BURN

PURE BLOOD OF NEMESIS

Pair HunKai, Sehun (seme) X Kai (uke)

Cast EXO Member and others

Warning: BL, Typo

Maaf karena cerita ini butuh waktu lama banget buat dilanjut selama membaca semuanya. Terimakasih yang sudah nungguin, kalo ada hehehe

Previous

"Itu manis sekali Sehun. Sekarang pikirkan saja mereka yang ingin kau lindungi, jangan sampai aku merampas semua yang ingin kau lindungi. Selamat tinggal."

Sehun menatap kosong hamparan ladang Lavender di hadapannya, di sini adalah satu-satunya tempat yang tidak mengalami perubahan, tidak tersentuh perkembangan zaman, karena Sehun ingin mengenang sedikit saja kenangannya di masa lalu. Sedikit kenangan yang membuatnya bahagia atau membuatnya ingin mengakhiri kehidupan abadinya, apapun, Sehun tidak ingin kehilangan siapa dirinya seperti dia berulang kali kehilangan mereka yang berharga di hidupnya.

"Besok, jika semua harus diakhiri, aku juga akan berakhir."

BAB SEMBILAN

Sehun mengepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat. Ingatan tentang perang dan segala kehancurannya begitu segar di benaknya. Rasa sakit, darah, ketakutan, kesakitan, dan kematian. Tidak, Sehun tidak yakin sanggup melihat semua itu besok. Mereka yang akan kehilangan kerabat dan teman-teman. Sehun tidak bisa membayangkan betapa sakitnya rasa itu.

"Aku Pemimpin mereka." Ujarnya. "Aku…, benar itu yang harus aku lakukan. Aku akan melindungi mereka." Tekadnya, Sehun melesat pergi dari Ladang Lavender untuk menemui seseorang.

"Tuan." Ujar Kevin dia bisa merasakan jika Sehun membutuhkannya, karena itu dia langsung melesat menjauhi kerumunan Tentara untuk menyambut kedatangan Sehun.

"Dengar Kevin, lakukan tugasmu dengan baik jika terjadi sesuatu padaku jalankan Pemerintahan Darurat kau tahu prosedurnya, aku mempercayaimu jangan membuatku kecewa."

"Tuan, apa yang Anda maksudkan? Besok kita akan bertempur bersama." Kevin melempar tatapan cemas.

Sehun menggeleng cepat. "Aku Vampire terkuat, biar aku yang menghadapi Nemesis itu, setidaknya aku bisa melemahkan dia. Aku akan menghentikannya dengan seluruh kemampuanku, aku tidak ingin melihat banyak korban."

"Tuan Sehun…,"

"Kevin ini perintah, apa kau paham?" Sehun melempar tatapan tajam.

"Tuan." Gumam Kevin, ia lantas membungkuk hormat di depan Sehun. "Saya akan melaksanakan semua perintah Anda, Tuan Sehun."

"Terimakasih sudah membantu dan melayaniku selama ini, Kevin."

"Suatu kehormatan dapat melayani Anda, Tuan Sehun."

Sehun tersenyum tipis lantas melesat pergi. memejamkan kedua matanya Sehun berusaha mencari jejak Jongin atau Kai atau Nemesis atau entah siapa. Hanya satu tujuan Sehun kali ini, menghentikan Nemesis sebelum dia berhasil mengobarkan perang esok hari.

Aroma Lavender itu tercium kuat di dekat pagar pembatas. Pagar menuju hutan, Sehun tanpa ragu melesat menuju arah aroma Lavender yang diyakini sebagai Nemesis. Jauh memasuki hutan, di dekat sungai kering disanalah Sehun menemukan Nemesis yang sedang dia cari.

"Seingatku sungai ini berarus deras."

Sehun menghentikan pergerakannya. "Kai."

Nemesis memutar tubuh, menatap Sehun lekat. "Kenapa sungainya mengering?"

"Untuk kepentingan pembangunan."

"Kepentingan pembangunan?" suara Nemesis itu terdengar mengejek. "Kau menyingkirkan kehidupan, dan jangan panggil aku dengan Kai atau siapapun. Aku tidak memiliki nama."

"Kai. Aku akan tetap memanggilmu Kai, karena aku yakin Kai masih ada di sini, di suatu tempat. Dan aku bisa memanggilnya kembali."

"Oh astaga, jangan bermimpi memanggil orang yang kau cintai itu kembali. Tidak ada yang tersisa dari mereka yang kau kenal Yang Mulia. Aku hanya sebuah kekuatan yang berada di dalam penahan."

"Dan penahanmu memiliki kehidupan yang coba kau hapus."

"Aku tidak mencoba menghapus apapun, sejak awal inilah takdir kami sebagai penjaga keseimbangan."

"Besok, kau akan memusnahkan sebuah kehidupan." Sehun tidak bisa berhenti, dia harus berhasil malam ini agar besok pertumpahan darah tidak terjadi.

"Aku?" Si Nemesis menunjuk dirinya sendiri. "Memusnahkan sebuah kehidupan? Jangan bercanda, itu sebuah siklus, itu tugasku, untuk membuat segalanya kembali teratur."

"Sederhana saja, aku punya pertanyaan untukmu. Jika kau memiliki kuku yang kotor, mana yang akan kau potong kuku atau tanganmu?"

"Kenapa aku harus menjawab pertanyaan bodohmu?"

"Karena aku ingin tahu sebijaksana apakah seorang Nemesis itu?" tantang Sehun.

"Aku tidak akan memberimu jawaban."

"Kalau begitu biar aku yang memberi jawaban." Sehun menatap kedua mata Nemesis yang kini berkilat merah. "Kau harus memotong kukunya bukan memotong tangannya."

"Kau meminta pengampunan?"

"Kau tidak akan memberikan pengampunanmu."

Nemesis tersenyum miring. "Kau sudah tahu jawabanku, pergilah, kita bertemu besok di medan pertempuran."

"Tidak." Tegas Sehun. "Kita tidak akan bertemu di medan pertempurna besok, malam ini aku akan menghentikanmu."

"Percuma, kekuatan kita tidak sepadan."

"Tutup mulutmu jalankan saja kewajibanmu dan aku akan menjalankan kewajibanku. Tugasmu menjaga keseimbangan, aku paham jika mereka yang bersalah harus dihukum. Masalahnya adalah kau memutuskan semua orang salah tanpa pertimbangan jika di antara mereka masih ada orang-orang yang baik. Dan aku sebagai pemimpin di sini tidak bisa menerimanya. Karena tugasku melindungi rakyatku."

"Kau menantangku? Itu sia-sia."

"Tidak ada salahnya dicoba."

"Kau akan mati di sini."

Sehun tersenyum tipis. "Kita akan mati bersama." Ujarnya sebelum melesat dengan kekuatan penuh menuju Nemesis yang sekarang berada di dalam tubuh Jongin atau Kai.

.

.

.

Wangi Lavender dan sesuatu seperti terbakar bercampur menjadi satu di udara. Dua aroma itu menarik Kai pada kesadarannya. Ia berada di Ladang Lavender terbakar, bahkan tanah di bawah tubuhnya terasa panas sekarang. Mengumpulkan sisa tenaga, Kai mencoba berdiri. Langit merah dan angin panas menyapa kulitnya.

"Jongin." bisik Kai sebelum raut wajahnya berubah panik memikirkan semua kerusakan yang akan Jongin timbulkan. "Jongin! hentikan!" teriaknya sambil berlarian ke segala arah mencari sesuatu, atau celah yang bisa dia masuki untuk keluar dari tempat ini.

Kai berlari sekuat tenaga, mengabaikan kedua telapak kakinya yang terasa perih. Ia berhenti di sebuah bangunan megah namun secara bersamaan terlihat kumuh, rapuh, dan sunyi. Bangunan megah di hadapannya terlihat mengepulkan asap sepertinya ada api yang baru saja padam. Kusen-kusen kayu dan pintu berwarna hitam dijilat api, begitupun dengan dinding batu batanya.

Kai mendorong pagar kayu lantas melangkah memasuki halaman bangunan. Tanaman-tanaman meranggas dan sebagian masih dilalap api. "Tempat apa ini?" gumamnya merasakan ketakutan yang mulai tumbuh kuat di dalam dirinya. "Ah!" Kai tersentak melihat bayangan seseorang di dalam bangunan. "Jongin?! Jongin?! Berhenti Jongin!" teriak Kai lantas berlari memasuki bangunan.

Tangga, lantai, tirai, dan lukisan-lukisan, benar-benar menggambarkan jika bangunan ini memang selamat dari sebuah kebakaran hebat. Kai memutar tubuhnya cepat mencoba mencari keberadaan Jongin. "Jongin!" suaranya menggema.

Dilihatnya Jongin berada di ujung tangga lantai dua, Kai berlari sekuat tenaga ke arah Jongin. "Tunggu! Berhenti!" teriak Kai mencoba menarik perhatian Jongin. Kai berlari mengikuti bayang-bayang Jongin.

Namun Jongin bergerak terlalu cepat, Kai selalu kehilangan jejak untuk kemudian Jongin menampakan dirinya kembali dan seolah menggoda Kai untuk mengikutinya, mengikuti apapun permaianan yang sedang dia mainkan. Menysurusi koridor panjang berkelok, melewati pintu-pintu hitam berjelaga.

Kai mengikuti Jongin berbelok ke kanan di ujung koridor. Berhenti di sebuah ruangan besar dengan mawar rambat memenuhi dinding. Jongin berdiri memunggunginya. "Kenpa kau mengejarku? Harusnya kau tetap tinggal di ladang itu sampai semuanya selesai."

Jongin memutar tubuh, Kai melangkah mundur tanpa sadar. Kedua mata Jongin berwarna merah mengerikan, urat-urat nadi di bawah lapisan kulitnya berwarna hitam. Jongin mengerikan sangat mengerikan sekarang.

"Kenapa kau mengejarku?!" Jongin berteriak dan Kai merasakan kedua lututnya lemas ia nyaris jatuh terduduk namun entah darimana dia bisa merasakan suntikan keberanian.

"Kau tidak bisa berkeliaran membunuh dengan tubuhku. Aku berhak atas tubuhku, sekarang pergilah dan jangan pernah kembali lagi."

Kai tersenyum miring, meremehkan. "Kau mengusirku seperti anak-anak, itu tidak akan berhasil. Jika kau menginginkan tubuhmu kembali datanglah padaku." Jongin merentangkan kedua tangannya. "Serang aku, habisi aku, maka tubuhmu akan kembali menjadi milikmu seutuhnya dan aku akan musnah."

Menyerang Jongin, Kai sudah tahu jika hasilnya akan sia-sia. Dengan kekuatan sebesar itu bahkan Kai tidak yakin jika Sehun sanggup mengatasi Jongin dengan kekuatan Nemesis yang telah dibangkitkan seperti sekarang.

"Ah kau ragu-ragu?" Jongin bertanya setelah dengan mudah membaca ekspresi wajah Kai. "Sebaiknya kau jadi penonton saja, bocah kecil."

"Hei! Apa yang kau lakukan?!" Kai berteriak panik ketika sulur-sulur mawar bergerak lepas dari dinding menuju ke arahnya. "Ahh!" teriakan kesakitan itu keluar ketika sulur mawar yang berduri bergesekan dengan kulit Kai, mengikat kedua pergelangan kaki dan tangannya, memaksa Kai untuk jatuh berlutut di hadapan Jongin.

"Sekarang…," Jongin duduk di hadapan Kai menyentuh dahi Kai. "Lihatlah apa yang terjadi." Ujarnya.

Kedua mata Kai membola. "Se—Sehun." Bisiknya.

.

.

.

Jongin hanya tersenyum sembari menggerakan tubuhnya ke kanan, ke kiri, menunduk, dan membungkuk, membaca semua serangan Sehun. Menghindari serangan mematikan Sehun seolah itu hanya gerakan tari yang indah dan sudah dihapalnya.

"Apa kau menyerah?" Jongin bertanya ketika Sehun berhenti.

Sehun menatap Jongin dia menyerang dengan setengah hati karena tentu saja dia masih mengganggap Jongin yang berdiri di hadapannya adalah Jongin yang pernah dia kenal, seseorang yang telah mengambil hatinya.

"Sebagai pemimpin kau sama sekali tidak kuat." Cibir Jongin.

Sehun menegakan tubuh, menutup kedua kelopak matanya singkat. Mengingat Jongin yang dulu dia kenal baik-baik sebelum membuka kedua matanya menatap Jongin sekarang, Nemesis haus darah. Mengubur ingatan tentang Jongin mengumpulkan semua ingatan tentang rakyatnya yang harus dia lindungi. Malam ini dia harus berhasil agar tidak ada lagi pertumpahan darah, rasa sedih, rasa sakit, dan kehilangan.

Jongin hanya tersenyum melihat perubahan pada diri Sehun, bagaimana warna rambut Sehun berubah merah dan bagaimana kedua bola mata Sehun terlihat mengerikan. "Sekarang, ini akan menarik." Ujar Jongin kepada dirinya sendiri.

"Kau akan mati malam ini Nemesis!" Sehun berteriak sembari melesat menyongsong tubuh Jongin.

Jongin menahan pukulan dari tangan kiri Sehun. Kekuatan Sehun berbeda membuat Jongin tersenyum. "Kau memutuskan untuk tidak menahan diri lagi?" Cibir Jongin. "Kau sudah memutuskan untuk melupakan tubuh ini?"

Sehun tidak membalas, pukulan kedua dari tangan kanannya ia layangkan, Jongin menahan lagi pukulan itu. Sehun menendang perut Jongin dengan lutut kirinya. Jongin terhuyung ke belakang dalam hitungan detik sebelum tubuhnya kembali tegak. "Baiklah, aku tidak akan menahan diri lagi."

Jongin melesat cepat kedua matanya berubah hitam, bulan purnama menyinari pertarungan keduanya. Jongin menendang tulang kering kanan Sehun membuat laki-laki itu jatuh berlutut. Sehun belum sempat bereaksi ketika Jongin berdiri di belakang tubuhnya mencengkeram lehernya. "Kau memilih musuh yang salah Sehun." Bisik Jongin, kedua tangannya berada pada posisi tepat untuk mematahkan leher Sehun. "Ucapkan selamat tinggal pada hidup abadimu yang menyedihkan."

KRAKK!

Suara mengerikan itu terdengar memecah keheningan malam. Tanpa suara lain tubuh Sehun terkulai di atas tanah beku. Jongin menegakan tubuh menatap tubuh tak bernyawa Sehun dengan tatapan kosong sebelum sebuah senyum kepuasan menghiasi wajahnya. "Satu tugas selesai." Ujarnya, pergi.

.

.

.

"Jongin! Apa yang kau lakukan?! Brengsek!" Geram Kai sementara Jongin hanya tertawa melihat reaksinya. Kai muak dengan semua ini, dia tidak peduli lagi dengan Nemesis, persetan dengan Nemesis mereka memiliki pandangan berbeda mengenai hidup. "Kau." Geram Kai.

Tawa Jongin terhenti ketika Kai membebaskan dirinya dari jerat sulur mawar berduri lantas berjalan menghampirinya dengan tatapan tenang, amarahnya sudah benar-benar menghilang. "Aku tidak percaya dengan Nemesis." Ujar Kai ketika dirinya berdiri di hadapan Jongin. "Terserah Nemesis itu siapa dan apa. Yang aku tahu kau mengambil tubuhku, mengambil keluargaku, mengambil mereka yang berharga untukku, dan aku…,"

"Kau apa?"

Kai tersenyum dan sedetik kemudian tangan kanannya berhasil meremukan tulang dada Jongin. Tubuh Jongin bersamaan dengan tubuhnya jatuh berlutut. Kai merasakan kepalanya seolah terhantam benda tumpul yang keras dia harus meringkuk ke atas tanah untuk menahan rasa sakit yang tertahankan.

Dan ketika kedua matanya terbuka, ia tidak berada lagi di tempat yang membingungkan, tempat yang tidak dia ketahui. Sekarang dirinya benar-benar berada di Ladang Lavender, matahari mulai terbit, namun bulan masih menampakan dirinya meski tidak bersinar. Tertatih Kai menegakan tubuhnya, melihat tubuh Sehun tergeletak di atas tanah. Kai harus menyeret kedua kakinya yang seolah beku untuk menghampiri Sehun. Berlutut di dekat tubuh Sehun, Kai tahu Sehun sudah mati.

"Tidak, apa yang aku lakukan? Semuanya buruk astaga semuanya berubah buruk." Keluh Kai air mata menolak keluar karena dia belum bisa menerima semua yang terjadi. Keluarganya dan sekarang Sehun, mengapa semua orang pergi meninggalkannya. Kai memakasa otaknya untuk berpikir mencari jalan keluar yang terlihat mustahil. "Berpikir Kai!" Bentaknya pada diri sendiri.

"Kurasa aku bisa melakukan sesuatu." Ujar Kai sebelum bangkit berdiri dan mendongak ke langit. Bulan masih menampakan diri, dia masih memiliki sedikit harapan.

Berlomba dengan waktu Kai berharap usaha terakhirnya berhasil karena ada banyak orang yang membutuhkan Sehun, karena dia membutuhkan Sehun, karena dia mencintai Sehun dan belum siap untuk kehilangan sosok laki-laki itu. Kai menggambar lingkaran di sekitar tubuh Sehun menggunakan kaki kirinya, berulang kali ia memeriksa langit memastikan bulan belum benar-benar pergi.

Setelah lingkaran selesai digambar, Kai berdiri di dekat kepala Sehun, menenangkan diri. Mengingat ritual terlarang yang sempat dia baca dari perpustakaan pada bagian buku-buku pajangan yang haram dibaca oleh siapapun kecuali para pemimpin dan tetua. Kai mengangkat tangan kanannya, menggigit pergelangan tangan kanannya. Darah dengan cepat menggenangi lubang luka yang dia buat. Menetes keluar dan jatuh mengenai dahi Sehun.

"Penguasa malam aku menawarkan keabadianku untuk dibagi dengan Sehun." Ucap Kai, ia mengangkat tangan kanannya lagi membuat sayatan lebih panjang pada pergelangan tangan kanannya, agar darah mengalir keluar lebih banyak. Berikutnya Kai berjalan mengitari lingkaran dan memastikan setiap garis lingkaran yang dia buat terkena tetesan darahnya.

"Aku membagi keabadianku dengan Sehun, Aku membagi keabadianku dengan Sehun, Aku membagi keabadianku dengan Sehun, Aku membagi keabadianku dengan Sehun, Aku membagi keabadianku dengan Sehun, Aku membagi keabadianku dengan Sehun." Kai merapalkan mantera.

Kai jatuh terduduk di dekat Sehun di ujung lingkaran membuat tanda bulat sabit pada dahi Sehun dengan telunjuk kanannya yang berlumuran darah. Meletakan pergelangan tangan kanannya yang masih mengalirkan darah pada bibir dingin Sehun. "Aku membagi keabadianku dengan Sehun. Bangunlah aku mohon." Pinta Kai perih.

Dan air mata itu mulai mengalir ketika darah pada pergelangan tangannya berhenti mengalir karena luka mulai tertutup dan Sehun masih membeku. "Tidak, jangan pergi. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Maafkan aku. Seharusnya aku lebih kuat untuk menghentikan Jongin, menghentikan Jongin menyakitimu. Maafkan aku Sehun."

Kai membaringkan tubuhnya yang lemas di dekat tubuh dingin Sehun. Mengamati langit yang kini benar-benar terang dan bulan telah menghilang. Hembusan angin sejuk menggerakan ranting-ranting pohon, aroma tanah yang dibasahi embun pagi, dan pucuk-pucuk daun muda menyambut penciuman Kai.

Memejamkan kedua matanya, Kai tiba-tiba teringat lagu yang bahkan tidak dia ketahui dimana dia belajar menyanyikannya. "Aku berbaring di atas tanah beku dengan selimut langit. Tapi di sini aman karena kau ada bersamaku dan meski kita berpisah kita akan bertemu lagi karena ini hanya sebuah perjalanan jadi hapus air matamu jangan menangis—jangan menangis." Suara Kai terbata di bagian akhir lagu.

Lagu berakhir dan kesunyian kembali menyeruak. Sebentar lagi akan ada yang datang dan mengetahui keberadaan mereka, setidaknya perang tidak akan pecah. Kai bisa sedikit terhibur mengingat hal itu.

"Aku berbaring di atas tanah beku dengan selimut langit. Tapi di sini aman karena kau ada bersamaku dan meski kita berpisah kita akan bertemu lagi karena ini hanya sebuah perjalanan jadi hapus air matamu jangan menangis."

"Se—Sehun?" Suara Kai tercekat di tenggorokan. Menoleh ke kanan dalam posisi berbaringnya Kai melihat Sehun tersenyum ke arahnya. "Kau bangun? Benarkah? Apa aku bermimpi?"

"Tidak. Kau tidak bermimpi. Terimakasih kau membagi keabadian denganku. Bagaimana kau bisa melakukan mantera terlarang itu? Kau bahkan bukan Vampire darah murni yang bahkan belum pasti bisa melakukannya."

"Aku Nemesis." Balas Kai. "Aku bisa mengendalikan Nemesisku sekarang, jangan cemas. Dan kapan pertolongan kita tiba? Aku tidak bisa bergerak sekarang."

Sehun tertawa pelan. "Aku juga tidak bisa bergerak sekarang."

Keduanya tersenyum kemudian mulai menautkan jari-jemari mereka. "Maaf aku menyerangmu dan terimakasih kau sudah mengorbankan dirimu untuk menghentikan Nemesis." Ujar Kai.

"Itu tugasku."

"Kuharap tidak ada yang kecewa perang dibatalkan."

"Hmm, aku juga berharap hal yang sama. Kai."

"Apa?"

"Keluargamu selamat, aku menyembunyikan mereka, maaf aku tidak jujur padamu."

"Syukurlah."

"Dan mereka yang memancing Nemesis untuk keluar apa kau ingin melakukan balas dendam?"

"Tidak, tidak ada gunanya. Jangan menyulut api lagi, sudah cukup."

Sehun mempererat tautan jari-jemarinya. Bersamai Kai berbaring di atas tanah mengamati langit biru di pagi hari. Dengan tubuh yang sementara waktu lumpuh, bukan hal paling indah yang bisa mereka minta. Namun hal bisa terjadi sebaliknya atau lebih buruk karena itu mereka tidak akan mengeluh.

"Aku mencintaimu Sehun."

"Terimakasih." Gumam Sehun.

"Hanya itu?"

"Memang apalagi? Aku tidak bisa bergerak sekarang." Keluh Sehun.

"Yah kau benar juga." Timpal Kai.

END