[Boy Meets What]

Cast:

Park Jimin

Min Yoongi

BTS

Genre: Romance, Fantasy.

Warning! Typo(s), OOC, BoysLove, DLDR

© Red Casper

.

.


Boy Meets Kim Namjoon


Park Jimin tidak ingin pergi ke Ilsan, namun tak ada yang bisa dilakukannya selain menurut. Seluruh anggota keluarga menganggapnya gila dan tak ada satupun yang menginginkan orang gila itu berada satu atap dengan mereka.

Menyebalkan.

Jadi yang Park Jimin lakukan setelah makan malam adalah berguling-guling di kasur sambil beberapa kali mengomeli dirinya sendiri tentang mengapa dia tidak berhati-hati sore tadi. Harusnya Park Jimin mengunci pintu. Harusnya Park Jimin tidak terbawa suasana saat bicara dengan Yoongi sehingga berkuranglah kewaspadaannya.

Ketika mengingat Min Yoongi, Jimin terdiam. Jika dia pergi ke Ilsan besok, apa yang akan terjadi dengan Min Yoongi? Apa yang akan dilakukan lelaki itu tanpa Jimin di dalam kamarnya?

Park Jimin menghela napas berat, lalu kemudian memutuskan untuk melakukan ritual memanggil Min Yoongi. Dengan mata setengah mengantuk, Jimin bangkit dari berbaringnya, berjalan menuju pintu untuk mematikan lampu dengan menekan saklar dengan satu jari, kemudian bergerak pindah ke depan cermin tinggi di dinding.

Mungkin jika ini adalah cerita tentang putri salju, maka Jimin adalah sang ratu yang selalu bergantung pada cermin di dinding, dan Min Yoongi adalah sang cermin yang akan selalu berkata dengan lantang bahwa Park Jimin adalah yang terindah dimuka bumi.

Memikirkan hal itu Park Jimin hanya tertawa. Sedetik kemudian dia terlonjak kaget berkat kemunculan suara Min Yoongi yang menggema dan keras sekali.

"Tentu saja, Yang mulia Park Jimin adalah yang paling cantik."

Jimin kembali tertawa. Sempat lupa bahwa Min Yoongi dapat membaca hatinya –ani, Min Yoongi adalah hatinya.

"Keluarlah." Kata Jimin pura-pura kesal, "aku perlu bicara."

"Your wish is my command." Jawab Yoongi sok patuh membuat Jimin tertawa geli lagi.

Dan Jimin lupa entah bagaimana Min Yoongi bisa tiba-tiba muncul di atas tempat tidurnya dalam posisi berbaring dengan kepala yang ditopang di atas telapak tangan.

"Halo ratuku." Katanya menggoda. Dan berkat itu, sebuah bantal sukses mendarat di wajahnya, membuatnya terkekeh.

"Aku akan ke Ilsan besok." Ujar Jimin to the point sambil bergerak duduk di kasur dengan kaki terlipat.

"Kau akan pulang malam?" tanya Yoongi sembari bangun dari tempatnya, duduk di depan Jimin dengan pose yang sama, melipat kaki.

Jimin menghela napas panjang, lalu menggeleng lemah, "aku tidak akan pulang seminggu."

"Apa?" sejenak Min Yoongi terdiam. Suatu pemikiran berputar di otaknya yang kemudian membuatnya tertawa keras, "pergilah."

Jimin tidak puas dengan jawaban itu. Dia mengharapkan Min Yoongi yang kecewa dengan kepergiannya, jadi dengan suara memelas yang mengalun dia berkata lagi, "tak bisakah kau ikut?"

Baiklah. Pertanyaan itu membuat Min Yoongi sedikit tersentuh melihat bagaimana merananya Park Jimin hanya karena memikirkan akan berpisah darinya –padahal ini hanya seminggu. Min Yoongi bergerak menyapu rambut Jimin dengan sayang, menatap kedalam matanya, lalu tertawa pelan.

"Aku tidak bisa." Ujarnya lirih, "aku terikat pada cermin, aku tak akan bisa menjangkaumu sejauh itu."

Jimin menghentak pelan kakinya di atas kasur, merengek, "kau tidak bisa berjalan dari satu cermin ke cermin yang lain untuk mengikutiku ke Ilsan?"

Min Yoongi melepaskan sapuannya di rambut Jimin kemudian terpingkal keras. Lucu sekali melihat sisi Jimin yang manja seperti ini.

"Tidak bisa." Jawabnya setelah lelah tertawa, mendapati Park Jimin yang menatapnya dengan cemberut, kesal karena ditertawakan. "Dengar sayang, tidak semua cermin bisa kumasuki. Aku terikat pada cermin yang ini, dan mungkin cermin seperti ini hanya ada satu atau dua di seluruh dunia. Aku tak bisa keluar dari batas, dan batasanku adalah kamarmu."

Melihat Jimin yang semakin cemberut, Yoongi memeluknya, menyandarkan wajahnya di dada Yoongi yang kurus, "maaf sayang, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu yang satu ini. ini diluar batas kemampuanku."

Jimin menggeleng lemah, lalu memeluk Yoongi di pinggang, "tidak apa. Aku mengerti."

Yoongi tersenyum sambil menggoyang-goyangkan badan mereka kekiri dan kekanan, "well, lagipula ini kan hanya seminggu. Bertahanlah, lalu kembali padaku. Oke?"

"Tentu saja aku akan kembali padamu." Bisik Jimin tegas, "aku hanya kesal karena orang tuaku menganggap aku gila dan menyuruhku pergi jauh-jauh."

"Hei… Ilsan hanya berjarak tiga jam dari Seoul."

"Tetap saja, itu jauh…." Jimin menggigit bibirnya sejenak, "….darimu."

Tawa Yoongi lepas lagi. Selama bersama Jimin, mungkin ini adalah pertama kali Yoongi banyak tertawa.

"Tenang saja," Yoongi balas berbisik, "aku selalu milikmu –dan kau, selalu milikku."

Jimin mengangguk. Bibirnya yang mengerucut cemberut akhirnya membentuk satu senyuman lega. Hangat sekali memikirkan bahwa ada yang memilikinya dan menerima semua kekurangannya tanpa protes, memaklumi semua tingkahnya tanpa komentar, juga mengetahui semua isi hatinya tanpa bertanya.

Dan karena semua kehangatan itu, Park Jimin mengeratkan pelukan dan mengabaikan kesunyian dari dalam rongga dada Min Yoongi.

.

Pukul delapan kurang Park Jimin sudah siap dengan segala persiapannya; dia sudah mandi, sebuah tas ransel berisi beberapa pakaian dan barang-barang keperluan telah duduk manis di atas kursi meja belajar, dan dia juga sudah berpakaian rapi lengkap dengan sepatu dan juga sebuah jaket hitam.

Jimin sengaja belum membuka jendela, melakukan semua persiapan itu dalam gelap –beberapa kali dia menggunakan nyala dari layar ponselnya untuk mencari barang-barang kecil yang perlu dibawa. Itu karena Min Yoongi masih tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Mereka tidur berpelukan semalaman, dan tidak ada sex bahkan saat keduanya menginginkannya. Min Yoongi beralasan bahwa Park Jimin akan kelelahan padahal dia akan menempuh perjalanan jauh keesokan paginya ("padahal dia yang bilang bahwa Seoul dan Ilsan hanya berjarak tiga jam perjalanan" batin Park Jimin kesal.)

Setelah selesai dengan semuanya, Jimin naik ke atas tempat tidur dan mengguncang pelan tubuh Min Yoongi. Laki-laki itu mengerang tidak senang, namun tetap membuka mata dan bangkit dari posisi tidurnya.

Dengan mata masih setengah tertutup, Min Yoongi bertanya, "sudah mau pergi?"

Jimin mengangguk. Tanpa mengatakan apapun, dia memeluk Yoongi yang balas memeluknya malas-malas.

"Tenang saja," kata Yoongi dengan suara serak, "aku tidak akan melakukan apapun pada kamarmu."

"Aku tak mengkhawatirkan itu, dasar bodoh." Jimin mendorong Yoongi kesal, dan segera tersenyum hangat ketika melihat Yoongi yang tertawa pelan dengan matanya yang masih tertutup.

"Jaga dirimu." Kata Yoongi lagi.

Jimin mengangguk, "aku akan sangat merindukanmu."

Yoongi ikut mengangguk, "bagus. Rindukan aku dan segeralah kembali."

"Tentu saja."

Mereka kemudian berciuman sedalam dan selama yang mereka mampu. Seminggu tentu saja akan terasa sangat lama untuk Park Jimin –tidak, mungkin untuk keduanya. Jadi Min Yoongi masih sempat mendorong Park Jimin dalam ciuman mereka, menjadikannya berbaring dan melumatnya sampai Yoongi sendiri terbangun.

Setelah berciuman, mereka masih saling bertatapan. Mengucapkan pada masing-masing bahwa mereka saling mencintai dan berciuman lagi.

Sesi itu terganggu oleh pintu yang tiba-tiba terbuka –Jimin lupa lagi mengunci pintu– menampilkan Park Jongin yang melongokkan kepala namun tidak menatap adiknya. Berkat cahaya dari pintu, Min Yoongi tiba-tiba lenyap dan Park Jimin segera bangkit dari berbaringnya.

"Jangan lama-lama." Kata Jongin. Terdengar kesal dan sayang disaat yang bersamaan, "ayah menunggumu di bawah."

Jimin tak menjawab. Dia hanya segera merapikan pakaiannya, mengambil ransel dan segera pergi dari sana dengan berat hati.

.

.


Jimin mengerutkan kening kesal di sepanjang perjalanan. Itu karena kenyataan bahwa bukan hanya ayahnya yang mengantar ke stasiun tapi seluruh keluarga. Bahkan Jongin yang tak pernah ikut campur dalam acara keluarga apapun –selain makan-makan– sekarang duduk manis di samping ibunya di jok belakang, diam dan hanya menatap jalanan dari kaca jendela. Ibunya yang beberapa kali bicara untuk mengingatkan Jimin tentang beberapa hal. Kepergian Jimin sepenting itu ya?

Dengan sedikit menghentak, Jimin menyuruh semua anggota keluarganya untuk tetap tinggal di dalam mobil, berkata dengan suara keras bahwa dirinya tak butuh diantar. Dia bukan anak kecil, umurnya sembilan belas, dan Park Jimin bukan orang gila. Dia masih hafal rute ke Ilsan, juga tahu caranya naik kereta.

Setelah semua kekesalan itu diluapkan, Park Jimin turun menjauhi mobil dan membiarkan semua anggota keluarga menatap tas ransel dipunggung anak termuda mereka dengan perasaan yang kacau balau.

"Sepertinya…" Jongin tiba-tiba bersuara, "…memang ada sesuatu di kamarnya, iya kan?"

"Sesuatu apa? Jangan bicara sembarangan." Kilah sang ibu, walaupun tangannya meremas kuat dompetnya.

"Jangan pura-pura lupa, bu." Jongin memalingkan pandangan dari adiknya yang telah masuk ke dalam stasiun. "Saat pertama kali kita pindah, Jimin mengeluh tentang sesuatu yang selalu membuatnya tidak bisa tidur di kamar itu."

"Tidak ada apapun!" ibunya bersikeras, "ayahmu tidur di kamar itu selama tiga hari, dan tidak merasakan apa-apa."

"Cerminnya." Suara sang ayah terdengar, memotong perkataan istrinya, "kita harus mengeluarkan cermin dari kamar itu."

Ibunya hampir menangis mendengar suara suaminya, sedangkan Jongin mengangguk kuat mendukung ayahnya.

"Aku sudah curiga ini tentang cerminnya." Sahut Jongin, "Jimin selalu terlihat bicara di depan cermin, yah!"

"Tapi yeobo~" sang ibu menatap suaminya yang masih melempar pandangan pada pintu stasiun, "kau bilang tidak ada apa-apa di dalam kamar itu."

"Ada…" suara sang ayah sedikit gemetar namun tak kentara. Dia mencengkram setir kuat-kuat, "Ada yang aneh dengan cerminnya. Setiap aku mendekat kesana, aku menggigil. Setiap malam ada suara bisikan aneh dari dalam bingkai kayunya, terdengar kecewa karena aku yang ada disana, bukan Park Jimin. Aku bilang tidak ada apa-apa karena aku meyakinkan diri sendiri bahwa itu hanya suara dahan pohon yang ditiup angin di luar jendela. Ini salahku karena membiarkan Jimin berada di dalam kamar dengan cermin sialan itu.

Aku menyuruh anakku pergi mengunjungi Namjoon bukan karena menganggapnya gila, tapi aku harus menjauhkannya dari cermin itu. Selama Jimin tidak ada, kita akan mengeluarkan cerminnya."

.

.


Setelah dua kali naik kereta, dua puluh menit naik bus dan sekitar setengah jam naik taxi, akhirnya Jimin tiba di depan sebuah rumah yang harusnya familiar untuknya. Ayahnya hanya memiliki ibu Kim Namjoon sebagai satu-satunya keluarga, sehingga dari kecil keluarga itu hanya punya rumah keluarga Kim untuk berkunjung, dan begitu juga sebaliknya.

Namun entah sejak kapan rumah dua lantai itu kini terasa begitu asing untuk Park Jimin. Pekarangannya yang luas dan penuh bunga serta rumput hijau, atau dinding rumahnya yang dari dulu selalu putih, atau juga balkon kamar Namjoon di samping bangunan yang terlihat dari pintu gerbang di depan. Semuanya terasa asing sehingga Park Jimin ingin segera pulang saja, mengurung diri di kamarnya yang nyaman dan bergelung bersama Min Yoongi di bawah kasur.

Ah, Jimin tersenyum melihat citra Min Yoongi yang melambai padanya dari pintu depan rumah keluarga Kim. Jimin sempat lupa bahwa dia punya cara untuk membuat Min Yoongi terasa begitu dekat. Park Jimin yang dapat melihat Min Yoongi dimanapun dan kapanpun dia memikirkan laki-laki itu, yang dulu membuatnya stress, kini membuatnya bersyukur. Untung saja. Jadi dia tidak akan merasa terlalu kehilangan.

Jimin membuka pintu gerbang kemudian mendaki beberapa anak tangga untuk mencapai bel. Dia tertawa pelan melihat Min Yoongi yang mengacungkan jempol untuk dekorasi pekarangan keluarga Kim. Setelah hampir empat jam merasa terus-terusan kesal, akhirnya Jimin punya alasan untuk tertawa dan dia senang alasan itu adalah Min Yoongi.

Ting tung…

Jimin memencet bel rumah dengan satu jari. Menunggu dengan sabar sambil bersandar di pintu. Beberapa waktu kemudian terdengar suara rusuh dari dalam rumah, langkah besar-besar dan berat sepertinya berlari-lari turun dari tangga, sempat menabrak sofa (terdengar suara berdecit dan teriakan "aw!" ), lari-lari lagi, kemudian…

Clek

"Hai!"

"Hyung…" Jimin memutar bola matanya, menahan tawa, "tidak perlu lari-lari kan?'

Kim Namjoon adalah seorang pria dengan perawakan tinggi dan tegap. Gerakannya kaku namun tegas. Kulitnya agak tan, dengan mata sipit dan lesung pipit manis di kedua pipinya. Menurut Jimin, laki-laki yang berusia tujuh tahun lebih tua darinya itu memiliki selera fashion yang aneh, suka bertingkah bodoh, tapi terlihat keren di beberapa waktu tertentu.

"Ayahmu menelponku." Kata Namjoon sambil tersenyum lebar. Dia minggir dari pintu untuk membiarkan adik sepupunya itu masuk, "dan sudah kusiapkan kamar untukmu di atas. Ayahmu ingin kau mendapatkan servis terbaik."

"Seriously, hyung~~" Jimin tertawa sambil menyeret tas ranselnya ke atas sofa dan duduk di sana seraya menghela nafas lega, "mereka pasti menginginkan rumah sakit jiwa terbaik untuk anaknya."

"Hei, kenapa bilang begitu…" Namjoon menghilang di dapur sejenak kemudian muncul dengan dua jus jeruk botolan yang dingin, memberikan yang satunya pada Jimin.

Jimin meneguk minuman itu dengan rakus kemudian mendesah panjang, "kenyataannya begitu, hyung. Mereka semua menganggapku gila."

"Kenapa mereka harus menganggapmu gila?" tanya Namjoon.

Saat-saat Kim Namjoon terlihat keren adalah saat dia berdiri tegap memegang botol jus jeruk dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana, bertanya dengan suara berat, dan menatap lawan bicaranya dengan sebelah kening terangkat, tersenyum seolah tahu segalanya.

Ah, sudah ada yang menyebutkan bahwa Kim Namjoon memiliki IQ diatas rata-rata? Yah, dengan sangat berat hati Jimin mengakui bahwa dia iri dengan hal satu itu.

"A-aku…" Jimin tergagap, merasa terintimidasi dengan tatapan kakak sepupunya, "Jo-jongin melihatku meniru acting artis dalam drama, kemudian melaporkanku pada ayah dan ibu, dan kemudian mereka menganggapku gila. Itulah keluargaku."

Namjoon seketika tertawa, dan entah kenapa Jimin tidak menyukai itu.

"Aku percaya padamu." Jawabnya singkat.

Jimin merengut, "memangnya aku bohong."

Namjoon tertawa lagi, kemudian meneguk jus jeruknya lagi. Dia menunjuk tangga dengan salah satu jarinya, "kamarmu di atas. Mau istirahat sekarang?"

Jimin mengangguk, lalu mengangkat ranselnya naik ke atas dengan Namjoon yang mengekorinya dari belakang.

"Bibi dan paman?" tanya Jimin yang tersadar bahwa rumah itu sepi.

"Berlibur." Jawab Namjoon singkat. "Ayah pensiun minggu lalu dan aku senang mereka akhirnya punya waktu untuk menikmati masa tua mereka bersama tanpa beban."

"Ah, aku iri sekali."

Namjoon mengangguk, "yah, orang tuamu juga perlu liburan. Jadi kau cepatlah lulus."

Jimin memutar bola mata, mengeluh dalam hati bahwa dirinya yang menginginkan liburan. Dia membuka pintu kamar tamu yang disediakan Namjoon untuknya, melempar ransel di lantai, berbaring di atas kasur sambil mendesah lega, kemudian baru menjawab, "Jongin sudah lulus."

"Aku bilang kau, kan, bukan Jongin." Ujar Namjoon santai. Dia meneguk jus jeruk lagi sambil bersandar di pintu.

"Kau tidak bisa menyamakan orang tua kita. Kau anak satu-satunya, sedangkan orang tuaku punya anak seperti aku."

"Memangnya kau anak seperti apa?"

Jimin bangkit dari berbaringnya kemudian menggigit bibir, "Aku? Aku anak yang biasa-biasa saja, ditambah lagi sekarang orang tuaku menganggapku gila."

Namjoon berdecak. Tapi dilihat dari ekspresinya, Namjoon sama sekali tidak terlihat kesal dengan semua yang Jimin katakan.

"Mereka tidak begitu, Jim." Desah Namjoon.

Dan akhirnya Jimin yang kesal. Dua tangannya di angkat seolah berkata lihat dimana aku sekarang? dia menatap Namjoon seperti menantang, "Aku dikirim pada seorang psikiater. Bukankah itu sudah jelas bahwa mereka menganggapku seseorang yang jiwanya terganggu?"

Kim Namjoon mendesah lagi, namun kali ini dia tersenyum. Lebar.

"Aku seorang psikolog, bukan psikiater."

.

.

[]

TBC