Disclaimer: 17 © Pledis Entertainment
.
.
Unsolved Riddle
.
.
9
"Saat kau melihatku berbicara dengan Minghao dan Minkyung, apa yang sebenarnya kau rasakan?" Mingyu bertanya sabtu malam. Dia tahu Wonwoo tidak suka membicarakan ini dan kemungkinan besar dia akan menemukan cara untuk mengelak menjawabnya. Mingyu sendiri berusaha untuk berhenti terlalu memusingkannya. Tetapi semakin berusaha untuk tidak, semakin pertanyaan itu memenuhi kepalanya. Dia ingin tahu.
"Kau mau aku jawab apa?" balasan Wonwoo datang dalam bentuk pertanyaan.
"Kau tidak bisa terus seperti itu," erang Mingyu berusaha tidak menunjukkan kekesalannya. "Kalau aku bisa jawab sendiri, untuk apa bertanya?"
Seolah tak acuh Wonwoo hanya mengedik. Dia meraih remot untuk mengganti saluran TV. Memencet tombol yang sama berkali-kali, pada akhirnya Wonwoo berhenti di sebuah stasiun yang menampilkan acara komedi. Dia memusatkan perhatian ke televisi setelah itu. Tapi Mingyu tahu bukan itu yang betul-betul sedang dilakukannya. Wonwoo sedang menghindar.
"Apa kau betul-betul cemburu?"
"Hm?"
"Apa mereka membuatmu marah?"
"Mungkin."
"Apa kau kesal?"
"Bisa jadi."
"Apa kau mau aku diam?"
"Ya."
"Bagaimana kalau aku pergi?"
Wonwoo sedikit mengalihkan perhatiannya dari televisi sebentar. Dia memutar wajah ke arah Mingyu, satu alisnya terangkat dengan kesan mencemooh. "Pergi, secara harafiah keluar malam ini atau pergi meninggalkanku?"
Selama satu detik Mingyu berpikir untuk menjawab yang kedua, menguji jika itu mengenai insekuriti Wonwoo tapi dia memutuskan untuk tidak menyentuh bagian itu dulu. "Pergi keluar."
"Memangnya kau mau kemana malam-malam begini, anak cupu?"
Mingyu mendengus. Wonwoo betul-betul memandangnya sebelah mata. "Minkyung mengajakku ke klub."
"Jadi kau mau pergi ke klub dengannya?"
Mingyu mengangguk cepat, berkali-kali, dengan semangat yang berlebihan yang dibuat-buat.
"Boleh aku tahu kenapa Kim Mingyu, mahasiswa teladan, pembaca diktat kuliah di saat senggang, tiba-tiba ingin menghabiskan malam minggu di klub dengan perempuan cantik?"
Menurut Wonwoo, Minkyung cantik. Mingyu pasti sudah mencapai level paling bawah dari menyedihkan karena bahkan di saat seperti ini, yang dipikirkannya malah hal itu dan betapa tidak suka dia memikirkan kalau Wonwoo mungkin sudah pernah dengannya, dari kata-kata yang tertukar di dekat Mingyu belakangan, dia yakin tentu saja sudah.
Tidak mau kalah, Mingyu membalas. "Mungkin karena dia sangat cantik dan dia membuatku merasa diinginkan?"
Wonwoo memasang wajah yang terlihat jauh dari yakin. Sisa-sisa rasa cemburu yang dilihat Mingyu di pesta atau di starbucks beberapa waktu lalu sama sekali tidak ada di wajah Wonwoo. Dia terlihat sangat santai dan percaya diri. Bagaimana dia melakukan itu? Satu detik dia panas, detik berikutnya dia dingin. Satu detik dia terlihat seperti ingin menyimpan Mingyu untuk dirinya sendiri, detik berikutnya dia tidak peduli. Rasanya seperti Wonwoo mempunyai tombol daya yang bisa dengan bebas mematikan dan menghidupkan antara perasaan dan akal sehatnya.
"Menurutmu dia cantik hm?"
"Menurutku dia sangat cantik." Mingyu menekankan kata sangat. Dia sedang mencoba peruntungannya.
"Dan dia membuatmu merasa diinginkan."
"Ya."
Untuk sesaat mereka hanya saling memandang. Mingyu menunggu serangan pertanyaan Wonwoo berikutnya. Tapi yang lebih tua tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap Mingyu. Menatap. Menatap. Tidak ada kata yang keluar. Ini membuat Mingyu merasa sedikit canggung. Lalu sebelum Mingyu sempat menangkap tandanya, tiba-tiba saja udara di sekitarnya berubah. Rasa canggung di dekat nafasnya masih mengudara tapi dia melihat yang ada di sekitar Wonwoo sudah berubah.
Wonwoo masih belum bergerak dari posisinya. Masih belum mengatakan apa-apa. Matanya terpaku menatap ke satu arah, menantang mata Mingyu. Sebelum lama, dia memecahkan kontak mata itu. Memindahkan pandangannya sedikit ke bawah, ke hidung Mingyu. Lalu ke bawah lagi, bibir Mingyu. Dia berhenti cukup lama di sana. Mingyu mengerti apa yang sedang dilakukan Wonwoo, tapi dia tidak mengerti apa artinya ini. Setelah beberapa detik terlalu lama dirasa oleh Mingyu, Wonwoo membawa pandangannya hijrah lebih ke bawah lagi, dagu Mingyu, leher, jakun, tulang selangka, torso, perut yang rata tidak berotot karena Mingyu malas olahraga, lalu ke bawahnya. Mingyu tahu dia sengaja, tidak mungkin tidak. Wonwoo menghentikan padangannya di arah selangkangan Mingyu sedikit lebih lama lagi dibanding bagian-bagian lain tadi. Terlalu lama sampai Mingyu menjadi betul-betul tidak nyaman. Dia meraih bantal sofa untuk menutupinya.
Dia mendengar Wonwoo mendengus, dia mengangkat wajahnya untuk menyejajarkan pandang dengan Mingyu lagi. "Kenapa ditutup?"
Mingyu mencibir, "Memangnya kau ini apa? Orang mesum?"
Wonwoo mengedik. "Well, aku sedang melakukan inspeksi. Aku punya pengalaman dan aku tahu apa yang disukai wanita. Kurasa kau cukup memenuhi kualifikasi." Lalu dia kembali menghadap ke arah televisi, mengabaikan Mingyu seperti di awal tadi.
Jawaban ini membuat Mingyu menganga. Wonwoo betul-betul tahu caranya membuat Mingyu gila. Dia sangat mahir dalam permainan tarik ulur. "Kau mau aku pergi?"
"Kenapa jadi aku? Kau yang bilang mau pergi."
"Jadi kalau aku mau pergi, kau akan membiarkanku begitu saja?"
"Tentu saja."
"Tidak akan melarang?"
"Hm."
"Apa kau yakin?"
"Ya."
"Aku akan bersenang-senang di sana."
"Bagus."
"Akan ada sangat banyak perempuan dan laki-laki dan mereka semua menginginkanku."
Wonwoo tersenyum kecil. Mingyu kenal senyum itu, orang tuanya terkadang akan memasang senyum seperti itu ketika mereka merasa Mingyu sedang bicara omong kosong dan bersikap sok jago. Mingyu benci ketika mereka seperti itu, tertutama karena hampir setiap kali, mereka benar, Mingyu hanya sok jago dan dia tidak betul-betul bisa mengerjakan ancamannya.
"Rasanya sedikit berlebihan kalau kau bilang semua. Tapi yah, aku yakin tidak hanya satu orang yang akan mendekatimu."
"Dan kau sama sekali tidak akan keberatan?"
"Kenapa harus?"
"Karena..."
Mingyu tidak punya jawaban untuk ini. Selalu tidak punya. Sekali lagi teringat bahwa dia adalah Kim Mingyu dan di hadapannya adalah Jeon Wonwoo. Dia suka Wonwoo, bersedia melakukan apapun untuknya, termasuk bersabar dan tidak lelah menunggu sampai orang ini membalas perasaannya. Tapi Wonwoo kepadanya tidak seperti itu. Belum. Atau mungkin juga tidak akan pernah. Baik dia maupun Wonwoo sama-sama tidak tahu jawaban untuk itu. Hubungan mereka tidak pernah maju secara linear. Maju satu langkah, mundur lagi dua langkah dengan arah yang tidak menentu, maju lagi, mundur lagi, membentuk pola yang berliku-liku dan tidak beraturan. Wonwoo memimpin jalan, Mingyu secara buta mengikuti, sama sekali tidak ada ide kemana jalan ini akan menuntunnya atau jika ada akhir yang bahagia untuk semua orang. Tapi apapun itu, salah satu dari mereka akan bahagia dengan apapun akhirnya, hanya saja orang itu bukan Mingyu.
"Lihat?" suara Wonwoo membuyarkan lamunan Mingyu. "Kau bahkan tidak pernah bisa menjawab pertanyaan itu."
Sekali lagi Wonwoo membalikkan badannya sehingga mereka berhadapan. Dia menaikkan satu kakinya, menyandarkan lengannya di sofa. "Kau mau aku bilang apa?"
"Apanya?"
"Kau mau tahu aku cemburu atau tidak. Kau sudah punya jawaban untuk itu. Lalu apa lagi?"
Aku ingin tahu perasaanmu. Aku ingin kau merasakan yang kurasakan.
"Sudah kubilang aku payah dengan ini," kata Wonwoo lagi. Dia menggunakan satu tangannya untuk menyisir rambutnya ke belakang. Harus Mingyu akui itu sangat seksi. "Kalau kau mau pergi, pergi saja. Aku tidak akan melarang. Aku tidak berhak untuk itu. Kalau soal perasaanku, aku tidak suka kau pergi. Tapi meh, memangnya aku siapa?"
Mingyu ingat jelas saat di pesta Wonwoo adalah orang yang sama sekali berbeda dengan ini. Dia mengatakan dengan jelas kalau Mingyu miliknya.
Wonwoo tersenyum miring. "Lagipula, aku tahu kau sendiri tidak mau pergi. Jadi aku tidak membuang energiku."
Dia betul-betul pandai memainkan kartunya. "Kau mempermainkanku."
"Tidak, kau yang mencoba bermain, tapi aku tidak mau masuk perangkap."
"Aku hanya ingin tahu."
Mengabaikan balasan terakhir Mingyu, Wonwoo mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, "Jadi kau mau pergi atau tidak?"
Mingyu sudah pasrah bahwa dalam permainan ini, dia akan selalu kalah, menjawab dengan suka rela. "Tidak."
"Itu yang ingin kudengar."
Apa katanya? Mingyu benar-benar tidak percaya ini. Setelah pembicaraan yang berputar-putar, berbelit sedemikian rupa, dia menolak memuaskan ego Mingyu dengan mengakui bahwa dia cemburu dan tidak ingin Mingyu pergi, sekarang Jeon Wonwoo dengan santai bilang itu yang ingin dia dengar.
Sebelum Mingyu mengatakan apa-apa, Wonwoo berbicara lagi dengan santai. "Lagipula kenapa kau mau keluar di saat aku sudah di sini bersamamu?"
"Karena walaupun kau di sini bersamaku, yang kau lakukan dari tadi hanya menonton dan menghindari pertanyaanku."
"Karena pertanyaanmu bodoh," kata Wonwoo, lagi-lagi menyakiti hati Mingyu. Harusnya kalau sekarang, dia sudah terbiasa tapi tetap saja terkadang Mingyu masih berharap Wonwoo akan mengurangi kekasarannya saat berbicara dengannya. Wonwoo terlihat seperti memikirkan sesuatu selama beberapa detik sebelum dia memanggil Mingyu. "Kemari."
"Mau apa?"
"Kalau kau mau kuberi perhatian, kemari."
Mingyu tidak segera melakukan apa yang dikatakan Wonwoo. Dia memicingkan mata, menatap Wonwoo curiga. "Kenapa harus aku yang kesana?" Mereka hanya dipisahkan jarak beberapa senti di sofa yang kecil itu, tidak ada bedanya kalau Mingyu yang bergerak ke Wonwoo atau sebaliknya, tapi Mingyu tidak ingin menjadi anjing penurut Wonwoo hari ini.
"Kau ini menyebalkan sekali." Wonwoo berkata. Nampaknya lelah dengan permainan yang mengulur waktu dan tidak menarik sama sekali, Wonwoo memutuskan untuk tidak memperpanjangnya. Dia yang akan mengalah. Jadi dia bangkit dari posisinya, dengan sigap mendekat ke arah Mingyu, wajah tepat di bawah hidung Mingyu, tubuh nyaris duduk di pangkuannya.
Mingyu sama sekali tidak melihat serangan itu datang. Dia terpekik kaget lalu menahan nafas karena Wonwoo begitu dekat. Lebih dekat dari apa yang siap dia hadapi detik ini.
"Aku juga bisa membuatmu merasa diinginkan," kata Wonwoo. Suaranya turun beberapa oktaf dari beberapa detik lalu. Dia sengaja. Sangat sengaja. Mingyu tahu itu. "Apa itu yang kau mau, Mingyu?"
Ya, ya, ya. Hati Mingyu menjerit. Tapi mengingat terakhir kali hal seperti ini terjadi, itu tidak berakhir dengan baik, Mingyu menelan ludahnya, meletakkan dua tangannya di dada Wonwoo dan mendorongnya menjauh. Mungkin dia membayangkannya, mungkin tidak, dia melihat sesuatu yang terlihat seperti ekspresi terluka dalam mata Wonwoo. "Aku tidak mau seperti ini."
"Kenapa?"
"Karena," Mingyu menggigit bibirnya. Tidak yakin jika ini seharusnya dia katakan atau tidak. "Bagimu ini semua seperti permainan. Ciuman hanya sekedar ciuman. Seks hanya seks. Tapi aku mencurahkan semua perasaanku di sini."
"Siapa bilang buatku ini permainan?"
"Kau tidak pernah bilang begitu tapi—"
Mingyu tidak pernah menyelesaikan kalimatnya. Wonwoo lebih gesit menyerangnya dengan ciuman. Mingyu bahkan tidak punya kesempatan untuk menghentikannya. Untuk seorang yang sangat kurus dan terlihat kekurangan makan, Wonwoo punya tenaga lebih besar dari yang dibayangkan Mingyu. Ini sudah keberapa kalinya dia merasakan itu. Ciuman Wonwoo cepat dan terburu-buru. Seperti diiringi rasa marah. Dia mencium Mingyu seperti dia membenci setiap kata yang mempunyai potensial untuk keluar dari sana sehingga dia perlu membuatnya terus sibuk supaya mulut nakal itu tidak punya kesempatan untuk bicara.
Kalau sudah seperti ini, memangnya apa yang bisa dilakukan Mingyu selain membalas? Dia tidak melawan, karena memang bukan itu yang ingin dilakukannya. Meski dia bilang tidak mau seperti ini, tapi Mingyu menginginkannya. Hanya saja tidak di bawah sirkumtansi seperti ini. Tetap saja, kalau sudah terjadi Mingyu sama sekali tidak punya kuasa terhadap tubuhnya sendiri, dia tidak bisa, tidak ingin menjauhkan tubuh Wonwoo. Malah sebaliknya, meski saat ini tubuh Wonwoo secara praktis menempel padanya, Mingyu merasa bahwa dia kurang dekat, dia ingin Wonwoo lebih dekat lagi. Terlalu banyak jarak antara mereka. Dia meletakkan kedua tangannya di punggung Wonwoo, menariknya lebih jauh ke arahnya.
Saat Wonwoo berhenti menciumnya dan sedikit menarik wajahnya, Mingyu mengambil kesempatan untuk mengambil kendali. Dia mendorong Wonwoo sampai punggung yang lebih tua bertemu dengan sofa, lalu segera naik ke atas tubuhnya. Dia meletakkan kedua tangan di samping kepala Wonwoo, memenjaranya di bawah tubuhnya yang lebih besar seakan berusaha menghalanginya berlari. Wonwoo tidak berniat kemana-mana. Lalu Mingyu mulai mencium Wonwoo lagi. Di bibir, mereka berbalasan selama beberapa detik, lalu pindah ke leher Wonwoo. Dia menyadari bahwa laki-laki itu sangat sensitif di sana. Lalu dia memasukkan tangannya ke bawah baju Wonwoo, menyentuh setiap inci kulit yang bisa diraihnya. Tidak lama, dia membuka setiap helai benang yang menutupi tubuh atas mereka, dengan begitu akhirnya Mingyu merasa jarak mereka tidak sejauh itu lagi. Lalu dia kembali menciumi Wonwoo. Dari dahi sampai ke perutnya, inci demi inci. Dan berhenti tepat di atas bagian yang masih ditutup kain. Mingyu mengangkat kepala, mencari wajah Wonwoo di saat ini. Yang lebih tua terlihat kacau di bawahnya, wajah memerah, mungkin karena panas, atau karena nafsu, atau karena keduanya.
"Kubilang, aku akan membuatmu merasa diinginkan," kata Wonwoo dengan suara parau. Mingyu tidak melewatkan nafsu yang jelas di dalamnya. "Tapi yang terjadi malah sebaliknya."
Mingyu tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak tahu ingin mengatakan apa. Dia tidak ingin bicara. Dia ingin bekerja di atas tubuh Wonwoo. Tapi ini sudah mencapai batasnya. T Mingyu tidak ingin memperdebatkan hal konyol seperti sebelumnya. Dia juga tidak ingin memaksa jika Wonwoo tidak akan setuju dengannya, di saat yang sama dia tidak akan mau menjadi submisif untuk Wonwoo. Jadi mungkin cukup bijak jika dia berhenti di sini.
"Apa kau mau melakukannya?" Wonwoo bertanya.
"Apa aku harus menjawab itu?"
"Tentu saja, bodoh," kat Wonwoo. "Cepat, sebelum moodnya hilang."
"Ya, tapi aku tidak memaksa."
"Kalau aku bersedia jadi pihak yang menerima kali ini, apa kau bisa menjamin kau akan membuatnya jadi pengalaman yang menyenangkan untukku?"
"Ap—"
"Cepat, jangan banyak bertanya lagi sebelum aku berubah pikiran."
"Aku tidak punya banyak pengalaman sepertimu tapi aku juga tidak buruk?"
Wonwoo tidak langsung menjawab. Dia tampak mempertimbangkan sebelum dia menutup wajah dengan kedua tangannya dan berkata. "Ya Tuhan, jangan buat aku menyesali ini, oke?"
"O...ke?"
"Ayo kita lakukan."
TBC
a.n. yap, aku kembali lagi setelah sekian lama. gatau masih ada yang bakal baca ini apa engga wkwkwk. dan aku bingung sebenarnya dgn ff ini T-T semoga selesai dlm beberapa chapter ya hehe. excuse typo etc. aku males beta :(