Kadang aku berpikir apa bagusnya semua ini.
Aku terus mencari peluang. Dia terus-terang mengatakan kami tidak bisa melampaui batas ini. Dinding yang dia ciptakan begitu kokoh, tapi apakah harus begini selamanya?
"Tidak ada yang salah kok."
Dia selalu berbicara seperti itu. Aku memandanginya, dia mendelik. Ini sudah terulang hampir lima bulan. Sejujurnya aku sudah muak. Tapi dia bersikeras ingin mempertahankan hubungan yang menggantung ini. Aku. Muak.
Kazeno Yuuma adalah orang paling menyebalkan yang pernah kutemui selama ini.
"Apa kita harus berciuman dulu baru bisa dikatakan berpacaran?"
.
.
DISCONNECT
[FIRST INCOMPETENCE]
Semua karakter VOCALOID merupakan milik Yamaha Coorporation dan perusahaan lainnya. Tidak ada keuntungan komersial yang diperoleh.
WARNING : Shounen-ai tanpa yaoi (know the difference?). Hiperbolis, sarkasme. slight!PikoMiki. Rate-T karena bahasa kasar (entah kenapa bisa ada saya sendiri bingung juga). HAPPY BIRTHDAY, PIKOOOO!
Read with all your cost.
happy reading.
.
.
"Piko, kita pacaran ya?"
Kejadian itu masih membekas di dalam benakku. Mungkin aku melupakan sedikit detail yang ada, tapi tetap tidak merubah kenyataan bahwa hari itu dia mau repot-repot mentraktir sebuah takoyaki hanya untuk mengatakan kekonyolan itu.
Sebenarnya kami tidak terlalu mengenal satu sama lain. Awalnya aku beranggapan bahwa dia hanyalah orang gila yang sedang tidak ada kerjaan, menjalin sebuah komitmen dengan seseorang yang memiliki alat vital yang sama dengannya. Ya, mungkin dia gila. Dia sendiri juga tidak menepisnya.
Aku hanya pernah satu-dua kali mendapatinya berjalan melintas di depan kelas. Sejauh pengamatanku, dia selalu sendiri. Apakah dia tidak punya teman, aku tidak terlalu peduli. Mungkin kharisma yang dia miliki mampu membuat orang segan mendekatinya.
Apa? Sepertinya aku salah sebut. Itu bukan kharisma, itu hanya kebetulan bahwa dia selalu memasang wajah angkuh di setiap langkahnya. Atau mungkin itu hanya persepsiku.
Lalu itu adalah sebuah sore hari yang panas. Dunia terlihat begitu menyilaukan di bawah langit musim semi. Sejak dari entah kapan aku sudah tidak suka dengan matahari yang bersinar terlalu terik. Ya, itu memang umum bagi semua orang.
"Mau apa kau?"
"Ikutlah denganku sebentar."
Untuk pertama kalinya aku mendengar dia membuka suara. Dengan headphone menghalangi kedua telinga, dia berdiri di belakangku. Itu masih di depan pintu gerbang sekolah. Dia menanyakan sesuatu yang sangat amat aneh.
"Kau mau takoyaki?"
Aku pun tercengang. "Apa aku harus mengatakannya padamu?"
"Akan kubelikan."
"Tidak perlu. Aku bisa beli sendiri."
"Toko di dekat sekolah ini membuka menu baru mereka. Namanya chessy takoyaki."
"Kenapa aku harus memakannya? Aku bahkan tidak mengenalmu."
"Tidak perlu mengenalku untuk bisa memakannya, 'kan?"
Keparat. Siapa sebenarnya orang ini?
Dia menarik paksa tanganku. Aku membiarkannya. Mungkin tidak ada salahnya menuruti permintaan sintingnya, selama dia tidak membuatku terlibat dalam masalah.
Apa salahnya? Ya, salahnya. Itu salahnya.
Satu tusuk takoyaki pun telah berada di genggaman tanganku, dan tangannya. Kami duduk di bangku sebelah toko itu. Sesuai dengan janjinya, dia membelikanku sebuah chessy takoyaki. Tidak pernah aku berpikir akan ada yang mau menamai menu makanan mereka seperti itu.
"Jadi, apa kau sudah mau berbicara?"
Aku tidak akan repot-repot menjelaskan ini padanya. Tentu saja, dia sudah seenaknya menyeretku. Seenaknya menodongkan satu chessy takoyaki. Jadi sekaranglah saatnya aku membalas perlakuannya. Tapi dia hanya bergeming. Matanya mengarah pada mayat cumi yang telah menjadi makanan di dalam genggaman, tampak seolah tidak menghiraukanku.
"Jangan pikirkan tentang traktirannya. Aku senang ada yang mau memberiku makanan gratis, tapi apakah kita pernah saling kenal sebelumnya?"
Aku menegaskannya lagi. Mari berpikir positif, mungkin dia tidak mendengar barusan. Kali ini dia akhirnya memberikan respon. Dia sedikit menoleh, dan mungkin hanya kepalanya yang bergerak selama itu. Dia menatap langsung pada mataku.
"Apa salah?"
Salah? Oh, tidak ada yang salah dengan menyedekahkan sedikit harta kepada orang lain. Kudengar malah kebaikan yang diterima semakin bertambah jika dia adalah orang yang tidak kita kenal.
"Tapi kenapa harus aku?"
Pertanyaan itu lagi-lagi seenaknya dia biarkan mengambang. Oke, sekarang aku mulai kesal.
"Tidakkah kita berkenalan atau semacamnya terlebih dahulu? Akan kuanggap takoyaki aneh ini sebagai salam perkenalan kita."
Aku memberikan jalan alternatif, mungkin dia terlalu malu untuk berkenalan denganku. Tapi aku yakin di umurnya yang kalau tidak seumur denganku, paling-paling hanya berselisih 1-2 tahun lebih muda atau lebih tua dariku, dia tidak akan secanggung ini berkenalan dengan orang lain.
Apa aku sudah berbuat sesuatu yang menarik perhatiannya?
"Aku Utatane Piko—siapa namamu?"
Dia masih menatapku tanpa ekspresi. Mungkin syarafnya terganggu, pasalnya dia tidak tampak merasa letih sedikitpun dalam posisinya yang tidak mengenakkan itu. Aku menghela napas. Aku menghabiskan takoyaki dalam satu suapan, dan bersiap untuk berdiri sebelum dia menarik lengan bajuku.
"Kazeno Yuuma."
Dua patah kata dia lontarkan, lalu dia ikut berdiri.
"Piko. Ya, aku sudah mengenalmu sebelumnya. Tentu saja."
"Hah?"
"Makanya aku mendekatimu hari ini."
"Sebenarnya kalau kau mau aku mengenalmu, kau tidak perlu pakai cara aneh seperti ini."
Dia berdecak tanpa kuduga. Mulai dari sinilah, semuanya tidak pernah sama lagi. Aku baru sadar bahwa ternyata mungkin sejak lahir, aku sudah ditakdirkan untuk menjadi setengah gila akan identitasku sendiri ketika umurku telah mencapai 16 tahun.
"Piko, kita pacaran ya?"
.
.
Mungkin perkataan itu terlontar di bawah sebuah kondisi di mana dia baru saja menenggak thinner sehingga tidak terpikir lagi kepada siapa dia mengalamatkannya. Tapi setelah kupikir ulang, sepertinya aku sendiri jauh lebih gila daripadanya.
Setelah kejadian konyol itu, tidak ada hal menakjubkan lainnya. Dia masih senang muncul tiba-tiba tanpa sempat aku menoleh barang satu senti dari semula, membuatku terseret pada keegoisannya ke tempat yang bahkan tidak bisa dikatakan sebagai tempat yang romantis. Mungkin dia pikir itu bagus, dan sebenarnya aku juga tidak terlalu memusingkannya.
Pernah suatu waktu aku mengeluh betapa dia kadang bisa memaksaku memilih sesuatu yang tidak aku tahu apa bentuk dan kandungannya. Mungkin kalau itu untuk dirinya, aku tidak akan peduli. Dia menyodorkannya padaku, berkata tanpa rasa bersalah bahwa mungkin aku akan menyukainya.
Sempat terpikir olehku bahwa dia hanya mempermainkanku. Dia nyaris tidak pernah mendengarkanku. Sekali mendengarkan, maka hanya dianggap angin lalu.
Aku pergi ke Hokkaido saat sanak-famili ibuku baru saja meninggal karena komplikasi yang dia derita. Menjadikannya sebagai modus atas keenggananku di hari itu untuk bertatap wajah dengan guru sejarah dunia yang mungkin akan merasa amat senang jika aku menghadiahkan sebuah boneka voodoo padanya, tentu saja aku tidak keberatan menambah angka ketidakhadiranku dalam kegiatan pembelajaran kalau begitu ceritanya.
Aku sengaja tidak memberitahukan ini padanya. Selama satu bulan ini, tidak ada pemikiran sedikitpun mengenai perihal kontak yang bisa kuhubungi jika terjadi sesuatu. Dia juga tampaknya tidak terpikir demikian.
Lalu tanpa adanya pertanda apapun, notifikasi sebuah pesan instan pun berbunyi nyaring dalam satu nada. Layar sempat memuat Yuuma dalam sebuah nama tampilan. Aku menggelak geli, entah apanya yang lucu. Mungkin karena kenyataan bahwa bisa jadi dia kangen dan mendapati aku tidak ada di bangku terdepan kelas, lalu dia berinisiatif untuk bertanya pada siapapun yang sudi direcoki olehnya.
Aku sempat meminta maaf, karena semua ini begitu tiba-tiba dan subuh tadi ibuku panik mengatakan kami harus segera berangkat kalau bisa detik itu juga sampai di sana. Dia bilang dia memaklumi dan sejurus kemudian, dia menyayangkan bahwa sebenarnya hari itu dia mau membawaku ke sebuah tempat.
Percakapan itu terputus saat dia bilang kelasnya akan praktek kimia, jadi kami akan berbincang lagi nanti. Aku hanya membaca, dan membiarkannya. Aku bukan tipe orang yang akan mengirimkan suatu jawaban yang sia-sia. Lebih baik tidak ada sama sekali. Biarlah tanda R yang muncul di teleponnya sana menjadi bukti bahwa aku masih mendengarkannya. Setidaknya lebih baik daripada tidak menghiraukan.
Sekembalinya aku dari Hokkaido, semuanya tetap sama. Hanya saja, mungkin dia merasa seperti seorang bocah yang kegirangan baru saja dibelikan telepon genggam oleh orang tuanya. Dia (terlalu) sering mengirim pesan instan padaku. Atau mungkin hanya karena teleponku yang pada masa ini sangat sunyi bak kuburan, aku jadi melebih-lebihkannya?
Percakapan kami melalui media sosial hanya sebatas bertanya kabar dan apa yang akan kami lakukan siang nanti. Tidak ada yang berlebihan, tidak ada yang berbeda. Kami melakukannya entah apa karena status dua bulan ini, atau karena dia memang sedang tidak ada kerjaan. Setiap hari kami bertemu, tentu saja ini semua menjadi semakin terasa konyol bagiku.
Yang manapun itu, sebuah pikiran tebersit. Apa kami ini benar-benar pacaran? Semua ini terkesan... dipaksakan.
"Tidak ada yang salah kok."
Dia selalu menjawab itu ketika aku menstimulasinya dengan sebuah pertanyaan seperti "Apa kau berpikir ada yang salah?" atau "Apa kita cuma jalan-jalan?" tapi yang kudapat selalu sama.
Bahkan untuk perayaan satu bulan pun, kami hanya melakukan sesuatu yang sedikit saja bedanya; datang ke apartemennya hanya untuk bermain game online. Dari kunjungan tidak terduga itu, aku baru sadar dia adalah orang yang benar-benar kaya harta dan hal ini membuktikan bahwa mataku masih sehat dan tidak salah ketika aku melihat telepon genggamnya adalah iPhone 7. Aku menemukan sebuah poin plus darinya karena ternyata kami memiliki satu kegemaran yang sama. Bermain game, tentu saja.
Di samping itu, mungkin aku hanya perlu sedikit bersabar. Bagaimanapun juga, sebelum semua kekonyolan ini terjadi, kami tidak tahu satu sama lain. Atau setidaknya aku sendiri tidak mengenalnya. Entah darimana dia mengenalku, aku tidak pernah terpikir ingin menanyakannya.
Lalu malapetaka muncul ketika kekonyolan memasuki tiga bulan. Kira-kira itu terjadi selama sebulan, bermula saat tiba-tiba seorang gadis menyatakan bahwa dia menaruh sebuah impresi suka terhadapku di depan kami berdua. Tentu saja dia tidak tahu, dan tidak akan ada yang sadar bahwa sebenarnya dua pemuda ini diam-diam sedang terlibat dalam sebuah komitmen terlarang.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Entah kenapa aku tidak bisa tidur. Sejujurnya aku tidak segitunya memikirkan gadis itu hingga otakku menolak untuk mengurangi aktifitasnya. Lalu aku sadar bahwa ketidakmampuan tidur ini akan terus terulang seperti sebuah karma jika aku tidak segera menjawab malapetaka itu.
Jadi dengan bodohnya, dua hari setelahnya aku bilang pada Yuuma bahwa aku bingung apa yang harus kujawab pada gadis itu—baiklah, sebutlah namanya Miki. Dia gadis yang baik, setidaknya itu karena dia tidak pernah terlihat menggelenjot manja pada para lelaki yang bisa membuat seorang gadis terkesan begitu buruk di mata siapapun.
Aku semakin tidak merasa nyaman karena sudah mengabaikan gadis itu selama seharian, atau mungkin dua hari ini. Aku tidak sesering itu mendapat pernyataan rasa suka dari seseorang, terlebih dari seorang gadis.
"Kau pikir aku harus jawab apa?"
"Jawab saja kau gay."
"Bangsat."
Lalu aku memutuskan untuk menjawab malapetaka itu dengan alasan aku hanya ingin sendiri. Miki mengangguk paham, tapi matanya menyiratkan lain. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar percaya padaku. Aku pikir aku hanya terlalu banyak memikirkannya.
Hari ini Yuuma mengajakku mengunjungi toko buku. Ada buku yang sedang dicarinya. Aku ikut dan nyaris tidak membawa uang kalau saja aku tinggalkan tas sekolah di rumah. Kami naik kereta satu kali lalu turun di stasiun. Alasan kenapa dia tidak membawa mobil adalah karena dia sedang malas mengisi bahan bakarnya.
Sesampainya di sana, kami berjalan berdua tanpa adanya kontak fisik yang terjadi. Dia seolah enggan menggenggam tanganku, tapi aku juga tidak pernah mempermasalahkannya. Aku sudah terlalu sering memikirkan sebab-musababnya, dan tidak pernah menemukan jawabannya.
Kendati demikian, hampir tidak ada jarak di antara kami. Hampir itu mungkin karena dia menyengajakannya. Aku mendekat, dia menjauh. Dia berusaha untuk tidak segamblang itu memperlihatkan ketidaknyamanannya. Aku awalnya gusar, tapi kubiarkan saja akhirnya.
"Yuuma, bisa kau ambilkan buku itu?"
"Tentu."
Mungkin dia tidak sadar, akupun tidak sadar bahwa ketika itu, lengan telanjang kami berbenturan dengan kasar. Kulit bersentuhan. Terkejut, kami spontan saling pandang. Tentu saja tanpa adanya semburat merah atau apapun itu yang terkesan stereotip. Aku sempat salah tingkah, lalu saking hebatnya, sejurus kemudian dia bertingkah seolah tidak ada apapun yang terjadi barusan. Aku dongkol, tapi kupendam.
Apa hanya aku yang bertingkah konyol di sini?
Keesokan paginya, malapetaka itu kembali datang. Kali ini jauh lebih dahsyat daripada pernyataan gadis itu. Entah siapa jahanam yang menyebarkannya. Yuuma kebingungan mendengar akulah sang tokoh utama dalam gosip terpanas di sekolah di hari itu.
Ada yang bilang aku gay. Dan aku tidak bisa membantahnya karena itu memang benar adanya. Bangsat kau karena sudah mengucapkan itu kemarin, Yuuma. Itu doa, tahu.
.
.
Hampir satu bulan, aku memutus komitmen kami berdua. Kujelaskan bahwa ini hanya sementara, sampai mereka para jahanam melupakannya seolah malapetaka dahsyat itu tidak pernah ada. Kalau jodoh, kami akan bertemu lagi. Kalau dia serius, kami akan bertemu lagi. Aku mengucapkannya entah apakah aku bercanda atau aku serius. Awalnya dia tidak setuju.
"Mempertahankan itu lebih sulit daripada mendapatkan."
"Lalu apa hubungannya?"
"Tidak, aku hanya ingin mengucapkannya."
Selain itu, aku juga memintanya untuk tidak menghubungi ataupun menemuiku. Jaga-jaga kalau saja kebersamaan kami justru disalahpahami oleh orang-orang.
Minggu pertama, berjalan mulus. Dia mengabulkan permintaanku dengan tidak sesering itu bertemu denganku. Kalaupun bertemu, dia hanya menyapaku. Lalu sudah.
Masalah mulai muncul saat aku tidak sengaja menonton kutipan adegan film di tayangan televisi. Pasangan muda-mudi begitu mesra—terlalu manis hingga aku muak melihatnya. Mereka berpelukan, di pantai, sore hari. Aku spontan berpaling karena aku langsung teringat Yuuma.
Kenapa harus orang gila itu?
Dialah yang sejak awal sudah menembok jarak di antara kami. Dia bilang kami pacaran, tapi seolah-olah kami tidak pacaran. Tidak ada kata-kata mesra, tidak ada gandengan tangan, tidak ada pelukan, tidak ada ciuman, apalagi seks. Entah apakah itu memang caranya memandang sebuah komitmen atau justru dia hanya mempermainkanku.
Aku memang tidak pernah mengharapkan lebih. Aku malah berpikir sepertinya hubungan kami ini terlalu dipaksakan. Bayangkan, sebelum kekonyolan ini terjadi, aku tidak pernah kenal dengannya. Bertemupun paling-paling hanya sepintas, tidak pernah berteguran selayaknya teman sebaya. Dia juga adalah orang yang introvert—dia sendiri mengakui. Aku merupakan salah satu dari sekian kerabat yang bisa dihitung oleh jari lentiknya, itu juga termasuk dalam pengakuannya.
Kami tidak pernah seintim itu jika berbincang. Dia tidak pernah membahasnya, jadi aku mengikuti alur permainan yang dia suguhkan; kalau dia berpikir itu tidak penting, maka aku tidak akan repot-repot mengungkitnya.
Aku berjalan melewati sebuah etalase toko sepulang sekolah. Tidak sengaja kulihat sebuah sweater membalut tubuh manekin di sana. Warnanya abu-abu. Aku selalu menginginkannya tapi uangku selalu tidak cukup untuk membelinya. Kalau sweater itu masih ada di sana sampai sebulan ke depan, akan kupaksa Yuuma membelikannya untukku. Itu hakku sebagai pacarnya, 'kan? Haha.
Awal Juni adalah awal musim panas. Fatamorgana kadang bisa terjadi jika suhu telah mencapai 35 derajat celcius ke atas, aku pernah mendengarnya dalam istilah fisika. Genap satu bulan dalam satu minggu ke depan, hubungan kami mungkin bisa kembali seperti sedia kala setelahnya. Entah sejak kapan aku jadi senang menghitung hari. Aku selalu penasaran apakah dia juga melakukan hal yang sama.
Mungkin aku mulai merindukannya. Kadang aku berhalusinasi melihatnya. Dia berjalan di pinggir jalan, dia berjalan melewati kelasku, dia berjalan di kantin. Fatamorgana ini pasti penyebabnya. Makanya aku sering membawa air minum ke mana-mana, dan meminumnya—siapa tahu kekurangan cairan membuatku tidak fokus.
Lalu malapetaka ternyata belum berakhir sampai satu bulan itu. Ada lagi yang lebih mengerikan daripada itu.
"Piko-kun." Miki mencegatku di sayap kanan sekolah.
"Ada apa?"
"Ada waktu luang?"
"Memangnya kenapa?"
"Bisa ikut aku sebentar gak?"
Kami berjalan ke taman sekolah. Suasana sunyi—aku jadi curiga dia akan berbuat yang macam-macam padaku di sini. Tapi mari kita berpikir positif. Dia butuh privasi hanya denganku. Kadang aku berpikir tanpa adanya sebab yang jelas, seberapa tidak warasnya dunia ini.
"Piko-kun bukan gay seperti yang ada di gosip itu, 'kan?"
Bangsat. Kenapa orang-orang masih saja ingat dengan malapetaka jahanam itu? Atau mungkin, hanya Miki yang terlalu freak sehingga masih bisa mengingatnya?
"Kalau Piko-kun masih normal, bagaimana kalau coba-coba pacaran denganku untuk membuktikannya?"
Ternyata malapetaka jahanam itu benar-benar masih berlanjut.
.
.
Untuk pertama kalinya aku menangis setelah insiden saat aku berumur 7 tahun—aku tidak sengaja menginjak paku dan menangis sejadi-jadinya seusainya.
Ini sudah genap lima bulan jika aku masih berpacaran dengan Yuuma saat itu. Ini sudah genap lima minggu jika aku ternyata masih berpacaran dengan Miki saat itu. Ini sudah genap lima hari jika aku memutuskan untuk membolos dengan dalih depresi saat itu.
Semua berlangsung terlalu cepat.
Aku mengambil keputusan paling menyeramkan yang rasanya pernah kuambil setelah peristiwa kekonyolan itu. Tanpa sempat berpikir jernih aku mencoba membuktikannya bersama Miki. Hampir semua orang langsung percaya bahwa memang aku masih waras. Mungkin ada yang tidak, tapi aku tidak mengetahuinya.
Berita ini lantas cepat terkuping oleh pemuda berambut merah muda itu. Malah dia sendiri yang menangkap basah kami. Miki bertingkah seakan ini hal yang wajar, lalu aku hanya menatap Yuuma dengan tidak percaya.
Dia seolah tidak peduli.
Dia seolah tidak peduli.
Dia seolah tidak peduli.
Apa? Kenapa dia seolah tidak peduli? Kenapa bisa?
"Selamat pagi, Kazeno-kun."
"Oh. Selamat pagi, Furukawa-san—" dia beralih padaku, "—dan Piko."
Aku tersenyum kecut.
Oh iya, catat. Itu masih bagian perkenalan dari wacana bencana apokalips ini. Kira-kira itu di hari ketiga.
Minggu pertama, aku mulai merasa muak dengan perempuan ini. Dia marah saat aku menolak kencan, dia marah saat aku lambat membalas pesan teksnya. Apa lagi setelah itu? Apakah dia marah kalau aku bilang aku muak padanya?
Mulai dari sini, aku merindukan Yuuma. Aku mulai merindukan dia yang tidak pernah keberatan, tidak pernah peduli seberapa aku sering mengabaikannya. Aku akui dia terlalu keras kepala untuk menanggapi reaksi dinginku terhadap semua itu. Dia pasti selalu masih ada di sana, menungguku memanggilnya. Menggelikan rasanya, terkadang.
Memasuki konflik, aku dengar dia mendaftarkan diri masuk perguruan tinggi di sebuah universitas ternama. Hari itu tes ujian dilaksanakan. Hari itu aku memutuskan untuk terpaksa menerima kencan perempuan itu. Hari itu aku melewati bangunan di mana tes ujian dilaksanakan. Hari itu aku melihat bangunan itu terbakar.
Aku sontak berpikir dia masih ada di dalam bangunan itu. Jadi aku mengirim pesan instan padanya—lalu saat aku sadar betapa tidak sabarnya aku menunggu, jadi aku langsung menerobos masuk ke dalam kerumunan pemadam kebakaran. Miki sempat meneriakiku, tapi aku tuli.
Padahal kalau dipikir jernih, pastinya dia sudah keluar bersama peserta lainnya. Tidak mungkin mereka masih terkurung di dalam sana.
"Hoi, Nak—KAU GILA? ITU API!"
"Jangan masuk, Bung!"
Aku tidak peduli. Tepat saat aku melepas diri dari cengkraman seorang yang mungkin pemadam, aku tertangkap lagi oleh seseorang.
"Piko!"
Aku sampai tidak sadar lagi suara siapa itu. Yang aku ingat setelahnya, aku diseret paksa ke dalam kerumunan lagi, namun akhirnya menjauh dari keributan api.
Ternyata itu Yuuma.
"Mau ke mana kau tadi, hah?"
Aku tidak paham apa yang baru saja terjadi. Dia mendengus, tampak sekali kekesalannya.
"Kau tadi berlari ke arah api, kau tahu?"
Aku tahu.
"Aku pikir kau ada di dalam sana."
Kalimat itu terdengar terlalu polos. Aku saja berasumsi demikian, apalagi dia. Lalu dia tertawa. Geli mungkin.
"Dasar bodoh. Kau pikir aku sebodoh itu jadi tidak sadar kalau kebakaran terjadi sebelum membakar seluruh bangunan?" Tawanya diakhiri dengan wajah serius seperti biasa. "Kenapa kau mengejarku ke dalam?"
Aku tidak bisa menjawab. Atau lebih tepatnya, aku tidak tahu harus menjawab apa.
"Mungkin karena aku memang benar-benar bodoh?" Pada akhirnya, sarkasme itu terlontar dariku. Dia mengangkat sebelah alisnya sebelum tertawa lagi.
"Bodoh. Kau sama bodohnya denganku."
Lalu dia membawaku ke mobilnya.
"Bagaimana dengan tes tertulismu? Diundur?" Aku bertanya basa-basi. Kulihat isi mobilnya sama seperti yang biasa kujumpai. Datar.
"Ya, diundur. Mereka memikirkan tempat berikutnya."
Perbincangan mati terhenti sampai di situ. Dia memfokuskan diri pada rute perjalanan, aku hanya bungkam. Dia sama sekali tidak membahas apa yang baru saja nyaris kulakukan. Aku nyaris mempertaruhkan nyawaku hanya untuk menyelama—tidak, memastikan dia tidak mati terpanggang di dalam bangunan itu. Tapi dia tidak menyebut-nyebutnya lagi.
Kenapa aku malah kesal?
"Piko."
"Apa?"
"Bagaimana hubunganmu dengan Furukawa-san?"
Bagus. Dia malah membahas sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan aksi heroik yang nyaris kulakukan tadi—apa dia segitu tidak pekanya?
"Kurasa setelah kutinggalkan tadi, dia akan benar-benar memutuskanku."
"Oh, tadi kau sedang kencan dengannya?"
"Terserah kau mau menyebutnya bagaimana."
Kali ini dia mengerutkan dahi. "Menarik. Sudah kuduga tebakanku benar."
"Kau menebak apa?"
"Bukan apa-apa."
"Hoo, main rahasia-rahasiaan sekarang?"
Dia mendelik. "Aku tidak rahasia-rahasiaan. Kurasa tidak ada gunanya memberitahu itu padamu."
Mobil pun berhenti. Entah ini ada di mana, tapi dia memutuskan untuk berhenti. Entah untuk apa dia berhenti.
"Piko."
"Hah?"
"Kau masih berpacaran dengan Furukawa-san?"
Dia membahas itu lagi. "Kalau bukan aku, mungkin dia yang akan mengakhiri hubungan kami."
"Setelah kau putus dengannya," tangannya menggenggam erat kemudi, tampak gelisah, "mau pacaran denganku lagi?"
Aku awalnya bengong.
"Tidak kusangka kau akan menembakku untuk kedua kalinya di tempat seperti ini."
"Kau tidak suka?"
"Bukan begitu. Maksudku, aku tidak menduganya."
"Jadi bagaimana?"
Mata kami mengarah ke satu sama lain. Aku pun mengalihkan tatapan. Pandangan itu membuatku terasa terbakar. Aku tidak suka sensasi ini. "Kalau kita pacaran, apakah kita akan kembali seperti dulu?"
"Mungkin."
"Tidak ada gandengan tangan, tidak ada ciuman?"
"Apa kau mau kita seperti itu?"
Aku memutuskan untuk tidak menjawab. Dadaku terasa terlalu bergemuruh, sehingga aku tidak mampu memberikan respon secara verbal.
Tapi sepertinya dia paham.
"Mau apa kau?"
Dia tiba-tiba mendekatiku. Aku terkejut dan sebuah pikiran pun terlintas—apa mungkin dia mau mengabulkan ucapanku barusan?
"Menciummu. Seperti yang kau bilang tadi."
Sepertinya dia terlalu paham.
Dia tidak sedang mabuk, 'kan? Ke mana perginya prinsip "pacaran tidak harus ciuman" yang sering digadang-gadangnya itu? Tapi saat aku melihat wajahnya, kenapa aku menangkap sebuah keputusasaan di sana? Atau aku hanya salah lihat?
"T-tapi tidak harus sekarang, bukan?"
"Kurasa kau tidak akan mau menerimaku lagi kalau aku tidak mengabulkannya."
"Y-Yuumaa!"
Suara telepon berdering. Mematungkan kami untuk sementara sebelum akhirnya aku sadar bahwa itu adalah suara telepon genggamku.
"Itu... ponselku."
Dia tampak mendengus saat aku menjawab teleponku. Dan ternyata, ibuku bertanya mengenai keberadaanku saat ini, dan menyuruhku pulang sekarang juga. Entah kenapa aku malah merasa lega karena... sesuatu yang seharusnya terjadi tadi diinterupsi oleh panggilan ibuku.
"Aku... disuruh pulang."
"Sekarang juga?"
Aku mengangguk. Dia terlihat kebingungan, tapi dengan cepat dia kembali mengontrol dirinya. Dia membenarkan posisinya, lalu menyalakan mesin mobil.
"Kuantar."
Selama perjalanan pulang, kami tidak berbicara sedikitpun. Untuk pertama kalinya, aku sama sekali tidak mau dia membahas segala hal saat ini.
.
.
8122016. FID1. YV