WHAT EVERY BREAK GOES LIKE

Author: Hye Ji

Genre: Romance, bxb, enough said.

Rating: T

Chapter 1 of 1

Cast: Johnny Seo | Kim Dongyoung (Doyoung) | other

WARNING! Rushed, unbeta-ed, cringey fic ahead

Disclaimer: the fic is mine

Untuk seorang lelaki yang mengaku milik Johnny, namun sempat kepincut pacar Moonbin, Dongmin yang berpikiran sama denganku kalau kita butuh lebih banyak JohnDo dan penganut paham Doyoung disayang. #TeamDoyoungDisayang. Selamat Membaca!


What Every Break Goes Like

Desember merupakan bulan yang biasanya paling ditunggu oleh banyak orang. Karena di bulan itu ada Natal, pesta tahun baru, juga waktu libur untuk berkumpul dengan keluarga atau kerabat yang selama setahun terpisah. Banyak alasan untuk berbahagia di bulan ini. Terutama bagi Kim Doyoung. Sejak tahun kemarin, Desember jadi bulan yang dia tunggu-tunggu setelah bulan Juli. Bukan karena natal atau pesta tahun baru, tapi karena ada yang dia tunggu.

Gerbang kedatangan untuk penerbangan internasional masih tertutup. Rasanya sudah seharian Doyoung menunggu disini, tapi saat melihat arlojinya, baru tigapuluh menit berlalu. Dia tidak sabar, mengetuk-ngetukkan jarinya ke bangku besi yang didudukinya. Bolak-balik Doyoung mengecek jam, menggigit bibirnya, melihat riwayat pesan terakhir mereka. Semua itu demi membunuh waktu yang berjalan terlalu lambat untuk kepentingan Doyoung. Di kepalanya tidak berhenti terpikirkan apa saja yang akan nanti dia lakukan begitu bertemu pemuda Chicago itu.

Astaga, Doyoung merindukannya.

Dia rindu senyumnya. Tawanya. Wangi tubuhnya. Tangannya yang menggenggam erat miliknya. Tangannya lagi saat melingkari tubuhnya. Candaannya. Baru juga lima bulan sejak terakhir mereka bertemu tapi baginya seperti lima tahun. Setiap hari rasanya penyiksaan bagi Doyoung karena merindukan pemuda itu. Bahkan FaceTime setiap malam bukannya mengobati kerinduannya, justru membuatnya semakin frustasi karena tidak bisa menyentuh langsung pemuda itu.

Butuh waktu setengah jam lagi untuk gerbang kedatangan akhirnya terbuka. Keterlambatan ini disebabkan oleh cuaca buruk yang mengakibatkan jadwal penerbangan Chicago-Seoul ditunda tigapuluh menit. Doyoung sudah pada tahap meloncat tak sabar, persis seperti kelinci. Rasanya dia ingin menerjang masuk dan mencari sendiri orang terkasihnya itu. Kalau saja dia cepat keluar, maka Doyoung tidak akan melompat-lompat seperti ini. Aksi itu bukan karena dia kurang tinggi, apalagi berada di baris paling belakang. Hanya murni dari rasa tidak sabarnya.

Doyoung dapat membayangkan pemuda itu menertawakan aksinya. Siapa sih yang setuju menjalani hubungan jarak jauh seperti ini?! Dia pasti disihir sehingga mau ditinggal disini oleh kekasihnya itu. Tidak masuk akal. Di saat seperti inilah, Doyoung menyadari perasaannya pada pemuda satu lagi yang memutuskan untuk kuliah di negeri kelahirannya sana. Mau-maunya, begitu kata kakaknya, Donghyun. Tapi mau dikatai bagaimanapun, Doyoung lebih baik menjalani hubungan seperti ini daripada harus melepaskan pemuda itu.

"Permisi, aku harus ke depan, permisi!" sebuah suara membelah kerumunan penjemput termasuk Doyoung. Keributan kecil itu mengalihkan Doyoung sedikit dari konsentrasinya menembak laser pada gerbang kedatangan, dan pemuda itu mengumpat. Tiga orang berlalu dari gerbang kedatangan tapi untungnya itu bukan orang yang ditunggunya. Katakan Doyoung terlalu, tapi dia ingin jadi orang pertama yang dilihat kekasihnya itu begitu keluar. Jadi, biarkan Doyoung menunggu dengan ten— "Hei!"

Mata Doyoung bertubrukan dengan seorang pemuda dengan tinggi yang tidak jauh darinya, dengan banyak piercing di telinga dan bahasa Korea beraksen yang sangat Doyoung kenali. Pemuda itu mendorong Doyoung dari tempatnya, dan Doyoung sudah lebih dari siap untuk marah-marah kalau saja dia tidak mengenali orang itu.

"Ten?! Mau apa kau disini?"

Pemuda itu, Ten alias Cittaphon Leechaiyapornkul, hanya nyengir lebar. "Mau berjualan baju. Tentu saja menjemput Taeyong, bodoh!"

"Oh," Doyoung baru ingat kalau Ten juga kurang lebih bernasib sama sepertinya, ditinggal kekasihnya kuliah di luar negeri. "Oooohhh iya aku baru ingat. Hahaha, kau terlambat, tahu."

Ten mencibir saat Doyoung berkata 'oh'. "Kau saja yang terlalu awal. Biar kutebak, kau ada disini sejak satu jam yang lalu."

"Yang penting aku tidak harus mendesak untuk berada di barisan paling depan!" balas Doyoung tak kalah sassynya. Penjemput lain sudah mulai melirik ke arah mereka, merasa sedikit terganggu. Ten mencibir lagi, mendorong tubuh sahabatnya itu main-main.

"Berisik. Biarkan aku menjemput pangeranku dengan tenang."

Doyoung mendengus.

Di mata orang lain, Doyoung dan Ten sudah seperti dua anak gadis berebut tempat terdepan untuk melihat oppa mereka. Untung saja, pembicaraan mereka terhenti karena Doyoung juga ingin menjemput pangerannya dengan tenang. Astaga, istilah yang Ten gunakan sangat menggelikan, pikir Doyoung.

"Taeyong hyung!" seru Ten saat melihat seorang pemuda kurus berambut hitam keluar dengan satu koper besar. Yang dipanggil menoleh, senyum mulai merekah di bibirnya, menunjukkan ketampanannya. Baiklah, Taeyong mungkin pantas disebut pangeran. Doyoung melirik saat Ten, sudah seperti di drama, berlari ke Taeyong yang membentangkan tangannya.

MANA PANGERANKU, batin Doyoung berteriak ketika melihat dua sahabatnya itu saling melepas rindu. Doyoung melompat-lompat lagi, menggigit bibirnya, sesekali melirik Taeyong dan Ten yang tidak peduli tempat untuk berciuman, tapi kekasihnya itu tidak kunjung tampak.

Satu-persatu penjemput mulai pergi, karena orang yang mereka tunggu sudah keluar. Doyoung tidak lagi melompat, apalagi setelah dua sahabatnya itu pamit pergi lebih dulu. Berbagai pikiran negatif mulai menyerang Doyoung. Apa kekasihnya itu tidak pulang tahun ini? Apa dia memutuskan untuk menghabiskan libur musim dinginnya di Chicago sana? Gerbang kedatangan itu masih sesekali dilewati orang, namun bukan orang yang Doyoung tunggu.

"Tunggu saja, dia sebentar lagi keluar," begitu kata Taeyong sebelum pergi. Ah, candaan macam apa ini. Doyoung mulai lelah. Saat penjemput terakhir pergi dengan yang dijemputnya, pemuda bermarga Kim itu secara resmi ingin menangis.

Bandara Internasional Incheon memang tidak pernah sepi, tapi rasanya Doyoung hanya sendiri di dunia ini. Dia mencoba menelpon pemuda itu tapi nihil, tetap saja kotak suara menjawabnya lagi dan lagi. Doyoung ingin pulang. Gerbang kedatangan sudah tidak terbuka lagi sejak tiga menit yang lalu.

"Hyung, jemput aku." Ujar Doyoung lirih sambil beranjak dari sana. Mungkin Taeyong berbohong. Sudah satu jam berlalu namun nihil. Tidak ada lagi yang keluar darisana. Doyoung berjalan hampir terisak, mendengar suara Donghyun yang sangat khawatir di seberang sana.

"Kenapa? Eh, tidak usah dijawab. Tunggu aku duapuluh menit lagi."

Perasaan Doyoung berbalik 180 derajat dari saat dia datang ke Incheon. Kalau ini semacam candaan, ini sudah tidak lucu lagi. Gagal sudah semua rencananya untuk merayakan natal dengan kekasihnya tahun ini. Padahal sangat banyak hal yang ingin Doyoung lakukan dengannya. Kekasihnya itu berjanji akan mengajarinya main ice skate, karena tahun kemarin tidak sempat.

Doyoung bersumpah dia tidak akan mengangkat telpon pemuda itu lagi.

Doyoung ngambek.

Padahal Doyoung sampai membuat daftar 10 hal yang harus dilakukan musim dingin ini. Bisa gagal semua rencananya. Oh, atau dia bisa melakukan semua itu dengan Jaehyun, adik tingkatnya yang terang-terangan bilang kalau dia suka pada Doyoung. Ide bagus. Doyoung baru akan menghubungi Jaehyun saat mendengar suara familiar yang muncul di kepalanya.

"Doyoung!"

Suara itu mirip sekali dengan suara kekasihnya. Tapi tidak mungkin, 'kan? Pasti halusinasi Doyoung saja. Pemuda kurus itu terus berjalan, tidak menghiraukan suara itu.

"Kim Dongyoung!"

Hanya dua orang yang berani memanggilnya dengan nama aslinya dan nada seperti itu. Satu Kim Donghyun, kakaknya, dan satu lagi adalah pemuda jangkung yang tidak lain adalah kekasihnya. Doyoung berbalik, hanya untuk ditubruk sesosok makhuk tinggi dengan wangi familiar yang sangat dia rindukan.

"Maaf aku terlambat, kantor imigrasi sialan itu menahanku." Ujarnya benar-benar menyesal. Tangan kuat itu memeluk Doyoung erat, merasa tubuh kurus itu terlalu rapuh. Kalau saja itu benar. Nyatanya, kekasihnya yang mirip kelinci itu punya tenaga layaknya laki-laki normal.

"Aww!" Pemuda jangkung itu mundur ke belakang, tangannya menutupi selangkangannya yang baru saja bertemu keras dengan lutut Doyoung. Dia jatuh berlutut di depan kekasihnya, mengerang. Astaga bagaimana dia bisa setega ini padahal dirinya juga lelaki yang mengerti bagaimana sakitnya. Tapi Doyoung hanya berwajah datar, tidak merasa ngilu sama sekali.

"Kukira kau mati!"

"Demi Tuhan, Young! Tidak bisakah kau menyambutku dengan normal?!"

"Kalau saja kau keluar satu jam yang lalu, aku akan menciummu!"

"Aargh!" erang pemuda jangkung itu kesal. Ngilu di selangkangannya perlahan membaik, namun tetap saja dia kesal. Yang dia harapkan adalah Doyoung akan menangis dan mengatakan bahwa dia sudah menunggu lama dan dia sangat mengkhawatirkannya. Tapi yang didapatnya adalah tendangan di asset berharganya. Dunia nyata memang bukan drama.

"Aku bersumpah kantor imigrasi sialan itu menahanku untuk alasan yang konyol."

"Apa? Wajahmu seperti teroris?" balas Doyoung sass. Tangannya dilipat di depan dada, wajahnya berekspresi dingin yang dia anggap menyeramkan. Tapi itu hanya di bayangannya. Bagi pemuda yang satunya, marahnya Doyoung justru sangat menggemaskan.

"Mereka tidak percaya alasanku kemari hanya untuk menghabiskan liburan musim dingin. Dipikir aku akan bekerja."

"Wajah susah sih. Dekil."

"Dekil begini aku pacarmu." Jawab pemuda itu lelah. Doyoung jadi sedikit kasihan. Lihatlah pemuda itu sekarang, dekil. Padahal biasanya juga dekil. Eh, maksudnya tampan.

"Kau yakin kau pacarku? Johnny Seo? Biasanya dia tampan dan fashionable. Tidak dekil seperti ini." Goda Doyoung.

"Mungkin bukan. Mungkin aku pacar Hansol. Dia tidak peduli aku dekil atau apa."

Doyoung mendelik. "Oh begitu?! Tahu begini kan aku mengiyakan saja ajakan Jaehyun untuk jalan hari ini."

"Eeehhh, macam-macam ya mentang-mentang pacarnya jauh."

"Pacarku dekat, di depanku. Tapi dia malah membalas perkataanku terus menerus dan bukannya mencium atau memelukku. Mungkin dia tidak merindukan—

Perkataan Doyoung dipotong oleh bibir Johnny, dan tidak ada penolakan lagi kali ini. Sudah cukup semua basa-basi tadi, Doyoung merindukannya. Tangan Johnny memeluk pinggang Doyoung sementara kekasihnya yang lebih kecil itu mengalungkan tangannya ke lehernya.

Atas kebutuhan oksigen, dua orang itu akhirnya melepaskan ciumannya. Kening mereka menempel, napas mereka bertubrukan. Johnny menghapus lelehan airmata di pipi kekasihnya.

"Aku minta maaf sudah membuatmu khawatir."

"Aku tidak khawatir." Jawab Doyoung sedikit terisak. Johnny menghapusnya lagi dengan ibu jarinya, mengecup bibirnya sekilas.

"Aku minta maaf membuatmu menunggu lama."

"Aku tidak menunggu."

"Aku merindukanmu."

Doyoung mempertemukan bibir mereka lagi, bergelayut di leher Johnny seperti hidupnya bergantung pada itu. Johnny tersenyum dalam ciuman mereka. Ini bukan drama romantis, hubungan mereka juga tidak selalu manis, tapi sekarang, biarkan dia menumpahkan rasa rindunya untuk kekasihnya itu.

"Ayo pulang." Ajak Johnny sedikit kehabisan napas. Doyoung mengangguk, dan Johnny bersumpah tidak ada hal lain yang lebih menggemaskan dari mata kekasihnya yang berbinar saat senang. Mereka kemudian pergi darisana, dengan sebelah tangan Johnny menyeret kopernya dan satunya lagi menggenggam tangan Doyoung.

Mereka memanggil taksi, lalu pergi darisana.

.

Doyoung benar-benar lupa kalau dia meminta Donghyun untuk menjemputnya.

Begitu sampai apartemennya, Johnny segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya sementara Doyoung berusaha membuatkan makanan. Ternyata, Doyoung lupa mengisi kulkasnya dan akhirnya mencari ponselnya untuk menelpon layanan pesan antar saat mendapati kakaknya menelpon.

"KIM DONGYOUNG KAU DIMANA!?"

Doyoung meringis, menjauhkan ponsel itu dari telinganya kemudian mengumpat dalam hati. Sial, dia benar-benar lupa.

"Itu.. hyung.. jangan marah dulu."

"MARAH APA AKU TIDAK MARAH."

"Johnny ternyata terlambat karena ditahan imigrasi. Tapi sekarang kita sudah pulang, aku di apartemenku."

"Syukurlah, kukira kau pergi bunuh diri." Suara Donghyun terdengar lega dan sarkastik pada saat yang bersamaan, dan Doyoung kagum dengan kemampuan seperti itu. "Untuk apa aku bunuh diri demi Johnny. Aku tutup ya hyung aku mau pesan makanan. Maaf sudah membuatmu pergi kesana dan terimakasih. Kau memang kakak paling hebat!"

"Hmm tidak usah repot-repot minta maaf, aku kesini karena memang mau berjalan-jalan ke Incheon." Yup, definitely sarcasm. Doyoung menghela napas, jiwa sassy memang mendarah daging di keluarganya, tidak bisa dihindari. Dia merasa sedikit bersalah tapi Donghyun bukanlah tipe orang yang menyimpan dendam.

"Maaf, hyung."

"Pastikan saja kalian datang tanpa terlambat dan dengan pantas nanti saat natal. Eomma dan Appa menunggu kita."

"Aku mengerti, hyung." Jawab Doyoung malu, ingatannya tentang natal tahun lalu kembali. Dia dan Johnny terlambat datang ke rumah keluarga Kim karena kelepasan dengan acara pagi mereka di kamar. Di atas tempat tidur, lebih tepatnya.

Sambungan telepon putus, dan Doyoung segera menghubungi restoran langganannya. Mungkin makanan Cina akan cukup untuk sekarang. Nanti malam dia akan menarik Johnny untuk mengisi kulkas mereka. Meski yang dibeli nanti mungkin hanya telur, ramyeon instan, dan makanan beku yang tinggal dipanaskan saja. Dua orang itu tidak ada yang bisa memasak.

"Ditunggu limabelas menit lagi ya."

Doyoung kemudian keluar, menyeret koper Johnny ke satu-satunya kamar yang ada di apartemen itu. Kekasihnya itu masih berada di kamar mandi, suaranya bernyanyi terdengar bersama suara air mengalir. Johnny memang penyanyi kamar mandi. Doyoung tersenyum kecil, membuka koper Johnny dan mengeluarkan isinya ke lemari mereka. Tidak banyak yang Johnny bawa, karena selain dia hanya akan tinggal sebentar disini, dia juga punya banyak baju yang ditinggal disini.

"Aku sudah pesankan makanan. Tidak ada apa-apa disini. Kita makan baru kau boleh tidur. Nanti malam kita belanja."

"Memangnya kenapa kalau kita belanja setelah makan?" tanya Johnny santai, mengusak rambutnya yang basah. Doyoung mundur dari lemari, membiarkan Johnny memilih baju mana untuk dipakai. Dia tampak tidak terpengaruh dengan fakta kalau Johnny tidak mengenakan baju, hanya handuk yang melilit pinggangnya dan satu handuk lagi untuk rambutnya.

"Kau tidak jet lag?"

"Tidak. Aku lapar, dan aku ingin berjalan-jalan diluar."

Doyoung tidak menjawab untuk sebentar karena sedang mengambil baju kotor Johnny dari kamar mandi dan memindahkannya ke keranjang baju kotor. "Baiklah kalau itu maumu."

"Kau pesan apa?" tanya Johnny, memakai sebuah sweater berwarna hitam. Handuk yang melilit tubuh Johnny ditaruh sembarangan di atas tempat tidur. Doyoung berdecak, mengambil handuk itu sementara Johnny memakai jogging pants andalannya untuk bersantai di rumah.

"Makanan Cina, biasa." Doyoung menunggunya mengusak rambutnya lagi sebelum mengambil handuk itu dari Johnny. "Dumpling?"

"Tiga hanya untukmu."

"Bagus." Johnny baru akan keluar darisana ketika Doyoung menghentikannya. "Hei, keringkan rambutmu dulu. Nanti kau kena flu lagi."

"Nanti, olehmu. Aku ingin minum dulu, haus."

Doyoung memutarkan matanya, segera menaruh handuk yang sudah dipakai itu ke tempatnya lalu mengambil hairdryer dari laci nakas paling bawah. Kebiasaan buruk Johnny adalah keramas di malam hari lalu tidur dengan keadaan rambut basah. Besok paginya dia flu, dan yang repot mengurusnya siapa lagi kalau bukan Doyoung? Jadi mereka membeli hairdryer. Tapi itu dulu, saat hanya Johnny yang menempati apartemen ini.

"Aku bahkan dapat flu saat musim panas kemarin."

"Bodoh."

"Karena kau tidak ada disana."

"Hmm, baru sadar pentingnya aku?"

Johnny hanya tertawa kecil, sudah biasa terlibat dalam pembicaraan ini berulang-kali. Mau bagaimana lagi, jurusan sastra di Korea menurutnya kurang menjanjikan. Waktu itu Johnny hanya iseng mengirim nilainya ke Universitas Illinois dan tidak menyangka akan diterima. Ketika suratnya datang, Doyoung menangis semalaman karena tidak mau ditinggal. Namun keesokan harinya, dia memilih untuk menerima keputusan Johnny dan jadilah mereka menjalani hubungan jarak jauh.

Itu menyiksa keduanya, sesungguhnya.

"Bagaimana semester ini?" tanya Johnny membuka percakapan, melirik Doyoung di cermin.

"Membunuhku. Dosen musik kontemporerku cuti dan digantikan oleh pria tua sialan yang membuat kami menggubah 10 karya dalam waktu dua minggu." Cerocos Doyoung. Bukannya dia belum pernah mendengar cerita ini, tapi melihat langsung ekspresi kesal kekasihnya saat bercerita menghibur Johnny.

Suara bel mereka berbunyi tiba-tiba dan Doyoung berdecak. "Sepertinya itu makanan. Kau selesaikan sendiri dan cepat keluar. Awas kalau sampai belum kering."

"Iya sayangku," jawab Johnny singkat. Dia senang dicereweti seperti ini. Justru hal yang paling dia rindukan disana adalah suara Doyoung yang menyuruhnya melakukan ini itu dalam satu waktu, lengkap dengan ekspresinya. Pacar kurusnya itu menghilang ke luar kamar, dan senyum terkembang di bibir Johnny.

Butuh waktu kurang lebih lima menit lagi bagi Johnny untuk mengeringkan rambutnya. Dia tidak tahu apakah itu sudah benar-benar kering, tapi Johnny terlalu lapar untuk peduli. Kalau Doyoung nanti mengomelinya, biar sajalah. Dia juga merindukan omelan pacarnya itu. Menyisir rambut coklatnya sekali lagi, Johnny keluar kamar dan menemukan Doyoung mengunyah acar lobak seperti kelinci. Menggemaskan.

"Aaaa," Johnny muncul di depan Doyoung, minta disuapi. Pemuda kurus itu sedikit kaget, namun membuka bungkus dumpling dan menyuapkannya ke Johnny. Matanya melirik tajam rambut Johnny, lalu menyentuhnya.

"Tuh kan, belum kering."

"Hehe, lapar," jawab Johnny dengan mulut penuh. Doyoung berdecak, membuka penutup jjamjamyeon, yaitu satu mangkuk yang berisi jjampong dan jajangmyeon sekaligus. Doyoung tidak terlalu lapar, jadi dia hanya pesan satu.

Mereka makan dengan tenang, dan Doyoung lebih banyak memperhatikan Johnny makan daripada dia sendiri yang makan. Pacarnya itu mungkin benar-benar lapar. Porsi jjamjamyeon yang tidak sedikit itu habis dilahapnya tanpa menghabiskan banyak waktu. Doyoung tertawa kecil, mengambil tisu untuk membersihkan ujung bibir Johnny yang belepotan. Harusnya dia ilfeel, tapi baginya, Johnny malah terlihat seperti anak kecil.

"Enak sekali, ini langganan kita yang dulu?" tanya Johnny, mencondongkan tubuhnya agar Doyoung lebih leluasa membersihkan mulutnya. Doyoung menggumam, menaruh tisu itu ke tangan Johnny sebelum beranjak untuk mengambilkan minum. Semua aksi itu, jangan tanya Doyoung kenapa dia melakukannya. Dia hanya melakukannya tanpa banyak berpikir, sampai pernah dikira kalau Johnny menyuruhnya.

"Kau itu pacarnya apa pembantunya?!" tanya Ten dulu. Doyoung hanya akan menjawab dengan bercanda, kalau dia istri Johnny. Ah, sekarang juga dia merasa begitu. Johnny mengucapkan terimakasih saat segelas air putih disodorkan padanya.

"Jadi belanja?" tanya Johnny, membereskan bekas makannya sendiri. Dia juga tahu diri kok.

"Jadi, kecuali kau mau makanan delivery terus selama disini."

"Tidak, aku rindu masakanmu. Ayo pergi."

Doyoung diam, berdiri kaku di depan pintu dapur. Dia berdeham, "Johnny hyung.."

"Iya, sayang?" Johnny berjalan menghampiri Doyoung, tubuhnya menutupi tubuh kecil kekasihnya itu. Padahal Doyoung tidak bisa dibilang pendek, tapi saat berhadapan dengannya, Doyoung jadi seperti kelinci kecil.

Doyoung mendongak, lalu menunjukkan senyum tercerahnya yang sangat, sangat Johnny rindukan. Senyum itu mampu menghangatkan hatinya di hari yang dingin ini. Tangan kurusnya melingkari pinggang Johnny, kemudian dia menyandarkan kepalanya ke dada bidang pemuda yang lebih tua.

"Aku merindukanmu."

Johnny tersenyum, balas memeluk Doyoung dan menaruh dagunya di puncak kepala pemuda itu. "Aku lebih merindukanmu."

Yang lebih muda tidak menjawab lagi, tenggelam dalam hangatnya pelukan Johnny dan detak jantungnya yang menenangkan. Mendengarnya membuat Doyoung lega, karena Johnny disini. Sunyinya apartemen ini yang biasanya Doyoung benci, kali ini dia cintai karena tangan kuat yang melingkari pinggangnya nyata.

"Tapi aku tetap membencimu karena membuatku menunggu satu jam di bandara tadi." Ujar Doyoung melepaskan pelukannya, menatap Johnny langsung. Pemuda asal Chicago itu tertawa, "Aku juga mencintaimu."

"Akhirnya aku bertemu Johnny Seo, kekasihku yang tampan." Doyoung mengalihkan pembicaraan, menyisiri surai coklat Johnny yang sudah benar-benar kering dengan jarinya. Johnny menggumam, memejamkan matanya karena menikmati sentuhan itu.

"Sudah tidak dekil lagi, ya."

"Hmm."

Johnny tertawa atas jawaban pendek itu. Bahagia sekali rasanya, berada di 'rumah'. Meski tanpa orangtua dan disini bukan rumah dimana dia dibesarkan, tapi disinilah hatinya berada. Di seorang pemuda kurus yang mirip kelinci, yang setia menunggunya setiap libur. Doyoung mencium pipinya sekilas sebelum pergi mengambil coat untuk keluar. Johnny berterimakasih saat Doyoung membawakan coatnya dan membantunya memakaikannya. Hati Johnny menghangat, karena meski dia tahu Doyoung aslinya begitu perhatian, semua perhatian yang dia dapatkan kini berbeda dengan dulu. Rasanya seperti memiliki seorang istri.

"Sayang,"

"Hmm?" Doyoung menoleh ke belakang, dia sudah siap di depan pintu, mendapati Johnny melingkarkan sebuah syal di lehernya lalu menariknya pelan untuk menciumnya.

"Terimakasih banyak."

Johnny tersenyum puas mendapati pipi Doyoung bersemu merah. Dia berterimakasih untuk semua perhatian yang sudah kekasihnya itu berikan padanya, yang hanya bisa dia rasakan setiap liburan. Betapapun dia merasa belum terbiasa dan jantungnya berdegup kencang setiap Doyoung melakukannya, dia tidak bisa tidak menantikannya di liburan selanjutnya. Karena beginilah setiap liburannya berjalan.

"Bodoh. Ayo cepat pergi." Rutuk Doyoung pelan setelah beberapa saat blank. Dia membuka pintu dan pergi lebih dulu, disusul Johnny tak lama kemudian.

Tangan Doyoung diraih Johnny untuk digenggam, dan perasaan lega meliputi hati keduanya.

END

Apa mau TBC .-.

Maafkan ff abal dan tidak bermutu ini. Dan terimakasih sudah mau membuang waktu anda untuk membacanya.

p.s utangku lunas ya jod. /evil laugh/