Terlalu lama ya Minna-san menunggu kelanjutan fic ini? Atau sudah pada kabur? Hehehehe...

Mohon maaf Nai sempat kehilangan mood untuk melanjutkan fic ini dan malah membuat project baru hihihi. Bagi yang berkenan silakan mampir ya...

.

Disclaimer : Naruto's characters belongs to Kishimoto Masashi

.

.

.

TENSHI NO MIKO

.

.

.

Fourth Epilogue from Former Fanfic

"Uhuukk..."

Suara batuk terdengar pelan di ruangan ini. Sebuah ruangan yang teramat gelap tanpa adanya cahaya yang masuk meski hanya secercah. Bahkan sinar matahari yang memancar kuat di bagian luar tak mampu menembus lapisan bebatuan yang menjadi dinding penghalang ruangan ini dengan dunia luar. Hal itu pula yang menyebabkan kadar kelembaban sangat tinggi. Selain karena yang timbul akibat rembesan air melalui bagian bawah ruangan.

Tringg!

Dentingan peralatan makan juga ikut meramaikan suasana ruangan yang teramat sunyi. Sesekali terdiam dan berikutnya kembali terdengar.

Menilik lebih dalam, ke arah di mana sumber suara itu berada. Di sudut ruangan. Tepat di depan tangga menanjak yang terbentuk dari susunan bebatuan yang cukup rapi.

Sosok seorang wanita tengah duduk meringkuk. Kedua lutut dilipat dan dijadikan sandaran bagi kepalanya. Pandangannya sayu dan sendu bercampur menjadi satu, mengarah pada seonggok makanan tidak layak di hadapannya.

Kondisi yang cukup memprihatinkan. Lembaran merah hakama serta lembaran putih haori yang sudah tidak berbentuk lagi begitu kotor dan koyak hampir di setiap bagian. Sedikit memperlihatkan tubuhnya di bagian dalam, yang bahkan kondisinya tidak lebih baik. Helaian merah muda yang menjadi mahkotanya telah kusut dan lepek tak berbentuk, mungkin sebab tidak mendapat sentuhan air bersih selama beberapa lama.

Maka jangan terkejut jika aroma tak sedap juga menjadi penghias tempat ini. Tak hanya karena aroma tubuh sang wanita tetapi juga bau tak mengenakkan dari berbagai macam makanan basi yang tercecer.

Krietttttt

Entah karena pikiran yang sedang tidak bersama raganya, atau terlalu lama dikurung di tempat seperti ini menjadikan wanita itu sedikit tuli. Terlihat saat dia sama sekali tidak berreaksi atas suara pintu berderit yang terdengar.

TAK... TAK...

Tidak ada pergerakan lain dari sang wanita kecuali sebelah tangannya yang masih sibuk mengaduk-aduk isi cawan lebar di hadapannya. Pun ketika sesosok manusia berdiri menjulang di hadapannya, iris emerald itu sama sekali tidak bergeming.

"Sakura..."

Seolah suara tersebut adalah suara malaikat yang dikirimkan Kami-sama untuknya, telinga sang wanita menegak. Manik hijaunya membelalak lebar meski masih enggan untuk mendongak. Gerakan tangannya terhenti mendadak menyebabkan dentingan lebih keras saat sendok stainless steel itu bertemu dengan permukaan cawan yang berbahan sama dengan kekuatan yang lebih besar. Sebuah sensasi menyakitkan dia rasakan dari dalam dadanya. Degupan jantung bertalu-talu yang nyaris membuatnya kesulitan bernafas. Ditambah dengan bongkahan besar yang kini mendesak, menutup jalur respirasi dari metabolisme tubuhnya. Jangan lupakan peran kelenjar air mata yang tiba-tiba membengkak, melakukan proses lakrimasi dan mengeluarkan aqueus.

Wanita itu menangis.

Meski mungkin itu semua dilakukan di bawah alam sadarnya.

Bahunya bergetar hebat tidak mampu membendung emosi yang menuntut keluar. Selanjutnya isakan tergugu melantun begitu saja dari bibirnya yang kering dan sedikit berdarah.

"Sakura..."

Suara bariton itu kini kian mendekat. Tepat berada di sepersekian jarak pandangnya. Menatap lurus pada manik jelaga yang dulu sempat membuatnya gila, wanita itu menatap penuh tanya. Seolah tidak mempercayai apa yang terlihat dalam pandangannya, Sakura menggeleng pelan. Tangisnya enggan berhenti meski dia sudah berusaha menekan.

Hatinya percaya akan suatu hal. Bahwa sosok manusia yang ada di hadapannya saat ini hanyalah sebuah bayangan. Tercipta dari gangguan delusi dari alam pikirannya. Sebuah penyakit mental psikosis yang ditandai dengan ketidaksinambungan antara pemikiran dan emosi.

Ya mungkin saja hal itu terjadi. Terlalu lama terperangkap dalam belenggu. Terlalu lama ditelantarkan. Terlalu lama hingga setiap sel dalam tubuhnya mulai mengkerut, kehilangan kemampuan untuk menjalankan fungsi yang sebenarnya. Terlalu lama hingga membuat Sakura kehilangan kontak dengan realitas sebenarnya.

"Sakura... Ini aku, Sasuke."

Sasuke memandang sendu pada sosok wanita yang begitu dicintainya. Kondisinya yang sangat memprihatinkan membuat pria tampan itu menitikkan air mata. Perlahan direngkuhnya tubuh mungil Sakura. Didekapnya begitu erat ke dadanya. Isakan tangis Sakura yang belum juga terhenti membuatnya semakin merasa sedih. Rasa sakit begitu terasa menyesakkan dada. Dibelainya helaian merah muda sang wanita demi usahanya memberikan kenyamanan dan ketenangan yang wanita itu butuhkan.

"Aku di sini, Sakura. Aku di sini. Aku akan menyelamatkanmu."

Sakura tidak mampu berkata-kata. Tergugu dalam diam. Terbuai dalam keharuan mendalam.

"Sakura... Menikahlah denganku."

Dan seolah dunia berbalik kepadanya. Mencipta kebahagiaan tak terkira dalam hati sang wanita. Kehangatan menjalar seiring dengan rambatan perasaan asing yang tak pernah dia kenal sebelumnya.

.

.

.

Konoha

Musim dingin tahun ini benar-benar menjadi musim yang penuh kebahagiaan baginya. Bagaimana tidak, jika saat ini dia sedang dihadapkan pada seseorang yang selama ini memenuhi pikiran. Seseorang yang bayangannya membuat menangis dan tertawa di saat bersamaan. Seseorang yang membuat hatinya enggan untuk membuka dan menerima cinta yang ditawarkan kepadanya.

Pun jika tawaran itu datang dari orang yang mampu membuat wanita lain bertekuk lutut. Dengan segala daya pikatnya, entah berwujud rupa maupun harta.

Hinata tidak peduli. Tidak pernah peduli. Baginya hanya satu pria yang mampu menaklukkannya. Membawanya menghadapi berbagai macam hal yang belum pernah dia rasakan. Sakit dan bahagia datang silih berganti atau bahkan dalam waktu bersamaan.

Entah orang bilang dia terlalu dingin, atau sebagian mengatakan dia terlalu sombong. Hinata tak bergeming. Cukup senyum manis terpatri di bibir mungilnya menanggapi untaian kata yang terkadang bisa menjadi kejam, ditujukan kepadanya.

Mata amethystnya menatap cawan indah di atas meja. Terbentuk dari material Silicon Dioxide yang dipahat membentuk sulur-sulur dedaunan yang indah. Bahan transparan dari cawan membuat isinya terekspos dengan sempurna. Setangkup makanan beku dengan warna putih susu. Aroma vanilla menguar begitu menggoda. Jangan lupakan dua bulatan merah yang teronggok begitu rapi di atasnya.

Es krim Vanilla Cherry, begitu orang menyebutnya.

"Memangnya es krim itu lebih memikat daripada wajahku?"

Suara bariton khas pria dewasa membuyarkan lamunannya. Manik opal di sebalik kelopak berbulu mata lebat itu menatap penuh tanya. Atas apa yang baru saja ditangkap indera pendengarannya.

Kepala berbalut mahkota indigo itu berputar ke bawah 30 derajat dengan pangkal leher sebagai poros. Meneleng miring dengan raut wajah penuh rasa penasaran.

"Kalau kau ingin selamat, jangan pernah berpose seperti itu, Hinata-chan. "

Bukannya menegak kepala itu malah semakin meneleng. Mungkin sedikit lebih lama bertahan dalam posisi seperti itu bisa membuat leher Hinata kaku dan pegal.

"A-Apa maksudmu, Na-Naruto-kun?"

Laki-laki yang dipanggil Naruto hanya diam, tetapi seringaian lebar yang bertengger di bibirnya cukup untuk membuktikan bahwa pria berrambut kuning itu tengah memikirkan sesuatu.

"Apa es krim itu begitu memikatmu sampai-sampai kau enggan memandang wajahku?"

Blush!

Pipi tembam sang wanita spontan mengeluarkan semburat merah. Lalu dengan cepat si empunya menundukkan kepala. Bukan sebab lain, tetapi kegugupanlah yang membuatnya menjadi seperti ini. Bukan sebab es krim tetapi justru wajah Naruto sendirilah yang membuat Hinata lebih memilih untuk mengalihkan pandangan.

Memang usianya sudah tidak muda lagi. Bahkan bisa dikatakan usia Hinata sudah masuk dalam kategori dewasa. Tapi entah mengapa saat ini Hinata merasa seperti kembali pada masa remaja. Saat-saat yang tepat seorang gadis merasakan sensasi-sensasi aneh akibat eksistensi sesosok makhluk adam yang mampu memikat hatinya. Jantung berdegup kencang, ribuan kupu-kupu beterbangan di perut, energi kalor tinggi bercampur rendah menyatu dan menjalar ke seluruh tubuh. Hell! Hinata merutuki diri sendiri yang malah tenggelam dalam euforia semacam ini.

Wanita itu mendengus kasar saat menyadari bahwa tingkahnya ini justru mirip dengan kelakuan anak didiknya.

"Jadi, apa ada alasan khusus kenapa kau menghindariku?"

Hinata semakin gugup. Kedua tangan meremas erat ujung rok spannya. Manik pucatnya melirik kesana kemari.

"Ti-tidak. Aku tidak menghindari Naruto-kun."

"Hmm... Benarkah?"

Tanpa menatap si penanya, Hinata menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Aku tidak percaya. Lihat saja buktinya sampai sekarang kau tidak mau memandangku. Apa kau tidak menginginkan kehadiranku di sini?"

"TIDAK!"

Naruto menyeringai semakin lebar saat mendengar penolakan Hinata yang bahkan terlalu cepat dari perkiraannya. Mata safirnya menatap nakal iris opal Hinata yang kini menyiratkan kebingungan.

Sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan, Hinata sewot. Pipinya yang sejak awal merona merah kini menggembung, bibirnya mengerucut, pandangannya teralih ke arah lain.

"Ka-Kau meledekku, Naruto-kun."

"Tidak. Aku tidak pernah melakukannya. Kau sendiri yang beranggapan seperti itu."

"Lalu, itu tadi apa?"

"Apa aku salah? Nyatanya sejak bersamaku sore tadi kau hanya diam. Hinata yang dulu selalu cerewet dan jutek kepadaku mendadak jadi pendiam. Bahkan saat kita duduk berhadapan kau tidak sedikitpun melirik padaku. Maka bukan salahku jika mengira bahwa kau tidak menginginkanku ada di dekatmu."

Hinata merasakan wajahnya semakin memanas.

"A-ano... Etto..."

Kebiasaan masa kecilnya kini terulang. Kedua ujung jari telunjuk saling bertaut.

"Apa?"

Entah hanya perasaan Hinata saja atau memang Naruto tengah mendesaknya.

"A-aku hanya ma-malu."

"Dan kenapa kau mesti malu?"

Kalau saja ini cerita manga maka bisa dipastikan akan ada kepulan asap keluar dari kedua telinga serta ubun-ubun Hinata.

"Ka-karena..."

"Hm?"

"Ka-rena..."

"Tsk! Dasar lamban!"

"A-Apa?"

Detik Hinata mendongakkan kepala, detik yang sama dia menyesali keputusannya. Karena saat ini ujung hidung mungilnya bersentuhan dengan hidung Naruto. Iris amethystnya membelalak karena begitu terkejut.

Tidak butuh waktu yang lama karena berikutnya manik pucat itu tenggelam sepenuhnya dalam pesona lautan di hadapan mata. Terlalu terpesona hingga merasa kekuatannya mendadak hilang. Membawa sang kelopak turun memberikan tirai bagi keduanya.

Seolah dikomando, mata sang pria ikut memejam.

Keduanya saling menikmati jarak yang begitu dekat bagaikan tanpa sisa. Saling terbuai dalam terpaan hembus nafas yang begitu dekat dan hangat. Hingga tanpa sadar ruang di antara mereka benar-benar tak bersisa.

Bibir keduanya bersentuhan. Menempel lembut pada awalnya. Sepoi angin seolah memberikan isyarat bagi mereka untuk melepas hasrat. Membuat keduanya memiringkan kepala di arah yang berbeda. Menekan lebih dalam sentuhan benda kenyal yang memabukkan. Menyesap rasa manis dari lawan masing-masing.

Waktu berjalan tanpa mereka peduli. Detakan jantung yang seolah berlomba terang sudah mengalahkan laju detak jarum jam di sudut ruangan kafe.

Terlalu lama.

Terbuai dalam indahnya luapan rasa yang telah terpendam selama bertahun lamanya. Dan kehausan akan kasih sayang lebih dalam memicu Naruto untuk mendapatkan yang lebih dari sekedar ciuman.

Penuh kesengajaan digigitnya bibir bawah sang wanita, mencipta ringisan pelan dan lenguhan lirih nan menggoda. Tanpa sadar mulut sang wanita kini membuka, menampakkan celah kecil yang dianggap sebagai peluang besar bagi si pria.

Secepat kilat Naruto melesakkan lidahnya memasuki rongga mulut Hinata. Menerjang benda lunak yang serupa dan menuntut balas atas aksi yang telah dimulainya. Seolah membenarkan Hukum III Newton, lidah Hinata pun memberikan reaksi serupa. Bertautan dan bergulat demi memenangkan diri dan merebut dominansi. Tak peduli jika dada mereka kini terasa sesak dan sakit akibat pasokan oksigen yang menipis.

Cukup lama.

Merasa memiliki akal yang lebih besar daripada sekedar nafsu, Hinata mendorong tubuh Naruto. Melerai tautan mulut keduanya, mencipta benang saliva yang terurai memanjang. Nafas keduanya tersengal saat Naruto menarik Hinata, mempertemukan dahi mereka.

"Hi-natah... Menikahlah de...ngankuh..."

.

Merengkuh harapan setiap insan yang dimadu cinta.

.

.

.

Where there is a great love, there are always wishes

.

.

.

END

.

.

.

Alhamdulillah akhirnya selesai juga fic ini. Tuntas sudah salah satu janji Nai. Semoga menghibur ^^

Silakan tuangkan komentar di kolom review. Bisa berupa saran, kritik atau bahkan flame. Tentu saja sertakan alasan logisnya ya.

Untuk yang berkenan silakan mampir juga di fic Nai yang lain. Nai juga punya collab project bersama Atharu dan Aoi Aysel lho. Judulnya "Chemical Love". Publish di akun ffn Atharu dan akun wattpad Aoi Aysel.

Terimakasih.