Seven

Sakura

Aku tertawa tak henti-hentinya sepanjang jalan. Kami memutuskan untuk berjalan kaki ke rumah karena sama-sama tidak membawa uang untuk naik bis atau taksi. Sasuke berjalan di depanku, blazenya ia lepas dan disampirkan di bahu, kemeja putihnya ia gulung sampai siku dan menatap lurus jalanan di depannya tanpa memperdulikan aku. Tangannya yang bebas ia masukkan ke dalam saku. Raut wajah Sasuke tampak tidak senang dan sejak kami mulai berjalan ia mengabaikanku. Benar-benar mengabaikanku.

Aku menghentikan langkahku karena pegal dan perutku sakit karena terus tertawa. Aku merasa bersalah juga karena tidak berhenti tertawa dan membuat Sasuke seperti itu, tapi aku tidak bermaksud melihatnya, foto itu muncul begitu saja saat aku membuka flap ponselnya.

Aku berlari dan menyusul Sasuke. Aku merangkul tangannya yang ia masukkan ke dalam saku. Dia tidak begeming. Aku mendongakkan kepala melihat rahangnya yang masih mengeras. "tenang saja aku janji tidak akan bilang siapa-siapa."aku mengangkat tanganku yang bebas dan membentuk huruf v sebagai tanda aku akan menjaga kata-kataku. "aku janji."

Sasuke menghentikan langkahnya dan menundukkan kepala agar bisa melihatku, mulutnya terbuka, aku menuggunya mengatakan sesuatu, tapi,

"Sakura!"

Aku menoleh, samar-samar aku melihat ada yang berlari ke arahku sambil memanggil-manggil namaku.

Ino muncul masih dengan kostum Marlyn Monroe super seksinya itu dan tampak seperti seseorang yang habis lari marathon. Tangannya memegangi lutut, rambut Marlyn Monroenya etah kemana digantikan rambut pirang panjangnya. Ia menegakkan tubuhnya lalu memelukku sejenak dan menatapku.

"Oh syukurlah kau di sini, aku kira kau masih di dalam dan terluka." Aku menatap Sasuke dari balik punggung Ino berharap dia tau maksud sahabatku ini, tapi dia hanya mengagkat kedua bahunya tanda bahwa ia tidak tahu.

"Ada orang mabuk yang membuat pesta kacau." Aku dan Sasuke saling pandang sama-sama terkejut, "tapi polisi sudah mengamankannya, dan menangkap pria mabuk itu." Entah kenapa aku merasa lega, "aku dan Sai mencarimu kemana-mana, aku pikir kau juga dibawa polisi." Aku membuang nafasku yang selama beberapa detik tadi kutahan, untunglah bukan aksiku yang membuat para polisi itu datang. Aku melirik Sasuke sekilas, aku jadi merasa bersalah membentaknya tadi.

"Aku sudah keluar dari sana sejak lama… sumpek." Ino mengangguk, sepertinya dia tidak tahu menahu dengan perkelahianku tadi.

"Ayo kuantar kau sebelum nenekmu pulang." Katanya, aku mengernyitkan dahi.

"Oh, aku minta maaf Sakura, sepertinya kau tidak bisa menginap di tempatku malam ini, keluargaku akan datang menginap." aku menyipitkan mata merasa curiga, keluarga? Alasan macam apa itu? Kenapa dia tidak bilang, 'Sakura maaf, aku ingin melanjutkan 'pekerjaanku' dengan Sai adi di tempatku'. "jangan menatapku seperti itu, kali ini sungguhan, oleh karena itu aku mencarimu. Ayo, cepat masuk mobil." Ia menarik tanganku dengan paksa.

"Oh, tentu saja kau boleh ikut, Sasuke." Suara Sai menghentikan langkahku sejenak.

Oh, aku hampir lupa dengan pria itu.

Beberapa menit kemudian mobil yang dikendarai Sai berhenti tepat di depan rumah keluarga Uchiha, sepnjang perjalanan Sai tidak henti-hentinya bertanya kenapa aku bisa bersama Sasuke atau dari mana aku mengenalnya yang semuanya tidak sempat kujawab karena dia langsung saja menceritakan jika dia itu teman Sasuke dan blablabla yang aku tidak ingat karena aku tidak tahu harus bilang apa padanya

"Seharusnya aku sadar itu rumahmu saat aku menjemput Sakura tadi," Sai berucap dan kata-katanya mengarah pada Sasuke yang sejak tadi diam di sampingku, tatapannya tertuju pada sesuatu di luar jendela.

"Kau tidak pernah sadar apapun saat bersama Ino, sai." Kataku, Sai terkekeh.

"Sebaiknya kau turun sebelum nenekmu muncul, Haruno!"

Aku memutar bola mataku, "ya.. ya.. ya..." aku membuka pintu di sebelahku, "terima kasih atas tumpangannya," kataku dengan suara datar merasa sedikit jengkel dengan usiran halus sahabatku itu.

"Dasar Ino, bilang saja dia ingin berduaan dengan Sai. Ck!" gerutuku, "Aw!" langkahku terhenti karena tubuhku terbentur sesuatu dan membuat sebuah ringisan keluar begitu saja dari mulutku.

Aku mengangkat kepalaku dan mendapati yang tadi kutabrak adalah tubuhnya yang terlihat kekar dan seksi itu—ralat, kekar dan ramping—aku baru menyadari jika tubuh Sasuke mirip para aktor di film action hollywood, tinggi, tegap, dan seksi. Aduh apa yang kau pikirkan Sakura, kau ingin mati!?

Aku hendak mengatakan sesuatu tapi gerakan mulutku terkalahkan oleh dehaman yang berasal entah dari mana. Kutolehkan sedikit kepalaku dan aku mendapati ayah dan ibu Sasuke sedang duduk di ruang tamu—pemandangan yang cukup tidak biasa mengingat tempt berkumpuk keluarga ini adalah di ruang televisi dan kejanggalan lainyang kutemukan adalah tatapan mereka tampak tidak senang—paman Fugaku melipatkan tangannya ke depan dada dan tatapannya datar (aku tidak tahu ini pertanda baik atau buruk), bibi Mioto tersenyum tipis dan memandangku dengan wajah penuh rasa bersalah. Nenekku—oh ya ampun aku baru sadar dia di sana.

Tatapannya menakutkan, sungguh menakutkan sampai membuat bulu romanku berdiri, dan jelas ini bukan pertanda baik untuk Haruno Sakura jika seorang Tsunade sudah menatapnya seperti itu. Seharusnya aku memang tidur di apartemen Ino tadi. Berbagi tempat tidur dengan keluarganya jauh lebih baik dari pada ditatap oleh nenekku seperti itu.

"Sepertinya kau harus menjelaskan sesuatu, Haruno Sakura." Kalimat singkat itu sukses membuat aku mematung. "Ke kamar, sekarang!" suaranya yang tegas dan dingin itu sontak membuat tubuhku yang mematung dan bergerak mengikuti arah ke mana nenekku pergi.

Jika aku disuruh memilih hukuman, aku lebih baik dihukum membaca banyak buku medis yang tebal atau membersihkan kamar mandi atau hukuman fisik seperti berlari, push up, dan sejenisnya dari pada duduk seperti para wanita di upacara minum teh. Sumpah, kakiku kram. Hampir dua jam nenek menyuruhku duduk seperti ini dan dia hanya memelototiku yang membuat jantungku hampir copot.

"Aku rasa aku sudah memberitahumu peraturan dilarang pergi ke pesta bentuk apapun selama kau tinggal denganku." Aku menggerakkan kakiku yang mati rasa, keringat dingin mulai keluar dari tubuhku, "jadi bisa kau jelaskan apa yang baru saja kau lakukan?"

Aku bergerak gelisah pertama karena aku sudah kesakitan, kedua karena aku tidak tahu harus mejawab apa karena aku sudah seratus persen tertangkap basah. Dari mana sih nenekku ini mendapat info aku pergi ke pesta?

"Haruno Sakura..."

"Mmmm.. anu.. itu... aku..."

"Sakura!" nada suaranya meninggi dan membuat pacuan jantungku meningkat.

"Sasuke-san ulang tahun." Dustaku, oh tidak, setidaknya aku benar, Sasuke memang berulang tahun hari ini, "dia mengundangku ke pesta ulang tahunnya yang kebetulan ada di sebuah klub dan memakai kostum." Beri aku nilai seratus untuk aktingku ini.

Nenek menaikkan sebelah alisnya, "aku tidak berbohong. Nenek bisa tanyakan langsung pada Sasuke-san." Dasar bodoh kau Sakura! Aku menggigit bibirku menungu reaksi nenekku.

Nenek menghela nafas lalu menatapku tidak setajam tadi, tapi masih dengan tatapan tajamnya yang mematikan, "Baiklah, aku anggap kau benar kali ini. Tapi, seorang pelanggar aturan harus tetap dihukum bukan?"

Mataku melebar seketika, "Dihukum? Aku...?" aku memang tidak pandai bernegosiasi.

"Satu bulan. Kau tidak boleh pergi ke mana pun selama satu bulan kecuali sekolah."

Aku membelalakkan mataku tidak percaya, satu bulan? Siapa pula yang mau menghabiskan musim panasnya di rumah? "satu bulan?" kataku dengan nada sedikit tinggi, "aku hanya pergi ke pesta musim panas kampus Ino kurang dari dua jam! Dan aku hanya berdansa di sana, aku bahkan tidak minum alkohol dan tidur dengan pria. Kenapa hukumanku berat seperti ini? Ini tidak adil!" protesku.

"Pesta musim panas kampus Ino?" suara nenekku mendingin dan rahangnya mulai mengeras, sontak aku menarik tanganku untuk menutupi mulut emberku ini, sungguh kau bukan aktris hebat seperti Julia Robert, Sakura. Bagaimana bisa kau kelepasan?

"Itu... maksudku...anu..."

"Dua bulan, dan tidak ada liburan musim panas dengan kakekmu. Titik."

WHAT! "bagaimana nenek bisa seperti ini? Aku hanya pergi ke pesta, hanya pergi! Apa perlu kuulangi alasanku? Demi Tuhan nek, aku tidak melakukan apa-apa dan aku sudah dua puluh tahun! Menurut hukum negara aku sudah sh untuk pergi ke pesta bahkan mabuk!" emosiku tiba-tiba memuncak, nenekku benar-benar keterlaluan masalah hukuman kali ini. Bagaimana mungkin aku tidak boleh berlibur kakekku?

"Salahnya, kau masih SMA, kau melanggar peraturan, dan kau tinggal bersamaku. Selama kau tinggal bersamaku kau harus mengikuti semua peraturanku. Aku rasa kau sudah mengerti itu."

Alasan bullshit macam apa itu! Aku harus mendapatkan liburan musim panasku, "oh, bagaimana dengan nenek? Aku rasa nenek juga melanggar peraturan." Nenek mengangkat kedua alisnya "nenek berselingkuh. Bahkan kau melakukan hal menjijikan, di tempat kerjamu. Apa jadinya jika kakek tahu akan hal ini?" aku teringat alasan utamaku pergi ke pesta, aku marah pada nenekku atas apa yang ia lakukan, kalau dia bisa melakukan hal yang tidak boleh dilakukan, kenapa aku tidak?

"Itu hal yang berbeda, Sakura."

"Apanya yang berbeda? Nenek juga melanggar hukum Tuhan untuk selalu setia sampai mati. Jadi pelanggaranku jauh lebih ringan dari pada apa yang nenek lakukan." Aku menatapnya tajam. Ini pertama kalinya kau semarah ini, aku terima dengan semua pelanggaran, tapi aku tidak pernah terima dengan perselingkuhan. Jika tidak ingin bersama dengan pasanganmu lebih baik berpisah baik-baik dari pada bermain di belakang.

"Aku tidak berselingkuh, asal kau tahu. Aku dan kakekmu..."

"Bukan karena hubungan kalian rumit, nenek bisa melakukan apa saja pada kakek. Apa ini yang selama ini nenek lakukan? Bermain dengan pria lain?"

PAK

Pipiku terasa panas, dan dalam sedetik air mataku jatuh begitu saja. Nenek menamparku. Nenek menamparku? Aku tahu nenek adalah orang paling kejam di dunia ini tapi walaupun dia sangat kejam, dia tidak pernah melakukan seranga fisik apapun, termasuk menamparku. Ini benar-benar keterlaluan, seharusnya aku yang melakukan ini bukan dia.

"Sakura, aku..."

"Salahku untuk tinggal dengan nenek bukan? Baiklah, aku akan pergi dan nenek tidak usah sibuk mencari kesalahanku," aku bangkit dengan kedua kakiku yang tiba-tiba terasa sangat baik, aku mengambil beberapa barangku lalu melangkah menuju pintu, "dan, nenek bisa leluasa dengan si brengsek itu!" kugeser pintu tempat tinggalku dan menutupnya dengan suara bedebum yang keras. Sial, kenapa hariku bisa sesial ini sih!

Aku melangkahkan kakiku selebar yang aku bisa, aku tidak tahu harus kemana yang jelas bertatap muka dengan nenekku adalah hal terakhir yang kuinginkan saat ini. Pikiranku berkalut ke kejadian beberapa hari lalu di rumah sakit dan saat nenekku menamparku, bahkan kedua kejadian itu masih membekas di kepalaku. Aku menyesal tidak mabuk tadi. Kenapa aku tadi berkelahi, bukannya mabuk lalu tidur dengan sembarang pria? Setidaknya itu bisa membuatku lupa, tidak seperti ini.

Tanpa kusadari langkah kakiku berhenti di halte bis yang biasa ku datangi, tak berapa lama aku melihat sebuah taxi dan meghentikannya dengan tanganku. Taxi berhenti tepat di hadapanku dan pintu belakangnya otomatis terbuka. Kumajukan selangkah kakiku dan terhenti saat kepala dan setengah tubuhku sudah berada di dalam kendaraan itu. Dalam sedetik kutarik tubuhku dan aku membuka tasku.

Sial, kemana benda itu saat dibutuhkan? Aku menggerak-gerakkan tanganku di dalam tas, sial. Kemana dompetku?

"Nona, Anda jadi naik atau tidak?" suara supir taxi menghentikan gerakkanku seketika.

Aku membalikkan tubuhku dan memberi supir taxi paruh baya itu senyuman super manisku, "Maaf, sepertinya aku tidak jadi." Kataku semanis mungkin dan pintu belakang taxi itu tertutup dan melaju meninggalkanku.

Nah, sekarang aku harus kemana? Apartemen Ino tidak mungkin kujangkau dengan berjalan kaki, apalagi ini sudah hampir tengah malam. Kembali ke nenekku juga tidak mungkin, mau ditaruh di mana mukaku ini kalau itu sampai terjadi. Biar begini aku masih punya harga diri tinggi.

Seminit kemudian aku mulai gelisah, aku mondar-mandir di halte bis seperti setrika pakaian. Berpikir Sakura.. berpikir... gunakan otakmu...

Butuh waktu lama menghentikan aksiku. Otakku terisi dan aku merasa sangat brilian.

Hanya satu tempat yang bisa kutuju, resiko akan kupikirkan belakangan.

.

.

.

.

To Be Continue