Chapter 4 : A Replacement

.

Sudah hampir satu bulan Luhan tinggal di kediaman baru.

Oh Sehun, pria banyak uang itu, tak mengizinkan Baekhyun untuk turut membayar uang sewa. Entah berapa pundi-pundi uang yang dihasilkannya per hari, tapi Luhan yakin kekayaan Sehun tidak akan habis barangkali hingga satu milenium ke depan. Oleh sebab itulah Luhan berupaya untuk membayar dengan cara lain, yaitu turut membersihkan kondominium hingga mengerjakan cucian—sebagai babu, kalau boleh merendah.

Lantas ia menggeliat, seperti ulat. Bermalas-malasan, tidak ada agenda apapun yang harus dikerjakan. Kuliah dimulai jam sebelas, sedangkan sekarang masih delapan. Jadi jangan salahkan penampilannya yang kini lebih menyerupai gelandangan kota, acak-acakan.

Tak lama setelah itu, ia bangkit untuk mempersiapkan hidangan sarapan, ikan tuna kesukaan Sehun. Jangan tanya bagaimana Luhan bisa hapal betul kesukaan lelaki itu, bahkan rutinitas hariannya saja sudah Luhan ingat di luar kepala.

Hidup Sehun terlalu monoton, lagipula.

Pria itu menghabiskan waktu berjam-jam untuk menulis novel dengan ditemani asap rokok. Jarang sekali keluar selain untuk mencari inspirasi dan mengantar-jemput Luhan ke kampus.

"Tuna lagi?"

"Tidak suka?" Luhan menaikkan matanya dari daging fillet tuna yang tengah diiris sejajar.

Sehun, dalam posisi menoleh dengan cangkir kopi di tangan, menaikkan sudut bibirnya sekilas. "Aku suka semuanya." Kemudian menyesap cairan kafein dalam cangkir tanpa mengalihkan irisnya dari Luhan.

Sukses membuat Luhan bingung harus memberi respon seperti apa.

Memang, hidup bersama selama satu bulan membuat Luhan sudah banyak mengerti, menghapal keseharian Sehun. Bahasa singkatnya, ia sudah lebih banyak mengenal Sehun—ini termasuk dengan fakta bahwa Sehun selalu memakai kemeja formal baik untuk sekedar tidur ataupun menemaninya berbelanja.

Namun tetap saja… Sehun dan irit bicaranya kadang bertingkah tak biasa dan tak terduga. Luhan tidak masalah jika perlakuan tiba-tiba yang dimaksud adalah dengan menariknya ke mobil agar cepat berangkat ke kampus. Tetapi jika dengan menariknya ke sofa, memeluk dari belakang, atau yang terparah meniup lubang telinga, itu sudah tidak bisa ditolerir.

"E-eh? Apa?"

Meski begitu, tetap saja gugup melanda acap kali dada Sehun menekan punggungnya.

Sehun tersenyum. Menekan dahinya hingga hidungnya tenggelam diantara surai rambut Luhan, menghirupnya perlahan. Sementara gerakan tangan Luhan yang tengah mencuci piring terpaksa berhenti.

"Aku kekurangan Luhan."

"He?"

Dekapan mengerat. "Menulis itu melelahkan, aku perlu men-charge tenagaku. Dengan Luhan."

Luhan hilang keseimbangan kala Sehun menarik tubuhnya untuk diarahkan ke sofa. Ujung jari kakinya sedikit menjinjit selama mengikuti dekapan Sehun, lalu turut mendarat hingga menduduki paha pria itu.

Degup jantung meningkat tajam. Luhan yakin benar kemana ini akan berakhir. "T-tunggu, Sehun… Jangan bermain-main dengan tubuh orang lain!" nada terakhir bicara Luhan terdengar melengking, tepat ketika tangan Sehun bergerak mengusap ke bawah perutnya.

"Kau bilang seperti itu, tapi bagian sini nampak menyukainya."

Sentuh.

Sentuh.

Usap.

"H-hey! Kau pikir dimana kau meletakkan tanganmu?!" pipi Luhan memerah tajam, merona hangat.

"Luhan," tangan kanan Sehun menahan gerakan Luhan yang ingin melepaskan diri. Tangan kiri tak berhenti mengusap dan menekan. "Sebelum aku menyentuhmu seperti ini, apakah selama ini kau melakukannya sendiri?"

Luhan hendak membantah, namun pijat intim di daerah selangkangan terpaksa membuatnya sulit bersuara. "A-aah…"

Dan hanya bisa mendesah.

Punggungnya membusur, kepala menunduk. Kelopak mata ditutup rapat-rapat karena ia tak bisa jika harus menyaksikan tangan Sehun yang masuk ke dalam celana.

"Malu-malu, hm."

Sehun turut membusurkan punggung, menekan tulang selangka Luhan dengan menggunakan dada. Wajah condong ke depan demi meraih ujung atas tulang rawan telinga Luhan untuk digigit. Dijilat.

Sosok di pangkuannya melenguh. Sehun tertawa.

"Hen—tikan… ah.. kau—paman mesum…"

Jari-jari kaki Luhan mengerut, menggesek lantai seiring sentuhan yang berubah cepat. Begitu merasa miliknya semakin mengeras naik, Luhan memaksa matanya untuk terbuka, dan menepis kuncian tangan Sehun. Didorongnya pundak Sehun, yang kemudian dirinya melangkah mundur dengan limbung. Tak menyadari ada setumpuk naskah selangkah di belakang. Sandung tak terelakkan, Luhan pun jatuh dengan bokong terlebih dahulu, menimpa lembar-lembar naskah yang kini berceceran dan juga beterbangan.

Ringis perih keluar. Luhan mengusap-usap bokongnya yang baru saja mencium lantai.

"Hey, hey, kau mengacaukan naskahku."

Luhan mendelik pada sosok yang baru bangkit dari sofa. Dilihatnya Sehun mulai membakar ujung rokok tanpa melirik kearahnya sama sekali.

"Berisik! Ini salahmu yang meletakannya di lantai!" raungnya. Luhan sudah hampir melanjutkan sumpah serapah kala selembar naskah jatuh mendarat di wajah.

"Eh?"

Alis Luhan yang menukik perlahan mulai naik melengkung. Matanya berkedip-kedip kala menilik isi naskah yang kini di genggaman tangan.

"Lu Han." Kim Se Hun mengatakannya dengan lembut, tidak dengan intonasi yang biasa. Ia nyaris terlelap dalam posisinya ketika Cho Lu Han datang merangkak, erotis dengan kondisi tubuhnya yang tak berbusana…..

Samar-samar Luhan menggeram. Kertas di tangannya berubah kumal karena cengkraman yang terlalu kuat. "Kau, sialan. Kau bahkan tak meminta izin untuk menggunakan namaku sebagai tokoh mesum." Kalimatnya terdengar berat, patah-patah.

Sehun menggaruk belakang tengkuk. Mengeluarkan satu desah napas panjang, kemudian, "Jangan cemas. Akan kupastikan ada pembuka 'Ini adalah cerita fiksi. Kesamaan nama tokoh dan karakter dengan orang nyata, hidup ataupun tidak, murni kebetulan semata." paparnya, sembari menunjuk naskah halaman pertama.

"BUKAN ITU MASALAHNYA!"

Luhan meledak. Rasanya ingin mencakar wajah tak bersalah milik Sehun. Seperti seekor kucing yang mengacaukan koran, kini ia merobek-robek lembar naskah dengan anarkis. "PUAS, HA? Mulai sekarang tidak akan pernah bisa kau terbitkan!"

"Kau itu bodoh atau apa? Dokumen aslinya ada di dalam sini."

Mata Luhan melotot ke disket di tangan Sehun. Dalam posisi jongkok, ia memasang tampang kian murka. Sebelum Sehun melangkah lebih jauh, kini Luhan berlari sambil melompat demi menggapai disket yang ditinggikan.

"Berikan padaku! Kau melanggar hak ku! Ini tindakan asusila! Asusila!"

Akhirnya berhenti melompat untuk mengisi paru-parunya yang sesak. "Kenapa kau selalu melakukan ini? Semua ini adalah tindak pelecehan seksual, tidak kah kau mengerti?!"

"Kenapa aku melakukan ini? Ha, pertanyaan yang sia-sia. Jawabannya sudah jelas." Sehun menekan dinding dengan satu tangan. Wajahnya memasang tampang pongah. "Karena aku menginginkannya."

Aku benar-benar akan membunuhnya!

.

.

.

.

.

Seoul National University bukan sekadar universitas negeri biasa, melainkan sudah dinilai sebagai yang paling prestisius di Korea Selatan. Melalui seleksi dengan ketetatan tinggi, Byun Luhan, salah seorang siswa SMA yang hobi melamuni guru muda Jinhee pengajar bahasa Inggris, berhasil lolos setelah perjuangannya yang luar biasa.

Awalnya Luhan sempat mengira bahwa para mahasiswa didominasi oleh mereka yang berasal dari keluarga konglomerat, setaraf kekayaan Sehun kira-kira. Namun rupanya mayoritas mahasiswa berasal dari keluarga menengah seperti dirinya. Sehingga tentu saja Luhan pikir tak mungkin ada kesenjangan sosial yang menyebabkan dirinya sulit bergaul.

Tapi hari ini, pagi pukul sepuluh tiga puluh, Luhan kembali harus menelan kenyataan pahit.

Ketika sebuah Lykan Hypersport berwarna merah cerah berhenti di depan gerbang, semua pasang mata mahasiswa otomatis mengarah ke sana. Mobil yang terlampau elit, sampai-sampai bisa menutupi kemegahan universitas itu sendiri.

Seseorang keluar dari kursi penumpang. Pasang-pasang mata di sekitar halaman tak kunjung berhenti menatap kesana. Malah berubah melotot.

"Hubungi aku kalau sudah pulang. Kujemput."

Luhan menggaruk sebelah pipi yang tak gatal sebelum menyahut. "Oke."

"Luhan."

"Ya?"

"Have a good day."

Dalam posisi merunduk ke jendela, Luhan mematung beberapa detik. Wajah Sehun tak terlihat seperti biasa. Tidak biasa dengan sungging senyum tipis di bawah kacamata hitamnya.

"Hm, ya, kau juga." jawab Luhan kemudian, terdengar ragu-ragu.

Mobil melesat maju sebelum Luhan menegakkan punggung. Pemuda itu tetap memantapkan sorot mata pada kap mobil yang menjauh. Tak menangkap suara bisik-bisik yang kini terdengar di seluruh halaman kampus.

Telinganya baru bekerja dengan baik kala Luhan berbalik. Puluhan pasang mata beserta bisik suara, menuju padanya seorang. Luhan menelan ludah canggung. Keheningan yang ada malah membuat keadaan semakin buruk. Ketika Luhan melangkahkan kaki, seluruh mahasiswa itu mundur bersamaan. Menjauhi Luhan seakan anak itu memiliki penyakit kulit menular.

Luhan menaikkan pundak, menutupi muka yang kini merah sekali. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian. Terlebih jika ia tak mengerti alasan dibalik perhatian tadi.

"Apa ini akan terus terjadi selama empat tahunku kuliah?" ia bergumam, tak terdengar siapapun karena siapapun menjauh minimal tiga meter darinya. Berfirasat buruk bahwa seluruh waktunya di kampus akan dihabiskan seorang diri.

Diawal Luhan kira perhatian itu ia dapat dikarenakan paras baby face nya yang memikat, tapi sepertinya meleset. Muka-muka para mahasiswa itu tak nampak terpesona dengannya atau apa.

Kini pun Luhan hanya bisa menekan dahi ke permukaan meja. Perhatian-perhatian menjengkelkan itu tak luput mengarah padanya bahkan hingga ia tiba di kelas. Kepalanya mengusak-usak meja, menahan kesal.

"Kau berkenan mengizinkanku duduk di sini?"

Luhan, membawa matanya yang sipit, menatap sesosok laki-laki berkacamata dengan tas sampir. Keduanya menukar tatapan. Luhan dengan mata nyaris menangis, sosok satu lagi dengan mata melengkung manis.

"Oh, tentu! Silakan." Luhan menjawab terlalu bersemangat. Barang-barang miliknya dirapikan, raut wajah suramnya ganti jadi sumringah.

Andai kata Luhan adalah seekor anak anjing, telinganya akan naik keatas, ekor mengibas-ngibas. Saking senang karena mendapat teman setelah hari-hari penuh kesendirian selama di kampus.

.

.

.

.

.

"Mahasiswa baru, ya? Jurusan apa?"

Luhan tidak mungkin menyia-nyiakan percakapan perdananya dengan seorang teman baru. Jadi, dengan melewatkan ceramah dosen di depan ruangan, ia bawa kepalanya menoleh untuk menemukan si teman baru. Luhan sampai membawa tubuhnya condong ke depan saking antusias.

Matanya bersinar. "Literatur."

"Oh? Kau adik tingkatku kalau begitu."

Sedikit berubah gugup. Jika saja dari awal Luhan tahu sosok di depannya adalah senior, pasti ia akan merubah tingkah polahnya menjadi lebih santun. "N-namaku Byun Luhan."

"Hm?" pemuda itu mulai menopang dagu. Matanya lebih lekat menatap. "Bukan marga Oh?"

"Huh?"
"Seseorang yang selalu mengantar-jemput mu setiap hari, bukankah itu novelis Oh Sehun?"

Ekspresi Luhan berubah. Mata anak anjingnya lenyap perlahan. "Maaf, tapi… katakanlah ini hanya sekedar imajinasiku. Namun, hm, alasan orang-orang menjauhiku, apakah berkaitan dengan Oh Sehun?"

Datang satu kedikkan bahu dari pemuda di depannya. "Ini universitas negeri. Hampir seluruh mahasiswa berasal dari keluarga menengah, benar?"

Luhan ingin berspekulasi buruk. "Benar."

"Kemudian, di hari pertama kuliah, kau diantar dengan satu mobil mewah yang warnanya merah cerah. Lebih dari itu, pengemudi dari mobil mewah tadi tak lain dan tak bukan adalah Oh Sehun, novelis tersohor yang digandrungi anak muda. Lalu, kau bisa simpulkan sendiri apa yang orang-orang pikirkan tentangmu. Apakah Byun Luhan adalah kerabat keluarga Oh Sehun? Sahabatnya? Kekasih? Aku ingin bertanya, tapi malu! Kira-kira seperti itu."

JADI BENAR DIA PENYEBABNYA!

Luhan ingin mendumal lebih panjang, namun kala sadar masih ada sepasang mata menatapnya, ia menegakkan punggung kembali. Ingin memberi klarifikasi. "Um, ada beberapa kondisi yang mengharuskanku tinggal di kediaman Sehun." Jari-jari tangannya bermain-main. "Aku bukan kaum elit atau apa, biasa saja."

"Ah, tebakanku tidak meleset. Kau memiliki aura yang sama dengan orang-orang kebanyakan." Luhan membuang desah napas lega.

"Well, kau selalu terlihat murung. Maka dari itu aku mencoba mendekatimu."

Sosok di depannya mengembangkan senyum, atmosfer turut menghangat. "Kim Jongin. Senang bertemu denganmu."

Luhan kembali menampakkan mata berbinar-binar. Tangan Jongin yang terjulur ia tangkup, diremasnya hingga membuat si pemilik tangan melotot.

"Teman baru!"

.

.

.

.

.

Tidak seperti biasanya. Luhan sangat banyak bicara sampai Sehun pun sangsi adakah waktu untuk anak itu menarik napas. Barangkali jika disusun dari awal, panjang narasi anak itu bisa mencapai setengah novel buatannya.

Terlepas dari tanggapan Sehun yang hanya sebatas gumaman, Luhan tak berhenti mengoceh. Menceritakan satu subyek yang sejak tadi dijadikan topik.

"Jongin sunbae benar-benar keren! Dia mencemaskanku ketika orang-orang menjauh."

"Hm."

Kedua tangan mungil saling menangkup. Luhan kembali berujar bersama serangkai senyum lebar. "Dia bilang, dia salah satu anggota Research Group. Benar-benar hebat."

Luhan tidak melihat asap rokok yang dihembuskan Sehun kini terkesan ganas. Barangkali asap itu adalah api, Sehun menyerupai naga yang berang setengah mati.

"Aku ingin seperti Jongin sunbae! Aktif di grup yang sama dan—"

"Kalau kau punya cukup waktu untuk berorganisasi, lebih baik carilah pekerjaan part-time. Itu jauh lebih menguntungkan." potong Sehun, sekaligus menjadi satu-satunya tanggapan selain 'hm' dari semenjak dirinya memasuki mobil.

"Aku sudah tahu itu." jawaban Luhan terdengar ketus. Intonasi datar milik Sehun membuat moodnya kacau dalam sedetik. Maka ia berpaling ke jendela. "Sunbae juga kerja part-time sebagai bartender tengah malam, gajinya lumayan. Mungkin aku akan ikut bekerja disana."

"Tidak boleh."

"Kenapa?" Luhan tidak terima. Ia menoleh dengan membawa mata sipit mendelik. Cara berbicara Sehun entah sejak kapan berubah otoriter. Terkesan tidak mau dibantah.

"Kalau kau mau bekerja, cari waktu pagi atau siang. Bekerja malam hari akan mengganggu jadwal kuliahmu keesokannya." asap rokok kembali diembus. "Kau sudah bersusah payah untuk masuk kesana. Jadi pastikan kau tak tertinggal di belakang apalagi di drop out karena sering terlambat atau bolos."

"Meskipun otakku tidak secair milikmu, paman Sehun, tapi percayalah aku tidak akan tertinggal." Luhan menekan punggungnya ke belakang. Sedikit banyak merasa rendah diri akibat perkataannya sendiri barusan. "Lagipula ada Jongin sunbae. Aku bisa meminta bantuannya tiap kali sulit memahami materi."

"Meminta bantuan pada orang yang bekerja di klub malam, orang berotak dangkal, mana bisa."

Luhan seketika geram. Nada bicara Sehun memang tak terkesan menyudutkan, tetap datar sebagaimana biasa. Namun bagaimana cara pria itu menilai seseorang yang bahkan belum pernah ditemui dirasa sangat arogan.

"Hey, jangan menghina seseorang yang bahkan belum kau temui! Kau akan tahu, sunbae tidak seperti—"

"Pikirkan sedikit tentang Baekhyun yang bekerja demi membiayaimu kuliah! Jangan habiskan waktu belajarmu untuk bergaul dengan orang seperti dia."

Mulut Luhan terbuka sesaat. Sedikit terguncang setelah menangkap emosi dalam kalimat Sehun. Tanpa menatap sisi wajah pria itu lama-lama, akhirnya Luhan kembali menghadap jendela. Tangan kiri meremas erat sabuk pengaman.

.

.

.

.

.

Luhan tidak habis pikir. Ada apa dengan Sehun hari ini.

Setelah tiba di basement dan menuju kondominium, keadaan tidak sama sekali membaik. Tak ada embus asap rokok, Sehun hanya diam melangkah lebar-lebar hingga berhasil masuk ke kamar. Selama Luhan berkutat dengan makan malam pun, Sehun melewati dapur begitu saja. Lantas duduk diam lantas membuka lembar koran.

"Sial." umpatnya saat tak sengaja menjatuhkan lobak. Ingatan sore tadi terasa begitu mengganggu.

Luhan menjeda gerak pisau begitu menangkap dering telepon dari sisi kiri ruang tamu. Ditatapnya Sehun yang tak beranjak dari sofa, tak terlihat ingin mengangkat panggilan, lantas Luhan bersungut tanpa suara. Lobak setengah dibanting, kaki dilangkahkan cepat-cepat.

"Halo, selamat malam—Oh, hyung!" seketika suaranya berubah ceria.

Tak sadar bahwa Sehun tak lagi berfokus pada bacaan.

"Ya, aku baik. Bagaimana disana?"

Sehun mulai beranjak. Meniti langkah hingga tiba persis di sisi tubuh Luhan. Anak lelaki itu sempat terkejut begitu merasakan singgungan pada tangan kanan.

"Ahahahah… Kau terlalu mencemaskanku, hyung."

Luhan mengernyit kala menemukan tukik alis Sehun. Sebenarnya apa masalah pria itu?

"O-oh, iya. Akan kuberi telepon padanya."

Disodorkannya gagang telepon pada sosok menyeramkan di samping itu. Sehun menerima dengan tidak acuh, nampak sekali moodnya belum pulih dari semenjak pulang menjemput Luhan.

"Baekki, sombong sekali. Baru meneleponku dua kali dari semenjak pindah."

Langkah Luhan terjeda. Intonasi suara Sehun berubah dalam sekejap.

Dari atas konter, Luhan raih lobak yang tadi belum sempat ia potong. Pisau sudah siap mengiris kala Luhan dibuat mendelik usai mendengar kalimat dan tawa Sehun. Pria itu terkesan senang sekali hanya dengan sekadar panggilan telepon dari Baekhyun.

Entah mengapa, sedikit banyak, itu mengganggu Luhan.

Sehun menegur, melarang dirinya untuk dekat dengan orang lain seperti Jongin. Sementara pria itu sendiri luar biasa manja pada kakaknya. Luhan hanya berpikir untuk mendapatkan teman, namun Sehun malah menanggapi dengan larangan dan bentakan.

Matanya kembali melirik pada senyum Sehun di ujung sana. Untuk beberapa alasan Luhan tidak suka bagaimana bibir itu lebih sering datar ketika berkomunikasi dengannya, namun tersenyum ketika dengan Baekhyun meskipun sekadar melalui panggilan telepon.

Lobak diiris.

Luhan mengerti, Sehun pernah menyukai kakaknya. Bukan hal yang mustahil apabila Sehun tetap menyimpan cinta dikala Baekhyun sudah terikat dengan seorang perempuan. Karena perasaan Sehun pada Baekhyun sangat tulus dan Luhan paham akan itu.

Sehun mungkin idiot. Untuk menyukai seseorang dan memendamnya selama lebih dari sepuluh tahun. Untuk setia dan tetap pada perasaannya meskipun Baekhyun tak sama sekali kunjung membalasnya.

Namun apakah rasa kecewa Sehun saat mendengar pernikahan orang yang dicinta membuat pria itu coba melupakan dan beranjak dari masa lalu, Luhan tidak tahu. Sikap Sehun tidak sama sekali berubah terhadap Baekhyun dan Luhan seperti tidak bisa menangkap emosi apa-apa di raut wajah Sehun—tidak seperti malam lalu, kala Sehun mencairkan tangis di pundak sempit miliknya.

Lalu, mengapa Sehun selalu menyentuhku?

Asumsi-asumsi buruk yang bermunculan membuat Luhan seketika merasa pening. Lobak di tangan digenggam kuat-kuat. Pandangan mata mengabur seketika, terhalang gumpal air mata.

Sehun adalah lelaki tulus, dan tidak ada alasan mengapa pria itu harus melarikan sentuhan sensual di tubuhnya, kecuali karena Sehun memerlukan pengganti. Pengganti dari Byun Baekhyun yang tak bisa ia gapai, Byun Luhan.

.

.

.

.

.

Review, sweetie?