Jimin membuka paksa kelopak mata. Jatuh tersungkur membuat rasa sakit tak terkiranya hilang, terganti dengan nafas berat. Ia tersengal, mengganti seluruh pasok udara ke paru-paru. Walau begitu, peluh dingin yang membasahi sekujur tubuh belum hilang.

Jimin tolehkan kepala ke samping. Segera pandangannya menangkap Yoongi yang meringkuk di atas tanah. Pria itu memukul-mukul dada, juga menarik nafas kuat-kuat.

Sebuah suara raungan membuat Jimin mengalihkan perhatian lagi. Ia mendongak dan melihat tiga ekor Souffir memukul-mukul tameng pelindung Yoongi. Mengarahkan pandang ke sekeliling, tatapnya berhenti pada sekumpulan penduduk yang hendak dievakuasi menuju terowongan darurat.

'Berhasil!' Jimin bersorak dalam hati. Tentu ia sadar jika sudah membalik waktu.


PikaaChuu dan Park In Jung (dengan tidak tahu malunya) mempersembahkan:

WORLD OF MINE

.

Chapter 3

The Ending


Selanjutnya terdengar gema suara sosok lain yang memanggil namanya. Yang langsung Jimin kenali jika itu Taehyung. Menyadarkan ia untuk segera memberhentikan waktu. Begitu memastikan semua hal terhenti, Jimin bangkit berlari menuju tempat Yoongi jatuh.

Wajah tergurat kepanikan mengetahui Yoongi yang rupanya masih sulit bernafas. Ia bantu pria itu untuk duduk, mengusap keringat di wajah. Bisa dirasakan jika kulit tubuh Yoongi ternyata terlampau dingin. Kecemasan Jimin bertambah.

"Yoongi hyung!" Suaranya mengeras, menangkup wajah Yoongi agar mau menatapnya.

Perlahan Jimin bisa melihat perubahan warna di satu mata Yoongi, kembali memerah. Disusul dengan warna abu di surainya yang memudar hingga kembali normal. Jimin mengintip ke belakang bahu Yoongi, menatap sayap-sayap hitam yang kini sudah mengeluarkan kobar api kecilnya.

"A-ku men-dengarmu." Walau tersendat, suara itu tidak lagi terdengar berat dan mengerikan.

Pundak Jimin langsung saja turun lemas. Lega rasanya mendapati situasi Yoongi kembali normal. Ia menghambur makin mendekat, mengalungkan lengannya di leher Yoongi seraya membisik syukurlah banyak kali. Memancing senyum lembut muncul di bibir Yoongi.

"Hei, aku sudah baik-baik saja." Ujarnya sambil mengusap punggung Jimin. Ia lepas pelukan setelah membaca situasi yang terjadi. Masih banyak penduduk di sana, para Souffir juga masih tampak menyerang, mantra pelindung bawah tanah belum terpecah. Roda waktu bergerak mundur dan sekarang terhenti.

Ditatapnya paras sang pangeran masih dengan senyum. Tangan dibawa guna memberi elusan ringan di pipi Jimin. "Kau berhasil melakukannya." Tak lupa mengusap puncak kepala sebagai akhir pujian.

Keduanya bangkit berdiri, sejenak menikmati pandangan yang tersaji.

Yoongi melemaskan leher. "Bagus! Biar kubunuh si brengsek itu." Seringai tercetak. Mulutnya mengucap mantra dan Jimin melihat bagaimana lapis pelindung itu menghilang sempurna.

Lalu Yoongi terbang, meluncur tinggi. Menghampiri titik di mana Taehyung yang tadi melayang kini terhenti. Pria licik itu masih mengenakan tudung, namun Yoongi bisa melihat gurat emosi di wajahnya. Tak terima akan kekalahan yang sudah menghampiri.

Sebuah pedang Yoongi bentuk. Bermula dari kobar api yang memanjang dan kemudian berubah menjadi logam mengkilat. Tanpa ragu menghunuskan ujungnya ke area jantung Taehyung.

Melihat apa yang terjadi di atas sana, Jimin segera bebaskan mantra pengunci waktu. Seru-seruan panik para penduduk langsung merebak terdengar. Ketakutan karena melihat dinding tipis tempat mereka bernaung sudah hilang. Tapi tak berlangsung lama karena Souffir ganas itu justru diam di tempat dan hanya menatap tuannya di atas sana. Seolah tak tertarik untuk melompat turun dan mengacak ruang bawah tanah yang tinggal jarak selangkah.

Jimin mengernyit heran.

Sementara Yoongi di atas tengah menikmati desah kesakitan Taehyung yang tersadar dari kungkungan waktu serta beberapa percik darah dari tubuh di hadapannya itu. Sementara tangan Taehyung sendiri naik menggenggam pedang, mencoba membawa jauh dari dadanya. Sayang, Yoongi justru makin melesakkan logam tajam tersebut. Tetes merah yang keluar dari mulut Taehyung membuat Yoongi makin menyeringai menang. Ia puas.

"Si-sialan…"

Satu alis Yoongi terangkat. "Mengumpatlah sepuasmu." Satu hunusan terakhir yang makin mengoyak jantung sang musuh dan tangan yang menggenggam pedang itu dilepaskannya. Membiarkan tubuh Taehyung terjun jatuh hingga tergeletak tepat di hadapan Namjoon.

Belum sempat para prajurit istana mendekati sosok tanpa nyawa di hadapan mereka, pedang milik Yoongi sudah lebih dulu kembali menjadi api. Berkobar kemudian mulai menggerogot tiap bagian, tiap kulit, merambah masuk hingga daging dan tulangnya. Melahap habis tubuh Taehyung hingga bahkan hanya menyisakan gumpal-gumpal asap gelap. Lalu mengudara membaur bersama dera angin.

Taehyung benar-benar sudah mati.

Jimin hanya mampu diam mengikuti apa yang terjadi. Bahkan ia juga tetap diam saat melihat bagaimana penduduk Croire bersorak-sorai dan juga semua ksatria, bahkan Namjoon mengangkat pedang naik. Memberi penghormatan pada Yoongi atas keberhasilannya. Sementara yang disanjung masih betah melayang di atas sana.

Ucapan terima kasih memenuhi udara. Mengantarkan sebuah kemenangan yang selalu dinanti. Serasa perjalanan lama nan panjang akhirnya berujung pada masa kedamaian.

Jimin baru kembali bicara setelah Namjoon mendekat lalu berujar, "Kau memainkan waktunya?" dengan pandangan menelisik. Bahkan tanyanya tadi terdengar tak yakin.

Dengan penuh semangat dan rasa bangga Jimin mengangguk.

"Lalu Yoongi yang membunuhnya?"

"Yep!"

Dahi sang raja makin mengerut heran. "Mengapa dia masih bisa bergerak saat kau menghentikan watu?"

Apa yang ditanyakan Namjoon membuat mata Jimin mengerjap. Bingung juga ia bagaimana menjawab. Terutama kala kilas balik ucapan Yoongi lewat dalam memorinya.

"Kau milikku."

Hanya mengingat itu saja, pipi berisi Jimin mulai dimunculi semburat semu. Agak canggung ia gelengkan kepala. "Aku… tidak tahu." Mau tak mau ia berbohong, sambil pelan-pelan menjaga jarak dari sang ayah.

Yoongi turun, membungkuk memberi penghormatan pada Namjoon yang terlihat mengawang pikirannya. Selanjutnya ia beralih pada Jimin.

"Hei, mau lihat sesuatu yang menarik?" Tawarnya.

Namun, tanpa menunggu jawaban, digendongnya tubuh Jimin. Kemudian dibawa untuk kembali terbang naik. Refleks cepat, Jimin lingkarkan dua lengannya ke leher Yoongi mencari pegangan.

Sementara Namjoon yang ditinggalkan akhirnya baru menyadari sesuatu. "Tunggu, tunggu. Jodoh anakku itu ajudanku sendiri!?" Terdengar sedikit tidak terima, lebih mirip ke gerutuan.

Yoongi hanya membawanya terbang sedikit lebih tinggi dibanding beberapa prajurit bersayap lain yang kini menampilkan keahlian mereka tanpa batas. Menumbuhkan banyak tanaman, baik tunas rerumputan maupun pohon-pohon rimbun. Beberapa membenahi desa, dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan akan sibuk membangun ulang rumah-rumah penduduk. Dan Jimin bisa melihat para Souffir balik badan pergi menuju hutan.

"Ah iya, mengapa mereka tidak menyerang masuk tadi?" Jimin menyuarakan tanyanya.

"Mereka? Beruang-beruang itu?" Setelah mendapat anggukan dari Jimin, Yoongi kembali menjelaskan. "Pet itu mengikuti tuannya. Saat Taehyung sekarat tadi atau ketika sang tuan sakit, mereka tidak mau melakukan apapun. Dan ketika tuannya mati, maka pet akan kembali bebas. Hilang ikatan mereka."

Jimin mengangguk paham. Lalu menatap turun lagi. Mereka yang mengendalikan tanah membuat jalan keluar untuk seluruh warga yang kini berwajah lebih cerah. Mereka membantu para bawahan raja yang membenahi segala kekacauan.

Semua orang akhirnya bisa menjalani hidup kembali tepat di bawah langit. Tanpa ada rasa terancam.

"Coba lihat ke sana." Yoongi mengarahkan dagu ke tempat di mana istana berdiri.

Jimin merasakan aura yang sama kala ia pertama kali melihat bangunan tersebut. Gelap, kelam, khas sekali Taehyung. Juga ia melihat bagaimana Namjoon berjalan pelan, mengambil posisi sedekat mungkin dengan istana. Menggerakkan tangan, menghapus segala suasana tidak nyaman yang bersarang. Pemimpin Croire itu menciptakan cahaya yang kemudian menggantikan atmosfer suram Taehyung. Serta membangun kembali sisi-sisi istana yang banyak hancur.

Jimin terkagum. "Wow, apa Ayah selalu sehebat itu?"

"Tentu saja." Yoongi membetulkan posisi Jimin. Membisikkan kalimat mantra untuk pria itu supaya dapat berdiri tegak sepertinya. Jimin yang panik sama sekali tak melonggarkan kunci lengan di leher Yoongi, membuat pria bersayap itu terkekeh lucu. "Kau tidak akan jatuh. Aku di sini." Gumamnya memebri ketenangan. Tak lupa memeluk pinggang Jimin, membawanya makin dekat.

Karenanya Jimin mengangkat wajah, mata bertemu mata. Dan ia makin membelalak kala Yoongi tanpa dinyana meninggalkan ciuman di bibirnya. Pagutan yang sederhana, yang mampu membuat Jimin menutup kelopak. Menikmati tiap gerak-gerak kecil yang Yoongi berikan.

Dan ia sedikit berseru kecil ketika Yoongi makin mendekatkan tubuh, mempererat kalungan lengan di pinggang Jimin. Dan tentu gerak bibir mereka makin intens. Justru membuat Jimin tak nyaman dan tanpa ragu memundurkan wajah, serta merta menahan dada Yoongi.

"Kau… kau…" Jimin sedikit kebingungan hendak berkata. Bisa dilihat jika telinga dan pipi –atau bahkan seluruh wajahnya, mematang merah. Jadi terlihat lebih manis, lebih menarik. "Kenapa menciumku seperti itu!?" Ditatapnya Yoongi setajam mungkin. Bertingkah pula seolah tak terima bibirnya direbut sembarangan.

"Marah? Kau juga menikmatinya, omong-omong." Yoongi balas dengan godaan.

Yang malah membuat Jimin makin merasa gondok tapi juga malu. Ingin bersembunyi tapi yang ada di sana hanya tubuh Yoongi. Maka yang bisa dilakukan yaitu menenggelamkan wajah di dada pria itu kemudian meremas bahunya, menyalurkan kekesalan.

"Kita baru saja bertemu, sialan. Kau ini tidak ada sopan-sopannya!" Teriakkan itu terdengar lucu di telinga Yoongi. Membuat ia tertawa tanpa beban.

"Tahu tidak? Aku selalu mengawasimu selama ini. Menurutku, kita sudah sangat dekat sejak dulu." Pamernya, membuat Jimin melempar tatapan tak percaya. Lalu kepala Yoongi turun, mendekat ke telinga Jimin. "Aku bahkan pernah melihatmu sedang mandi." Lanjutnya berbisik.

Itu makin membuat Jimin berteriak tak terima, ingin sekali menampar Yoongi yang tergelak makin keras. "Sialan!"

"Astaga, berhenti mengumpat." Yoongi coba menghentikan dera tawanya. "Aku hanya bercanda! Sungguh!"

Bibir Jimin mengerucut, cemberut. Tak terima sedari tadi terus dikerjai.

"Ingin turun? Atau berkeliling?" Yoongi mencoba mengembalikan suasan nyaman lagi.

Jimin diam saja, matanya menunduk dan baru sadar jika kamera kesayangannya masih tergantung di leher. Lamat-lamat diturunkannya tangan dari bahu Yoongi guna memeriksa benda tersebut. Masih bersih rupanya. Padahal ia ingat betul jika tadi terkena percik darah saat Taehyung membunuh semua prajurit Namjoon.

'Aku benar-benar membalikkan waktu, ya?'

"Hei, Jimin?" Yoongi sedikit memiringkan kepala, ingin tahu mengapa Jimin tak menjawabnya.

"Ayo berkeliling sekali lagi!" Serunya riang sembari mengangkat kamera hitam itu.

Yoongi yang segera paham apa mau Jimin hanya memutar mata. "Baiklah…" Turutnya.


-WORLD OF MINE-


Tiga hari kemudian…

Jimin tersenyum asyik menatapi hasil foto yang semua dinilainya bagus. Ia berhasil menangkap segala macam flora-fauna unik di Croire. Tak luput para warga yang menggunakan talent mereka, baik sekedar berlatih maupun untuk melakukan pekerjaan. Jimin punya semua. Beberapa juga berisi foto ayahnya dan juga para prajurit yang melakukan banyak hal.

Tapi tentu saja, sosok Yoongi lebih mendominasi memori. Jimin mengagumi semua hasil tangkapannya.

Pria itu diam sejenak. Matanya tak bergerak, menilik foto Yoongi yang pertama kali ia ambil. Sebelum kemudian membuang pandang pada sosok yangmasuk ke kamarnya. Yoongi. Melangkah dengan gagah ditambah raut wajah kaku seperti biasa.

Jimin matikan kameranya, kembali digantungkan ke leher. Lanjut memasangkan converse merah di kaki. Lalu berdiri tegak menyambut Yoongi.

"Bersiap pulang?" Jemari Yoongi bergerak merapikan poni-poni Jimin yang jatuh menutup dahi.

"Ya." Ia mengangguk senang, ikuti langkah Yoongi yang menggandengnya erat, membawa pada hadapan sang raja.

Seperti sudah diduga, Namjoon memeluk tubuh putranya kuat. Sementara Jimin dengan senang hati balik mendekap ayahnya. Ada sebilah tak rela dan sedih kala ia memilih putusan untuk pulang, kembali ke bumi. Karena memang kehidupannya di sana.

Dan juga, 'Aku harus bangun.'

"Aku menantimu kembali lagi. Kami akan selalu menerimamu." Namjoon sendiri merasa tak perlu memberi larangan. Nyatanya memang Jimin punya jalur hidupnya sendiri. Ia tak bisa memaksa supaya sang putra tetap tinggal.

"Tentu." Memang dalam batin Jimin juga berharap bisa kembali lagi ke sini suatu hari.

Karena mimpi ini sudah terlalu panjang untuk dilanjutkan.

Saat semua orang Croire usai memberi penghormatan pada sang pangeran, Yoongi langsung membawanya terbang. Lagi, menuju tebing yang biasa menjadi destinasinya untuk memunculkan portal. Tak ada yang mencoba membuka cakap selama perjalanan. Baik Yoongi maupun Jimin, mulut mereka sama-sama terkatup.

Jimin hanya menikmati bagaimana ekspresi wajah Yoongi. Tersenyum banyak kali karenanya. Ia makin mengeratkan pegangan saat ajudan Namjoon itu terbang makin cepat, menukik turun ke jurang dan menembus portal yang terbentuk.

Sampai pada dunia tempat Jimin tinggal, Yoongi baru menyadari sesuatu. Waktu di bumi masih terhenti rupanya. "Untungnya kau memutuskan pulang, Jimin. Jika tidak, keadaannya bisa terus seperti ini." Ujarnya. Ia baru sadar jika angka-angka penunjuk waktu antara bumi dan Croire adalah dua hal yang berbeda. Dan itu hanya bergantung pada sang pengendali.

Yoongi mendaratkan Jimin tepat di mana awal ia menampakkan diri di mata pandang si pangeran. Pesawat yang setengah hancur itu ditatap Jimin dengan ngeri.

"Kau meninggalkanku di ujung kematian?" Tentu saja ia tak terima. Kalau semua kembali seperti mula-mula, habis sudah nyawanya.

Yoongi justru mengedikkan bahu, terlampau santai dan dengan ringannya mengucap, "Cukup kau balikkan lagi waktunya."

Selanjutnya hening. Dua pasang mata di sana saling pandang mendalam. Seolah ingin meninggalkan kesan, juga mengungkap rasa yang bahkan sampi detik itu belum mereka akui dalam bentuk kata.

Sejenak Jimin merasa apa yang diputuskannya ini salah. Ada banyak kebimbangan yang bergumul dalam sanubari. Mengenai ini-itu, atau andai-jika. Lama kelamaan mengundang ragu dan entah kenapa matanya merasa panas. Ia kedipkan mata, menghalau tangis yang hampir meleleh turun.

Pun dengan Yoongi. Rasa tak rela itu makin menguat. Dan dia hanya bisa mengungkap dalam sebuah ciuman lembut. Pelan dan selama mungkin hingga batas kantung udara dihitung menipis. Masih sama, pandangan mereka menyiratkan ketidak inginan.

Namun sebelum semua jadi merubah keputusan yang terlanjur di ambil, sebelum kebimbangan makin menguasai, Yoongi berbalik pergi. Sudah sangat siap untuk terbang menjauh. Hanya saja, interupsi dari suara Jimin mampu menghentikannya.

"Bisakah kita bertemu lagi?"

Jeda sunyi.

"Bagaimana jika aku tidak memimpikan hal yang sama besoknya? Lalu keesokannya lagi? Atau bahkan di hari-hari seterusnya?"

Belah bibir Yoongi melengkung miris. "Aku takdirmu, Jimin. Tentu kita akan berjumpa lagi. Pasti." Tekannya yakin. Lantas, tanpa membiarkan Jimin mengoceh lebih banyak, ia segera terjun dan masuk dalam portal.

Jimin ditinggalkan sendiri. Belum ada niatan untuk memutar balikkan waktu. Kelopaknya tertutup, mengunci genang air mata agar tidak meleleh. Sayang, bulir-bulir itu tetap menjejak turun.

"Jawaban bodoh macam apa itu."

Nyatanya, dalam rasa kehilangan itu ia masih mampu menyunggingkan sebuah senyum.

Sampai kemudian, roda waktu berputar mundur.


-WORLD OF MINE-


Jimin terbangun. Dengan nafas normal tidak tersengal seperti sebelumnya.

Yang ditangkapnya pertama kali adalah langit-langit kamar. Benar-benar kamar di rumahnya, putih polos. Bukan sulur-sulur tanaman yang dihiasi kuncup bunga merah jambu. Dia sudah pulang.

Atau kembali pulang?

Mana yang tepat diucapkan?

Dirasa ada tetes hangat yang meluncur dari ujung mata. Punggung tangan Jimin beralih mengusapnya. Kenapa hati terasa... kosong?

Apa yang hilang?

Lalu tangan itu dijulurkannya ke nakas, meraih ponsel. Ia periksa tanggal yang tertera di layar. Serta sebuah alarm pada bar notifikasi. Itu jadwal penerbangannya hari ini. Angka jam di sana membawa pikirnya menerawang jauh. Ada kilas-kilas gambaran yang menghampiri. Jimin tersenyum tipis.

"Sungguh mimpi panjang." Berikutnya dia bangun. Berdiri kemudian melangkah ke jendela. Menggeser tirai yang langsung membuat sinar surya masuk.

Ia arahkan badan keluar kamar menuju dapur. Membuka satu almari kecil di counter untuk mengambil sebungkus roti yang segera dimasukkannya ke alat pemanggang. Menunggu matang, ia nyalakan mesin pembuat kopi serta beralih mencari selai coklat atau kacang. Ia merasa tenang hari ini. Walau ada sedikit sedih yang agak membuat muram.

Jimin rasa ia familiar, seperti de javu. Insting berucap jika ponselnya akan berdering setelah ini. Maka dalam hati ia menghitung satu, dua, tiga…

Nada lagu yang digemarinya terdengar.

Aneh menurutnya. Tapi ia tak sempat memikirkan apapun setelah membaca jajaran huruf yang membentuk nama Jeon Jungkook. Baru sepuluh menit terlewat sejak ia bangun, kawannya itu sudah menelepon saja.

Entah, tiba-tiba ia tak ingin menjawab pangggilannya. Hanya tak ingin. Dan wajahnya berkerut. Ia seperti tahu adegan ini, berikut lanjutannya. Jimin akan melangkah pergi masuk lagi ke kamar, mengabaikan ponsel yang bergetar terus-terusan. Di depan almari kopernya tersender. Dan di atasnya terletak kamera hitam kesayangan.

Jimin mendekat, meraih benda digital tersebut lalu menghidupkannya. Menonton apa-apa saja yang tampil di sana. Sebuah senyum tanda senang terpatri di paras manisnya. Secepat mungkin ia kembali ke dapur, mencari ponsel yang terabaikan. Lantas menggeser icon jawab panggilan dari Jungkook yang sejak tadi masih kukuh menelepon rupanya.

"Jungkook-ah, kurasa aku tidak jadi pergi ke Afrika."


-WORLD OF MINE-


Author's Corner:

Park In Jung: Pertama, aku berterima kasih dengan Kak PikaaChuu yang mau collab dengan aku. Ini collab yang pertama, jadi aku gak menyangka hasilnya akan sebagus ini. Kedua, terima kasih sama kalian semua yang membaca dan memberi review! Kalian yang terbaik! Dan yang terakhir, nantikan terus karya-karya PikaaChuu dan Park In Jung. Kami sangat berbeda dalam dunia menulis, jadi ini sungguh pengalaman yang menarik.. hahaha, itu aja deh! Gomawo dan saranghae! Love and peace :3

PikaaChuu: Mau kuawali dengan sorak-sorai senang, Alhamdulillah mencapai kata tamat! Berhubung keterbatasan waktu liburanku (dua minggu itu terbatas menurutku :')), jadi ya seperti ini. Maaf jika alur jadi cepaaaattt, kemudian berujung pada momen manis yang kurang. Tapi TERIMA KASIH pada yang mengikuti, yang memberi review juga! Aku dan In Jung nggak menyangka bakal seramai ini, ehehe~ Dan buat In Jung, semoga nggak kapok, nggak nyesel collab bareng sosok yang sok sibuk ini. Akhir kata, semoga kami berdua diberi kesempatan untuk berkarya lagi. Selamat tahun baru! Dan, selamat ulang tahun, biasku~


-WORLD OF MINE-

EPILOG


Dua bulan kemudian..

"Wah… Hebat." Jungkook menggelengkan kepalanya tanda tak percaya akan hasil-hasil foto Jimin. Semua tampak menakjubkan. "Bahkan kata para fotografer kelas atas, foto ini tidak disentuh edit-an sedikitpun, hyung. Semua orang menganggap kau fotografer jenius. Setting-an tiap objek diatur detail. Sempurna."

Rangkaian pujian dielukan oleh Jungkook sambil mengelilingi galeri Jimin yang didatangi banyak orang. Sementara Jimin di sampingnya hanya mampu tersanjung, senyum tak kunjung luntur. "Ini bukan setting-an, Jungkook-ah. Berapa kali kukatakan kalau ini nyata?"

Jungkook hanya terbahak. "Berapa kali kukatakan untuk berhenti bercanda, hyung? Terserah, intinya kau pasti sudah bekerja keras." Ia tepuk bahu pria yang umurnya lebih tua. "Beruntung kau batal pergi ke Afrika. Kalau tidak, kecelakaan pesawat itu pasti sudah membunuhmu."

Jimin terdiam maklum. Sebelum kaki mereka akhirnya terhenti di depan sebuah foto besar. Memamerkan sosok seorang pria dengan postur sempurna dan sayap hitam gagah di punggung. Jungkook kembali dibuat kagum oleh keahlian Jimin yang menghasilkan gambar indah seperi itu.

"Di mana kau mendapatkan model seperti dia, hyung? Kau tahu, aura dinginnya kuat sekali." Kata-kata Jungkook membuat dagu Jimin terangkat naik. Dipandanginya foto tersebut.

Satu-satunya hasil tangkapan yang tidak ia jual dari dua puluh tujuh bingkai pigura yang dipamerkannya. Karena foto itu sangatlah penting, terlampau berarti, sungguh spesial.

"Dia datang sendiri padaku. Dan dia bukan model."

Ucapan Jimin hanya membuat alis Jungkook naik terangkat. "Benarkah?"

"DIa takdirku."

Serangan rasa geli setengah kaget menyelimuti tubuh teman seperjuangan Jimin itu. Jungkook melempar pandangan jijik. "Sejak kapan kau menjadi aneh seperti ini, hyung!?"

Dan Jimin justru tertawa. "Aku pernah bermimpi panjang sebelum ini. Panjang sekali. Dan dia banyak muncul di sana." Memori Jimin terbang mengumpulkan banyak momen yang sudah lalu. "Katanya dia itu takdirku." Lanjutnya.

Yang ada justru Jungkook tertawa meremehkan. "Serius, berhenti habiskan waktu untuk menonton film romance, hyung." Ia mengapit wajah Jimin dan menggerakkannya ke kanan-kiri, baru lanjut bicara. "Kau tahu Jung Hoseok?"

Dahi Jimin berkerut. Bukan ia tak tahu siapa sosok pemilik nama itu, tapi ia penasaran mengapa Jungkook menyebutkannya.

"Jung Hoseok sedang mencari model baru. Lupakan mimpi konyolmu tadi dan katakan pada sosok dalam fotomu itu mengenai tawaran ini. Kujamin jika Hoseok hyung akan senang mendapati bakat pria tersebut." Jungkook tepuk bahu Jimin sebanyak dua kali. Lalu beranjak pergi sendiri. Tak menggubris Jimin yang justru asyik tersenyum sendiri.

Yah, mana ada yang bisa percaya ceritanya? Bahkan dirinya sendiri masih tak percaya dengan hal ajaib yang dialami. Bunga tidur yang terealisasikan? Sungguh? Lucu sekali. Dan foto-foto yang tetap ada dalam kameranya membuat Jimin jadi teringat suatu kisah. Tentang sepatu kaca Cinderella yang tetap tertinggal walau segala hal ajaibnya hilang. Bolehkah ia menganggap mimpinya seperti itu?

Yang terpenting, bisakah ia menemui sosok Yoongi lagi?

Tangan Jimin terulur menggapai foto di hadapannya. Mengusap kaca pelindung sembari menutup mata. Meresapi lagi semua momen yang tersimpan manis di otak.

Baru dibuka lagi pandangannya saat merasa seseorang menggenggam telapak dengan lembut. Sosok yang baru muncul itu menjauhkan tangan Jimin dari foto, dibawa bergeser untuk dikecup.

Jimin menoleh menatap sekitar. Semua gerak orang-orang berhenti. Ia periksa jam tangan yang menyabuki pergelangan, jarum-jarumnya juga tak berjalan.

"Hei..." Figur itu mencuri balik atensi Jimin.

Saat mendengar desir suara berat yang dirindukan, Jimin tak bisa menahan senyum lebarnya, dari ujung ke ujung. Menciptkan sabit kecil di matanya. Bahagia membuncah dan Jimin menghambur memeluk pria tersebut.

"Selamat datang… Yoongi hyung." Jimin membisik lembut.


-WORLD OF MINE-

FIN