Unpredictable Love

©Anggara Dobby

Warning! Mature—male x male—enemy!hunhan—male-pregnant—time-travel—typos

Don't like, don't read. Simple.


Chapter 10 : A Fate


.

.


"Aku ada berita bagus yang bisa membuat jantung kalian loncat dari tempatnya."

Siang itu, saat jam istirahat, ketika anak-anak lain sudah keluar dari ruang kelas, Jongin berinisiatif mengadakan rapat pada anak buahnya —setidaknya, begitulah menurutnya— dengan semangat yang menggebu-gebu. Yang dimaksud 'anak buah' di sini adalah tiga orang pemuda yang sama sekali tidak sudi menjadi teman Jongin; Kyungsoo, Baekhyun dan Jongdae. Menjadi teman saja tidak sudi, apalagi menjadi bawahan? Tunggu sampai Kyungsoo tahu bahwa Jongin menganggapnya bawahan, akan habis pemuda tan itu di tangannya.

Kyungsoo, Baekhyun dan Jongdae saling bertatapan. Nampak terlalu malas mendengarkan berita yang akan disampaikan oleh Jongin. Jangan percaya pada anak Ares, atau kau akan masuk ke dalam lubang yang penuh ular berbisa—begitulah paham yang dianut oleh anak Athena.

"Apa? Bahwa kau sekarang impoten?" Kyungsoo menyeletuk malas, sekaligus ketus. Dia ingin menikmati makan siangnya di kantin, tapi lelaki hitam di depannya ini mencegah langkahnya. Itu membuatnya agak kesal.

Baekhyun dan Jongdae kelihatan terhibur dengan celetukan Kyungsoo. Dua orang itu tertawa kurang ajar.

Sementara Jongin melotot, sedikit terkejut dengan serangan mendadak yang hampir mengenai sasaran itu. Sial! Apa Kyungsoo tahu bahwa sekarang kejantanannya tidak ereksi saat menonton porno? Oh, itu sih kesialan yang tengah dialami Chanyeol. tapi, Jongin mau tidak mau merasa tersinggung juga. Karena sepertinya, dia juga akan mengalami hal yang sama pada Chanyeol. Jongin menepis bahwa itu adalah impoten. Tidak, dia tidak bisa membayangkan kejantanannya yang perkasa itu tidak bisa berdiri gagah lagi. Itu mimpi buruk. Dia hanya tak tertarik pada dua bongkah dada para gadis saja sekarang, selebihnya dia masih baik-baik saja.

"Jaga bicaramu, Mata Bakso!" Jongin menunjuk mata Kyungsoo dengan tidak suka. Dia hanya tidak mau lelaki pendek itu tahu tentang masalah yang menimpa kejantanannya saat ini. Itu memalukan.

Kyungsoo melangkah mendekat dengan mata mendelik tajam, dan Jongin sama sekali tidak mundur karena pergerakan itu. "Siapa yang kau sebut Mata Bakso?" desis Kyungsoo.

Jongin menyeringai, "Tentu saja kau, seksi. Siapa lagi yang sedari tadi bicara denganku? Bokongmu saja yang berisi, tapi otakmu tidak."

"Tarik ucapanmu, brengsek—"

Baekhyun dan Jongdae segera menahan tubuh Kyungsoo yang hendak menyerang Jongin di sela-sela tawa mereka. Adakah yang lebih menghibur dari perdebatan Sehun dan Luhan? Jawabannya, tentu saja ada. Berbeda dengan perdebatan Sehun dan Luhan yang terkesan sengit dan bar-bar, adu mulut yang terjadi di antara Jongin dan Kyungsoo cukup menggelitik perut. Jongin, si brengsek muka cabul itu, selalu menyelipkan godaan-godaan mesum pada Kyungsoo. Sepertinya Jongin tahu bahwa salah satu hal yang paling dibenci oleh Kyungsoo adalah menyinggung bokongnya yang seksi itu.

"Sudah, sudah," Baekhyun menengahi setelah puas tertawa, "Apa yang ingin kau sampaikan, Jongin? Jika tidak penting, kami tidak segan-segan menghajarmu di sini."

"Oh.., ternyata anak Athena suka keroyokan juga, ya. Rendahan sekali." Si brengsek Jongin mulai mencari masalah lagi. Hal itu mengundang tatapan tajam dari tiga pemuda di depannya.

"Kali ini aku tidak akan menghalangimu untuk menghajar si hitam ini, Soo." desis Jongdae.

"Tidak, tidak! Aku hanya bercanda," Jongin buru-buru berujar dengan cengiran menyebalkannya. "Ayolah, kenapa kalian sangat serius? Kalian akan bertambah tua jika—oh, oke. Aku akan mulai menyampaikan berita mengejutkan ini."

Baekhyun, Kyungsoo dan Jongdae sudah kehilangan mood untuk mendengarkan segala omong kosong yang akan diutarakan Jongin. Tapi perubahan raut wajah Jongin yang sangat serius ketika mulai bercerita, cukup menarik perhatian. Jongin tidak pernah se-serius ini. Pemuda itu biasanya selalu bicara omong kosong dan menyombong dengan wajah angkuhnya yang minta ditampar.

"Sehun dan Luhan ternyata sudah memiliki seorang anak—"

Setidaknya, itulah kalimat pertama yang keluar dari bibir Jongin, karena kalimat selanjutnya tidak didengarkan terlalu saksama oleh Baekhyun, Jongdae maupun Kyungsoo. Ketiganya sibuk berpandangan dan mengirim telepati lewat pandangan masing-masing. Seharusnya, ini menjadi berita yang mengejutkan bagi mereka. Tapi, rasa kaget mereka sudah terpuaskan malam kemarin karena penjelasan Luhan mengenai masalah ini. Mereka sudah tahu semuanya, dan itu bukan lagi hal yang mengejutkan —kecuali, kenyataan kalau Jongin juga tahu rahasia ini selain mereka bertiga.

"Aku nyaris jantungan sampai—bentar, kalian tidak terkejut?" Jongin menjeda cerita panjang lebarnya demi menatapi satu per satu wajah orang-orang di depannya, "Aku sedang tidak melawak, asal kalian tahu."

Baekhyun melipat kedua tangannya di dada dengan ekspresi malas. "Sebelum kau tahu, kami sudah tahu duluan."

Mata Jongin mengalahkan Kyungsoo; seperti ingin keluar dari habitatnya.

"Dan kau menguping pembicaraan keluarga orang, itu rendahan sekali." Kyungsoo sepertinya satu-satunya orang yang menyimak cerita Jongin sampai habis, buktinya, Kyungsoo berani menyimpulkan bahwa Jongin menguping pembicaraan Sehun dan Luhan semalam—dan itu sesungguhnya memang fakta.

"Bagaimana kalian bisa tahu—" Jongin tergagap untuk yang kedua kalinya dalam sejarah 18 tahun hidupnya (yang pertama, tentu saja ketika menguping semalam). "Ya ampun! Kompilasi kejutan ini membuatku ingin terjun bebas."

"Terjun bebas saja sana, mati sekalian kalau perlu." gerutu Kyungsoo. Jongin tidak mendengar, untungnya.

"Kami tahu karena Luhan yang menjelaskannya sendiri, lagipula ada bukti kongkritnya. Anaknya ada di kamar kami, kok."

Kyungsoo dan Jongdae refleks memelototi Baekhyun yang tak sengaja membocorkan rahasia kepada Jongin. Kyungsoo bahkan sampai mencubit pinggang Baekhyun dengan keras, hingga membuat lelaki bermata sipit itu tersadar dengan apa yang baru saja ia katakan. Satu persamaan Jongin dan Baekhyun adalah sama-sama tidak bisa menjaga rahasia. Bibir mereka terlalu lemah dan tidak kuasa menampung sebuah rahasia.

"Tuhan, bagaimana dua orang itu bisa menghasilkan anak?" gumam Jongin. Dia butuh penjelasan lebih lanjut mengenai ini. Otaknya masih belum bisa menerima hal irasional yang menyerempet sinting seperti ini. Untuk yang pertama kalinya, dia sangat peduli pada urusan lain dan ikut-ikutan pusing memikirkan hal ini.

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Jongin." ujar Baekhyun dengan senyum mirisnya.

"Dan kalian masih sesantai itu?" Jongin melotot tak percaya.

"Kami nyaris jantungan dan mati berdiri, tahu!" ketus Kyungsoo, hiperbolis.

Jongin hendak membalas perkataan Kyungsoo, tapi mendadak dia memutar pembicaraan ke topik sebelumnya. "Tunggu, tunggu.., kurasa ada kesalah-pahaman di sini. Anaknya Sehun dan Luhan ada di kamar kami, kamarku dan Sehun, jadi kalian pasti membual tentang anak itu ada di kamar kalian."

"Membual untuk masalah seperti ini sama sekali tidak penting, bodoh." semprot Kyungsoo.

"Aku jujur!" Jongin nyaris memiting leher Kyungsoo saat itu juga karena berani mengatainya bodoh. "Haowen ada di kamar kami, tidur seranjang dengan Sehun. Dia bahkan masih ada di sana sekarang. Kalau kalian tak percaya, datang saja ke sana!"

Jongdae mengernyitkan dahinya, "Namanya Ziyu, bukan Haowen. Sepertinya kau salah dengar semalam. Kau tidak berbakat jadi penguping."

"Oh, jangan bercanda, Jongdae. Anak itu benar-benar bernama Haowen, dan nyata. Dia sungguh mirip dengan Sehun. Kalian harus lihat betapa identiknya dua orang itu!" Jongin mempertahankan pendapatnya dengan keras, walau sepertinya dia pernah mendengar nama Ziyu, entah dimana. Jongin lupa.

"Shut up, Jongin! Namanya Ziyu, dan dia mirip Luhan!"

"Haow—"

Kyungsoo menyela perdebatan dua 'Jong' di depannya dengan ekspresi kosong, "Sepertinya ada yang belum kita ketahui di sini."

"Apa? Bahwa selama ini kau baru tahu kalau aku tampan? Miris sekali, pendek. Miris sekali."

Kyungsoo mengabaikan perkataan Jongin dan mengabaikan gairahnya untuk mematahkan setiap tulang si brengsek tan itu. Ada yang lebih penting dari itu; dan itu tidak bisa diabaikan.

"Sehun dan Luhan mempunyai dua anak."

Baekhyun dan Jongin merasa nyawanya baru saja dihisap oleh Sadako.


.

.

.


Harusnya Sehun tahu, bahwa apapun masalah yang menyangkut Luhan pasti akan menyeret dirinya ke dalam masalah itu. Apapun yang menyangkut Luhan adalah malapetaka, percayalah. Dia sudah mengalami banyak kesialan karena anak bermata rusa itu. Sengaja maupun tidak, Luhan selalu berhasil membuatnya kesal. Sehun rasa, Luhan pun begitu. Karena anak itu selalu memasang ekspresi muram ketika bersitatap dengannya. Oh, oke, mereka memang kompak untuk masalah ini. Sehun akui itu.

Terkadang, Sehun bertanya-tanya, kapan sekiranya dia terbebas dari bayang-bayang Kijang temperamental itu? Ini sungguh ironis, ketika dia berusaha menghindar dari lelaki itu dan rasa bencinya semakin menguat, maka takdir berkata lain. Dia justru semakin didekatkan pada Luhan. Oh, jangan bicarakan takdir—Sehun sungguh jijik. Dia tidak akan pernah menganggap bahwa hubungan anehnya dan Luhan ini adalah sebuah takdir.

Sehun menarik napas cukup dalam ketika mendengar sebuah ketukan pulpen di meja yang amat mengganggu dari samping kanannya. Dia sedang mencoba untuk tidak mencekik lelaki bermata rusa di sampingnya seperti semalam.

Well, dia memang sedang bersama Luhan. Lagi.

Tepatnya, di ruangan Guru Cho, dengan setumpuk essai matematika milik anak-anak kelas sebelah. Ruangan besar dengan banyak lemari buku itu terlalu luas untuk Sehun dan Luhan yang duduk samping-sampingan saat ini. Suhu di ruangan ini mengingatkan Sehun pada tatapan Guru Cho ketika bertanya kenapa kemarin mereka membolos di pelajarannya. Dingin dan cukup menusuk. Guru Cho bukanlah seorang guru yang bisa mentolerir kesalahan yang dilakukan murid-muridnya, apalagi sebuah kenakalan besar semacam membolos. Di mata Guru Cho, membolos adalah kejahatan nomor satu di sekolah. Dengan tidak pandang bulu, Guru Cho memberikan Sehun dan Luhan hukuman. Cukup ringan karena hukumannya hanya mengoreksi setumpuk essai matematika milik anak kelas sebelah selama jam istirahat berlangsung. Sehun bersyukur, mungkin Guru Cho sedang dalam mood yang baik untuk tidak mengirimnya ke toilet sekolah. Namun, yang jadi masalah adalah; Sehun lagi-lagi harus dihadapkan dengan situasi yang tidak menyenangkan bersama makhluk pengganggu di sampingnya.

Shit. Luhan lagi, Luhan lagi.

"Berisik!" geram Sehun ketika intensitas ketukan pulpen Luhan yang berduet dengan meja semakin meningkat. Hari ini Sehun sungguh malas berdebat dengan anak berambut kusut itu, tapi sepertinya Luhan tidak akan membiarkan hidup Sehun tenang barang sedetik pun.

"Tutup saja telingamu, brengsek."

Ya ampun.

Beginikah tipe orang yang akan menjadi pendamping hidupnya? Yang akan menghasilkan pewaris keluarga Oh yang terhormat? Yang akan menyandang marga Oh yang disegani orang-orang? Yang akan menemaninya di sisa-sisa hidupnya? Yang akan selalu dilihatnya setiap detik selama ajal memisahkan mereka?

Itu bukan lagi mimpi buruk, tapi neraka dunia.

"Apa kau sedang datang bulan?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Sehun. Tergelincir bebas akibat kebingungannya. Oke, setiap hari Luhan memang selalu emosi bila di dekatnya, tapi saat ini dia kelihatan lebih… ganas.

Ketukan pulpen Luhan di meja refleks terhenti, lalu wajahnya menghadap ke arah Sehun. Matanya menyipit tajam, dan itu sangat tidak cocok dengan wajahnya.

"Jangan bicara begitu lagi," kali ini pulpen lancip itu menunjuk ke mata Sehun, "Di depanku. Atau aku akan—" Luhan memberi jeda selagi ujung pulpennya nyaris mencolok mata Sehun, "Membunuhmu sampai tak bersisa!"

Sehun mendengus geli. Merasa tak gentar sekali dengan ancaman bodoh Luhan.

"Yeah? Seperti kau bisa saja." seringaian melecehkan terpampang di wajah Sehun. "Melihat kecoa saja kau nyaris mati."

Wajah Luhan memerah, malu luar biasa. Rasanya dia ingin menyiram wajahnya di air es mendapati kenyataan bahwa Sehun tahu salah satu kelemahannya. Luhan kembali diingatkan pada insiden di perpustakaan beberapa waktu yang lalu, ketika seekor kecoa sialan mendarat dengan apik di hidungnya. Bagian tersialnya adalah, dia memeluk —tidak, itu gerak refleks! Luhan tidak sudi mengakui bahwa dia sudah memeluk Sehun— Sehun. Dan jangan ingatkan Luhan bahwa Si Brengsek itu memberikannya sebuah tepukan di punggung yang menenangkan pada saat itu. Luhan tahu, bahwa perlakuan manis itu adalah ledekan untuk Luhan, bukan sebuah ketulusan. Hah, Sehun tetaplah Sehun. Manusia bajingan yang tidak punya perasaan dan belas kasih.

"Diam, bajingan!"

"Kau yang seharusnya diam, Kijang idiot! Kau mengganggu konsentrasiku."

"Aku hanya bosan melihat essai sialan ini yang tidak habis-habis! Minggu ini aku tidak pernah mendapatkan waktu istirahatku karena harus menjalani hukuman bersama orang brengsek sepertimu. Kenapa aku selalu sial jika di dekatmu? Kau tahu, aku muak sekali melihatmu! Sangat muak!"

"Sudah?"

Luhan berkedip dua kali ketika Sehun membuka suara dengan nada dingin yang amat menusuk. Pandangan lelaki itu tak kalah dinginnya, membuat Luhan nyaris menggigil. Wajahnya memang datar, nyaris tanpa emosi, tapi Luhan tahu bahwa di sana ada emosi besar yang siap ditumpahkan. Sehun memang selalu kalem dan dingin, sangat pandai menyembunyikan emosinya, hanya lidahnya saja yang berbisa. Berbeda dengan Luhan yang selalu menggebu-gebu untuk bisa mencakar-cakar wajah Sehun. Jika Sehun adalah manusia lewat ucapan, maka Luhan adalah manusia lewat aksi—walau dia juga senang melontarkan kalimat sarkas pada Sehun, sih.

"Ada banyak hal yang membuatku benci padamu, dan salah satunya adalah ketika kau menyalahkanku atas situasi buruk yang menimpamu. Kau pikir aku mau selalu terjebak bersama dengan orang temperamental sepertimu? Kau pikir ini kehendakku? Kau pikir aku merencanakan ini semua? Oh, Kijang, kau benar-benar makhluk yang menyedihkan. Justru kau yang membawa sial untukku! Tingkahmu yang seperti anak kecil tengil dan manja itu sungguh menyusahkan orang lain. Seharusnya kau introspeksi diri, jangan menyalahkan orang lain!"

Wow, itu agak panjang dan…, menyakitkan.

Luhan tidak bisa berkata apa-apa, bahkan ketika Sehun mendorong kursinya secara kasar dan beranjak dari ruangan Guru Cho dengan aura mengerikan, Luhan masih tidak bisa mencerna apa pun.

Sehun memang selalu berkata kasar padanya, mengumpati dirinya, menggertak dirinya, dan mengejek dirinya, tapi satu hal yang tidak pernah Sehun lakukan padanya adalah mengatakan bahwa dia membencinya dan meninggalkannya sendirian. Dan dia melakukannya hari ini. Luhan merasa begitu buruk. Apa ucapannya sangat keterlaluan? Tapi, Sehun sering mengatakan yang lebih kejam daripada yang ia ucapkan tadi. Mungkin mood Sehun sedang sangat buruk.

Dan kenapa ia harus peduli pada suasana hati Sehun?

Seharusnya Luhan senang karena dia bisa menjalani hukuman ini sendirian tanpa ditemani oleh orang brengsek seperti Sehun. Luhan lebih senang menjalani hukumannya sendirian. Dia akan merasa lebih tenang tanpa wajah judes Sehun ataupun ucapan menusuknya.

Tapi nyatanya, ada yang sangat mengganjal di hati Luhan. Membuatnya tidak fokus. Luhan tidak tahu kenapa dan dia tidak mau mencari tahu.

"Ck!"

Pulpen hitam itu terlempar ke ujung ruangan, dan si pemiliknya kini memilih menelungkupkan wajahnya di antara lipatan kedua tangannya.


.

.


"Sehun, ada apa dengan wajahmu?"

Sehun mengabaikan pertanyaan Tao dengan terang-terangan. Dia memilih meminum minuman kalengnya dengan perasaan campur aduk. Marah yang lebih mendominasi. Ucapan ketus Luhan jelas masih terngiang-ngiang kencang di telinganya, memberikan sebuah pukulan keras tepat di dadanya. Sehun sangat tahu bahwa Luhan membencinya, dan begitu pun sebaliknya. Mereka selalu perang dingin setiap bertemu, dan itu sudah berjalan nyaris tiga tahun lamanya. Tapi, entah kenapa, baru kali ini Sehun sangat marah dengan ucapan Luhan.

"—Kenapa aku selalu sial jika di dekatmu? Kau tahu, aku muak sekali melihatmu! Sangat muak!"

Jelas sekali bahwa Luhan sangat terganggu dengan kehadirannya. Yeah, orang gila mana yang senang dengan kehadiran musuhnya sendiri—Sehun tertawa sinis dalam hati. Ucapan Luhan itu seolah-olah menyuarakan bahwa Luhan memang sangat-amat membencinya. Sejujurnya, ketimbang rasa marah, rasa kecewa yang lebih mendominasi. Seharusnya, Luhan mengerti dan sadar. Bahwa Sehun juga ada di posisi yang sama sepertinya. Sehun tidak pernah merencanakan agar mereka selalu terjebak di tempat dan situasi yang sama. Semuanya berlangsung begitu saja.

Sial. Perasaan tak nyaman ini sungguh mengganggu.

"Ada banyak kerutan di sana,"

Sehun lagi-lagi mengabaikan Tao, yang kali ini menunjuk-nunjuk beberapa bagian wajahnya dengan jari panjang anak itu.

"Di sana juga," Chanyeol ikut menimpali, bahkan menusuk-nusuk bagian pipinya.

Sehun segera menepis tangan teman-temannya dengan ekspresi risih. Dia berdesis kesal, "Diamlah, brengsek!"

Chanyeol menarik tangannya diselingi kekehan kecil, "Heran, kapan mood-mu bagus, sih?"

"Nanti," jawab Tao menggantung, "Ketika dia jatuh cinta dengan Luhan." lalu anak berdarah Cina itu terbahak sendirian, meninggalkan Sehun dan Chanyeol yang memandangnya dengan tatapan menusuk.

"Jangan sebut nama Si Sialan itu!"

"Dia tidak akan jatuh cinta dengan Luhan!"

Tao sontak terdiam dengan sebuah rengutan di wajahnya mendapat protesan kompak dari kedua temannya. Kemudian pemuda Qingdao itu memakan ramyeon-nya dalam diam, seperti anak kecil yang baru saja dimarahi.

"Sehun, kau tidak akan jatuh cinta pada Luhan, 'kan?" tanya Chanyeol, memastikan. Pupil matanya melebar ketika bertanya hal itu, menandakan jika ia benar-benar penasaran dengan jawaban Sehun.

Sehun melirik Chanyeol dengan malas, "Tidak. Ambil saja anak itu, aku tidak peduli."

Chanyeol langsung bersorak bodoh membuat Sehun menggelengkan kepalanya pelan. Bagaimana jika sahabatnya itu tahu bahwa orang yang dia suka itu adalah pendampingnya di masa depan nanti? Sehun jadi merasa agak kasihan dengan Chanyeol. Lagipula, apa dia tidak bisa melihat kriteria yang lebih tinggi untuk disukai? Masih banyak yang lebih berkualitas dari Luhan. Sehun harus membantu Chanyeol untuk membuka matanya. Sahabatnya itu perlu disadarkan.

Beberapa menit kemudian, Jongin datang, bergabung dengan mereka. Dia datang bersamaan dengan kawanan Baekhyun, hal itu membuat Sehun refleks bertanya, "Kenapa kau datang bersama mereka?"

Jongin mengangkat bahunya, cuek, "Hanya kebetulan."

Sehun merasa agak janggal dengan Jongin. Pemuda itu sejak semalam selalu menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa Sehun artikan. Ini jelas bukan tentang penampilan yang ditatap oleh Jongin, pasti ada hal lain, dan itu membuat Sehun penasaran sekaligus curiga. Pemuda itu juga tidak merecokinya dengan godaan-godaan seputar Luhan atau hal kurang ajar lainnya seperti biasa, dia agak lebih pendiam kepadanya saat ini. Ada hal yang disembunyikan oleh Jongin, dan Sehun yakin itu menyangkut dirinya.

"Sehun, kemana orangtua Haowen?" Jongin tiba-tiba melempar sebuah pertanyaan tak terduga. Chanyeol dan Tao ikut memandangnya penasaran.

"Kenapa kau menanyakan itu?" Sehun balas bertanya, sebisa mungkin tetap menjaga ketenangan nadanya. Dia harus bertingkah seolah-olah ucapannya bukan sebuah kebohongan.

Jongin kembali mengangkat bahunya, "Aku hanya penasaran saja. Kau tahu? Keluargamu 'kan termasuk keluarga yang sangat kaya, pasti sangat mampu menyewa seorang baby sitter untuk menjaga Haowen, daripada menitipkannya padamu yang notabene tinggal di asrama sekolah."

Chanyeol dan Tao mengangguk-angguk, menyetujui ucapan Jongin.

"Ya, Sehun. Apa Bibimu tidak khawatir jika Haowen akan terlantar di sini?" timpal Chanyeol.

Kali ini Sehun sangat yakin bahwa Jongin memang sedang mencurigainya. Sial, dia merasa dipojokkan saat ini. "Haowen tidak suka dengan orang asing. Dan.., kenapa pula kalian mengurusi hal itu? Haowen urusanku."

Lalu ketiga temannya itu mengangkat kedua tangan mereka, menyerah, tidak ingin berdebat lebih lanjut. Tapi, Jongin masih terlihat tidak puas dengan jawabannya. Sehun mulai mencurigai sesuatu, apa teman-teman Luhan mengatakan sesuatu pada Jongin? Baekhyun dan yang lainnya sudah mengetahui bahwa Haowen dan Ziyu adalah anaknya, jadi bukan hal yang mengejutkan jika mereka membocorkan masalah ini pada orang lain. Terlebih akhir-akhir ini, Jongin memang sering tertangkap sedang bersama kawanan Baekhyun. Hal itu makin menguatkan kecurigaan Sehun.

Sehun mendesis geram dalam hati. Luhan dan mulut bocornya memang perlu dihajar.

Sehun harus menyelesaikan ini dengan cepat, sebelum semuanya semakin rumit. Dia harus mengembalikan Haowen dan Ziyu ke masa mereka. Persetan dengan Luhan! Sehun bisa melakukannya sendiri. Dia akan mengatakan masalah ini pada Prof. Shim, dan meminta Professornya itu untuk membantu mengeluarkannya dari masalah ini. Setelah itu, Sehun akan menganggap semuanya tak terjadi apa-apa dan melanjutkan hidupnya dengan tenang. Dan Luhan—Sehun akan mengenyahkan Kijang itu dari hidupnya. Dia sudah tak peduli pada lelaki itu.

Sehun akan menjauhinya setelah ini.

Dengan tekad yang kuat, Sehun berdiri dari duduknya. Dia tak ingin membuang-buang waktu. Dia harus menemui Prof. Shim sekarang.

"Oi, Hun! Mau kemana?" seruan Chanyeol terdengar di telinganya dengan jelas, tapi Sehun tidak mau repot-repot menjawab atau menoleh ke belakang. Dia terus melangkah keluar kantin, menuju ruangan Prof. Shim.

.

.

Mungkin ini yang dinamakan takdir —hal yang selalu ditepis otak Sehun— , bertemu dengan Luhan di depan ruangan Prof. Shim adalah hal yang tidak Sehun duga-duga. Tepat ketika dia menginjakkan kakinya di sana, Luhan juga datang. Seperti janjian—tapi jelas bukan, ini sebuah kebetulan, yang kesekian kalinya. Luhan juga membawa Ziyu bersamanya, dan Sehun juga membawa Haowen saat ini. Oh shit, mereka tidak janjian! Sehun mulai ngeri dengan kenyataan bahwa dia dan Luhan memang terikat dengan takdir.

Tidak. Jelas bukan.

Tidak ada yang namanya takdir antara dirinya dan Kijang bodoh itu.

Mungkin Luhan juga punya pikiran yang sama dengannya; ingin mengembalikan Ziyu dan Haowen ke masa mereka dan menyelesaikan masalah ini cepat-cepat.

"Appa!" Ziyu berseru girang ketika melihatnya. Pipi gembil anak itu terangkat ketika tersenyum lebar dan hal itu membuat bibir Sehun tertarik sendiri, membentuk sebuah senyuman tipis. Tapi itu hanya berlangsung beberapa detik saja, karena Luhan segera menarik Ziyu untuk masuk ke dalam dengan wajah judes.

…sial. Ini seperti drama keluarga yang menyedihkan.

"Apa Baba selalu melihat Appa seperti itu?" tanya Haowen.

Sehun melirik anak itu sekilas, lalu menjawab dengan nada tak acuh, "Yah, begitulah. Mungkin aku sudah membunuh kekasihnya di masa lalu." Haowen terkikik mendengarnya.

Sehun kemudian mengajak Haowen untuk masuk ke ruangan Prof. Shim. Cukup sulit untuk menyelundupkan anak itu ke dalam area sekolah, karena pastinya akan banyak pasang mata yang melihat. Tapi, karena saat ini kebanyakan murid sedang berada di kantin, Sehun tidak terlalu repot membawa Haowen masuk. Lagipula, ruangan Prof. Shim cukup jauh dari ruang kelas para murid, jadi kemungkinan ada pasang mata yang melihat hanya 20% .

"Permisi, Prof?"

Prof. Shim tengah mengotak-atik laptopnya ketika mereka datang. Benda canggih itu mengeluarkan suara ledakan kecil yang disertai sedikit asap ketika Prof. Shim mencabut sebuah chip dari sana. Prof. Shim terlihat terkejut dengan wajah konyol yang tidak dibuat-buat. Dia menggerutu, "Ah, sial. Hangus lagi." —Sehun sedikit heran, apa yang dilakukan Prof. Shim sampai laptopnya bisa meledak seperti itu?

"Professor?" Luhan mengulangi.

Professor muda itu lalu mendongakkan kepalanya, mengalihkan fokusnya dari laptop miliknya, dan Ia baru menyadari kedatangan dua muridnya yang seperti Tom and Jerry.

"Sehun? Luhan?" Prof. Shim membenarkan posisi duduknya, "Apa kalian salah masuk, anak-anak? Ini bukan ruang BK."

Sehun dan Luhan, secara kebetulan—lagi, mengeluh bersamaan, "Professor..,"

Prof. Shim terkekeh, "Aku hanya bercanda, anak-anak." Dia meminggirkan laptopnya ke ujung meja kerjanya dengan sedikit keluhan, "Yah, memang beginilah ruanganku. Selalu berantakan, dan selalu saja ada yang hangus. Semoga kalian tidak kaget, ya! Karena terakhir kali ada siswa yang datang menemuiku, dia berteriak melihat seekor katak raksaksa di atas mejaku. Dan akhirnya, dia trauma masuk ruanganku."

Sehun mengernyitkan dahinya, heran. Sementara Luhan meringis, lalu bertanya dengan mata melirik sekitar dengan was-was, "Kau memelihara seekor katak raksaksa di ruanganmu, Prof?"

Prof. Shim terkekeh lagi, lalu mulai berceloteh, "Tidak. Itu hanya katak percobaan. Tadinya aku ingin bayi naga, tapi mustahil menemukannya di zaman ini 'kan? Jadi aku membeli seekor katak mungil dari Pasar Cina. Katak mungil itu berhasil menjadi katak raksaksa ketika aku menyuntikan serum 34-AGF hasil eksperimenku. Bobotnya bisa mencapai 30kg jika disuntikkan sebanyak dua kali. Hebat, bukan?"

Sehun dan Luhan meringis bersamaan. Apa memang rata-rata Ilmuwan itu suka mencoba hal aneh dan kurang kerjaan seperti itu, ya?

"Ah, ya. Silahkan duduk, anak-anak!" Prof. Shim mempersilakan mereka untuk duduk dengan penuh keramahan seraya menyodorkan setoples permen cokelat di mejanya, "Nah ini, kalau mau, ambil saja. Ini import dari Swiss. Sangat lezat!"

"Paman Shim!"

Sehun yang baru saja ingin duduk terhenti tatkala Haowen dan Ziyu berjinjit-jinjit ria di depan meja Prof. Shim seraya berseru senang. Sehun menggaruk ujung hidungnya melihat kelakuan kedua anak itu. Mereka bahkan memanggil Prof. Shim dengan sebutan Paman. Ini akan sangat memalukan.

"Eh?" Prof. Shim harus menjulurkan kepalanya demi melihat Haowen dan Ziyu. Mejanya sangat besar dan tinggi, asal kalian mau tahu. "Kalian mengajak adik-adik kalian?"

Sehun dan Luhan saling lirik satu sama lain. Bingung harus memulai darimana.

"Sebenarnya ada apa ini?" tanya Prof. Shim. Sepertinya dia melihat kejanggalan dari dua murid di depannya.

"Professor, kami ingin mengakui sesuatu." Luhan memulai dengan nada takut-takut. Yah, walaupun Prof. Shim itu termasuk guru yang sangat friendly, tetap saja Luhan takut mengakui masalah ini. Bisa saja Prof. Shim murka nanti.

Prof. Shim dengan wajah bingungnya mengangguk-angguk, "Ya, ya, silakan. Aku akan mendengarkan."

Luhan mulai bergerak gelisah di posisinya. "S-sebenarnya.., ketika kau menyuruhku untuk membawakan buku-buku paket Kimia ke kelas X-II, aku tak sengaja menemukan sebuah arloji di atas meja guru. Arloji itu tak sengaja jatuh, dan aku berusaha memperbaikinya, takut-takut ada yang rusak. Tapi, terlalu banyak angka di sana, jadi aku dan Serigala Lumpur ini salah ketika men-settingnya—"

"Tunggu! Itu hanya salahmu. Kau yang mengotak-atiknya sendiri. Jangan bawa-bawa namaku." protes Sehun.

Luhan menatapnya sadis, "Ini kesalahan kita berdua! Kau merecokiku ketika aku sedang mengatur jam di arloji itu."

"Itu tidak ada pengaruhnya sama sekali. Kau saja yang sangat ceroboh, Kijang!"

"Tidak! Pokoknya ini kesalahan kita berdua!"

"Apa—tidak bisa begitu! Kau itu memang—"

"Apa, apa? Pembawa sial?"

"Kijang—"

"Cukup, anak-anak. Cukup!" Prof. Shim menengahi perdebatan kedua muridnya. Professor muda itu memijat pelipisnya sesaat, tampak pusing dengan kelakuan Sehun dan Luhan yang selalu saja bertengkar. "Sehun, kau saja yang menjelaskan."

Sehun mengangguk patuh, sementara Luhan melipat kedua tangannya di dada dengan wajah tertekuk.

Kemudian Sehun menceritakan semuanya kepada Prof. Shim secara detail. Luhan hanya mendengarkan dan memandangi lelaki itu ketika bercerita. Belum pernah Luhan melihat Sehun berbicara panjang lebar seperti ini, karena lelaki itu memang sangat irit bicara. Dan, tidak tahu kenapa, itu terlihat amat menarik ketika mendengar Sehun menceritakan semuanya. Ekspresi seriusnya seolah menambah poin lebih.

Ya ampun, akal sehat Luhan pasti sudah tertinggal di ruangan Guru Cho.

"—Yah, begitulah kejadiannya. Dan kami datang ke sini bermaksud untuk meminta bantuan padamu, Professor." Sehun menyudahi ceritanya dengan nada bersalah.

Prof. Shim terdiam dengan wajah kosong. Ekspresinya tak terbaca, hanya matanya saja yang terpaku pada Haowen dan Ziyu yang tengah memperebutkan setoples cokelat.

Luhan mulai khawatir, bibir bawahnya ia gigiti seraya melayangkan tatapan pada Sehun. Lelaki itu balas menatapnya, tapi kali ini tidak dengan sorot pandang yang menusuk.

Sehun melengoskan wajahnya setelah lima detik menatapnya, membuat Luhan merengutkan wajahnya. Apa sebegitu bencinya lelaki itu padanya?

"Professor?" Sehun berusaha mengembalikan kesadaran Prof. Shim.

Prof. Shim mengerjapkan matanya, bibirnya terbuka lalu tertutup berulang-ulang; seperti ingin mengutarakan banyak pertanyaan. Tapi, yang keluar dari mulutnya hanyalah, "Kalian tidak sedang mengerjaiku, 'kan?"

Sehun dan Luhan menggeleng kompak.

"Aku juga inginnya begitu," gumam Sehun. "Tapi ini nyata, Prof. Arlojimu membawa kami ke masa depan."

Prof. Shim menghela napasnya panjang-panjang, lalu memijat pelipisnya. Tampak begitu frustrasi. Luhan yang melihat itu hanya menunduk, memandangi sepatunya dengan rasa bersalah yang menguasai.

"Siapa saja yang tahu masalah ini selain kalian?"

Luhan menjawab dengan cicitan, "Hanya teman-teman sekamarku, Professor."

Prof. Shim mengangguk-angguk mengerti, ekspresinya masih sukar ditebak.

"Tapi.., bagaimana bisa kalian punya dua anak?" tanya Prof. Shim seraya memandangi Haowen dan Ziyu dengan takjub, seolah-olah keduanya adalah bayi ajaib yang bisa menerbangkan sebuah pulau.

Sehun baru saja ingin menjawab, tapi Ziyu menyela dengan cengiran lebar, "Itu 'kan juga penemuanmu yang dibantu oleh dokter-dokter hebat, Paman Shim."

Prof. Shim serta Sehun dan Luhan tampak terkejut dengan jawaban Ziyu.

"Ziyu, kau tidak menceritakan itu padaku." ucap Luhan.

"Karena Baba tidak bertanya. Heheh." Ziyu masih dengan cengiran lebarnya, mengusap bibirnya yang penuh lelehan cokelat. Tapi hal itu malah membuat pipinya penuh dengan sisa-sisa cokelat. Luhan gemas ingin menggigit pipi gembil anak itu.

Prof. Shim seperti ingin pingsan di tempatnya. "Astaga. Apa yang sudah kuperbuat di masa depan?" gumamnya, bermonolog.

"Sebaiknya kau harus berhenti ber-eksperimen, Prof." celetuk Sehun dengan wajah datarnya.

"Professor, kami benar-benar minta maaf karena telah lancang mengotak-atik arlojimu. Tapi sejujurnya, itu hanya ketidak-sengajaan. Kami tidak tahu kalau arloji itu bisa membawa kami ke masa depan," ujar Luhan memberikan sedikit jeda, "Sekarang, kami sangat butuh bantuanmu serta arloji ajaibmu untuk mengembalikan dua anak ini."

"Aku tidak mau kembali!" protes Ziyu. Haowen yang sejak tadi hanya menyimak, kini mengangguk-angguk, mengiyakan ucapan adiknya.

"Ayolah, Ziyu, Haowen.., kalian bukan dari masa ini. Bagaimana jika nanti orangtua kalian mencari kalian?" Luhan berusaha membuat kedua anak kecil di depannya mengerti.

"Orangtua kami 'kan Baba dan Appa." Haowen menunjuk Sehun dan Luhan bergantian.

Luhan mendesis mendengar kata-kata terlarang itu. "Tapi saat ini aku dan Serigala Lumpur ini belum memiliki hubungan apa-apa. Aku bahkan tidak menyangka bahwa akan menikahinya dan memiliki anak seperti kalian."

Haowen berdecak sebal, diikuti dsengan Ziyu yang merengut. Sementara itu, Sehun merasa tergelitik mendengar ucapan Luhan; 'belum memiliki hubungan apa-apa' —Oho, apa Kijang itu mengharapkan sebuah hubungan 'spesial' dengannya?

"Oke, oke. Tenang, anak-anak! Astaga, aku seperti menyaksikan live-action drama keluarga." Prof. Shim lagi-lagi menengahi perdebatan mereka.

"Jadi.., bagaimana, Prof? Kau mau membantu kami 'kan?" tanya Sehun, memastikan.

Prof. Shim yang masih belum sembuh dari keterkejutannya atas cerita Sehun tadi, kini menghela napasnya seraya menggaruk daun telinganya.

"Begini, anak-anak..,"

Sehun dan Luhan memberikan fokus mereka pada Prof. Shim secara saksama.

Prof. Shim menghela napas, lagi, "Andai aku bisa membantu kalian untuk pergi ke masa depan, itu pasti amat menyenangkan. Tapi sayangnya.., arloji itu sudah hilang."

.

Apa—

.

Hilang?

.

Haowen dan Ziyu memekik girang, berbanding terbalik dengan Sehun dan Luhan yang tampak akan pingsan sesaat lagi.

"Kau pasti bercanda, Professor." Sehun berujar tak percaya.

Prof. Shim menjawab dengan tenang, "Tidak, Oh Sehun. Aku serius."

Bahu Sehun melemas seiring dengan kepalanya yang berdenyut-denyut tidak tenang. Sementara Luhan di sampingnya seperti tidak memiliki harapan lagi. Keduanya tampak menyedihkan. Masalah ini semakin rumit. Jalan keluar yang mereka harap-harapkan kini telah buntu.

"Tapi, tenanglah! Aku sedang mencari arloji itu. Dan sementara aku mencari, aku perintahkan kalian untuk tinggal bersama dengan anak-anak kalian dulu. Ada kamar kosong di Ares, dan kamar itu cukup luas untuk kalian tinggali. Aku akan meminta izin pada Guru Cho selaku kepala asrama Ares untuk masalah ini—hei, apa kalian mendengarku, anak-anak?"

Dan yang terdengar kemudian adalah teriakan protes Luhan yang nyaris menyamai teriakan hewan di Jurassic Park.

.

.

Sementara itu, Sehun terdiam.

Dia mulai menyadari, bahwa ini semua memanglah takdir.


"Kau—"

"—Sekamar dengan Sehun?!"

Luhan hanya bisa menganggukkan kepalanya tak berdaya untuk menjawab pertanyaan teman-temannya. Meminta bantuan pada Prof. Shim sama saja menambah masalah—Luhan tak henti-hentinya menggerutu. Prof. Shim juga berdalih bahwa ini adalah hukumannya dengan Sehun karena telah lancang mengutak-atik arlojinya. Sekamar dengan musuhmu sendiri—wah, hukuman yang sangat bagus, bukan? Luhan tertawa miris dalam hati.

"Ya, dan lebih parahnya, Prof. Shim mengatakan bahwa jika aku dan Serigala itu terus berdekatan dan akur, itu akan bagus untuk perkembangan anak. Sial—ini benar-benar mimpi buruk!"

Baekhyun dan Kyungsoo tertawa keras mendengar ucapan Luhan.

"Professor Shim tahu apa yang harus ia lakukan pada murid nakalnya," Jongdae terbahak, tampak sangat senang di atas penderitaan Luhan.

Luhan menekuk wajahnya, kembali melanjutkan aktivitasnya; memasukan barang-barangnya ke dalam koper. Besok dia harus meninggalkan kamar tercintanya ini, dan menempati kamar barunya bersama Sehun—serta anak-anaknya, di Ares. Ini adalah mimpi buruk dari segala mimpi buruk. Luhan memang sempat melayangkan protesannya keras-keras, tapi Prof. Shim jauh lebih keras kepala. Professornya itu memiliki sisi lain yang tidak bisa dibantah perintahnya. Dia bahkan lebih tegas dari Guru Cho ketika Luhan sempat membantah untuk sekamar dengan Sehun.

"Kita akan sekamar dengan Appa dan Haowen-ge, Baba. Yeahhh!" Ziyu berseru senang seraya memeluk leher Luhan dari belakang. Anak itu yang paling bahagia dengan kabar ini.

Luhan merotasikan bola matanya, malas. Tidak mempedulikan Ziyu yang terus melingkari lehernya seperti anak koala. Mungkin jika Luhan sedang dalam mood yang bagus, dia akan mencubiti hidung Ziyu. Yah, anak itu terlalu menggemaskan untuk sekadar diabaikan oleh Luhan—yang memang sangat menyukai anak kecil— .

"Aku iri. Kau bahkan sudah berkeluarga di usiamu yang masih sangat muda, Lu." Baekhyun terkikik.

Luhan menjawab jengah, "Itu bukan hal yang pantas di-irikan, Baek."

"Tidak perlu iri, Bibi Byun. Nanti kau akan dilamar oleh Uncle Chanyeol secepatnya." Ziyu menyeletuk dengan kekehan kecil.

Keempat orang di ruang kamar itu mengeluarkan suara 'Hah?' secara kompak.

"Kau mengenal Chanyeol, Ziyu?" tanya Kyungsoo, penasaran.

Ziyu mengangguk. "Tentu saja! Uncle Chan sering berkunjung ke rumahku bersama Bibi Byun dan anak-anak mereka. Jackson dan Jiwon itu sungguh nakal, mereka seperti Uncle Chan."

Keadaan berubah sangat hening.

Baekhyun kemudian tertawa canggung seraya menepuk-nepuk pantat Ziyu. "Ha-ha-ha.., anak kecil memang suka melucu, ya? Mana mungkin ucapannya benar 'kan? Aku saja tidak akrab dengan si telinga kelelawar itu. Ha-ha."

Luhan, Jongdae dan Kyungsoo tidak ikut tertawa. Hanya saling pandang dengan bingung.

"Aku tidak bercanda." Ziyu menggeleng kuat-kuat, "Kalian memang menikah di masa depan nanti dan punya dua anak—ah, tidak, tiga anak! karena Bibi Byun saat ini sedang mengandung adik Jiwonnie."

"ZIYUUUU!"


.


Keesokan hari.

Sehun bersungut-sungut seraya menyeret kopernya malas-malasan menuju 'kamar barunya'. Di sampingnya, Luhan bereekspresi sama sepertinya. Yang bahagia saat ini hanyalah Ziyu dan Haowen yang saling bergandengan seraya menyenandungkan themesong kartun favorit mereka.

Sehun benar-benar bingung. Ketika dia ingin menjauhi Luhan, justru dia semakin didekatkan dengan lelaki bermata rusa itu. Selalu seperti itu. Awalnya, dia ingin menuntaskan masalah ini cepat-cepat dan menjauhi Luhan setelahnya, tapi lihat! sekarang dia justru akan sekamar dengan lelaki itu. Jika ini memang takdir, bolehkah Sehun protes pada Sang Kuasa?

Dan terpujilah Prof. Shim dan segala kecerdasan otaknya dalam berdalih. Berkatnya, Guru Cho selaku kepala asrama Ares, mengizinkan mereka menempati kamar kosong yang terletak di lantai dasar paling ujung ini. Dan satu lagi hal yang memudahkan Prof. Shim dalam masalah ini, dia adalah kepala asrama Athena—jadi dia memiliki kekuasaan untuk memindahkan murid asramanya sesuka hati. Benar-benar bagus! Sehun akan terjebak dalam ruang yang sama dengan Kijang bodoh ini dalam waktu yang tak bisa ditentukan.

Sehun membuka pintu kamar di depannya, lalu terpampanglah sebuah kamar yang amat luas dengan dua bed ukuran besar di dalamnya. Di kamar itu pula sudah dilengkapi fasilitas khusus yang tidak akan ditemukan di kamar murid lainnya, seperti; kulkas, sofa, permadani besar berbulu halus, perapian mungil, dan sebuah kamar mandi. Benar-benar homie dan sangat nyaman. Sehun pernah mendengar bahwa kamar ini dulunya dibuat khusus untuk ketua asrama, tapi karena Kris —sang ketua asrama— menolak dan lebih memilih sekamar dengan teman-temannya, alhasil kamar mewah ini terbengkalai begitu saja.

Sementara itu, Luhan mulai sibuk membereskan barang-barangnya. Dia menaruh seragamnya di dalam sebuah lemari besar dekat perapian. Kemudian, dia ingat sesuatu. Ziyu dan Haowen tidak membawa pakaian mereka sama sekali. Sejak datang ke sini, dua anak itu masih memakai seragam sekolah mereka. ugh, Luhan benci anak kecil yang kotor dan tak terurus. Dia akan mengajak keduanya besok untuk berbelanja. Dan, kebetulan, besok adalah hari libur.

Luhan tersenyum kecil, dia hendak memberitahu Ziyu tentang rencananya ini. Anak itu pasti senang sekali.

"Ziy—" ucapannya terhenti saat melihat Ziyu tengah bersama Sehun di pinggir ranjang. Sehun terlihat memberikan sebuah kantung besar kepada Ziyu, dan anak itu memekik senang ketika melihat isi kantung itu adalah berbagai macam cokelat dan susu kotak—sesuai permintaannya kemarin. Ziyu kemudian melingkari leher Sehun seperti anak koala disertai tawa-tawa riang khasnya. Sehun sendiri terlihat tidak masalah —tumben sekali— dan tersenyum tipis.

Hati Luhan mendadak menghangat melihat moment itu. Sehun adalah orang paling bajingan yang pernah Luhan kenal, sikapnya sangat kasar, arogan, tidak pernah tersenyum, menyebalkan, dan tidak menyukai anak kecil—tapi saat ini, lelaki itu mengabulkan permintaan Ziyu dan membiarkan dirinya dijadikan objek pelukan oleh anak itu. Dia bahkan tersenyum, walau amat tipis. Luhan belum pernah melihat senyuman lelaki itu. Dan wajahnya kini merona tak tahu malu ketika tidak sengaja melihatnya.

Oooooh, sial. Sangat menawan!

Luhan pasti sudah gila.

"Apa Appa sangat tampan di mata Baba? Sampai Baba memandanginya seperti itu?" Haowen tiba-tiba menyeletuk dan tahu-tahu sudah berada di sebelahnya.

"Haowen..," Luhan berujar malas. Menormalkan kembali wajahnya yang sempat berekspresi bodoh tadi.

Haowen hanya terkekeh kecil.


"Aku akan tidur dengan Ziyu."

Sehun yang sedang mengerjakan tugas biologinya itu melirik Luhan yang baru saja membuka percakapan dengan pandangan malas. Lelaki itu sedang duduk di tengah-tengah ranjang seraya bermain PSP bersama Ziyu dan Haowen. Sehun tidak heran melihatnya, Luhan itu pemalas dalam urusan belajar—makanya anak itu tidak mau repot-repot mengerjakan tugasnya saat ini.

"Aku dengan Haowen." balas Sehun.

"Tidak mau!" tolak Haowen.

Sehun sontak menatap anak yang sangat mirip dengannya itu. Dia mengangkat alisnya, heran, "Kau mau tidur dengan.., Mommy-mu? Baiklah, tak masalah."

"Aku bukan Mommy! Aku LELAKI!" Luhan memprotes keras-keras, tampak sangat murka dengan ucapan Sehun. Yang diprotes hanya menguap malas, tak acuh. Benar-benar bajingan.

"Aku akan tidur dengan Ziyu, dan Appa harus satu ranjang dengan Baba." ujar Haowen dengan entengnya.

"Tidak, Haowen. Aku lebih baik tidur di kamar mandi daripada harus satu ranjang dengan Kijang liar itu." tolak Sehun seraya menutup buku tugasnya. Sudah cukup mimpi buruknya harus sekamar dengan Luhan, tidak perlu ditambah seranjang dengan lelaki itu. Tidak, terimakasih. Sehun masih waras untuk tidak berbagi bantal sepanjang malam dengan Luhan.

Luhan menyahut dengan nada ketus, "Ya sudah, tidur saja sana di kamar mandi! Aku senang tidur sendirian."

Sehun berjalan, mendekati ranjang yang tengah ditempati oleh Luhan dengan sebuah seringaian mengejek andalannya. Dia duduk di sana, menatap Luhan dengan tatapan mencemooh. "Ucapanmu barusan itu seolah menyiratkan bahwa kau tidak senang atas penolakanku untuk tidur bersamamu."

"Apa yang kau harapkan, Kijang? Kita tidur seranjang dan.., bercinta?" Seringaian Sehun semakin menjadi, berkali-kali lipat lebih menjengkelkan.

Luhan membuka belahan bibirnya tak percaya. Sementara Ziyu dan Haowen terkikik geli seraya menyimak perdebatan kedua orangtuanya, lagi.

Luhan menyibak selimut putih nan lembut yang tadi menggulung kakinya, lalu mendekati Sehun dengan pandangan berapi-api. Prof. Shim membuat mereka sekamar berharap mereka akan akur dan melupakan permusuhan mereka—tapi, tentu saja itu hal yang mustahil! Lihat, baru saja mereka menempati kamar ini bersama, tapi mereka sudah mulai mengibarkan bendera perang lagi.

"Jangan bicara seperti itu lagi. Seperti aku mau saja bercinta dengan Serigala Lumpur sepertimu!" Luhan menunjuk-nunjuk wajah Sehun dengan sengit. Saat ini posisi mereka sudah saling berhadapan di atas ranjang. Ziyu dan Haowen sudah mundur perlahan dan pindah ke ranjang sebelah.

Sehun mengibaskan tangannya tak acuh, "Sshh, sudahlah. Ratusan kali pun kau mengatakan itu sia-sia saja, karena Ziyu dan Haowen adalah bukti otentik kalau kau mau bercinta denganku."

Mata Luhan mendelik disertai bibirnya yang makin terbuka, benar-benar tak percaya atas ucapan Sehun. Wajahnya memanas untuk alasan yang tidak dia ketahui. Kenapa— kenapa Sehun membahas hal seperti ini? Mereka belum, atau bahkan tidak pernah, membahas hal yang seperti ini sebelumnya. Luhan sedikit terganggu sampai tidak bisa mengatakan apapun. Membayangkan dirinya pasrah tak berdaya di bawah kuasa Sehun membuat perutnya tergelitik bukan main.

SIALSIALSIAL

"Kubilang jangan bicara seperti itu! Kau merusak pikiran anak-anak!" seru Luhan, masih dengan wajah memerah matang.

Sehun semakin brengsek, karena dia membalas dengan sebuah bisikan, "Lalu bagaimana? Kau mau membahas ini ketika kita sedang berdua saja?"

Luhan melotot, kemudian memukul wajah Sehun dengan sebuah bantal di dekatnya.

"Menjauh dariku, dasar manusia cabul!" pekik Luhan.

Ziyu dan Haowen semakin terhibur. Kedua anak itu sibuk tertawa seraya memakan cokelat pemberian dari Sehun. Entah mereka benar-benar mengerti apa yang sedang dibahas oleh kedua orangtua mereka atau hanya sekadar tertawa-tertawa karena merasa terhibur saja.

"Ternyata Appa dan Baba sama saja seperti di masa depan, ya! Appa suka sekali mengganggu Baba," celetuk Haowen.

Ziyu menimpali, "Dan berakhir Appa yang mencium Baba sebagai permintaan maaf."

Sehun dan Luhan kompak mendelikkan mata mereka terkejut mendengar pernyataan kedua alien kecil itu. Luhan bahkan meringis geli membayangkan dirinya iya-iya saja ketika dicium oleh serigala cabul itu. Geez, sebenarnya apa yang ada di pikirannya sampai mau-mau saja menjadi pendamping hidup Si Bajingan itu di masa depan nanti? Luhan masih sangat penasaran dengan alur kehidupannya yang konyol ini.

"Menyentuhnya saja aku tidak sudi, apalagi menciumnya." Luhan mendengar Sehun menggerutu di sebelahnya.

Tak terima dengan ucapan yang menyinggung itu, Luhan membalas tak kalah sengitnya, "Seperti aku mau saja disentuh oleh manusia cabul sepertimu."

"Diam-diam kau berharap kusentuh 'kan, Kijang?"

"Simpan kepercayaan dirimu yang setinggi langit itu, brengsek!"

"Sudahlah, jangan berkilah. Aku tahu apa yang ada di otakmu yang mini itu."

Mata kiri Luhan berkedut, makin jengkel. Diam-diam dia mengepalkan tangannya, bersiap-siap memberikan bogeman di wajah menyebalkan Sehun. "Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Tutup saja bibir berbisamu itu, sialan!"

"Tahu, kok. Kau itu 'kan idiot, pemarah, dan—"

"—Astaga, kau benar-benar menyebalkan! Aku akan menghabisimu, kepar—"

Tepat ketika Luhan ingin menghajar Sehun, kakinya tersandung selimutnya sendiri, alhasil tubuhnya yang tak siap dengan itu menjadi tak seimbang, dan menimpa tubuh Sehun hingga keduanya saling menindih di atas ranjang.

Buggh!

Haowen refleks menutup kedua mata Ziyu ketika posisi kedua orangtuanya tak layak ditonton oleh anak kecil.

Luhan yang kini berada di atas tubuh Sehun tidak buru-buru bangkit, malah mematung seperti orang bodoh. Kepalanya tepat berada di dada bidang Sehun, bagian sana terasa sangat keras, hangat, dan…, harum? Luhan bahkan bisa merasakan detak jantung Sehun di telinganya, dan detakannya itu sangat terburu-buru.

Luhan menyadari bahwa tangan Sehun saat ini melingkari tubuhnya, mungkin lelaki itu refleks memeluknya ketika dia terjatuh tadi. Wajah Luhan kembali memanas untuk sebuah alasan yang tidak dia pahami. Darahnya jadi sering sekali berdesir menuju pipinya ketika berdekatan dengan Sehun. Luhan tidak mengerti kenapa. Dan dia benci sekali ketika tubuhnya tidak bisa diajak kompromi seperti ini.

Satu detik.

Lima detik.

tiga puluh detik.

Luhan berinisiatif untuk bergerak, hendak bangkit, karena Sehun mendadak seperti patung bodoh (sama seperti dirinya). Entah apa yang tengah dipikirkan lelaki itu, karena Luhan ingin sekali mengutuknya karena dia sepertinya betah sekali dengan posisi aneh ini. Sialnya, ketika Luhan ingin bangkit, lututnya tak sengaja menggesek sebuah area terlarang yang ada di selangkangan Sehun.

Sontak hal itu membuat Sehun mengeluarkan suara geraman rendah yang membuat bulu kuduk Luhan meremang bukan main.

"Arhh,"

"Y-Ya! Jangan mendesah, bajingan!"

.

.

"Ge, kenapa mata Ziyu ditutup?"

Haowen menghela napasnya, "Ada adegan yang tidak bagus untuk perkembangan otakmu, Zi."

"Huh?"


.

.

Tobecontinued—

.

.


a/n :

Sorry pendek TT^TT

Ini susah banget tau pas mau publishnya (╥ ﹏╥) ffn-nya lagi eror terus. Udah gitu laptop gue lagi kena blue screen of death mulu, jadi pas mau publish mati-matian mendadak terus lappynya /nangis dipelukan ceye/

Dan berbahagialah kalian, karena chap selanjutnya udah mulai bahas perasaan mereka masing-masing. Siap-siap tissu, HAHAHAHAH.

P. S jangan nagih FF lain di kolom review ya! Karena gue mau fokus nyelesain ini dulu :) tq.