juga Ana.. Jadi, tontonlah filmnya.."

Raut muka Johnny kembali berubah terkejut mendengar Rio bersuara, segera saja ia menarik Ten dari sana sebelum telinga gadis polos ini semakin ternodai, "Jangan dengarkan dua kata terakhirnya, kuantar kau pulang.."

.

.

.

Jangan salahkan Ten jika jantungnya tengah berdebar tak karuan saat ini. Genggaman kuat yang sedari tadi itu terus saja mengirim sinyal aneh pada dadanya yang membuat degub jantungnya tak terkendali. Jujur, ini adalah pertama kalinya seorang pria yang tak memiliki hubungan kerabat apa pun dengannya menggenggam erat pergelangan tangannya seperti ini. Apalagi pria ini dengan tangan hangat dan besar yang seakan enggan melepaskan genggamannya adalah idola dari Ten sendiri. Jadi sekali lagi jangan salahkan Ten jika rasanya ia ingin meleleh sekarang juga.

Johnny bisa mendengar bunyi alarm mobil milik Rio setelah ia menekan tombol yang ada di kunci yang ia pegang. Kaki-kaki panjangnya berjalan cepat menuju mobil berwarna silver metalik itu, tak menuju kursi pengemudi karena ada seorang gadis yang harus ia perlakukan bak putri sekarang.

"Masuklah.." Johnny berujar setelah ia membukakan pintu yang berada di samping pengemudi, Ten sih mengangguk, hanya saja…

"Ah.. Ma-maafkan aku.." Segera Johnny melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Ten. Yang anehnya walaupun genggaman tangan itu sudah lepas, debaran di dada Ten masih belum hilang. Oh tentu, karena dalam beberapa detik lagi ia akan berada dalam situasi yang membuat mereka hanya berdua.

"Jadi, asrama-mu ada di mana?" Tanya Johnny segera setelah mobil yang mereka tumpangi keluar dari area parkir.

"Ada di Apgujeong, XX XX.." jawab Ten seadanya. Ia terlalu gugup dan kehabisan kata-kata untuk memulai percakapan dengan pria tampan yang tengah menyetir.

"Ah.. Apgujeong? Sebenarnya asrama-ku juga tidak jauh dari sana.. Jadi aku bisa sekalian pulang saja.."

"Eh? Lalu mobil ini?"

"Biar saja, toh gedung latihan tadi adalah miliknya, kurasa dia tak perlu repot untuk pulang ke rumah malam ini…"

"Oh begitu.." Ten mengangguk paham mendengar penjelasan Johnny. Namun sepertinya mengenai koreografer tadi ada sesuatu hal yang kurang, "Koreografer-saem tadi… Kurasa aku belum tahu namanya.."

"Ah benarkah?" Johnny menginjak rem ketika mereka menghadapi lampu merah, "Terlalu lama menjadi berandal di Amerika sepertinya membuat attitude-nya sedikit bermasalah.." Johnny menoleh kearah Ten, "Panggil saja dia Rio.. Dia seumuran denganku ngomong-ngomong.."

"Ohh.." Ten hanya mengangguk lagi, tapi seperti ada yang janggal lagi… "Di umur semuda itu bagaimana bisa dia memiliki gedung sebesar tadi!?" Mulut juga kedua mata Ten kembali membulat. Sedangkan Johnny terkekeh sebentar sambil mengijak pedal gas, "Yah aku juga tidak mengerti apa saja yang ia lakukan di Amerika, pulang ke Korea tiba-tiba dia sudah menjadi manusia kaya seperti sekarang.."

Kedua mata Ten masih saja mengerjap tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Johnny. Hanya saja sungguh mengejutkan, benar-benar sulit mempercayai jika seseorang yang mempunyai umur yang tak terpaut jauh darimu namun bisa sesukses itu.

"Namun satu hal yang kutahu, Rio bukanlah seseorang yang gampang menyerah.. " Suara Johnny kembali membuat Ten menoleh padanya.

Kedua keping coklat Johnny kini berubah serius, "Kecintaannya pada seni tari bukanlah main-main.. Dia bahkan rela putus sekolah hanya untuk menggapai mimpinya untuk menjadi koreografer.."

Keping hitam Ten mengerjap pelan, melihat keseeriusan Johnny dalam tatapannya membuat sesuatu dalam diri Ten seperti ikut membara, "Dan sesuatu yang dikorbankan memang berbuah manis ya.."

Bertepatan dengan lampu merah berikutnya Johnny menginjak pedal rem berbarengan dengan sebuah rasa terkejut yang menghampiri hatinya. Kepalanya ia tolehkan pada Ten yang tengah memasang senyum manisnya. Bukanlah senyum canggung yang dikeluarkan gadis itu, melainkan sebuah senyum lembut yang benar-benar tulus.

"Kau masih mengingatnya?" Johnny bertanya.

Senyum Ten berubah menjadi senyum tiga jari yang menunjukkan deretan gigi rapinya, "Tentu saja aku masih mengingatnya.." Pandangan Ten kini beralih pada jalanan Seoul yang masih ramai meskipun waktu hampir menunjukkan tengah malam, "Bahkan mungkin aku takan bisa melupakannya.. Pertemuan waktu itu sangat berarti untukku, segala ucapan dan nasehat yang Johnny-oppa berikan padaku benar-benar menguatkan hatiku bahkan hingga sekarang.. Hehe, aku juga bingung bagaimana bisa seorang gadis keras kepala sepertiku mau menerima nasehat dari seseorang yang baru saja kutemui, tapi.. Aku rasa ini memang sudah bagian dari rencana Tuhan.. Makanya aku ingin mengucapkan banyak terima kasih.." Ten menoleh lagi pada Johnny. Sayangnya Ten dipaksa untuk berhenti bernafas mendapati jarak antara wajahnya juga wajah Johnny.

"…padamu… J-Johnny-oppa?"

Entah pergi kemana tatapan lembut Johnny yang biasa Ten lihat, kedua mata dengan manik coklat itu tengah menatapnya dengan tatapan yang mampu menusuk hingga ke jantung Ten, dan dari jarak sedekat ini Ten benar-benar bisa melihat maha karya Tuhan di wajah tampannya.

Johnny bersumpah Ten benar-benar 100 kali lipat lebih manis daripada biasanya jika dilihat dari jarak sedekat ini. Degupan keras di dadanya akibat ucapan Ten sebelumnya ditambah rasa kagum akan pahatan Tuhan didepannya, ia tak bisa menolak keinginan hatinya untuk meng-klaim gadis ini, "Rencana Tuhan memang indah kan?"

Ten meneguk salivanya dengan susah payah. Nafas hangat Johnny begitu terasa diwajahnya. Bahkan nafas hangat itu sudah membuat panas seluruh badannya, terutama pipinya yang bahkan kini terasa seperti terbakar.

"O-oppa?"

Ten benar-benar berhenti bernafas ketika Johnny semakin memajukan wajahnya, membuat jarak diantara mereka semakin menipis. Debaran di dada Ten semakin menggila dan ia merasa tak sanggup lagi melihat apa yang terjadi sehingga ia lebih memilih untuk memejamkan matanya.

Jantung Ten serasa ikut berhenti ketika merasakan hidungnya bersentuhan dengan hidung lancip Johnny. Hal ini berarti bibir mereka…

TIIIN

Keduanya terlonjak kaget mendengar suara klaskson mobil yang dapat dipastikan bukan berasal dari mobil mereka. Johnny dan Ten saling menjauhkan diri sesegera mungkin untuk menghindari atmosfer 'tabu' yang baru saja mereka ciptakan. Johnny melirik traffic light yang ternyata sudah berwarna hijau, pantas saja mobil dibelakangnya terus berisik mengingat mobilnya memang mobil terdepan yang menutupi mobil lain untuk lewat. Segera saja Johnny menginjak gas dan kembali membelah jalanan Seoul menuju asrama Ten.

.

.

.

"Aku pulang…"

Yuta yang tengah berada di dapur melirik kearah pintu depan, mendapati Ten yang tengah melepas sepatunya disana. Gadis yang merupakan leader ONCE itu berjalan menuju ruang tengah sambil membawa segelas teh hangat.

"Baru pulang?" tanya Yuta sambil mendudukkan dirinya diatas sofa.

Sebagai jawaban Ten hanya menganggukkan kepalanya, lalu dengan segera gadis itu melesat menuju kamarnya dan Doyoung juga Kun. Alis Yuta terangkat sebelah, ada apa dengan Ten yang akan menjawab pertanyaannya dengan kata-kata? Oh jika diperhatikan tatapan gadis itu bisa dikatakan kosong sedari tadi.

"Eh? Hansol-eonni kan sedang bersama Kun.. Dia pulang dengan siapa?"

Di lain tempat Ten masih menyender di pintu kamarnya tanpa ada niatan beranjak dari sana. Doyoung yang tengah membaca novel mengerutkan dahinya bingung.

"Hei, apa yang kau lakukan di depan pintu?"

Pertanyaan Doyoung seakan menarik kembali jiwa Ten yang tadinya tengah melayang entah kemana, "Ah.. Tidak apa-apa kok" Akhirnya kaki jenjang Ten menuntunnya menuju lemari, menggantungkan tasnya di gantungan di sebelah lemari, membuka coatnya, mengambil piyama dari lemari, dan kembali keluar dari kamarnya meninggalkan Doyoung dengan tanda tanya besar di otaknya.

"Dia kerasukan apa?"

Ten merendamkan dirinya dalam bathtub yang baru saja ia isi dengan air hangat. Ini adalah salah satu caranya untuk menenangkan diri.

Hatinya sedang kacau.

Bayangan akan kejadian di mobil tadi terus saja terputar di otaknya.

Ten bingung ia harus senang atau bimbang dengan hal ini. Sebagian hatinya sebagai Chitta memang senang, hanya saja sebagian dirinya sebagai Ten ikut menjerit jika hal ini tidak boleh terjadi.

Gadis itu memeluk kedua kakinya yang tertekuk. Jika ia rasakan dadanya sedari tadi tak mau berhenti berdegup kencang.

Ten memang polos, namun ia tidak bodoh.

Debaran ini bukanlah debaran yang ia rasakan ketika melihatnya dari layar kaca sebagai idola.

Debaran ini.. Debaran yang disebabkan olehnya… Karena dia adalah seorang pria.

.

.

.

Pagi ini burung-burung dengan riang menyapa udara hangat di pagi hari. Terdengar suara alarm dari sebuah kamar yang dihuni oleh tiga orang gadis. Salah satu dari mereka yang berambut hitam bergelombang mematikan alarm itu karena posisinya memang berada paling dekat dengan alarm itu.

Ten menyibak selimutnya, kedua kakiknya perlahan berpijak pada lantai dibawahnya. Dengan langkah gontai kaki-kaki jenjangnya membawanya menuju kamar mandi, hanya sekedar melakukan rutinitas pagi untuk cuci muka dan sikat gigi. Oh jadwalnya tak terlalu padat hari ini, pagi hari ia kosong. Makanya ia sudah tak mendapati Kun dan Doyoung di kamarnya saat bangun tadi.

Perut laparnya sensistif terhadap bau roti panggang yang tiba-tiba muncul menyerang indera penciumannya. Jadinya kini ia melangkah semangat menuju dapur, mendapati Yuta yang tengah memanggang roti, dan Haechan—sudah rapi dengan seragam sekolahnya—yang tengah duduk manis menunggu sarapannya yang disiapkan oleh eomma pengganti mereka di grup. Di meja sudah terdapat tiga telur dan juga bacon, satu gelas susu (untuk Haechan), satu gelas the (untuk Yuta), dan ada juga secangkir coklat hangat (untuk Ten).

"Pagi eonni, Haechannie~" Ten menyapa dua orang yang sepertinya belum sadar akan kehadirannya disana.

"Morning, eonnie~" Haechan adalah yang pertama menjawab.

"Pagi, Tennie" diikuti Yuta.

Ten mendudukkan dirinya. Disalah satu kursi disana, di sebelah Haechan. Ia mengambil coklat hangatnya dan menyeruput sedikit minuman manis itu. Tak lama kemudian setumpuk roti panggang hadir dihadapan mereka diikuti dengan Yuta yang juga mendudukan dirinya di salah satu kursi disana.

"Sepertinya kau sudah bias tersenyum lagi, Tennie.." Ten menoleh pada Yuta yang baru saja bersuara. Ah.. Yuta mengingatkannya kembali.

"Tentu saja, aku tidak apa-apa kok.." Ia menjawab dengan senyuman seadanya, menandakan jika ia memang tak apa.

Yuta menggigit ujung rotinya, "Ngomong-ngomong semalam pulang dengan siapa? Bukannya tadi malam Hansol-eonni sedang bersama Kun?"

Gerakan garpu dan pisau di tangan Ten terhenti. Sejenak matanya membulat kaget dan nafasnya terhenti di tenggorokan. Segera saja ia menggunakan kemampuannya untuk berakting untuk tak mengatakan apa yang sebenarnya pada Yuta.

"Aku naik taksi.."

"Hmm, begitu.. Jadi apakah pengemudinya begitu tampan, sampai kau tak bisa berkata apa-apa semalam?" Tanya Yuta, niatnya sih menggoda Ten. Sayangnya Ten bereaksi diluar dugaan Yuta.

"Ya, dia sangat tampan…" Bibir Ten berujar pelan, kepalanya tengah menerawang kembali pada kejadian semalam. Saat wajah mereka berada pada jarak yang begitu dekat. Saat matanya bertemu dengan tatapan tajam dari manik coklat itu. Saat bibir mereka hamper bersentuhan, "Dan membuatku berdebar…"

Yuta hampir saja menjatuhkan roti yang ia pengang, sedangkan Haechan hampir menyemburkan susu yang ia minum. Keduanya kompak bertatapan sebelum menatap khawatir pada Ten.

"Eonni!" Haechan memegangi kedua bahu Ten, "Jangan bilang padaku jika kau jatuh cinta pada supir taksi!"

Mata Ten membulat mendengar pernyataan konyol dari satu-satunya adik di grupnya itu, "Jangan konyol!" ujarnya sambil melepaskan kedua tangan Haechan dari bahunya.

Bibir Haechan mengerucut, "Ish.. Kan eonni sendiri yang bilang berdebar karena supir taksi itu.."

Wajah Ten tiba-tiba memerah, "YA!"

"Hei, hentikan perkelahian kalian! Haechan-ah, cepat habiskan sarapanmu atau kau akan terlambat ke sekolah!"

The Power of Yuta memang luar biasa untuk menghentikan perang bahkan sebelum perang itu dimulai.

"Kalau begitu aku berangkat~" Ujar Haechan sambil menyimpan piringnya di bak cuci. Dan meninggalkan masing-masing satu kecupan di pipi kedua kakaknya.

"Ten-ah.." Yuta kembali bersuara.

"Hm?" Ten yang tengah mengunyah, menoleh ke arah Yuta. Mendapati gadis itu tengah menatapnya dengan tatapan yang bisa menelanjangi Ten.

"Aku tahu kau tidak pulang menggunakan taksi semalam.."

Ten terpaku mendengar ucapan Yuta. Gadis dengan senyuman penyembuh itu tersenyum tipis, "Johnny-ssi kan?"

Mata Ten kian membulat, "Bagaimana…?"

"Aku hanya menebak.." Yuta kembali menyuapkan potongan telur terakhir pada mulutnya.

Ten menundukkan wajahnya. Yuta memang leader yang sangat baik, ia begitu mengenal membernya.

"Aku harap kau tidak menyesal nantinya.."

Ten mengerjap bingung, "Menyesal?"

Yuta hanya memberikan senyuman misterius yang sendu pada Ten.

.

.

.

.

.

TBC

a/n:

Pertama-tama saya mau mengucapkan maaf atas late update ini -_- *bow

Ternyata benar ya apa yang dikatakan sama orang-orang di luar sana kalau kuliah itu bakal kerasa di semester 4 (dan entah kenapa tiba-tiba mau uts aja sekarang) -_-

Maaf ya mendadak curhat begini ._.v

Dan juga maaf ya kalau berantakan, saya belum sempat mengoreksinya -_- *bow

Special thanks to chochopanda99, Rina Putry299, Yuta Noona, Min Milly, Ekakasas, dan Park RinHyun-Uchiha yang sudah me-review chapter sebelumnya~

DON'T FORGET TO REVIEW~