WARNING

Remake from Junjou Romantica Anime

I don't own ideas but story.

Enjoy.

.

.

Chapter 1 : Meet the Great Lord Oh Sehun

.

.

Ia menendang kerikil, lagi.

Setidaknya itulah pelampiasan amarah paling sederhana dan aman sekarang ini.

Langkahnya dibawa menyeret. Kepala ditekuk ke bawah sampai-sampai ia tak punya harapan jika saja ada orang yang menabraknya dari depan. Rambutnya tak tertata, dan seragam SMA yang melingkup tubuh mungilnya nampak berantakan.

Bahkan orang asing pun tahu bahwa dia tengah berduka karena sesuatu.

Seandainya saja Luhan bisa mengoreksi, ini bukan sekedar tentang 'sesuatu'. Namun lebih ke 'depresi menghadapi ujian masuk universitas setelah mendapat nilai D untuk yang kesekian kali di Try Out sekolahnya siang tadi'.

Maka ia menendang kerikil, lagi. Tendangan terakhir sebelum ia benar-benar masuk ke gedung apartemen, menuju tempat tinggalnya di lantai tiga.

Selama di lift dirinya tak begitu mengerti mengapa alat itu bergerak naik lebih cepat dari biasanya. Padahal di perjalanan sebelumnya Luhan malah merasa lama—untuk menendang bebatuan selagi kepalanya menunduk.

Baru ketika lift terbuka, ia merutuki keputusannya untuk tidak menaiki tangga. Karena sungguh, apapun akan ia lakukan demi mengundur pertemuannya dengan kakak. Demi tak melihat gurat kecewa dari Baekhyun, kakaknya.

Tapi Luhan benar-benar terlambat untuk itu. Tahu-tahu kakinya sudah berdiri di depan pintu, tinggal sejengkal lagi untuk masuk ke apartemen.

Napasnya ia tarik panjang-panjang. Menghembuskannya seraya tangan memutar knop pintu untuk menemukan kakaknya yang—

—bercumbu dengan seorang pria?!

Luhan mematung, disana. Dengan mata bulat dan tangan lemas sampai-sampai nyaris melepas kertas ujian yang sudah nampak kusut.

"Luhan, sudah pulang?"

Apa-apaan dengan 'sudah pulang' itu ketika kau sibuk bercumbu?

Dahi Luhan mengerut tak paham. Masih tak paham mengapa kakaknya yang dikenal tak memiliki kekasih itu tiba-tiba bercumbu di dinding dekat pintu masuk. Tak paham mengapa ada seorang pria familiar yang menghimpit Baekhyun, yang sekarang ikut-ikutan menyipit kearahnya—seakan Luhan tak seharusnya berada di sana.

"Adikmu, Baekki?"

"Uh, oh, ya," Baekhyun mundur sejenak dari jarak intimnya. Namun tetap dalam kungkungan pria satunya. "Luhan, ini temanku, Oh Sehun."

Itulah masa tatap mata mereka. Luhan dengan mata lebarnya, dan Sehun yang tetap sipit semenjak tadi. Itulah, ketika Luhan sadar bahwa Sehun di depannya bukan Sehun semata.

Tapi dia adalah The Great Lord Oh Sehun. Pria muda dengan titel penulis novel terlaris di Korea.

.

.

"Kami tidak seperti itu,"

Baekhyun terkekeh. Bukan karena senang dengan adegan berduaan yang baru saja ia lakoni bersama Sehun. Tapi karena wajah merah Luhan dan mata lebarnya yang seperti hendak keluar.

"Aku melihatnya, hyung. Jangan berkilah."

Sementara Luhan tetap pada teori 'Baekhyun hyung yang ternyata sudah tak lagi lajang'-nya. Mengandalkan bukti yang ia dapat dengan mata sendiri, kini ia menginterogasi Baekhyun seakan tindakan kakaknya itu adalah satu kriminal besar.

"Kami sedang minum soju saat Sehun mabuk dan mendadak memelukku,"

Dan mencium pipimu. Ya, hyung, aku melihatnya.

"Dia memang sering bertingkah aneh saat mabuk," Tawa Baekhyun di sela kegiatan mengaduk sop dalam panci.

Luhan masih tetap di posisinya, menopang dagu di pinggiran sofa, melempar tatapan yang juga tetap sama. Tidak percaya.

"Oh, kau ingat tutor yang aku ceritakan?"

Alis Luhan mengerut tak suka begitu menangkap pengalihan topik. Tapi matanya melebar lagi, ketika mengingat percakapan minggu lalu. Perihal niat Baekhyun yang hendak mencarikan tutor pribadi untuk memudahkannya menjalani tes universitas nanti.

Kepalanya mengangguk antusias tanpa sadar.

Baekhyun mengulum senyum meski matanya tak menangkap keantusiasan Luhan. Kompor ia matikan, kemudian—"Sehun tutormu, Luhan."

Dan Luhan menyesali keantusiasannya menit lalu.

.

.

Seandainya ini tidak terlambat untuk perkenalan, maka…

Byun Luhan, siswa SMA kelas tiga dengan usia delapan belas sebulan lalu. Berkeinginan penuh untuk melanjutkan studinya di Seoul University jurusan literatur—yang kemudian membuatnya berakhir menjadi murid les seorang Sehun.

Sekarang… dia disini. Dengan segelas plastik bubble tea yang berembun, di depan gedung kondominium yang terletak di pusat kota.

Maka Luhan meneguk ludahnya. Merasa ragu untuk masuk ke gedung mewah itu. Karena selain pakaiannya yang hanya berupa jaket dan sneakers, ia juga harus kembali bertatap muka pada si tersangka mesum yang mencumbu kakaknya.

Si pewaris perusahaan besar Oh Group. Yang dalam usia mudanya ke-dua puluh delapan, menjadi novelis termuda yang memperoleh penghargaan bergengsi—The Great Lord Oh Sehun.

Melalui serangkaian takdir, pada akhirnya pria itu juga yang akan menjadi tutornya untuk satu bulan ke depan.

Luhan melenguh tak suka untuk itu.

Kakinya digeret berat-berat. Dari memasuki lobi hingga perjalanan panjang dalam lift, menuju lantai teratas.

Ketika mencapai pintu masuk selebar dua meter, senyumnya dirangkai sebisa mungkin. Karena sebanyak apapun Luhan membenci pria mesum itu—Luhan bersikeras dengan panggilan ini—Sehun tetaplah tutornya yang akan mengajarnya secara cuma-cuma.

Hitunglah satu cup bubble tea tiap pertemuan sebagai cuma-cuma.

Namun hingga bel ke-dua, tak ada tanda-tanda bahwa pintu boros ruangan itu akan terbuka. Akhirnya Luhan ke alternatif lain, untuk masuk tanpa izin setelah memasukkan beberapa kode angka yang sudah Baekhyun beri.

Lagipula Sehun sudah tahu dia akan datang.

Pintu terbuka. Dan Luhan tak perlu menghabiskan waktu sampai dua detik untuk membuat matanya berbinar-binar bercahaya.

Tinggal di apartemen yang tergolong sederhana membuat dirinya tak terbiasa dengan kemewahan ruangan ini. Terlebih Sehun yang ia ketahui tinggal seorang diri, pastilah kondominium ini menjadi berkali-kali lipat luas dari seharusnya.

Kekagumannya membuat kakinya melangkah ke satu set sofa di tengah-tengah. Mendapati beberapa tumpuk buku yang sampulnya mudah ia kenali sekali tatap.

Apa lagi kalau bukan novel best-seller karya Oh Sehun?

Yang kemudian matanya berkeliling lagi. Kali ini menemukan buku asing dengan sampul bergambar dua orang pria.

Matanya membulat tak wajar seketika. Begitu membaca judulnya yang—

—'Bromance in the Student Council Room'?

"Odult Oh?" Ia mengernyit ketika membaca nama pena yang berbeda.

Luhan bergerak membuka acak salah satu halaman dari novel tipis itu. Tak bisa menampung rasa penasaran usai menatap sampul buku beserta judulnya yang terkesan tak biasa.

Baekhyun, tatapan matanya menurun, terkekeh dengan tiba-tiba, …..

Baekhyun?

….. secara perlahan, belah bibir Sehun menyentuh milik Baekhyun yang bercelah. Menghisap pelan …..

Milik Baekhyun?

….. Baekhyun melenguh. Menyadari ketidakberdayaannya di atas dinginnya beku lantai …..

(Tick)

(Tock)

(Ti

"YAAAAAK!"

Bersama langkah berapi dan pipi terbakar, Luhan melangkah lebar-lebar menuju satu pintu besar yang ia yakini sebagai ruangan kamar. Kepalanya yang berasap membuat tangannya mendobrak pintu dengan kuat.

Brak!

"BANGUN KAU, MUKA DUA TAK BERGUNA! Ada apa dengan novel ini?! Ini kau dan Baekhyun hyung! APA ISI OTAK CABULMU ITU, HA?! AKU MENUNTUT PENJELASAN—eh?"

Luhan tak bisa apa-apa selain mematung ketika responnya terlambat bekerja, untuk menyadari bahwa kamar Sehun tergolong mengerikan dengan susunan boneka-boneka yang matanya bulat semua.

Dan satu mainan kereta yang bergerak mengelilingi ruangan dengan suara peluit menyeramkan.

Juga boneka beruang merah muda yang teronggok di sisi bantal.

Serta terlambat sadar bahwa Sehun baru saja bangun pelan-pelan, lantas langsung meliriknya lewat bahu dengan sorot mata tajam.

"Kau melihatnya, huh?"

Topangan kaki Luhan berubah kaku seketika. Yang semula karena amarah kini menjadi takut yang kentara. Setidaknya cukup untuk menggelincirkan keringat di wajahnya yang berubah pias.

Namun tidak begitu lama. Luhan baru mengambil kembali amarahnya ketika mengingat isi novel yang masih berada di genggaman tangan. Maka kembali amarahnya menguasai.

"Yak! Karakter di novel ini adalah kau dan Baekhyun hyung, benar?!"

Kemudian membanting novel keras-keras. "Aku sudah tahu kalau kau itu cabul! Dari awal saat pertama bertemu, aku sudah tahu!"

Hidungnya kembang kempis. "Itu menjijikkan! Jangan coba-coba melibatkan hyung-ku ke dalam duniamu yang penuh delusi!"

Lalu menunduk kepalanya, namun tetap dengan dua kepalan tangan di sisi badan. "Baekhyun hyung adalah lelaki baik-baik, jadi jangan mengambil keuntungan dari kebaikannya itu, mengerti?!"

"Siapa yang mengambil keuntungan dari siapa, kau bilang?"

Luhan mendongak cepat begitu menyadari kehadiran Sehun yang terlampau dekat dengannya. Belum lagi satu tangan panjang yang menekan tembok tepat di samping telinga kanannya. Sehun tengah menjelma menjadi manusia-setengah-ngantuk yang ingin membunuh Luhan.

"I-itu—"

"Apa Baekhyun pernah bilang bahwa ia merasa dimanfaatkan olehku?"

Suara intimidasi itu, membuat Luhan semakin menekan belakang kepalanya ke dinding.

"Ti-tidak…"

Luhan mengerjap beberapa kali. Dalam hatinya ia syok mengetahui betapa menyeramkannya kombinasi wajah mengantuk dan suara datar Sehun.

"Tapi jauhi hyung-ku! Siapapun… pilihlah lelaki lain tapi jangan dirinya." Suara Luhan merendah. "Kau tidak pantas dengannya. Jadi, carilah lelaki lain—siapa saja terserahmu."

Luhan bisa menangkap geram marah dari pemuda di depannya. Ia tak sempat mendongak ketika secara mendadak tangannya sudah dicengkram, diarahkan lurus-lurus menuju ranjang.

Tubuhnya yang memang ringan kemudian didorong hingga telentang di tengah kasur. Lompatan kesalnya sudah menggantung diujung lidah ketika secara mengejutkannya Sehun merangkak naik diatasnya. Terus naik hingga pundak keduanya berada pada satu garis vertikal yang sejajar.

"Apa yang kau tahu?"

"E–eh? Apa?"

"Apa yang kau tahu tentang aku dan Baekhyun?" suara Sehun terdengar lebih berat.

"Ap–Hey, menyingkir dari atasku!"

Luhan mulai bergerak gusar begitu menyadari betapa intimnya posisi mereka kini. Berusaha mendorong pundak kiri Sehun yang kemudian meleset—Sehun dapat dengan mudah menepisnya.

Keadaan malah berbalik ketika Sehun mencekal pergelangannya yang masih mengambang di udara. Dalam waktu sekian detik, ia putar balik tubuh Luhan hingga berada di posisi telungkup.

Luhan tak tinggal diam. Caci maki terus keluar dari lidahnya setelah mendapat perlakuan tak semena itu. Sehun yang tak tahan dengan kebisingan itu, memberi tekanan di kepala belakang Luhan beserta kuncian satu tangan, hingga wajah Luhan berakhir tertekan pada atas kasur.

"'Siapapun pilih lelaki lain' katamu?"

"Khuadwjkafue—"

"Kau merendahkanku,"

"Hnduhjabn—Yak! Jangan tekan kepala—"

Grope

"Akh!" Luhan berteriak sedetik setelah tubuh bagian primernya dicengkram. Ia berubah bisu, rasa panas mulai naik dari dada hingga ke dua pipinya.

Ini keterlaluan!

Tubuhnya yang semula telungkup dibawa duduk. Berniat melayangkan pukulan ketika lagi-lagi perlawanan itu sia-sia—Sehun menangkapnya dan menahan kedua tangannya di sisi belakang.

Sehun yang merasa berhasil membuat Luhan kaku lantas mulai kembali melarikan jemarinya, untuk dibawa mengusap perut rata Luhan dari yang paling bawah. Tidak dengan kecepatan konstan—ia bergerak semakin cepat menuju atas. Tanpa repot-repot menyingkap kaus yang sedikit mengganggunya, Sehun meraih dua titik di dada Luhan untuk dimainkan dengan jemari. Dimainkannya, dijentiknya benda kecil itu dengan sensual. Mengecup leher Luhan dari belakang dengan berharap bahwa Luhan tak lagi keras kepala, dan mau melepas desahannya.

"Hentikan, kau mesum! A-ah…"

"'Carilah lelaki lain' 'kan? Kau sendiri yang mengatakannya,"

Bisik berat di daun telinga membuat Luhan meremang tiba-tiba. Tangan terkuncinya berusaha ia bebaskan. Yang mana langsung direspon remas kuat dari tangan Sehun, juga kecupan yang kian basah di sejenjang lehernya.

"Kenapa tidak berteriak cari pertolongan, hm? Tuan-Nilai-D,"

"Apa kau bilang?! Keparat—Ah-hah!"

Wajah Luhan kembali jatuh ke permukaan kasur saat ia mendapat cekik kecil di pangkal kemaluannya. Dua tangannya berhenti bergerak, dan kini ia hanya bisa melampiaskannya lewat genggam tangan yang erat pada sprei.

"Hen—tikan…"

Gerakan mulai datang dari tangan Sehun yang berada di bawah Luhan. Gerakan yang lembut namun mampu menarik birahi Luhan sampai ke ambang batas. Luhan dibuat menegang, dan Sehun tetap memijat Luhan sembari menanamkan tanda merahnya di tengkuk lelaki itu.

"Sehun… sudah…"

"Se—hun…"

Gerak tangan Sehun melambat, melambat, sampai cairan Luhan memancar membaluri tangannya. Sehun terkekeh di tengkuk lelaki itu. Setelah satu kecupan lembut, Sehun bersuara, "Banyak juga, ya?"

Keparat ini, akan kubunuh dia!

.

.

.

.

.

"Ini bukan tentang ceroboh memasukkan angka ataupun formula. Kau bahkan tidak mengerti isi soalnya sekalipun."

Pelipis Luhan terasa berkedut. Wajahnya masih merah entah karena hangat asap rokok yang membaur di udara, entah juga karena wajah stoic Sehun yang berlagak tidak pernah melakukan tindakan asusila terhadapnya. Ditambah nilai rendah matematikanya yang sudah mencapai tahap kronis, Luhan kira hari ini adalah yang terburuk untuknya.

Satu sesapan Sehun ambil dari cangkir kopi. Jakun pria itu naik turun, dan tatapan mata tajamnya tetap mengarah ke kertas ujian Luhan yang penuh seni dengan coretan merah.

"Jadi," terdengar suara alas cangkir yang mendarat di meja. "Kau mau masuk ke Seoul University?"

"Ya." jawab Luhan sekenanya. "Jurusan Literatur."

Sehun menarik satu bibirnya keatas. Yang Luhan artikan sebagai bentuk arogansi.

"Tidak semudah itu untuk kuliah disana. Terlebih dengan nilai Try Out-mu yang angka merah semua."

Nah, kan.

"Makanya aku perlu tutor." gerutu Luhan ke arah kanan kepalanya sendiri, dalam hati mempertanyakan ketulusan Sehun yang katanya mau menjadi tutor pribadi untuknya.

Punggung tegap Sehun jatuh ke sandaran sofa. Pria itu mengambil rokok dari sisi asbak, untuk menghisapnya seraya mengerutkan alis.

"Kenapa harus Seoul University?"

"Karena dulu Baekhyun hyung ingin sekolah disana." jawaban Luhan masih terdengar pelan, namun Sehun bisa menangkap perbedaan arti nada disana. "Aku ingin melanjutkan mimpinya."

Suasana berubah hening untuk beberapa masa.

Ketika mata Luhan kembali pada milik Sehun, ia sedikit terkejut karena tahu-tahu wajahnya berhadapan dengan pinggang Sehun. Pinggang bagian depan Sehun.

Mukanya nyaris memerah akibat mengingat kejadian tak senonoh di kamar tadi, namun gerak tangan Sehun yang mengusak rambutnya terpaksa membuat ia menunduk. Rambutnya diacak-acak, dan kalau Luhan tidak salah dengar ia menangkap suara Sehun yang terkekeh.

"Jangan gagal, kalau begitu."

Luhan menengadah. Menatap senyum yang baru pertama kali ia dapati di wajah Sehun. Dalam waktu sesingkat itu, Luhan mendadak lupa segala rencana pembunuhan Sehun yang sudah terangkai di kepalanya. Ia balas tersenyum, tak menyingkirkan tangan besar yang masih mengusap rambutnya.

.

.

.

.

.

Sudah seminggu semenjak Luhan pertama kali datang ke kondominium Sehun. Hari-hari berikutnya, setiap sepulang sekolah, Luhan akan turun dari bus tepat di seberang gedung kondominium. Ketika masuk setelah memasukkan password, Luhan akan menemukan Sehun yang tengah mengetik di laptopnya. Pria itu akan mematikan laptop segera, menjeda kegiatan menulisnya demi menemani Luhan belajar selama dua jam ke depan.

"Katakan, mengapa kau memakai rumus ini untuk soal nomor delapan?"

"Ah? Karena, um…"

"Aku paham. Kau memakai cara trial and error, kan? Mencoba semua rumus yang kau hapal sampai jawabannya ketemu."

"Tidak ju—"

"Salahnya sudah dimulai dari tahap ini." telunjuk Sehun berpindah posisi di bukunya. "Kosongkan otakmu dari masalah lain agar masalah matematika ini terpecahkan."

"Aku tau, dasar menyebalkan." Gerutu Luhan, sengaja mengeraskan suaranya agar ditangkap oleh Sehun. Sementara ia mulai menghapus tulisan sampai kertasnya kumal.

"Untuk anak yang memiliki skor D, kau terlalu banyak bicara dan merasa paling benar sampai sulit untuk dinasehati. Orang idiot yang tidak sadar mereka idiot, akan tetap menjadi idiot."

"Ugh, berisik!" kepala Luhan memutar dan suaranya kini berubah serupa auman singa. "Kalau kau bisa diam, aku bisa fokus untuk mengerjakan soal dengan caraku sendiri!"

"Caramu? Cara mengerjakan satu soal selama satu jam?"

Apa dia tak bisa lebih menyebalkan dari ini? Luhan bisa merasakan kepalanya memproduksi kepulan asap.

Sehun menghembus napas berlebihan sampai akhirnya suara sok prihatinnya terdengar, "Kalau Baekhyun, pasti sudah bisa mengerjakannya tanpa harus repot-repot diajarkan di luar sekolah."

"Sudah cukup! Aku pergi!"

Luhan berdiri kasar. Mengemas buku-bukunya dalam waktu cepat, dan pergi tanpa kalimat apapun lagi.

.

.

.

.

.

"Serius, hyung. Bagaimana bisa kau berteman dengan orang seperti dia?!"

Luhan langsung membanting tas begitu ia tiba di dapur. Jalanan sepanjang pulang tadi sangat padat sampai-sampai ia menghabiskan satu jam lebih lama untuk sampai disini sekarang. Mulutnya sampai berbusa saking lamanya ia menggerutukan sikap menyebalkan Sehun selama ia duduk dalam bis.

"Ada apa? Kau bertengkar lagi dengannya?"

"Itu karena dia yang sering merasa unggul diri!" …dan suka membanding-bandingkan aku dengan hyung.

Baekhyun tertawa setelah beres mematikan kompor dan melepas celemek. Ia berjalan ke meja makan dimana Luhan tengah sibuk mengubur kepalanya dengan jaket dan tas.

"Sehun memang seperti itu dengan orang-orang yang baru dikenalnya."

Luhan sedikit menarik kelopak matanya naik.

"Dari semenjak kami satu SMA, dia memang kikuk dan sering menyendiri." panci hangat diletakkan diatas meja. "Tidak ada yang mengira bahwa ia bisa mencapai nilai tertinggi saat ujian kelulusan dan handal menulis cerita fiksi."

Hidung Luhan mengerut saat mendengar 'cerita fiksi'. Seandainya kakaknya itu tahu fiksi macam apa yang ditulis oleh Sehun.

Baekhyun menyendok sup dalam panci dan kali ini Luhan mengangkat kepala serta menyingkirkan tas jaket ke kaki meja. "Tapi… apapun yang ia katakan, jangan sampai kau masukkan ke hati. Bicaranya memang tak terkontrol kadang-kadang."

Baekhyun berhenti berbicara ketika suapan pertama mulai masuk ke mulutnya. Luhan menatap cekung sendok lamat-lamat, sebelum menarik mangkuk dan melahap jatah makanannya.

.

.

.

.

.

Sore di minggu kedua musim gugur sangat tidak berpotensi menurunkan hujan. Namun itu hanya sekedar pemikiran Luhan.

Di halte yang sekarang ia tempati, yang sama-sama dipenuhi siswa satu sekolahnya, menjadi sesak dan udaranya berubah pengap. Air deras membentur atap halte sehingga suasana semakin memburuk karena berisik.

Luhan merutuki kemalasannya yang membuatnya tak pernah mengintip ramalan cuaca di televisi.

Tanpa payung dan jas hujan, akhirnya ia hanya bisa meringkuk di sudut kursi sembari sedikit mengangkat kaki agar tak terciprat hujan yang membentur tanah. Jaketnya ia pakai tanpa memasukkan tangan dan dibalutkan ke seluruh tubuh—membuat penampilannya menyerupai kepompong.

Ketika bis pertama datang, Luhan tak punya kesempatan untuk berdiri dan berjalan, apalagi masuk, sehingga ia terpaksa menunggu angkutan yang kedua. Sedikit menyebalkan memang, mengingat waktu pemberhentian kedua adalah satu jam lagi.

Ia meniup poninya keras-keras.

Sebenarnya Luhan bisa meminta tolong pada Baekhyun, jika saja ia masih tega untuk membuat kakaknya pulang cepat dari kerja dan lantas hujan-hujanan naik motor untuk menjemputnya. Tidak, Luhan bukan adik yang manja.

Setengah jam setelahnya, halte mulai merenggang sebelum menyisakan dua atau tiga orang saja disana. Banyak yang lebih memilih menerobos hujan menggunakan payung meskipun dengan berdempet-dempetan seperti migrasi ikan kakap.

Menengok jam tangan dan menemukan bahwa waktu masih cukup lama untuk bus datang, Luhan berniat tidur dengan mulai memejam mata. Hoodie jaketnya jatuh menutupi poni dan wajahnya yang menunduk.

"Membolos les hanya untuk tidur di halte? Ckckck…"

Seperti mengenali suara menyebalkan barusan, Luhan pun menengadah dan langsung dihadapkan pada sisi rahang Sehun. Sebenarnya Luhan ingin membela diri dengan mengatakan bahwa alasan bolos lesnya semata-mata karena tugas kelompok yang berkepanjangan. Namun karena terlanjur heran, akhirnya ia malah bertanya bodoh, "Bagaimana kau bisa disini?"

"Aku biasa lewat sini sepulang dari kantor percetakan."

Luhan menggumam samar tanpa mengalihkan matanya dari sisi wajah Sehun. Pemuda itu tak sekali pun meliriknya sehingga Luhan pun sangsi jika orang itu benar-benar berniat mengajaknya berbicara atau tidak.

"Gunakan milikku. Milikmu basah."

Akhirnya Sehun menoleh, meskipun lima derajat. Tangan orang itu menyorkan mantel hitam yang tadi digunakannya, dan langsung menggantinya dengan jaket yang masih membungkus tubuh Luhan.

Sehun lantas bangkit sembari menyampirkan jaket basah Luhan tadi ke tangan kanan. Kemeja putihnya nampak sedikit basah dan mau tak mau pakaiannya itu jadi sedikit tembus pandang.

Pandangan mata Luhan masih ke tulang belikat Sehun sebelum yang dipandangi menoleh ke belakang, "Bisa cepat tidak?"

Luhan mengatupkan bibirnya yang sempat terbuka sebelum beranjak berdiri dan mengekori Sehun dari belakang. Mantel hitam dengan aroma parfum Sehun, ia jadikan payung.

"Kau kehujanan." ujar Luhan sedikit berteriak, melawan suara hujan. Setelah beberapa detik berusaha menyamakan langkah dengan Sehun yang hasilnya nihil, ia menjadi tak bisa membagi payungnya untuk ikut melindungi kepala tinggi Sehun.

"Tidak perlu. Kita hampir sampai."

Kaki Luhan sempat berhenti ketika mendadak bayangan tempat penginapan tiba di kepalanya.

Tempat penginapan.

Bersama Sehun.

Tidak salah 'kan jika Luhan berdebar kencang?

"Mobilku. Cepatlah, aku sudah basah."

Oh.

Hanya mobil.

Luhan mendesah lega sebelum berlari mengejar ketertinggalannya.

.

.

.

.

.

Luhan sudah berniat baik dengan tersenyum ceria dan mengutarakan kata tulus yang terdengar manis.

Tapi mau bagaimana lagi. Selebar-lebarnya senyum Sehun, paling tidak hanya mencapai dua senti. Mendapat balasan tak sesuai harapan itu, Luhan pun mendengus samar sebelum menyodorkan kembali mantel hitam yang sudah basah.

"Simpan saja dulu."

Luhan berkedip dua kali.

Bilang saja ingin minta dicucikan.

Kemudian Luhan mengangguk kaku sebelum membuka pintu mobil sembari menenteng mantel besar tadi. Pintu ia tutup, dan selama mobil kembali melaju, Luhan tak melihat sedikit pun wajah tulus dari Sehun.

"Kalau tidak ikhlas ya tidak usah!" gemasnya sebelum menarik pagar dan menuju pintu. Yang tak disangka, Baekhyun sudah ada di teras depan. Yang artinya kakaknya sudah menyaksikan kepulangannya tadi.

.

.

.

.

.

"Aku berniat menjemputmu tadi. Hehe, aku terlambat ya?"

Luhan menggerutu samar di dekat kaki sofa. Sebenarnya ia tidak sama sekali marah dengan Baekhyun. Namun muka tembok cat anti kelupas milik Sehun masih terulang-ulang di benaknya dan itu berhasil membuat moodnya buruk.

"Tadi, diantar Sehun ya?"

Luhan mendongak sehingga menyebabkan gerakan tangan Baekhyun yang mengeringkan rambutnya dengan handuk terhenti. Ia mengangguk sebelum kembali fokus mengambil keripik dari dalam toples.

"Sekalian pulang dari kantor percetakan, katanya."

"Kantor percetakan?"

Luhan mengangguk acuh sembari terus mengunyah keripik.

"Setahuku Sehun tidak pernah datang ke kantor percetakan. Ia terlalu malas sehingga melimpahkan tugas itu ke editornya."

Kunyahan Luhan melambat.

"Aku biasa lewat sini sepulang dari kantor percetakan."

"Setahuku Sehun tidak pernah datang ke kantor percetakan. Ia terlalu malas…"

Tiba-tiba saja selera ngemil Luhan hilang.

Tiba-tiba saja wajahnya menghangat—uh, apakah Baekhyun hyung sedang menggunakan hairdryer?

.

.

.

.

.

.

.

.

a/n. YEAS, remake dari Junjou Romantica ditambah bumbu-bumbu dari saya sendiri ahahaha.. Sekali lagi, ini remake, cuma sedikit upgrade dari saya. Jadi jangan mencak-mencak marah saya copy atau apalah sama cerita yang familiar. Alurnya saya buat sedikit beda, jadi yang udah pernah nonton Junjou Romantica, jangan bosen yaaa..

.

Review, sweetie?