[Boy Meets What]

Cast:

Park Jimin

Min Yoongi

BTS

Genre: Romance, Fantasy.

Warning! Typo(s), OOC, BoysLove, DLDR

© Red Casper

.

.


Boy Meet New House


Prologue...

.

.

Park Jimin.

Seorang mahasiswa laki-laki jurusan ekonomi di salah satu universitas terbaik Seoul. Dia tidak terlalu tinggi, tapi juga tidak pendek. Kulitnya putih, pipinya sedikit chubby, dan matanya sipit, seperti ciri umum orang Korea. Rambutnya brunette dengan poni panjang, tidak tampan tapi manis.

Selain itu, Jimin adalah tipe pendiam, lebih karena dia malas bicara. Dia ingin punya banyak teman, tapi tidak suka bersosialisasi. Ingin menjadi menonjol di antara teman-temannya tapi selalu tidak berani menunjukkan diri. Dia terlalu banyak menyimpan ketakutan; takut tidak disukai, takut salah, takut tidak dihargai. Jadi Jimin berakhir menghabiskan setahun pertamanya berkuliah dengan menjadi orang biasa, hanya kenal teman sekelasnya dan pulang pergi kampus tanpa minat. Park Jimin punya beribu-ribu hasrat yang dipendam di balik senyum polosnya.

Di tahun keduanya kuliah, keluarga Park memutuskan pindah rumah. Ke tempat yang lebih bagus karena ayahnya mendapat promosi jabatan. Jimin senang-senang saja, membayangkan dia akan punya kamar yang lebih luas dan rumah yang lebih dekat dari kampus.

Jadi pada suatu pagi di hari minggu, keluarga Park sudah sibuk memindahkan barang-barang mereka. Mobil milik jasa pengangkut barang sudah pergi bermenit-menit yang lalu, meninggalkan berkardus-kardus besar barang di halaman, juga sofa-sofa, rak dan tempat tidur.

Rumah baru mereka berlantai dua, dindingnya warna abu-abu dan putih dengan bingkai jendela warna coklat, belum lama ditinggalkan pemilik lamanya jadi tidak begitu berdebu. Memiliki 3 kamar dengan kamar paling besar yang merupakan kamar utama di lantai satu, dan dua lainnya yang lebih kecil di lantai dua. Orang tua Park yang akan menggunakan kamar utama, sedangkan kedua anaknya, Jongin dan Jimin akan menggunakan lantai dua untuk mereka sendiri.

Jongin sudah mengklaim salah satu kamar di lantai dua yang jendelanya menghadap ke jalan, dan Jimin terima-terima saja dia mendapatkan kamar yang jendelanya menghadap belakang rumah. Jimin tak terlalu mempermasalahkan, yang penting dia punya kamar sendiri.

Jimin menghela nafas berat mendapati bakal kamarnya yang kosong berdebu. Memikirkan dia harus mengerjakan ini dan itu yang banyak sekali untuk menata kamarnya sudah membuatnya lelah lebih dulu. Ruang kamar baru Jimin lumayan besar, dindingnya berwarna putih gading, catnya masih bagus, tak ada cacat. langit-langitnya berwarna sama dengan lampu putih terang. Jendelanya tidak seperti jendela lain yang ada di rumah ini yang memiliki kaca, terbuat dari kayu dan tidak akan membiarkan satu cahayapun masuk jika jendelanya di tutup.

Yang paling menarik di ruangan itu adalah sebuah cermin tinggi dengan bingkai kayu berwarna cokelat, berbentuk seperti pintu kuno yang hampir menyentuh langit-langit. Benda itu menempel sempurna di dinding, memiliki ukiran tulisan aneh di pinggirannya, membuatnya terlihat antik.

Jimin menghela nafas lagi. Dia tidak bisa memindahkan cermin itu, jadi akan sulit menentukan letak tempat tidur karena dia tidak suka tidur sambil melihat cermin. Menakutkan.

Berhenti memikirkan semua itu, Jimin lekas keluar mengambil alat-alat pembersih. Memutuskan mengerjakan semua ini dengan cepat agar dia bisa segera tidur-tiduran di tempat tidur, seperti yang biasa ia lakukan. Dan memang lebih baik di kerjakan dari pada hanya dipikirkan, 'kan?

.

Semua orang excited tinggal di rumah baru. Nyonya Park tak henti-henti menggeser meja telpon selama seminggu ini, selalu beranggapan bahwa meja telponnya terlalu jauh dari ruang keluarga, tempat dimana mereka selalu berkumpul, tapi jika di dekatkan ke ruang keluarga, malah akan jauh dari kamar utama.

Tuan Park sendiri asik sekali menatap jalanan tiap sore. Mereka tinggal di area perumahan, sehingga akan banyak orang lewat di sore hari. Saat itu, tuan Park akan menyapa, berkenalan lalu mulai mengajak siapapun untuk makan malam di rumah mereka. Jimin sampai jengah melihat tetangga baru mereka bergantian datang tiap malam.

Jongin sepertinya punya kebiasaan baru. Jika ayahnya akan berdiri di depan pintu untuk menyapa tetangga, Jongin akan bertopang dagu di jendelanya, mencari gadis-gadis cantik di sekitar rumah. Siapa tahu ada yang bisa dijadikan kekasih, bersiul-siul tidak jelas ketika beberapa gadis lewat, saling mengangkat kening kepada satu sama lain kemudian tertawa melihat mereka cekikikan.

Park Jimin merasa dirinya yang sulit sekali beradaptasi dengan kamar barunya. Dia suka rumahnya, jujur saja. tapi dia merasa aneh berada di kamar. Rasanya seperti seseorang selalu mematainya, entah dari mana. Membuat Jimin tak bisa tidur malam hari; terbangun beberapa kali, lalu hanya bisa menatap malas kamarnya yang gelap sebelum akhirnya tertidur lagi.

"Apa yang terjadi dengan matamu, Jim?" Tuan Park bertanya pada suatu pagi. Mereka duduk melingkar di meja makan, menikmati sereal, sandwich dan secerek susu untuk semua orang.

Jimin mengucek matanya yang memerah, "Akhir-akhir ini aku tidak bisa tidur."

"Ada masalah dengan kuliahmu?" tanya Nyonya Park sambil menambahkan susu di gelas Jimin, seakan mata merah anaknya akan sembuh dengan lebih banyak susu.

Jongin mengangkat wajahnya dari mangkuk sereal, ikut memperhatikan mata adiknya.

Jimin menggeleng, "Tidak, bukan itu."

Sang ayah mengerutkan kening bingung, "Lalu? Wanita?"

"Apa? Tidak." Jimin menggeleng dramatis. Tentu saja bukan wanita. Bagaimana mungkin dia tidak bisa tidur karena wanita kendati tak ada satu wanitapun yang membuatnya tertarik, "Aku merasa seperti diperhatikan seseorang–"

" –Di kampus?" Jongin memotong dengan nada antusias.

"Di kamar."

"Hah?"

Ayahnya yang sepertinya sudah selesai dengan sarapannya, mengelap mulut lalu menatap anaknya khawatir, "Apa maksudmu, nak?"

Jimin mengangkat bahunya, "Aku merasa seperti aku tak sendirian di sana."

Ayah ibu Park saling melirik kemudian menggeleng. Jongin yang masih sibuk dengan sandwichnya.

"Kau hanya belum bisa menerima kamar barumu," Kata ibunya menarik kesimpulan masuk akal.

"Entahlah." Jimin menjawab lemas, matanya butuh istirahat.

"Ya. Ibumu benar." Ayahnya mengangguk setuju, "Mau tidur bersama Jongin dulu malam ini?"

"Apa? Ish." Itu suara Jongin. Dia membuang sayur yang tersisa dari sandwichnya dengan dramatis ke atas piring, "Dia sudah besar, yah!"

Ayahnya baru akan memarahi anak tertuanya, tapi Jimin sudah bersuara lebih dulu.

"Aku tidak apa-apa. Lagipula aku tidak nyaman berada di kamar orang lain, termasuk Jongin hyung."

Jongin mengangguk puas sambil mengangkat dua jempolnya di depan wajah Jimin, membuat ayahnya memincingkan mata ke arahnya.

"Terserah kau saja, nak." Ujar tuan Park kemudian, "Kau akan baik-baik saja kan?"

Jimin menatap orang tuanya sebentar lalu menghela nafas berat lagi, "Yeah. Tentu saja." desahnya.

.

.

Ini minggu kedua keluarga Park tiggal di rumah baru mereka, dan Jimin masih belum bisa beradaptasi dengan kamarnya. Matanya berkantung, dia ketakutan pada entah apa, dan tidak bisa terlelap dengan nyenyak setiap malamnya. Orang tuanya sudah meminta Jimin untuk tidur dengan ibunya, ayahnya akan tidur di kamarnya. Dan sepertinya sang tak merasakan apa yang Jimin rasakan, malahan tuan Park tidur sangat nyenyak disana. Mereka juga sudah memikirkan kemungkinan terburuk tentang makhlus halus dan sejenisnya, jadi mereka mengundang dukun dan paranormal untuk menjampi kamar itu, hingga pendeta untuk mendoakannya, tapi tetap saja Jimin masih merasa ada yang salah dengan kamarnya.

Tapi Jimin sudah berhenti mengeluhkan hal ini karena sepertinya semua orang sudah jengah mendengarnya. Tak ada yang terjadi, Jimin hanya berhalusinasi. Begitu kalimat yang pasti akan dilontarkan orang tua dan kakaknya ketika Jimin mulai menyebut-nyebut jam tidurnya.

Jimin tahu dia suka sekali berkhayal, tapi ini jelas bukan halusinasi. Jimin yakin sekali.

Lalu pada suatu malam di minggu ke empat, Jimin terbangun lagi dari tidurnya. Saat itu pukul dua pagi.

Tidak seperti biasanya, kali ini Jimin terjaga karena ingin sekali ke kamar mandi. Dia lega karena bukan hal aneh lagi yang membuatnya terbangun. Jadi dia lelaki itu keluar kamar, mengunjungi toilet di ujung koridor lantai dua. setelah itu dia masuk lagi ke kamar, ingin segera bergelut dalam selimut. Tapi setelah menutup pintu, kakinya malah tidak bisa bergerak.

Langkahnya terhenti di depan cermin tinggi di kamarnya. Jimin tak mengerti mengapa kamarnya menjadi lebih terang dari sebelumnya, entah karena bias cahaya lampu dari lubang ventilasi di atas pintu atau karena riak aneh dari cermin di depannya.

Ya. cermin itu sekarang sedang menampilkan bayangan Jimin dengan riak di sekelilingnya. Yang lebih aneh dari semua itu adalah Jimin tak merasa takut sekalipun, dia malah mengulurkan tangannya ke depan untuk memastikan bahwa yang di sentuhnya adalah cermin bukan air.

Setelah beberapa waktu, akhirnya riaknya berhenti. Perlahan sebuah bayangan lain tercipta di samping Jimin. Bayangan seorang pria yang memiliki tinggi hampir sama dengannya, memakai piyama warna biru gelap dari bahan kain licin dan sandal kamar bulu warna putih.

Jimin segera menengok ke sampingnya. Tak ada siapa-siapa. Laki-laki ini jelas hanya berada di dalam cermin, bukan dunia nyata.

Merasakan kakinya yang tiba-tiba menjadi dingin, Jimin mematai sosok yang berdiri di sampingnya; kulitnya pucat dengan rambut hitam kelam. Matanya sipit, senyumnya menggoda. Tatapannya membuat Jimin tak bisa berpaling, tajam dan mendominasi.

Jimin bisa melihat bagaimana sosok itu menyeringai, kemudian menggenggam tangannya pelahan-lahan. Jimin merasakan dingin menggenggamnya, tapi tak ada apapun saat Jimin mencoba balas menggenggam, hanya angin dan udara kosong.

"Kau…" Jimin tak menyangka suaranya akan keluar setenang ini, padahal dia yakin jantungnya sudah berdebar kencang sekali, "…Yang memperhatikanku selama sebulan ini?"

Sosok itu mengangguk sambil mengeringai makin lebar hingga giginya yang putih terlihat. Walaupun Jimin yakin dia mulai ketakutan, tapi dia tak bisa memungkiri bahwa dia menyukai bagaimana gusi pria itu terlihat di balik seringaiannya. Tampan sekali.

Lalu, saat suara berat yang pelan mengalun di bawah telinganya, Jimin hanya bisa berdigik, entah karena ngeri atau karena sosok itu sedang mendekatkan bibirnya ke telinga Jimin.

"Namaku Min Yoongi. Aku bisa membuatmu menjadi siapapun dan apapun yang kau inginkan. Kau tidak perlu memakai topeng bersamaku, aku bisa melihat hatimu dan hasratmu. Mau berteman dengaku, Park Jimin?"

.

.

TBC

[]