LuMin/XiuHan GS. Semua karkter milik tuhan dan author hanya pinjam nama. Karakter baru muncul seiring dengan alur.

.

.

Untuk sebuah kesalahan, kau harus di hukum. Tapi, apa sebenarnya salahku? Sehingga kau menghukumku demikian. Anak muda itu mengernyit di kalimat pertama buku bersampul gambar bambu. Apa ini sebuah dairy? Tanyanya dalam hati sambil mengangkat bahu, lalu membuka lembar berikutnya. Entah mengapa buku tersebut terasa menarik. Meski ia sebenarnya bukan pencinta buku atau hobi membaca.

Kau terlahir untuk menjadi seorang pangeran. Dari ayah yang merupakan seorang raja dan ibu seorang ratu. Namun sekarang tidak lagi di pimpin oleh seorang raja. Ini hanya sebuah perumpamaan tentang dirimu, Ya, kau. "Apa maksudnya?" ia bertanya lagi pada dirinya, tidak mengerti. Karena buku tersebut seakan menunjuk dirinya.

Kau memang seorang pangeran, itu kata orang, kau tampan, tinggi berkulit putih, berkarisma, dan terkesan dingin. Yeah begitulah dirimu. Jika kau pangeran maka ayahmu adalah raja. Memang begitu. Ayahmu berkuasa, berada di tempat tinggi dan di hormati. Namun kau seperti musuh baginya. Selalu dirimu tersenyum sinis jika mendengar tentang ayah. Entahlah apa itu yang terjadi ketika era kerajaan?

Mata pemuda itu terus bergerak mengikuti rangkaian huruf yang ada di depannya, seakan terbawa kalimat penulis ia tersenyum sinis pula, membayangkan raja dan putera mahkota yang bermusuhan. Lalu tangannya meraih minuman hangat dengan asap mengepul di atas meja. Susu coklat. Sambil tangannya membuka lembar berikutnya.

Hari ini aku milikmu. Kalimat itu seakan adalah kalimat yang setiap hari di impikannya, wanita bertubuh mungil dengan rambut terurai bebas. Dia sangat cantik, teramat sangat cantik jika kau ingin tahu. Dan jika di deskripsikan belum tentu kecantikannya akan mengena pada hati. Yang jelas, dia cantik dengan rambut panjang berwarna hitam, pekat sekali.

Matanya indah, bening dan tajam. Serupa mata kucing. Apakah dia wanitanya raja? Atau permaisuri? Dia melahirkan sang pangeran, putera mahkota yang akan mewarisi tahta, hidup dalam istana bersama sang raja. Namun dia bukan permaisuri atau ratu bukan juga selir. dia hanya…

Byur.

Air berwarna coklat itu menyembur, kembali keluar dari kerongkongan yang hampir tertelan. Mengenani lembar putih sehingga tulisan-tulisan tersebut memudar. Dia Se Hoon, mengerang dalam kekesalan, selain tersedak ia juga tidak sengaja menyenggol kaleng susu nya dan menyebabkan isinya tumpah, bukan hanya buku yang ada di pegangannya saja namun juga celana dan kemeja putih yang ia kenakan kotor, berbah warna menjadi coklat.

Ia menoleh ke kanan dan kiri, masih sepi, jelas saja di pagi buta seperti ini siapa orang yang mau berada di sekolah. Kecuali Sehun. Anak muda berusia 17 tahun berwajah datar yang kini duduk di bangku sekolah menengah atas, Sehun bukan anak yang teladan karena selalu berangkat sekolah saat hari masih gelap. Bukan pula pekerja sekolah yang harus datang sebelum orang lain datang. Sehun hanya sedang berfikir, mungkin berperilaku seperti siswa teladan akan membuat namaya dalam catatan kenakalan sekolah sedikit berkurang. Konyol.

Ia mendengus saat tidak mendapati sesuatu yang dapat ia gunakan untuk membersihkan meja dan celananya lalu beralih pada tasnya, mungkin di sana ada sesuatu, atau tidak. Karena di dalam tas Sehun, hanya ada mantel, mp3 player, dan ponsel. Bahkan buku sekolahpun tidak ada. Lagi-lagi ia mengerang, di barengi bangkit mencoba mencari sesuatu. Tapi tidak juga ia temukan, dan betapa kagetnya Sehun ketika ia kembali ke tempat semula terdapat sebuah sapu tangan berwarna hitam dan putih. Di ujung kanan bawah terdapat motif panda berinisial W.Z.T.

Sehun mengernyit. Menoleh kekanan dan kiri, mencari seseorang, siapa pemilik sapu tangan itu. Tapi tidak ia temukan. Tempat itu sepi, setaunya hanya ada Sehun sedari tadi. Lalu dari mana sapu tangan itu berasal? Jatuh dari langit?. Setelah menemukan sesuatu untuk membersihkan celana dan meja Sehun justru malah ragu, menurutnya sapu tangan tersebut terlalu cantik untuk di pakai, ia menjadi takut untuk mengotorinya. Sampai membuatnya tanpa sadar tersenyum. Memasukan sapu tangan tersebut ke dalam tas dan ia melenggang pergi. Tidak peduli celana dan meja masih basah, ia berfikir nantu juga kering sendiri.

"W.Z.T" Dalam perjalanan menuruni tangga, Sehun menggumam, siapa W.Z.T itu, apa dia ada di rooftop bersama Sehun tadi? Apa dia memperhatikannya sehingga berbaik hati memberikan saputangan untuk Sehun? Atau dia adalah salah satu dari penggemar si tampan bermuka datar itu? Lagi-lagi ia teersenyum dan untuk ke berapa kalinya Sehun tersenyum di pagi ini.

5.50 ponsel Sehun bergetar dan berkedip-kedip. Menghentikan kaki panjangnya, berhenti di anak tangga terakhir. Senyum semakin lebar di wajahnya. Dan segera ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi pesan dan mengetikan beberapa kalimat dan tidak menunggu lama ia menekan tombol send. Sekali lagi berkedip tanda kalau pesan telah terkirim.

.

.

Bunyi berasal dari benda kotak yang ada di nakas sehingga mengusik tidur cantik seorang wanita yang masih bergelung dengan selimut tebal di atas tempat tidur berukuran queen size, namun ketika perlahan mata cantik sang wanita terbuka, sebuah senyuman mengembang dari pipi bulatnya. Ia meraih benda kotaknya, di lihat sejenak untuk memastikan kalau pesan tersebut dari orang yang selalu ia tunggu. Dan benar saja. Nama Sehun tertera dilayar. Maka tanpa menunggu waktu lagi ia menyibak selimut dan bergegas menuju kamar mandi. Membersihkan diri juga berganti pakaian.

Setelah selesai ia keluar dari kamar menuju ruang makan dan membiarkan para pelayan memasuki kamarnya untuk membersihkan kamarnya. Ia sampai di ruang makan dengan senyum lebar, tapi ketika ia sampai, ia tak mendapati Sehun. Hanya para pelayan yang menyambutnya dan menata makanan di atas meja.

"Tuan muda sudah berangkat sekolah nyonya."

Seolah mengerti, salah seorang pelayan bersuara, memberi tahu kalau Sehun ternyata sudah berangkat sekolah. "Oh" responnya, lalu berbalik untuk kembali lagi kekamar. "Anda tidak sarapan nyonya?" seorang pelayan bertanya. "Nanti saja." Lalu tanpa kata lagi ia pergi dari sana. Ia berpapasan dengan pelayan yang membersihkan kamarnya ketika sampai di depan pintu kamar. Mereka membungkuk memberi hormat namun tidak di hiraukan, ia memilih masuk dan mengunci kamarnya dari dalam, tidak ingin di ganggu. Ia berjalan pelan, duduk di bibir ranjang dan membuka pesan yang di kirim dari Sehun.

Sehun.

Selamat pagi. Kau sudah bangun? Kalau pesan ini sudah di buka maka kau sudah bangun. Aku hanya ingin memberitahumu kalau kau harus sarapan, tapi aku tidak bias menemanimu karena aku sudah di sekolah. kisskiss

Setelah selesai membacanya ia hanya meletakan kembali di nakas tanpa niat untuk membalas. Setelah itu ia melepas sandal rumahnya, berbaring lagi di tempat tidur, tidak peduli seprei yang sudah diganti akan kusut lagi.

Di tempat lain

Tampak seorang wanita yang sudah rapih sedang membantu pelayan menyiapkan sarapan meski ia hanya berkutat dengan kopi dan gula karena ia hanya membuatkan kopi untuk suaminya. Dan bertepatan dengan selesainya kopi yang ia buat sang suami muncul. Sambil mencari seseorang atau lebih tepatnya anak semata wayang yang bernama Sehun. "Apa Sehun belum bangun? Kenapa belum turun?" ia bertanya seraya menatap ketika isterinya meletakan kopi di meja.

"Tuan muda sudah berangkat tuan." Kata salah satu pelayan yang bertubuh tegap yang berdiri di samping pintu. "Sepagi ini?" Tanya sang nyonya yang bernama asli Byun Baekhyun.

"Sudah sekitar satu jam yang lalu" Luhan, suami Baekhyun sejenak membelalak namun perhatiannya segera teralih pada pintu sebelah kanan yang mengarah pada jalan setapak kecil yang menghubungkan pada pavilion. Dan ia menghela nafas setelahnya.

Sehun hanya memandang benda kotak dalam genggamannya sejenak. Ia sudah menunggu cukup lama untuk pesannya di balas, namun tidak ada balasan. "Mianhae" katanya lalu memasukan ponselnya pada saku celana. Lalu Sehun membalikan tubuh memandang dari rooftop seluruh sekolah. Masih hanya ada dirinya. Belum ada penghuni lain. Namun ketika ia menatap tepat di bawahnya, ia melihat seorang berjalan pelan.

.

.

Seorang gadis berkuncir kuda yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Hingga tanpa sadar Sehun berbalik, menuruni tangga dengan langkah lebar, dari tempat ia berjalan, ia bisa melihat sang gadis, dia berwajah oriental dengan kulit putih mulus, rambutnya hitam panjang, dari samping wajahnya mengingatkan Sehun pada saputangan bergambar panda. Apakah dia pemiliknya? Batin Sehun.

Ia terus berjalan, mengikuti dalam diam dan aman pada zonanya. Hingga ketika tiba pada tikungan yang mengantar Sehun pada kelasnya dia berbalik, otomatis Sehun bersembunyi di balik pilar dengan hati berdebar, ia takut ketahuan sedang membuntuti seseorang, terlebih seorang gadis. Sebenarnya kalaupun ia ketahuan ia bisa saja mengelak, karena tepat di tempat gadis itu berdiri adalah pintu kelas Sehun, tapi ia sudah terlanjur bersembunyi, tidak mungkin ia tiba-tiba keluar dan bergaya seperti biasa lalu masuk ke kelasnya.

Sehun semakin merasa berdebar hatinya ketika ia mendengar lagi derap langkah, hati Sehun berkata kalau ini adalah sebuah sirine berbahaya, pasalnya derap langkah itu mendekat kearahnya, kearah pilar dimana ia sedang bersembunyi. "Tidak, dia tidak boleh ketahuan" hati Sehun berteriak. Jika ia berlari maka akan semakin menegaskan kalau Sehun menguntit gadis.

"Zizi"

Jongin, itu suara si Tan-Jongin, untuk pertama kalinya Sehun berterima kasih pada Jongin yang menghentikan derap langkah, dan gadis yang sepertinya bernama Zizi itu berseru. "Jongie-ah" dan selanjutnya langkah lari kecil yang Sehun dengar. Sehun menghela nafas tanda kelegaan. Aneh sekali, baru kali ini Sehun memiliki penasaran yang amat tinggi hingga menyebabkan ia menjadi stalker yang nyaris ketahuan.

.

.

Jam menunjukan pukul 11.45 ketika Luhan sadar kalau salah satu berkasnya tidak ada dalam tumpukan dokumen. Dan sialnya berkas tersebut adalah berkas yang harus ia bawa untuk pertemuan siang nanti. Maka ia menjejalkan tangannya ke saku, mengambil ponselnya untuk menghubungi salah satu pegawai dirumah.

"Yeoboseyo, tuan Lu"

Namun ketika sambungan terhubung Luhan malah mematikan sepihak. Tapi kembali men-dial nomor, kali ini nomor supirnya. "Siapkan mobil." Dan tanpa menunggu jawaban, ia kembali memutuskan sambungan. Meraih jasnya dan segera keluar dari ruangan. Masuk kedalam lift yang langsung membawanya turun menuju lantai dasar, dan ketika pintu lift terbuka, Luhan melihat mobil yang ia minta sudah siap dan sang supir dengan sigap membuka pintu penumpang ketika melihat Luhan muncul.

Setelah ia duduk di mobil, ia hanya menggunakan isyarat mata, memberitahu supirnya agar segera pergi dari area kantor. Dan sang supir hanya mengangguk lalu menjalankan mobilnya. Saat mereka sudah ada pada setengah jalan, sang supir baru bertanya, menanyakan kemanakah arah tujuan sang tuan. "Mianhae tuan, kemana saya harus membawa anda." Tanyanya.

"Ada berkas yang tertinggal." Dan hanya dengan jawaban seperti itu supirnya tahu kemana arah tujuan mereka, "Tapi, bukankah anda bisa menyuruh seseorang untuk mengambilnya." Ia bersuara lagi. "Apa dengan begitu aku tidak boleh mengambilnya sendiri?" Luhan malah balik bertanya, membuat si supir gugup. "A-Animnida"

Lalu kembali hening, Luhan lebih memilih memandang jalanan, menikmati perjalanan hingga tanpa sadar ia ternyata sudah sampai. Rumah serupa istana bergaya klasik yang di cat warna putih itu terlihat jelas kemegahannya dengan di dominasi pilar-pilar besar penyangga langit-langit, rumah yang bahkan lebih mewah daripada rumah Presiden Korea Selatan, di jaga puluhan pengawal terlatih yang langsung membungkuk tanda hormat pada tuan besar mereka yang barusaja turun dari kendaraan mewahnya.

Lalu salah satu penjaga membukakan pintu utama untuk Luhan, namun lelaki yang hampir setengah abad itu malah berbelok, berjalan dengan langkah pasti melewati jalan setapak yang mengantarnya pada pavilion, yang berada di balik gerbang kecil tak jauh dari gerbang utama. Pavilion yang juga tak kalah megah dari rumah utama dan juga di jaga puluhan penjaga yang otomatis juga melakukan hal sama seperti yang di lakukan penjaga rumah utama. Dan hanya di balas dengan anggukan kecil.

Tanpa mengatakan apapun ia langsung masuk dan di dalam ia di sambut oleh puluhan maid yang sedang melakukan tugasnya, mereka berhenti sejenak untuk member salam pada Luhan yang malah lelaki itu langsung berjalan menuju sebuah ruangan, pintu bercat putih yang kini sedang ada empat pelayan berdiri sambil berkali-kali mengetuk pintu. "Tuan Lu." Dan mereka minggir, member jalan pada Luhan. "Ada apa? Apa dia belum bangun?" Tanya Luhan tanpa menghiraukan pertanyaan sang pelayan.

"Nona sudah bangun. Tapi dia belum makan apapun sejak pagi."

Luhan menghela nafas, lalu mengusap wajahnya. "Siapkan mkan siang, aku yang akan membujuknya." Para pelayan langsung undur diri begitu perintah sang tuan telah turun. Kemudian Luhan melepas jasnya dan melipat lengan sebatas siku. Memberikannya pada penjaga yang berdiri di sebelah kanan. Lalu perlahan membuka pintu kamar tersebut, melongok, mencari si penghuni yang ternyata sedang terbaring di atas tempat tidur. Memunggungi Luhan yang sudah berdiri di samping ranjang.

Tubuh mungil yang terbalut dress putih terpapar sinar matahari yang menyebabkan tubuhnya juga bersinar dan kulitnya yang putih memberi sebuah kilauan, sama sekali tidak bergerak, namun Luhan tahu kalau wanita mungil tersebut tidaklah tidur, maka dengan hati-hati Luhan menaiki ranjang, memeluknya dari belakang, tanpa takut pakaian kerjanya akan kusut.

"Tuan Lu" dan Luhan benar. "Hm" lalu ia menggumam, semakin mengeratkan pelukannya dan menjatuhkan dagunya di pundak. Kemudian setelah itu, keduanya diam hingga Luhan memecah keheningan.

"Kau akan terus memunggungiku? Tidak mau tunjukan wajahmu" dengan perkataan itu, Luhan merasakan pergerakan, dia membalik badan lalu mendongak, mempertemukan mata serupa kucing dengan mata rusa Luhan, mata bening yang mampu membuat semua laki-laki yang di pandangnya akan jatuh hati, mata yang dulu bersinar terang namun sekarang kosong dan kelam.

.

.

"Abeoji, Abeoji" teriakan melengking seorang balita usia 4 tahun itu membawa gelak tawa, ia terus meneriaki ayahnya yang yang tengah berlari menggiring bola. "Wae? Ayo ambil bolanya." Yang lebih tua berteriak seraya menghentikan langkahnya ketika melihat sang anak berhenti juga sambil terkekah geli melihat anaknya terlihat kelelahan dan memegangi kaki kecilnya. "Kau curang, kau curang." Dan tawa semakin renyah ketika gerutuan dari si kecil lalu berlari lagi.

Namun ketika dari pintu muncul seorang wanita mungil membawa nampan berisi se teko besar minuman dingin mata kecilnya berbinar, menunjukan eye smile yang menawan. "Eomma, Sehunnie yang menang, abeoji kalah karena dia curang." Sehun kecil mengadu, setelah sampai dan ketika ibunya sedang meletakan nampan. "Jinja? Oh, uri Sehunnie jjang." Kata sang ibu lalu mencubit gemas pipi Sehun.

"Ne, Sehunnie jjang"

"Ya. Kau yang kalah, kau keluar dari lapangan."

"Aniya, abeoji yang kalah."

Sehun kukuh dan menjulurkan lidahnya setelah mendeklarasikan kemenangannya dan menuduh ayahnya kalah karena curang. Lalu sang ayah berlari kearahnya. Memberikan gelagat marah yang dibuat-buat dan Sehun yang sadar segera membuat gerakan memanjat pada kaki ibunya, "Eomma, lindungi Sehun. Ada raksasa." Ejek Sehun, lalu memeluk leher ibunya setelah berada dalam gendongan.

"Sehun Lu"

Dan panggilan guru Choi membuyarkan lamunan Sehun. Ia memandang lagi lapangan hijau yang tadi terlihat seperti yang ada di belakang rumahnya kini berubah, kembali pada seperti yang seharusnya. Lapangan sekolah dimana anak-anak lain sedang bermain sepak bola.

"Ne." sahut Sehun linglung.

"Kau melamun? Apa kau sakit" Sehun memandang wajah guru Choi jengah, orang itu terlihat marah, tapi bertanya seakan ia khawatir, "Aku bosan mendengar cramahmu." Kata Sehun lalu bangkit dari duduknya berlalu begitu saja tanpa peduli tatapan anak-anak lain. Dan tentu saja guru Choi semakin terbakar amarah namun, sadar orang yang di hadapinya adalah anak pemilik sekolah maka tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menahan.

Sementara itu, Sehun, ia terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar sampai.

Brak.