Peristiwa semalam, bagi Jaemin tak pernah terjadi. Dia menggendong Nono dalam dekapannya dengan senyum mengembang seperti biasa. Saat bangun tadi pagi, dia menemukan Mark sudah bangun, tengah menyeduh kopinya sambil menatap dirinya ketakutan.

"Kenapa sih?" tanya Jaemin saat menemukan sahabatnya seakan sedang dihantui.

"Maaf ya yang semalam..."

"Lupakan saja. Semalam tidak ada apapun." Jaemin menghampiri Mark untuk 'menyisir' rambut laki-laki yang menutup matanya ke samping. "Aku kembali ke kamar Jeno yah. Kasihan semalaman kutinggal."

Mark tak bisa mengatakan tidak. Tanpa diperintah kepalanya mengangguk kecil.

Jaemin pergi dengan membawa Nono. Sepeninggal pemuda itu, Mark merapihkan barang-barangnya yang tak banyak. Liburan mereka belum berakhir. Cerita ini harus tetap berlanjut walau kejutan-kejutan kecil tak berhenti datang. Malah, dia merasa harus menyiapkan diri untuk menghadapi kejutan-kejutan itu. Agar arus tidak mempermainkannya, dan tak menghanyutkannya.

.

Kamar itu kosong. Jaemin berasumsi demikian karena Jeno tak kunjung membukakan pintu untuknya. Atau mungkin memang laki-laki itu tak mau menemuinya. Tapi tidak mungkin laki-laki dewasa sepertinya bertingkah kekanakan begitu. Lagi pula, barang-barangnya masih di dalam. Masa' iya dia didepak keluar dari kamarnya begitu saja.

Jaemin memutuskan untuk menunggu Jeno di luar kamar. Mungkin, beberapa saat lagi dia akan keluar. Tetapi perkiraannya terbantahkan oleh kehadiran sosok yang seharusnya ada di dalam kamar itu, kini berjalan ke arahnya dari lift.

"Kau sudah kembali." Ucap Jeno. Dia membuka kunci kamarnya.

"Dari mana? Masih pagi sudah keluar." Jaemin ikut masuk ke dalam kamar. Kondisinya tak berubah dari semalam. Tempat tidur masih berantakan, selimut tergeletak di lantai.

"Cari udara segar. Jam berapa kita berangkat hari ini?"

"Sekitar sejam lagi? Kita akan cari sarapan diluar." Jawab Jaemin sambil mencoba merapikan ruangan itu. Kekacauan yang tertinggal terus membuat ingatan Jaemin berlarian ke saat dimana Jeno berubah menjadi seseorang yang tidak dia kenal. Sosoknya yang demikian dominan dan berani cukup membuat kaki ramping Jaemin terasa lemas.

Jeno memperhatikan Jaemin yang membelakanginya. Punggung itu nampak kecil, meski sebenarnya cukup kekar untuk ukuran laki-laki. Di sana dia lebih banyak menenggelamkan pelukan. Entahlah, selama ini dia merasa memeluk Jaemin dari belakang membantunya untuk mengontrol diri. Dia tak harus melihat wajah cantik Jaemin, tak harus melihat bibir ranumnya yang kadang mirip kismis kering –benar-benar kering dan terkadang luka-, juga tak harus melihat kebingungan dan keraguan dari sepasang manik matanya yang cerah.

Namun, kali ini ada dorongan aneh di dadanya yang membuat Jeno ingin sekali memeluk punggung Jaemin. Bukan sebagai bentuk dari kontrol dirinya. Tapi sebagai pelampiasan akan cintanya yang selama ini tak berbalas. Seperti Jaemin yang memang sangat cocok memunggunginya.

Sepasangan tangan kekar Jeno lalu melingkar di pinggang Jaemin semenit kemudian. Namja yang dipeluk kini menegang. Biasanya Jaemin akan membalas pelukan Jeno dengan menyandarkan punggungnya ke belakang, tetapi sekarang dia seakan bersiap menghadapi ancaman.

Tak ada yang membuka mulut untuk beberapa saat. Membiarkan keheningan melahap isi pikiran mereka yang berkecambuk.

"Jeno, kenapa kau melakukan semua ini?"

Jeno tak membalas. Dieratkannya pelukan mereka. Dia lantas menyembunyikan wajahnya di tengkuk Jaemin. Menghembuskan napas hangatnya ke sana hingga Jaemin menggigil.

"Jeno!"

"Diamlah..." Suara Jeno terdengar lemah.

Jaemin menggigit bibir bawahnya. Dia sangat tidak nyaman dengan keadaan mereka sekarang. Dengan pelukan mereka, dengan napas Jeno yang menyentuh tengkuknya, dan dengan jantungnya yang berdebar cepat sekali.

"Jeno... Kau tidak tebawa oleh sandiwara ini 'kan?"

Tak ada balasan dari laki-laki di belakangnya. Tangannya yang memeluk erat perlahan mulai melepaskan kehangatannya.

Jaemin tanpa komando langsung berbalik untuk melihat bagaimana Jeno merespon pertanyaannya. Dan dia menemukan kekasihnya tersenyum lemah tanpa berusaha menatapnya tepat di mata.

Kenapa? Lihat aku, Jeno-ya. Katakan tidak. Katakan kau masih melihatku seperti saat pertama kita melakukan semua sandiwara ini.

Jeno melihat penyesalan seklebat dari raut wajah Jaemin. Namun, itu tidak membuat hatinya merasa lebih baik.

.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat di utara Kanada. Perjalanannya sangat jauh. Mark bilang bisa memakan waktu satu setengah hari. Disamping mengatakan kabar buruk yang sempat membuat Jaemin ingin menyerah dan pulang ke Vancouver saja, Mark juga menjanjikan hal baru yang mereka semua lihat begitu sampai di sana. Sedikit banyak, memberikan Jaemin harapan.

Siang hari, giliran Jeno bertugas menyetir sementara Jaemin duduk di sebelahnya. Seharusnya tugas lelaki manis itu adalah mengajak Jeno bicara agar sang supir tak mengantuk. Tapi kenyataannya dia mengunci mulut dengan sangat baik. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya sejak tiga jam yang lalu.

"Sudah berapa kali kau ke tempat ini Mark?" tanya Jeno untuk menghentikan ketidaknyamanan di mobil itu.

"Beberapa kali untuk pengambilan gambar."

"Oh! Sepertinya tempat ini sangat bagus sampai digunakan untuk syuting film."

"Begitulah. Lagi pula ini bulan September. Kalian akan melihat keajaiban disana."

Jeno melihat Jaemin dari ujung matanya untuk melihat apakah laki-laki itu tertarik dalam pembicaraan ini. Jaemin tengah melihat ke belakang untuk memperhatikan Mark yang baru saja menceritakan tempat tujuan mereka. Dia tertarik. Ada perasaan tidak rela yang merambati hatinya ketika melihat sinar mata Jaemin ketika melihat Mark. Ah tidak. Perasaan itu seperti menetap permanen dalam dirinya sejak dulu. Sejak hubungan membingungkan ini dimulai.

Menjelang malam, mereka memutuskan untuk beristirahat di daerah Sikanni River. Daerah perkemahan yang menawarkan pemandangan alam yang indah itu dipenuhi oleh pengunjung. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga, tetapi ada juga yang anak-anak muda yang sekiranya tengah mengadakan bounding.

RV ketiga pemeran utama dalam cerita ini mengambil tempat sedikit menjauh dari keramaian. Ketiganya membuat api unggun kecil di sebelah mobil serta mendirikan kursi kecil masing-masing. Jaemin yang seakan telah memperkirakan acara kecil ini, segera mengeluarkan botol-botol soda dan keripik kentang sebagai teman bicara. Tak lupa marshmello yang siap dibakar di atas api.

"Tidak juga. Semua serba mudah di Canada."

Seorang yang paling asing dengan negara pohon maple itu bertanya macam-macam pada Mark. Jeno seperti seseorang yang berniat untuk pindah ke sana dan mencari informasi banyak-banyak dari si penduduk asli. Sementara membiarkan keduanya menikmari pembicaraan santai, Jaemin sibuk memberi makan Nono yang sedari tadi berlari tak tentu arah. Anjing kecil itu sepertinya menyukai kebebasannya setelah berjam-jam di dalam mobil. Tanpa sadar dia telah berada cukup jauh dari mobil mereka. Tak cukup dekat untuk mendengar pembicaraan Jeno dan Mark tentang bagaimana Kanada mengurus para imigrannya.

"Tertarik untuk tinggal disini?" tanya Mark sembari menyerap botol soda pertamanya yang isinya nyaris habis.

"Masih belum tahu. Pekerjaanku di Korea sangat bagus, tapi kalau Jaemin lebih suka tinggal disini, aku bisa apa?"

Mark mengernyitkan dahinya. Ia menatap Jeno yang menatap Jaemin jauh di sana. Sedikit dekat dengan sungai yang mengalir tenang.

"Kenapa tiba-tiba membicarakan Jaemin?"

"Tentu karena pasangan yang sudah menikah sebisa mungkin tinggal bersama."

Otak Mark serasa kosong tiba-tiba. Dia blank. Dia bingung. Namun mengerti sepenuhnya. Ditatapnya Jeno dengan intens.

"Aku akan melamarnya. Tidak tahan aku harus berbagi Jaemin denganmu."

Jawaban Jeno membuat mata Mark melebar. Jadi begitu penilaian Jeno terhadap hubungannya dan Jaemin selama ini? Ia dianggap sebagai sebuah ancaman. Seakan-akan peran yang dia mainkan dalam cerita percintaan Jeno dan Jaemin adalah seorang antagonis. Giginya bergemeletak menahan kesal.

"Demi Tuhan! Kau ingin menikahinya hanya karena cemburu buta!?"

Jeno melayangkan tatapan marahnya. Mampu membuat Mark bergidik ngeri oleh aura dominasi yang temannya itu berikan.

"Cemburu buta? Hah! Yang benar saja." Jeno memijit pelipisnya yang pening seketika. Pembicaraan ini sudah dia duga akan sampai di titik emosi yang sebegini dalam. Jadi rasa pening itu tak dihiraukannya. "Aku tidak buta! Kau suka padanya! Beraninya kau lancang menyukai kekasihku yang dulu kau sia-siakan itu."

"Jangan-"

"Aku harap kau tidak merusak rencanaku, Mark."

.

Keputusan final dan ancaman halus Jeno membuat Mark terjaga. Ia duduk di luar mobil van ditemani api unggun yang nyaris padam. Sementara itu Jaemin dan Jeno telah beristirahat di dalam sana. Menikmati kehangatan, yang mungkin mereka bagi satu sama lain. Mata bulat laki-laki itu kosong menatap bara yang perlahan melahap kayu, membuatnya jadi abu dan membiarkannya jatuh.

Helaan napasnya meninggalkan uap air mengapung di udara. Belasan kali sudah dia lakukan. Begitupun pikirannya, mengambang di awang-awang.

Mark Pov.

Lamaran...

Pernikahan...

Sebuah janji...!

Apa yang selama ini sudah aku lakukan? Sementara Jeno mempersiapkan kehidupan yang layak untuk masa depannya, aku disini masih terombang-ambing dalam pencarian jati diri. Dia yang bahkan sudah berpikir ingin menikahi kekasihnya, meninggalkan aku yang hanya bisa mencintai kekasihnya itu diam-diam. Tak berpikir untuk mengikatnya, tapi tak juga berniat untuk melepaskan.

Jaemin...

Aku tersenyum kecil kala mengingat namanya. Orang yang tanpa sadar selalu aku sayangi itu kini tinggal menunggu waktu untuk disayangi oleh orang lain. Menjadi milik orang lain.

Meski dia pernah berkata tidak ingin menikah, tapi siapa yang bisa menolak seorang Lee Jeno? Kekasihnya yang mapan, dan mencintainya selama bertahun-tahun. Manusia mana yang tidak luluh pada laki-laki itu? Rasanya tidak mungkin Jaemin menolak.

Aku memutuskan untuk masuk ke dalam mobil saat api unggun telah sepenuhnya padam dan angin musim gugur bertubi-tubi datang. Sebisa mungkin aku tak menimbulkan suara.

Di dalam sana, pemandangan tidak biasa aku dapatkan. Jeno tertidur di sofa sementara Jaemin tidur bersama anak anjingnya di tempat tidur yang berada di atas kursi kemudi.

Kenapa mereka tidur terpisah? Padahal tempat tidur itu sangat cukup untuk menampung Jeno pula.

"Mark..."

Panggilan lirih itu mengalihkan perhatianku dari udara kosong. Aku tersenyum simpul sembari berjalan mendekati Jaemin yang terbangun. Dia mengucek matanya dengan cara yang lucu sehingga aku tidak bisa menahan tanganku untuk tidak mengusak rambut berantakannya.

"Tidurlah lagi Jaemin."

"Kau mau tidur dimana? Jeno tiba-tiba saja tidur di sofa itu. Aku tidak tega membangunkannya dan menyuruhnya pindah."

"Aku akan tidur di kursi kemudi. Tidak masalah. Tidurlah lagi. Perjalanan kita masih panjang untuk besok."

Dia mengangguk pelan sebelum akhirnya kembali berbaring.

Aku pun tidak menyianyiakan waktu sedikitpun untuk mengistirahatkan tubuhku. Setelah mengatur kursi kemudi agar lebih nyaman menjadi tempat tidur, aku langsung merebahkan diriku di sana dan tertidur beberapa saat kemudian.

.

Jaemin POV.

Jilatan Nono di wajahku membuatku terbangun. Dari celah tirai jendela, berkas-berkas cahaya menyusup nakal ke dalam mobil. Di sofa, Jeno masih tertidur lelap begitu pula Mark di kursi kemudi. Aku turun dari tempat tidur bersama Nono lalu memutuskan untuk memasak air dan membuat teh hangat untuk kami semua.

"Makananmu sayang." Ucapku sembari memberikan si anjing kecil sarapan.

"Membuat sesuatu?"

Aku menoleh ke belakang dan mendapati Jeno sudah terbangun. "Membuat teh." Jawabku.

Kuambil tiga cangkir besar dalam kabinet. Ketika aku sedang menuangkan air panas ke gelas kedua, sepasang lengan kokoh merengkuh perutku dari belakang. Punggungku menghangat seketika.

"Selamat pagi." Jeno membisikkan kata itu di telingaku. Membuatku mau tak mau merasakan aliran darah yang berdesir cepat di nadiku. Namun kewarasan masih mengontrolku secara penuh. Jadi setelah selesai membuat teh untuk kami bertiga, aku berontak. Memintanya untuk melepaskan pelukannya itu.

"Ada Mark disini."

"Memang kenapa? Dia juga tau kita pacaran. Apa salahnya?"

Apa salahnya? Kutatap Jeno dengan pandangan horor. Tentu saja salah! Aku mencintai laki-laki itu dan kau sedang berusaha membuatku terlihat seperti aku adalah milikmu. Tingkahmu itu membuatku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan Mark di sisiku!

Jika saja mulutku bisa terbuka dan menyampaikan kalimat menyakitkan itu, sudah pasti sinar mata Jeno sekarang akan meredup seketika.

Kenapa?

Apa yang salah pada laki-laki yang berstatus sebagai kekasihku ini? Mengapa dia sangat berubah?

Kemana sifat tak acuhnya? Kemana perginya hubungan kami yang menyenangkan? Yang kulihat dari matanya hanya dominasi. Keinginan untuk memiliki.

"Pagi..." sapaan Mark membuatku melepaskan paksa pelukan Jeno. Aku mencoba untuk tidak peduli bagimana raut wajahnya sekarang dan menyibukkan diri dengan menyajikan teh ke atas meja.

"Pagi, Mark. Ayo minum teh bersama."

.

Author POV.

Mereka sampai di tempat tujuan ketika hari beranjak sore. Pemandangan danau yang luas dan pegunungan hijau yang mengelilinya membuat dua pasang mata yang baru pertama kali ke tempat itu melebar.

"HOOAH!" Jaemin berteriak seperti melepaskan segala bebannya. Dia menghirup udara bersih di sana dalam-dalam.

"Muncho Lake. Kita akan camping di sini semalaman sebelum pulang besok. Jadi, nikmatilah..." ucap Mark. Dia mengambil perlengkapan memancingnya di bagasi. Dia berjalan santai melewati dua anak manusia yang masih sibuk mengagumi alam ke arah danau. Melempar mata pancingnya jauh ke depan.

"Memang ada ikannya?" Jaemin berjongkok di sebelah Mark sambil menggendong Nono.

"Tentu saja. Nanti kita makan sama-sama. Kalau dapat."

Jaemin melihat sekeliling. Dia bisa menyimpulkan bahwa tempat ini tergolong ramai meski jauh dari kebisingan kota. "Kenapa banyak orang datang kesini?"

"Northern light..." Sebelum Mark sempat menjawab, Jeno datang. Dia menunjukkan gambar dari ponselnya yang memperlihatkan fenomena langit warna-warni itu. "Akan ada aurora di sini pada bulan-bulan tertentu. Termasuk sekarang. Jadi ini yang ingin kau tunjukkan Mark?"

Mark mengendikkan bahu seakan tidak mau mengiyakan tebakan tepat Jeno.

"Itu bagus! Wah, kita akan melihat hal itu? Disini!? Pasti keren kalau melihatnya secara langsung. Mark! Terima kasih!" Jaemin memeluk sahabatnya erat.

Jeno melihat semua itu dengan tatapan terluka. Tentu saja.

.

Mark berjalan-jalan di tengah malam bersama Nono yang berlari riang di belakangnya. Melewati batu-batu yang sedikit terjal menuju bukit terdekat dengan daerah camp mereka, Mark sesekali menengok ke belakang untuk memastikan apakah Nono masih ada di sana. Laki-laki itu tersenyum kala mendapati si anak anjing kesulitan berjalan. Ia ingin membantu, tapi ketakutannya pada hewan berbulu itu masih belum sepenuhnya hilang.

Mark jadi menyadari bahwa beberapa hari ini dia menjadi semakin dekat dengan si anak anjing. Meski mereka tidak menjadi dekat karena Mark benar-benar menginginkannya, melainkan karena dia tak punya pilihan. Namun Mark mengakui bahwa ketakutannya pada anjing, atau mungkin secara spesifik Nono, hampir tidak ada. Dia mendekati Nono yang masih kesulitan berjalan, sambil mengumpulkan keberanian, Mark mengangkat Nono lalu mendekapnya.

"Tidak ada yang menyuruhmu mengikuti, anjing nakal." Nono seakan mengerti apa yang diucapkan tuannya menjadi sedih. Dia mengerang seperti bayi yang menangis dan membuat Mark semakin gemas padanya. "Ayo, jalan-jalan sebentar."

Semakin malam, aurora yang nampak di langit semakin jelas. Warna hijaunya membuat siapapun orang yang melihat pasti merasa damai. Begitu pula Mark. Sejenak, dia melupakan kegalauan hatinya, serta masalah-masalah hidupnya yang hingga sampai saat ini belum menemukan titik terang.

"Nono, sepertinya tuanmu akan meninggalkan kita." Celetuk Mark ketika dia merasa kakinya mulai terasa lelah berjalan. Dia berdiri di tepi danau sambil menikmati warna hijau aurora di atas hamparan air itu. "Dia akan segera menikah dengan Jeno. Oh iya! Jeno itu pacarnya sejak em... sembilan tahun? Aku tidak yakin..."

Sebut saja dia gila karena bicara sendiri. Namun meski seseorang berteriak padanya sekarang dan menyebutnya gila, Mark sedang dalam mode tidak peduli.

"Kalau dia benar-benar pergi, kau- akan tetap menemaniku kan?"

Tentu saja kalimatnya itu tidak Mark ucapkan dengan sungguh-sungguh. Siapa juga yang mengharapkan hewan berbulu itu menetap terus di rumahnya dan buang air sembarangan dimana-mana?

"Seandainya kau bisa bicara, aku akan menyuruhmu mengatakan pada tuanmu itu kalau aku sangat menyayanginya." Sebuah kekehan kecil lolos dari bibirnya. "Padahal dulu aku orang yang paling jago berterus terang. Bahkan perkataanku kadang tanpa saringan. Tapi sekarang kenapa jadi pengecut begini ya? Aku tidak berani mengatakan apa-apa."

Dia berdiri disana hingga nyaris fajar. Saat itu, langit dalam puncak kelamnya. Waktu terbaik untuk melihat aurora hijau yang kini menari-nari semakin indah. Maka Mark memutuskan untuk kembali ke mobil lalu membangunkan Jaemin dan Jeno agar mereka tidak ketinggalan moment indah itu.

Namun langkah kakinya terhenti saat hampir mencapai mobil. Dia melihat Jaemin dan Jeno duduk di tepi danau berdua, dan samar-samar ia melihat Jeno seperti tengah memperlihatkan kotak beludru berisi sebuah cincin pada Jaemin. Ah! Jeno bukan hanya memperlihatkannya.

Mata Jaemin membelalak lebar, dan Mark mengambil napas seperti beban berat baru saja jatuh ke dadanya. Kakinya bergetar, berontak untuk berlari maju lalu menarik tangan Jaemin menjauh dari sosok Jeno. Tapi ternyata dia malah melangkah mundur. Berbalik arah kembali ke hutan-hutan.

"Kita tidak boleh mengganggunya, Nono."

.

Jaemin Pov.

Sudah dua minggu setelah liburan singkatku berakhir. Jeno telah kembali ke Korea, Mark kembali menyibukkan matanya dengan layar laptop untuk bermain saham, dan Nono sudah bisa buang air besar di tempatnya. Aku sendiri kembali melebur dengan segala urusan spesialisku, psikiatri. Baru saja dimulai, tetapi padatnya sudah luar biasa. Namun, aku sudah terbiasa. Selalu seperti ini setiap awal semester. Terlepas dari segalanya yang berjalan seperti biasa, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah cincin yang melingkar di jari manisku.

Kutatap dalam-dalam cincin itu. Apa ini? benda macam apa ini hingga dia bisa membuat jantungku berdebar cepat? Apakah dia punya kekuatan sihir? Apa karena alasan itu, laki-laki memberikan cincin pada pasangannya jika mereka berniat untuk melanjutkan hubungan mereka ke arah yang lebih serius? Agar pasangannya selalu berdebar dan mengingatnya.

Mark tidak menanyakan apapun tentang keberadaan benda baru yang tersemat di jari manisku itu. Dia benar-benar diam seakan tak penah melihatnya. Padahal aku sangat yakin dia sering mencuri pandang saat kami sedang makan malam.

Suara klakson mobil membuatku terlonjak sejenak. Aku melihat ke arah jalanan dan menemukan Mark di dalam mobil bersama Nono untuk menjemputku.

"Bagaimana harimu?" Tanya Mark saat aku masuk ke dalam mobil.

"Baik. Kau?"

"Lumayan. Aku dapat tawaran pekerjaan sebagai asisten sutradara lagi. Kali ini film besar."

Mark tidak bisa menyembunyikan senyumannya saat mengatakan hal itu.

"Benarkah!? Selamat Mark!"

Tanpa peduli dia sedang mengemudi, aku memeluknya dengan erat. Apapun jalan yang dia ambil, aku bersumpah akan selalu mendukungnya. Sekalipun itu sering kali membuatnya terlihat sedih dan lelah, tetapi saat aku tau memang ini yang dia inginkan, aku akan jadi orang pertama yang akan mendorongnya maju.

"Ayo makan enak! Daging sapi. On me!"

"Tidak! Kan aku yang dapat pekerjaan. Aku yang traktir! Ayo cari restoran yang memperbolehkan anjing masuk."

Tapi mencari restoran yang memperbolehkan membawa binatang peliharaan itu sulit. Lagi pula memang kami yang salah. Mana ada orang makan diluar membawa hewan peliharaan? Tapi Nono bukan sekedar peliharaan! Dia bagian dari keluarga kecil kami.

Akhirnya kami berhenti di sebuah restoran keluarga yang menyediakan burger besar di pinggir kota. Kami mengambil tempat di dekat jendela karena memang malam itu, tak terlalu ramai pengunjung jadi kami bisa memilih tempat.

"Aku akan membelikanku laptop game kalau film kali ini sukses. Kau harus bersemangat, Mark!"

"Cih, kau ini belum punya pekerjaan tetap. Tidak usah menjanjikan yang aneh-aneh."

"Kau tidak ingat uang yang kudapat dari perpustakaan!?"

Dengan itu, dia terdiam. Aku bersorak menang dalam hati.

Pesanan kami datang bertepatan dengan perutku yang berbunyi minta diisi. Jadi aku segera mengambil garpu dan pisau lalu memakan burgerku. Sesekali aku menyuapkan patty ke Nono yang merengek.

"Na," panggil Mark. Kini aku sadar dia belum menyentuh makanannya.

"Ya?" jawabku sembari berhenti makan. Mark terlihat ingin menyampaikan sesuatu yang penting, karena itulah-

"Apa kau tidak merasa risih makan dengan cincin yang terpasang seperti itu?"

Jika saja dia tidak menatapku demikian, aku pasti sudah tergelak. Namun Mark tidak benar-benar ingin mengatakan itu.

Aku meletakkan pisau dan garpu lalu melepas cincin pemberian Jeno. Kusimpan cincin itu elok-elok di dalam tas.

"Tentu, aku terganggu."

Mark ingin aku melepasnya.

.

Aku menyentuh cincin pemberian Jeno yang kembali terpasang di jari manisku. Begitu makan malam selesai, Mark menyuruhku untuk menggunakannya lagi. Malam ini aku rasa dia bertingkah aneh. Contohnya ketika dia dengan sengaja memeluk erat pinggangku dari belakang saat aku sedang menggosok gigi. Berkali-kali aku bertanya padanya, apa dia baik-baik saja? Namun dia tidak memikirkan pertanyaanku dan sibuk melanjutkan apa yang sedang dia lakukan saat itu.

Merasakan hembusan napas tak teratur di tengkukku, aku membalik badan. Menghadap Mark yang sepertiya sedang berusaha untuk terlelap.

"Sulit tidur?" tanyaku.

Dia mengangguk lemah sambil menyamankan tidurnya lagi. Kali ini terlentang menghadap plafon. Aku menepuk-nepuk tangannya. Berharap Mark merasa lebih nyaman dan tertidur. Beberapa saat kemudian, dia malah membuka mata. Menatapku setelah itu berkata, "Tepukanmu tidak enak. Cincinnya mengganggu."

"Kau ingin aku melepaskannya lagi?" tanyaku tanpa berpikir.

"Selamanya. Bisa?"

Aku tak langsung menjawab pertanyaan retoris itu. Hanya senyuman kecut yang entah kenapa muncul di wajahku. Bahkan aku tidak menyadarinya! Tidak sebelum Mark mengomentarinya.

"Tidak. Jangan tersenyum seperti itu. Jawab aku."

"What do you want, Mark? What do you want me to do?"

Sedetik kemudian, Mark langsung mengalihkan pandangan matanya ke langit-langit. Dia menggigit bibirnya kecil-kecil dan terus dilakukannya sampai beberapa menit lewat begitu saja. Disaat itu, apa yang aku lakukan hanyalah diam menatapinya lekat-lekat. Banyak hal bisa aku baca lewat bahasa tubuh Mark, tapi tidak untuk hal ini. Tentang hatinya dan keinginannya yang sering kali berubah-ubah. Aku tahu, dalam dirinya terjadi perang batin. Entah kenapa ia selalu kebingungan sendiri saat membuat keputusan dan aku tidak bisa menghentikan itu.

"Listen! Kau tidak paham pada keinginanmu sendiri. Apa lagi aku? Katakan dengan jelas, sekali saja tentang keinginanmu. Aku bukan peramal, Mark!"

"Aku ingin kau melakukan sesuatu, tapi kau tidak akan lakukan."

"Bagaimana kau bisa tahu? Kau tidak pernah mencoba mengungkapkannya!"

"Karena aku sudah tau jawabannya!"

Entah sejak kapan, mereka kini terduduk di tempat tidur. Menegangkan otot leher sembari berteriak satu sama lain. Panas, dingin, ketidaknyamanan itu muncul perlahan. Mencari waktu yang tepat untukk sampai di puncak.

"Kau tidak tahu segalanya tentangku! Bahkan tidak tahu apapun! Kau tau kenapa? Kau tau kenapa sayangku? Karena kau PENGECUT!"

Jaemin beranjak dari tempat tidur. Dengan tergesa ia berlari keluar apartemen setelah mengambil ponsel dan dompetnya. Laki-laki yang ditinggal itu kini terduduk di kasur. Memainkan ingatannya.

Langkahnya membawa Jaemin keluar dari gedung apartemen. Disaat itulah tangisnya pecah. Ia teringat Jeno malam itu. Yang menawarkannya sebuah kehidupan baru, tanpa Mark, hanya mereka berdua.

"Aku ingin menikahimu." Jeno membuka kotak beludru di tangannya, menampilkan cincin emas putih dengan setitik berlian di atasnya. Cantik, tapi tidak membuat Jaemin terkesima sama sekali. Ia malah menatap Jeno kaget sekaligus bingung.

"Jeno, kau tidak serius kan?" tentu saja! Kenapa laki-laki yang menjalani kehidupan palsu dengannya itu kini menawarkan suatu janji yang tidak main-main? Pernikahan? Wah... bahkan Jaemin tidak pernah berpikir akan menikahi siapapun setelah Mark berubah menjadi pengecut yang tidak berani mengungkapkan perasaannya. "Aku tidak bisa. Kau tahu aku masih menyukai Mark, jadi kenapa kau bertindak sejauh ini?"

"Apa kurang jelas, Jaem? Sembilan tahun aku di sampingmu. Kita berdua selalu bersama-sama saat Mark bahkan tidak ada untukmu. Aku ingin hidup bersamamu," Jeno menyelipkan poni Jaemin ke kebelakang telinganya. "Melihatmu rambutmu memutih," ibu jarinya bergerak mengusap pipi Jaemin yang kali ini mulai basah. "Melihat wajahmu mungkin tak akan secantik hari ini," Jeno menatap lekat kekasihnya yang bergetar. "Menikmati waktu kita berdua, menua bersama,"

Tangis Jaemin pecah seketika. Bodoh. Seharusnya dia tetap kuat pada pendiriannya. Seharusnya dia tidak gentar. Namun, Jeno- meluluhkan itu. Tidak pernah dalam hidupnya, Ia merasa begitu berharga, merasa begitu diinginkan.

"Hidupku terasa hangat karenamu Jaemin, dan karenanya aku ingin berterima kasih."

Jaemin terduduk di salah satu bangku taman. Angin dingin berhembus kencang dan dia hanya bisa merapatkan kedua tangannya ke badan.

Ketika itu, Jaemin tak menjawab apapun karena dia sibuk menangis. Ketika Jeno menyematkan cincin ke tangannya pun, ia diam. Tak menolak atau mengiyakan. Tapi sekarang dia punya jawaban.

Jaemin mendial nomor Jeno sembari mengatur napasnya yang berantakan. Ketika ia mendapatkan jawaban dari seberang sana,

"Aku mau menikah denganmu."

.

Mark tak bisa tidur setelah itu. Entah kemana Jaemin semalaman. Teleponnya tak satupun diangkat.

Suara pintu yang terbuka langsung membuat Mark bangkit dari sofa. Ia melihat Jaemin berdiri di dapur untuk minum. "Jaemin," Panggilnya.

Tak ada balasan. Jaemin tetap memunggunginya. Mengatur napas dan emosi.

Mark bergerak maju mendekati sahabatnya itu lalu melingkarkan tangannya di perut kecil Jaemin. Dipeluknya erat seakan takut kehilangan. "Jangan pergi seperti itu lagi. Aku khawatir."

Hening cukup lama. Sebelum akhirnya Jaemin menjawab dengan sebuah pertanyaan yang dia ucapkan dengan nada bergetar, "Kenapa?"

"Karena aku mencintaimu."

Terlambat.

.

.

TBC

.

Kenapa jadi sinetron? Kkk

Hope you like it ^^