Oh Daddy

Tokyo Ghoul © Sui Ishida | This Fanfic © Gusta

Family - Mature - Romance

Rated: M

.

.

Chapter 1: Lulus

.

"Urie, kau akan meneruskan kemana?"

Shirazu meneguk kopinya menunggu jawaban dari sosok yang duduk di seberangnya. Cowok dengan surai hitam keunguan dan memiliki tanda lahir berupa dua buah lingkaran kecil di bawah mata kanannya. Ia nampak termenung memikirkan sesuatu. Yang ada hubungannya dengan pertanyaan si pirang barusan.

Urie mengaduk cangkir kopi dengan hampa. Matanya menatap lurus pusaran cairan hitam tersebut. "Aku akan berhenti"

Sontak membuat Shirazu nyaris memuntahkan kopinya. Ia menatap Urie tak percaya. "Candaanmu begitu kaku, Uliuli Kukis"

"Aku serius" tanggap Urie cepat. Wajahnya nampak beda dari biasanya yang stoic dan tanpa senyum serta tidak ada ramah-ramahnya.

"Hei kau peringkat 3 teratas dari seribu siswa angkatan kita. Nilaimu membuatku iri, tau!"

"Aku tak punya pilihan" wajahnya jadi memelas.

Shirazu menautkan alis melihatnya. Ia sudah 3 tahun jadi classmate Urie di SMA. Dan baru kali ini melihat Urie secara langsung memperlihatkan wajah murung, sedih barangkali. "Kau.. tak terkena kasus yang aneh-aneh, kan? Narkoba mungkin sampai membuatmu tak menginjak di universitas?"

Kuki menggeleng. "Bodoh. Aku tak akan menggunakan barang yang merugikanku"

"Lalu?"

"Ini.." Urie memalingkan wajah. Ia lebih memilih memerhatikan ke luar kafe kebetulan tempat duduk mereka di belakang kaca. ".. masalah biaya"

Shirazu mengangguk mengerti. Jadi ini yang membuat sahabat karibnya gusar setelah acara wisuda kemarin. Itu juga menjadi jawaban kenapa Urie sama sekali tidak mendaftar melalui gelombang pertama (setelah ujian) di universitas manapun. "Jangan khawatir, kau memiliki prestasi. Beasiswa di depan matamu"

"Aku sudah memperhitungkannya dari awal. Meskipun aku mendapat beasiswa itu tak termasuk kebutuhan lain. Aku akan butuh buku dari luar dana itu. Lagi, harga sewa flat ku naik. Untuk konsumsi sehari-sehariku, dan lain-lain, kalaupun aku bekerja paruh waktu sama saja menyiksa tubuhku karena jadwal kuliah tak menentu"

"Kau bisa makan di rumahku-"

"Parahnya jika aku tak bisa mengakali waktu bekerja dan belajar, bisa-bisa beasiswa dicabut saat nilaiku turun. Hah ini mengerikan" terang Urie gusar.

Sahabatnya memasang wajah prihatin. "Kau memang pekerja keras"

Urie mengalihkan wajahnya. "Lalu kau?"

Disaat itu pula Shirazu merasa kelu. "Aku akan mengikuti seminar balap nasional. Kau tau nilaiku jelek tak pantas untuk universitas"

"Padahal kau mempunyai dana dari orang tua mu untuk menjadi mahasiswa" cibiran halus dari Urie. "Andai aku jadi kau"

"Maka kau akan bodoh, Mr. Perfect"

"Ayo bertukar nasib"

"Urie, kau mulai ngelantur"

Aku mulai gila, benak Urie. Shirazu anak yang beruntung. Orang tuanya kaya, keluarganya hangat, seluruh kemauannya pasti terkabul. Bukan korban broken home seperti dirinya.

Memang sih salah Urie sendiri kabur dari rumah ibunya. Tapi mana yang lebih baik dari tinggal sendiri atau dengan orang lain tidak dikenal yang sekarang menjabat sebagai ayahmu. Kebetulan sekali, ayahnya sendiri juga memiliki kehidupan sendiri entah dimana. Hidup yang menyenangkan, benar kan, Urie?

"Aku punya solusi untukmu"

Mendengar itu Urie mengangkat wajahnya pelan. Solusi apa yang bisa diberikan si bodoh Shirazu yang menempati urutan 5 dari bawah.

"Kau butuh orang tua-"

"Kau mau mengungkit ibuku dengan pria bangsat yang kini hidup bersamanya?!" api kemarahan tersulut dalam hati Urie. Apapun itu, ia sangat sensitif mendengar kata 'orang tua'.

Shirazu merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia merangkai kata yang lebih tepat. "Bukan itu yang kumaksud. Tenanglah, Uriboo.."

Urie memang kurang kasih sayang, anak yang malang. Pemarah lagi. Shirazu menggeleng cepat saat membayangkan ia di posisi Urie. Dan itu adalah mimpi buruk.

"Begini, yang kumaksud kau butuh orang- maksudku wali lain untuk membiayaimu"

Dahi Urie mengernyit. Menatap Shirazu penuh tanda tanya.

"Aku bisa mendaftarkanmu ke program cari anak itu"

"Cari anak?"

"Kau tak pernah dengar ya? Jaman sekarang bukan hanya anak kecil yang orang tua ingin adopsi. Dan kesempatan sekali kau pintar dan berprestasi-"

"Tunggu tunggu!" Urie memotong. "Apa hubungannya adopsi dengan berprestasi?" Urie overload mode on.

"Beberapa keluarga mungkin kecewa dengan anak-anak mereka yang kurang pintar di sekolah. Untuk kepuasan mereka, gengsi, atau alasan lain mereka akan mencari anak-anak sepertimu, Urie. Kau butuh dana, mereka akan memberikannya. Mungkin dengan balas budi kau akan mengurus mereka kelak saat lansia. Impas kan?"

Urie bengong, baru kali ini Urie bengong seperti Mutsuki teman sekelasnya yang kelewat loading saat pelajaran. Namun ia tetap mendengarkan kawannya yang berbicara.

"Kalau kau beruntung bisa mendapat keluarga yang belum mempunyai anak atau orang tua tunggal. Tenang saja setelah diadopsi hidupmu tak akan jauh berbeda. Kebanyakan mereka hanya memberi bekal material dan tak akan mencampuri urusanmu meski kau sudah resmi jadi anaknya. Mungkin ini cocok untukmu. Jikapun kau diminta pindah ke rumah mereka, kau sama sekali tak akan dihiraukan. Aku tau kau tipe orang seperti itu, Urie. Jadi tolong jangan berhenti"

Urie berkedip beberapa kali. Benar juga, itu yang dia butuhkan. Dana. Dan tentang keluarga yang tak akan saling mencampuri urusan itu sangat cocok untuknya. Tak masalah jika hanya dianggap sebagai alat dalam sebuah keluarga asing nanti. Masa depan menantimu, nak.

"Bagaimana kau tau semua itu, Shirazu?"

Shirazu menghela nafas. "Pamanku pemilik progam anak prestasi adopsi itu. Kebetulan ini akhir tahun pelajaran. Daftar anak yang dicatat ramai, aku bisa mendaftarkanmu sekarang, bagaimana?"

.

ULIULI KUKIS

.

Ada-ada saja Shirazu itu. Tapi tak ada ruginya mempunyai teman sepertinya, Urie beruntung.

Bagi Urie, Shirazu memang seperti kakak yang bodoh. Tapi perhatiannya pada Urie melebihi saudaranya sendiri. Mungkin hanya dia yang bisa Urie anggap teman sejati sekarang.

Satu pack pensil warna dan sekotak susu vanila diletakkan di atas meja kasir. Sepulang dari kafe tadi Urie menyempatkan diri mampir ke supermarket yang kebetulan searah dengan tempat tinggalnya. Ia menyerahkan sejumlah uang setelah penjaga kasir memberitahukan nominal belanjaannya.

"Kau seniman?" gadis penjaga kasir itu bertanya pada Urie.

Dan hanya dijawab dengan gumanan pelan. Lagipula mana ada remaja seusianya yang membeli pensil warna. Kecuali memang kalau orang itu mempunyai hobi kurang kerjaan mengotori lembar putih.

Pukul 8 malam ia tiba di flat. Nampak tak begitu sempit karena Urie menatanya dengan rapi dan teratur. Kamar mandi dan dapur di sudut ruang, ranjang di tepi, sofa dan meja lawas menghadap tv, dan berbagai peralatan kecil lain. Jangan lupakan sudut ruangan lainnya yang dipenuhi kanvas dan sisa-sisa cat berceceran di lantai. Setumpuk buku sketch yang sudah digambari pun menghiasi meja kecilnya. Ini bukan apa-apa menurut Urie. Hanya kumpulan barang tak berguna yang terdapat pada ruang tempat sampah yang kini ia tinggali.

Ia meneguk susu kotak yang tadi ia beli hingga habis. Sajian penutup makan malam yang manis. Urie tak peduli lagi bagaimana gaya hidup sehatnya. Atau bahkan kurang sehat.

Namun tubuhnya tak menampakkan hal itu. Ia lepas jaketnya dan menjatugkannya asal di lantai. Membuka kancing kemeja satu persatu. Hingga menampakkan tubuhnya yang terbilang maskulin. Sisa-sisa keringat melekat pada susunan otot pada dada hingga perutnya. Hasil dari kerja paruh waktu yang ia jalani selama ini. Kini, yang ia butuhkan hanya mandi. Membersihkan peluh yang membuat tubuhnya gerah seharian.

Sampai sebelum kakinya menginjak kamar mandi, bunyi handphone berdering keras.

Urie berbalik, menghampiri lagi meja nakasnya. Tertera nama yang sangat familiar pada layar handphone tersebut.

"Ada apa, Shirazu?" tanya Urie to the point pada seseorang yang menghubunginya. Sungguh ia tak suka bertele-tele apalagi hasrat ingin mandinya sekarang tertunda.

"Hehe santai saja, Uriboo. Kau tidak sedang dikejar deadline"

Mendengar jawaban barusan, Urie mendesah kesal. "Cepatlah! Aku ingin mandi lalu lekas tidur!"

"Huh" dasar pemarah. "Begini, aku tau ini terlalu cepat. Tapi selamat! Rencanamu berhenti sekolah gagal. Seseorang telah memilihmu. Padahal baru kudaftarkan 4 jam yang lalu"

Urie mematung. Tubuh telanjangnya merasakan angin dingin menusuk. Gemuruh dalam dadanya berkontraksi cepat. Entah ini rasa terkejut, bahagia, atau apa bagi Urie.

"Oi Urie"

"Sungguh?"

"Iyaaa. Orang itu sejak beberapa hari yang lalu datang di tempat pamanku. Ia memilih daftar anak tanpa henti. Sampai hari ini dia baru memilih setelah melihat datamu"

"Memangnya apa yang kau isikan, oeh?"

"Emm.." gumanan berpikir terdengar dari sosok di seberang. "Urie Kuki, 17 tahun, pintar, baru lulus, jago gambar, sama pribadi buruk"

Tiba-tiba simpang empat muncul di dahi Urie. "Bagus, idiot. Promosi yang bagus" ungkapnya sakartis.

"Haha yang penting sekarang kau mendapatkan orang tua. Dia ingin bertemu denganmu langsung besok"

"Pria atau wanita? Apa statusnya?" tanya Urie memastikan. Kan nggak lucu kalau yang adopsi dia janda. Alternatifnya agar ia tidak terkejut nanti saat bertemu.

"Emm bagaimana ya mengatakannya. Om-om, single, tak masalah, kan?"

Itu artinya Urie akan mendapatkan ayah. Pikirkan, pikir, pikir. Sosok ayah itu cuek, apalagi bukan sama anaknya sendiri. Cocok banget menurut Urie. Karena dia lebih suka diabaikan. "Oh .. Itu bagus. Jadi bagaimana?"

Shirazu merasa lega di tempatnya. Temannya satu ini memang pemilih. "Dia tadi bilang ke pamanku agar kau menemuinya di :RE besok pukul 10 pagi. Kau tau kedai kopi milik kakak Ayato itu, kan?"

"Ayato?"

"Pacarnya Hinami itu loh. Masa teman sekelasmu sendiri tidak tau"

Urie mengingat-ingat orang bernama Ayato yang barusan disebutkan. Dan yang terpikirkan dalam otak Urie adalah preman, berandal, rambut gondrong, dan orang itu pernah berduel dengan Urie saat dalam permainan sepak bola. "Aku tau. Yang kakaknya tomboy dan sering jemput berandal itu, kan?"

"Emm boleh juga kau menyebutnya begitu"

"Hilangkan kata 'emm' mu, bodoh! Kau seperti orang idiot yang mencari jawaban saat diberi pertanyaan mudah (memang kau idiot)"

"Hehe terserah. Sudah ya, aku mau pergi balapan. Bayyy"

Clik.

Urie melempar handphonenya asal ke sofa. Bergegas menuju kamar mandi untuk menyiram seluruh tubuhnya dengan air dingin. Di dalam, ia memikirkan apa yang akan dilakukannya besok. Mungkin menulis surat pengunduran diri di toko tempatnya bekerja, atau berhenti mengirimkan paket. Bisa juga memikirkan jawaban ringkas untuk pertanyaan ayah cool barunya besok. That's great.

Urie juga membayangkan sosok pria paruh baya akan duduk berhadapan dengannya besok. Lalu memberikan beberapa pertanyaan dengan intonasi datar. Setelah selesai mereka akan menandatangani surat pengadopsian secara resmi. Lalu Urie akan mendapat universitas yang ia inginkan. Dan hidupnya tidak akan berubah. Meskipun ia diminta untuk tinggal di rumah calon ayahnya itu, tidak akan bedanya. Karena ia yakin, mereka hanya berbincang pada saat penerimaan nilai saja. Selebihnya uri akan diabaikan.

Begitulah kepribadian Urie Kuki selama ini. Ini hidupku, jangan ikut campur. Urusanku adalah urusanku, urusanmu ya urusanmu. Simpel.

.

ULIULI KUKIS

.

Seperti yang Shirazu katakan, Urie sudah ada di kedai kopi yang dimaksud kemarin. Pukul 10, bahkan lebih. Keberadaan calon ayahnya belum terlihat juga. Ia menghela nafas kesal. Dengan cepat ia mengetikkan suatu pesan lalu dikirimkan pada Shirazu. Dia belum kelihatan, Shirgin.

Belum ada satu menit, sebuah pesan masuk menggetarkan handphonenya. From: Shirazu. [Tunggu saja. Dan jangan khawatir, ia akan langsung mengenalimu dari foto yang aku pasang di formulirmu]

Jika ini kafe lain ia tidak akan sekesal ini. Tapi melihat Ayato dibalik tempat kasir sedang berdebat kecil dengan kakaknya itu sangat mengganggu. Ayolah, ia hanya tidak ingin ribut lagi dengan berandalan satu itu. Atau memang dasarnya keluarga Kirishima suka mencari gara-gara dilihat dari cara berbicara mereka yang seolah ingin mengajak bertengkar. Tapi kalau dilihat-lihat Arata Kirishima (ayah Ayato) sangat ramah saat pengambilan rapor tahun lalu. Jadi Urie meragukan ikatan keluarga adik-kakak itu dengan sang ayah.

Urie memasukkan sepaket pensil warna beserta buku gambar kecilnya ke dalam tas. Mungkin saja calon ayahnya sibuk dan lupa telah memiliki acara dengannya. Ia ingin beranjak, sebelum seorang pria menduduki kursi yang berada di hadapannya.

"Huh maafkan aku, Urie Kuki. Jalanan tadi macett" ujar pria itu setengah merengek sambil melepas jas hitamnya. "Kau tak menunggu lama, kan? Sudah pesan minum? Ah bagaimana kalau kopi dan cookies?"

Persetan mempertahankan imagenya. Untuk kedua kalinya Urie merasa seperti Mutsuki dengan tampang loadingnya. Ia menatap pria bersurai gradasi hitam putih itu tanpa berkedip. Dilihat dari wajahnya ia masih sangat muda. Senyum cerah menghiasi wajahnya. Nampaknya ia baru melarikan diri dari pekerjaannya. Dilihat dari setelah jad lalu kemeja hitam serta celana bergaris yang ia kenakan.

Dengan keramahannya ia memesan dua kopi serta cemilan ringan pada pelayan. Urie membatin, apa yang dilakukan bocah ini di hadapannya? Tunggu! Bagaimana ia tau namanya? Apakah Urie mengenal orang ini sebelumnya? Urie tak sanggup diam lagi memerhatikan orang sok kenal macam dihadapannya sekarang.

"Oh sudah hampir setengah 11. Aku telat setengah jam?! Kau pasti sudah menunggu lama, ya?"

Urie memejamkan matanya mencoba berpikir. Sejak kapan otaknya menjadi lemot seperti ini? Kemudian ia menatap lekat sosok asing di depannya sekarang. "Kau.. siapa?"

Pria asing di hadapannya itu seolah mengingat sesuatu yang lupa dikatakan. Lalu ia mengarahkan tangannya pada Urie. "Aku, Haise Sasaki. Orang yang akan menadopsimu" senyum sumringah terpancar di wajahnya.

.

To be continue…

.

.

Ada yang ngeship Urie x Haise? Hoho sebenarnya saya mau buat Arima x Haise tapi apadaya kalo udah naksir sama Ulii .

Gimana readers-sama? Mentor jadi ayah :D haruskah ditambah pair lagi? :D Ayo saranin mana yang cocok buat Haise dan jadi saingan Urie?

Hoho let's give me your opinion about this fic` ^^

Arigathouu~