First story, first fanfic, first everything….

Aldnoah Zero not mine

Obsession by cyancosmic

Warning : AU, OOC, Typos, Gender Bender, Fem!Slaine

Enjoy !

Prologue:

"Hati-hatillah bila berhadapan dengan obsesi seorang Kaizuka!"

Entah di mana ia pernah mendengar kalimat seperti itu. Perkataan itu terus terngiang-ngiang begitu mendengar seorang pemuda bermanik karat dengan surai dark brown mengulurkan tangan ke arahnya dan menyebutkan namanya. Mendengar namanya, si anak perempuan pun mengulanginya tanpa sadar.

"Kaizuka..?"

Pemuda itu mengangkat sedikit alisnya saat mendengar namanya terucap dari bibir anak perempuan bersurai platina itu. Ekspresinya saat menatap anak itu tidak menyiratkan apapun.

Anak perempuan itu buru-buru menundukkan kepala dan bersembunyi di balik mantel ayahnya saat menyadari tatapan pemuda bersurai dark brown. Melihat tingkahnya, ayahnya hanya tertawa kecil dan menaruh satu tangan di kepala anak perempuan berambut platina itu. Sembari mengatakan bahwa putri kesayangannya itu memang pemalu, sang ayah kembali mengobrol dengan pemuda bernama 'Kaizuka'.

Sementara sang ayah mengobrol, sang anak perempuan menatap ke arah pemuda bersurai dark brown itu. Ia memerhatikan cara pemuda itu berbicara, memerhatikan gerakan bibirnya, juga mendengarkan secara saksama. Suara monoton dengan intonasi yang teratur, pelafalan yang jelas, dan tegas itu sepertinya pernah didengarnya di suatu tempat. Sesaat, ia merasa rindu dan pelupuk matanya menghangat saat mendengarnya.

"Slaine?"

Panggilan ayahnya membuat anak perempuan itu mendongak ke atas sembari mengerjap-ngerjapkan mata. Pria berusia tiga puluh tahunan itu menyambutnya dengan senyum dan kembali berkata, "Kau menatap Kaizuka-san dengan intens. Ada apa?"

Slaine kecil terkejut mendengar perkataan ayahnya. Sejelas itukah tatapannya pada pemuda bermanik merah di hadapan mereka ini sampai-sampai ayahnya berkata seperti itu? Uh-oh!

"A-ayah!"

Slaine mengerucutkan bibir dan semakin menyembunyikan sosoknya di balik mantel sang ayah. Memaklumi kelakuan putri semata wayangnya, sang ayah berupaya membela dengan berkata, "Maafkan putriku, Kaizuka-san! Untuk anak berusia sepuluh tahun, anak ini terlalu pemalu."

Kaizuka-san, si pemuda bermanik merah , tidak terlihat tersenyum mendengar perkataan ayah si anak perempuan. Dengan wajah tanpa ekspresi, pria itu berkata, "Tidak apa, Saazbaum-san. Saya mengerti."

Mendengar jawabannya, Saazbaum menanggapinya dengan berkelakar ringan. Tak lama setelah itu, si pemuda pun pamit dan mohon diri dari kediaman Saazbaum. Diiringi salam perpisahan, sang pemuda pun menghilang di balik pintu apartemen keduanya.

"Tou-chan?"

"Ya, Slaine?"

Slaine keluar dari persembunyiannya, masih menatap pintu tempat pemuda bermanik merah itu menghilang. Ia menunjuk ke arah pintu dan berkata, "Apa orang itu tetangga baru?"

Yang dipanggil Tou-chan mengacak-acak rambut platina perak anak perempuannya. Kemudian ia berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan putrinya yang telah berusia sepuluh tahun. "Benar, dia tetangga baru. Menurut Slaine dia bagaimana?"

Slaine menggerakkan sedikit kepalanya, "Hm, tidak tahu."

"Begitu?"

Mereka berdua berjalan, menuju ke ruang keluarga. Slaine berlari-lari kecil lebih dahulu di depan ayahnya dan menarik kursi untuk duduk sementara sang ayah melanjutkan aktivitas memasaknya. Sore itu begitu damai, sama seperti biasanya. Hanya ada bunyi pisau yang beradu dengan talenan kayu diiringi suara televisi yang tak ditonton.

Hingga akhirnya suara Slaine memecah keheningan.

"Orang itu… siapa namanya, Tou-chan?"

"Orang yang mana?"Saazbaum kembali bertanya, sembari sibuk dengan kegiatan memasaknya.

"Pemuda tadi,"jelas Slaine tak sabar.

"Oh…,"ayahnya segera sadar siapa yang dimaksud. "Kaizuka. Kaizuka Inaho."

Chapter 1. Nickname

"Slaine!"

Gadis berambut platina yang masih asik bergelung di balik selimut berpura-pura tidak mendengar panggilan yang ditujukan padanya itu. Sebaliknya, ia malah memeluk guling semakin erat dan mencoba untuk kembali tenggelam dalam dunia mimpi. Lima menit, ia hanya butuh lima menit lagi dan lima menit lagi sebelum benar-benar tersadar.

"Cepat bangun sekarang juga atau terpaksa kuantar dengan mobilku."

Mendengar ancaman tersebut, Slaine menendang selimutnya dengan kasar dan langsung berguling dari tempat tidurnya. Tanpa banyak bicara, ia langsung membuka pintu kamar dengan ekspresi muram dan kusut. Rambutnya berantakan, begitu juga piyama yang dikenakannya, dan ia menguap lebar-lebar tepat di hadapan sang pengancam yang ada di hadapannya itu.

"Ohayou, Slaine."

Sapaan itu tidak digubris oleh si gadis berambut platina. Dengan santainya, ia berjalan melewati sang pengancam dan menarik kursi di meja makan. Ia mengatupkan kedua tangan sebelum mengambil sumpit dan…

"Ouch!"

"Berapa kali harus kukatakan,"ujar si pengancam yang telah berada di samping Slaine, "mandi dan cuci muka dulu sebelum sarapan."

"Tapi…"

"Tidak ada tapi," jawab si pengancam. "Mandi. Sekarang."

Dan seperti biasanya, Slaine akan menggebrak meja dan menatap si pengancam dengan garang. "Kaizuka Inaho, apa masalahmu? Kerjamu hanya mencari ribut saja denganmu, sepagi ini pula."

"Slaine Saazbaum Troyard, aku tidak ada masalah apapun. "Si pengancam menjawab dengan cuek. "Tapi bila dengan begitu kau akan mandi sebelum menyentuh sarapan yang kubuatkan, maka aku takkan segan menghadapimu."

Meskipun kesal, Slaine akhirnya beranjak dari kursi yang ditempatinya dan langsung menuju ke kamar mandi. Pintu kamar mandi pun sengaja dibanting dengan keras untuk menunjukkan kemarahannya pada pemuda itu. Bahkan beberapa barang pun terdengar berjatuhan dari dalam kamar mandi. Entah benda apa lagi yang menjadi sasaran kemarahannya.

Sementara itu, subyek yang membuatnya marah hanya menatap ke arah kamar mandi tanpa ekspresi apapun. Ia memang tidak pernah menunjukkan apa yang ia rasakan. Betapa berbedanya ia dengan gadis yang diambil dan dirawatnya itu.

Namun, Kaizuka Inaho memilih untuk tidak ambil pusing soal sikap gadis itu. Ia mengalihkan perhatiannya dari pintu kamar mandi ke arah meja dapur di mana telah tersedia sebuah kotak bekal berwarna hitam dengan lambang Batman di atasnya. Bukan kotak bekal yang cocok untuk seorang gadis, namun sekali lagi, Inaho tidak suka ambil pusing untuk hal-hal kecil. Maka, tanpa banyak bicara, pemuda itu kembali memasukkan nasi juga lauk pauk untuk dijejalkan ke dalam kotak bekal.

Tak sampai sepuluh menit, Slaine sudah keluar dari kamar mandi. Dengan piyama bercorak kelelawar yang sama dengan kotak bekalnya dan rambut platina panjang yang basah, gadis itu kembali duduk di kursi yang ia tempati sebelumnya. Tangannya kembali mengambil sumpit, mencapit lauk pauk di atas meja dan mulai makan bahkan tanpa permisi.

Tahu akan jadi perdebatan panjang bila ia memperingatkan Slaine soal mengeringkan rambut, Inaho memutuskan mengalah kali ini. Ia mengambil pengering rambut, mencari colokan terdekat yang dapat diraih, dan menyentuhkan tangannya pada rambut platina perak si gadis. Sang gadis sendiri tampak tidak peduli, ia tetap menyuap makanan ke mulutnya seolah tak menyadari bahwa rambutnya tengah dipegang oleh seorang pria.

"Kebiasaanmu buruk."

"Oh,"jawab Slaine mendengar komentar pemuda yang tengah mengeringkan rambutnya itu. "Ayahku tidak pernah komplain soal itu."

Mendengar jawaban Slaine, Inaho hanya menghela napasnya. "Saazbaum-san pasti stress sekali semasa hidupnya karena memiliki putri sepertimu."

"Oh,"jawab Slaine yang mulai mengunyah sedikit lebih lambat begitu mendengar komentar pemuda itu. "Kalau begitu, seharusnya kau tidak memungutku, Kaizuka-san."

Tangan yang sedang mengeringkan rambut si gadis berhenti bergerak saat mendengar perkataannya. Hanya beberapa saat, bahkan tak disadari oleh si gadis sendiri. Setelah menguasai dirinya, Kaizuka Inaho pun kembali menggerakkan tangannya di antara rambut perak platina si gadis.

"Kau itu memang tidak pernah bersyukur ya, Slaine?"

Mendengar perkataan pemuda itu, Slaine kembali memicingkan mata. Sekali lagi, kalimat provokatiflah yang keluar dari mulut pemuda itu dan bukannya jawaban jujur yang mewakili isi hatinya. Entah sejak kapan, Kaizuka Inaho belajar menggunakan kalimat provokatif terhadap gadis ini.

"Ah, begitu!"Slaine pun membalas dengan nadanya yang provokatif. "Bagaimana dong? Aku memang terlahir dengan sifat jelek seperti ini. Tidak bisa bersyukur, jorok, sering bangun telat, tidak suka mengeringkan rambut sendiri, bangun tidur pun tahunya langsung makan dan bukannya mandi seperti kebiasaan Tuan Kaizuka yang sangat rapi dan teliti. Kalau aku seperti ini terus, mungkin Tuan Kaizuka akan mengusirku dari rumahnya. Ah! Aku khawatir. Khawatir sekali."

"Tidak akan."

Slaine menggerakkan kepala saat mendengar perkataan itu. "Apa?"

Sayangnya, Kaizuka Inaho tidak berniat menjawab pertanyaan itu. Ia menarik tangannya dari atas kepala Slaine dan berkata, "Nah, sudah selesai. Jangan lupa menyisir rambutmu nanti. Kau kelihatan berantakan sekali setiap mau pergi sekolah."

"Ya, ya, "jawab Slaine tak acuh, "baiklah, Kaizuka-san. Jangan usir saya, saya mohon!'

"Tidak lucu."

Slaine menjulurkan lidahnya pada pemuda itu sebelum kembali fokus pada sarapan yang dibuat si pemuda. Dalam diam, ia mengunyah makanannya, menikmati setiap rasa yang ada pada makanan tersebut. Ia berusaha memakannya hingga habis sebelum beranjak dari meja, dan menaruh peralatan yang telah ia pakai di bak cuci.

" Aku sungguh-sungguh,"kata Slaine lagi begitu ia berada di bak cuci, di samping si pemuda yang tengah mengisi telur dadar untuk bekalnya, "kau tidak perlu menjadi waliku dan memungutku hanya karena kau sahabat ayahku. "

Pemuda yang sedang mengisi telur itu hanya diam, entah tidak mendengar, berpura-pura tidak mendengar atau tidak ingin berkomentar terhadap perkataannya. Ia terus sibuk dengan aktivitasnya sendiri hingga Slaine pun memutuskan untuk meninggalkannya. Begitu ia merasa bahwa Slaine sudah kembali ke kamarnya untuk berganti baju, barulah ia menanggapi ucapan gadis itu.

"Sahabat?"Ia mendengus saat mengucapkan kata itu. "Mana mungkin untuk alasan itu aku mengambilmu, Koumori."

...

'Ke mana buku PR yang kukerjakan semalam?'batin Slaine saat mencari-cari di tasnya. Ia yakin sudah mengerjakan PR tersebut, hanya ia tidak yakin sudah memasukkannya ke dalam tas semalam. Apa jangan-jangan tertinggal di ruang tamu? Tapi ia tidak melihat buku itu di ruang tamu tadi pagi. Apa Kaizuka-san sudah membereskannya?

"Cepatlah, Slaine,"gerutu orang yang bertugas mengumpulkan PR hari itu. "Miss Mizusaki tidak suka menunggu lama hanya untuk mengumpulkan PR."

"Iya, iya, aku juga sedang mencarinya."Slaine menjawab sembari mengaduk-aduk tasnya. "Kau kumpulkan buku yang lain dulu sana, kalau sudah ketemu akan kuserahkan padamu."

"Cepat ya,"ucap gadis lain bermanik merah itu sembari bergeser ke meja kawan sekelasnya yang lain. "Kalau tidak, akan kuminta kau mengumpulkannya sendiri."

"Aku tahu!"Slaine menggerutu. "Buku PR, buku PR, buku P… Ah!"

Mendengar pekik Slaine, Inko kembali menengok ke arah teman sekelasnya. "Sudah kau temukan?"

Dengan senyum lebar, Slaine menunjukkan bukunya, "Di dalam tas, sudah kuduga. Ini, Inko!"

Inko, si gadis bermanik merah menerima buku yang diserahkan Slaine padanya. Lalu ia menatap ke arah gadis berambut platina perak itu dan berkata, "Kau tahu, ini bukan pertama kalinya kau mencari sesuatu dan tahu-tahu benda yang kau cari kau temukan setelah beberapa kali mengaduk tasmu. Apa tasmu itu semacam kantong ajaib? Kenapa bisa benda-benda menghilang dan ditemukan setelah dicari beberapa kali?"

Slaine hanya mengangkat bahu mendengar protes Inko. Ia hanya tersenyum lebar sambil duduk di tempatnya. Ia berharap kali ini bisa menikmati waktu makan siangnya dengan tenang, sebelum beberapa teman yang tak ia kenali mengerubunginya. Lagi-lagi…

"Troyard-san, Troyard-san," kata salah satu siswi yang berdiri di samping mejanya, "Selamat ya, Kaizuka-san lagi-lagi memenangkan penghargaan literatur!"

Ah.

Lagi-lagi.

"Bukunya kali ini juga bagus sekali,"ucap seorang siswi lain. "Seorang pria yang menunggu hingga lima ratus tahun untuk bertemu kembali dengan kekasihnya, romantis sekali."

Sulit bagi Slaine membayangkan muka tanpa ekspresi pemuda itu sanggup menulis cerita bertema romantis seperti itu. Lebih sulit membayangkan lagi karena ternyata literatur seperti itu sanggup meraih beberapa buah penghargaan. Apa sebenarnya yang dipikirkan para panitia pemberi penghargaan itu saat membaca literatur karya Kaizuka-san?

"Aku membacanya berkali-kali dan airmataku mengalir terus, Kaizuka-san memang tahu bagaimana cara membawakan ceritanya dengan baik. Aku benar-benar terbawa perasaan pria yang menunggu kekasihnya itu saat ia terus berhadapan dengan mimpi buruk dan kekhawatiran bahwa ia takkan bertemu lagi dengan gadis itu."

"Ya, ya,"siswi lain yang tak Slaine tahu namanya pun menimpali, "menyedihkan sekali saat bagian itu. Tapi saat ia menemukan bahwa kekasihnya sudah meninggal pun menyedihkan. Bayangkan, ketika ia sedang pergi untuk mencari ramuan yang dapat membuat gadis itu hidup selamanya, gadis itu malah direnggut darinya begitu saja. Ironis sekali."

Sungguh, Slaine tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Ia hanya ingin menikmati makan siangnya dengan tenang, tapi gara-gara Kaizuka Inaho, si penerima penghargaan literatur, acara makan siangnya jadi berantakan. Ia menyesal memilih kelas sebagai tempatnya makan siang. Tahu begitu, seharusnya ia bersembunyi di atap atau di mana saja selain di kelas. Lagipula, kenapa juga gadis-gadis ini malah membicarakan novel di hadapannya. Bukan dia yang memenangkan literatur itu 'kan?

"Nee, nee, Troyard-san, Troyard-san, sekarang ini Kaizuka-san apakah sedang membuat novel baru? Apa ia akan menerbitkan karya baru dalam waktu dekat?"

"Aku tidak tahu,"jawab Slaine, "aku tidak pernah menanyakannya."

"Eeh? Kenapa?"Salah satu siswi bertanya padanya. "Bukannya kalian tinggal serumah? Tentunya kau tahu dong apabila ia sedang mengerjakan suatu proyek? Paling tidak kau akan membaca draftnya yang berserakan di mana-mana dong?"

Setahu Slaine, yang berserakan di apartemen Kaizuka-san adalah buku-buku PR dan kertas ujiannya alih-alih draft cerita novelis satu itu. Bahkan ia ragu bahwa Kaizuka-san adalah seorang novelis. Pasalnya, ia nyaris tak pernah melihat pemuda itu bergelut dengan pekerjaannya seperti novelis pada umumnya. Entah pemuda itu memang ahli menyembunyikannya atau ia yang tidak terlalu peduli pada hal-hal semacam itu. Ia tidak tahu, pun tidak berniat mencari tahu.

"Kaizuka-san itu seperti apa sih bila di rumah?"

"Seperti pemuda pada umumnya saja,"jawab Slaine tanpa antusias.

Siswi-siswi yang mengerubunginya saling menatap satu sama lain saat mendengar jawabannya. "Tapi, tinggal serumah dengan novelis setampan itu pasti membuat deg-degan setiap hari, ya 'kan Troyard-san"

Slaine mengangkat kepalanya, "Tidak."

Kembali para siswi itu kebingungan mendengar jawabannya. "Masa?"

Sekali ini, Slaine menghela napas. Ia memundurkan kursinya dan mengambil kotak bekalnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu membuatnya jengah. Ia tidak suka ditanya-tanya kehidupan seseorang yang bahkan tidak terlalu ia kenali. Hanya karena mereka tinggal bersama bukan berarti ia tahu segala sesuatu tentang maniak jeruk dan telur satu itu. Lebih tepatnya, ia tidak mau tahu.

Ya, sejak memutuskan untuk tinggal bersama dengan Kaizuka-san, Slaine sudah menetapkan peraturan pada dirinya sendiri bahwa ia takkan mencari tahu apa pun tentang Kaizuka-san. Apa pun yang dilakukan pemuda itu tidak ada hubungannya dengan Slaine. Ia tidak mau terikat terlalu dalam dengan siapapun lagi. Perpisahan terlalu menyakitkan baginya.

Ia sudah dua kali kehilangan ayah, mungkin tiga bila dihitung dengan ayah yang memberikan nama Troyard padanya. Mulai dari ayah pertama, seorang Dokter bernama Cruhteo yang mengadopsinya dari panti asuhan. Karena tidak punya anak, Ia dan istrinya memutuskan untuk mengadopsi Slaine ketika sedang berkunjung ke panti asuhan. Setelah enam bulan tinggal bersama, pasangan suami istri itu meninggal dalam kecelakaan pesawat, meninggalkan Slaine seorang diri.

Teman Dr. Cruhteo yang juga kehilangan istrinya, Saazbaum, akhirnya mengambil Slaine yang baru berusia lima tahun menjadi anaknya. Mereka berdua menjadi ayah dan anak selama kurang lebih sepuluh tahun semenjak kecelakaan pesawat yang menimpa Dr. Cruhteo. Selama itu, Saazbaum benar-benar menjadi ayah baginya sebelum kecelakaan mobil merenggut nyawa pria tersebut. Berkat itu, lagi-lagi Slaine kembali seorang diri, tanpa sanak saudara maupun kerabat yang mau mengambilnya.

Lalu sekarang, Kaizuka Inaho lah yang muncul dan menggantikan kedua ayahnya. Pemuda yang tak lebih tua dari dua puluh sembilan tahun itu yang memutuskan untuk menjadi walinya saat pemakaman Saazbaum. Ia sendiri tak yakin dengan alasan pemuda itu mengambilnya, hanya saja karena tidak punya pilihan lain, Slaine pun terpaksa mengikutinya.

Sekarang, setelah dua tahun tinggal bersama pun Slaine masih belum bisa memahami pemuda satu itu. Ekspresinya selalu sama sehingga Slaine tidak pernah tahu apa yang ia pikirkan. Sehari-harinya, pemuda itu hanya memasak sarapan saat pagi dan membuatkan bekal. Saat ia pulang, pemuda itu pasti sedang memasak makan malam atau menonton TV. Hanya sesekali Slaine melihat pemuda itu duduk di ruang tamu dengan laptopnya. Tidak ada kantung mata atau kesan lusuh seperti para novelis di ambang deadline. Kaizuka Inaho selalu sama.

Di luar itu, mereka pun hanya berbicara seperlunya. Kebanyakan Slaine yang protes karena merasa beberapa peraturan baru yang dibuat Kaizuka-san bertentangan dengan kebiasaannya. Sementara Kaizuka-san sendiri hanya memanggil atau berbicara bila ia tidak setuju dengan protes Slaine. Mereka jarang mendiskusikan tentang pekerjaan, sekolah, PR, atau kehidupan pribadi masing-masing. Seolah tak ada ruang untuk itu di antara mereka. Hubungan mereka sama hal nya seperti penyewa dan pemilik rumah, walau bedanya Slaine tidak perlu membayar sewa dan selalu mendapatkan makanan gratis setiap harinya.

Ya, mungkin bagi Slaine inilah yang terbaik. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu terlibat. Jarak seperti inilah yang diharapkannya. Ia harap jarak yang ia buat takkan pernah mengecil.

...

Kaizuka Inaho yang tengah bersandar pada railing di balkon rumahnya memicingkan mata sedikit saat melihat sosok berambut perak platina yang melintasi penyeberangan di dekat apartemennya. Ia mengawasi gadis itu saat menyeberang jalan, sedikit ceroboh karena tidak memerhatikan lampu dan langsung main lewat begitu saja. Sepertinya ia perlu mengingatkan gadis itu soal tata cara menyeberang jalan, sekalipun nantinya akan berujung menjadi perdebatan panjang.

Selalu. Selalu dan selalu, Slaine mendebat semua nasihatnya. Mulai dari bangun di pagi hari, hingga menyikat gigi sebelum tidur selalu dibantah gadis itu. Sungguh ia tidak habis pikir, bagaimana cara Saazbaum-san mendidik gadis itu sebelumnya. Hal-hal biasa yang ia yakini selalu dilakukan di setiap rumah, ternyata tidak berlaku untuk gadis itu. Ia harus membiasakan gadis itu berulang kali sebelum akhirnya gadis itu mau mengikuti peraturannya.

Selama dua tahun ini, hanya menyikat gigi sebelum tidur dan memakan telur saja yang sudah berhasil ia terapkan pada gadis itu. Sisanya, hampir menjadi pertengkaran rutin mereka setiap pagi. Slaine yang selalu bangun kesiangan, Slaine yang selalu sarapan sebelum mandi dan Slaine yang tidak pernah mengeringkan rambut karena memilih untuk sarapan lebih dahulu. Seolah-olah, gadis itu memang sengaja menantang Inaho untuk membiasakan ketiga hal itu padanya.

Inaho menyentuhkan tangan ke kepalanya, memang tidak terlihat, namun ia merindukan Slaine yang dulu. Slaine yang selalu ada di sampingnya di saat ia membutuhkannya, Slaine yang tak pernah berhenti menyemangatinya di saat segala sesuatu tidak berjalan semestinya, dan terutama, ia merindukan Slaine yang mencintainya. Ia merindukan cara manik sebiru lautan itu memandangnya, ia merindukan cara tertawanya, senyumnya, perkataan lembut Slaine dan terutama panggilan Slaine padanya.

Slaine yang sekarang, memanggilnya Kaizuka-san. Ia tidak pernah terbiasa dengan panggilan tersebut. Ia dan Slaine punya sebutan untuk memanggil pasangan masing-masing. Sebutan yang takkan digunakan oleh orang selain mereka berdua. Karena itu ketika Slaine yang sekarang memanggilnya Kaizuka-san, ia menyadari bahwa bagi Slaine ia hanyalah orang lain.

Wajah itu, suara itu, bola mata itu, memang Slaine-nya. Namun kepribadian mereka benar-benar bertolak belakang. Apakah ia menemukan orang yang salah? Apakah Slaine yang sekarang, bukanlah Slaine yang ia cari selama lima ratus tahun? Berapa lama lagi ia harus mencari hingga menemukan Slaine miliknya? Lima ratus tahun lagi? Seribu?

"Tadaima."

Suara tersebut membuat Inaho tersadar. Mendengarnya, ia segera beranjak dari balkon dan masuk ke dalam ruang keluarga. Ia menggumamkan 'Okaeri' sembari memerhatikan gadis berambut platina yang tengah meletakkan sepatu di raknya dan mengeluarkan sandal. Sekali ini gadis itu menghela napas terlebih dahulu sebelum beranjak dari pintu depan menuju ke kamarnya.

Inaho memerhatikan gadis itu melewatinya. Gadis yang lebih pendek sekepala darinya itu tak mengatakan apa-apa dan hanya berlalu begitu saja. Ia membuka pintu kamar dan menutupnya kembali, tak ada interaksi lebih dari itu. Mereka berdua sama-sama bukan tipe orang yang senang mengobrol untuk hal-hal pribadi.

Pemuda bermanik merah itu sendiri tidak ingin bertanya karena ia sudah tahu apa yang terjadi di sekolah si gadis. Mulai dari kedatangan si gadis yang nyaris telat, PR yang kelupaan, ataupun teman-teman yang mengerubunginya, Inaho tahu. Hanya saja, Inaho tetap tidak bisa membaca isi hati gadis itu. Analisa dan prediksinya tidak berlaku bagi Slaine yang sekarang.

Karena itu, dibanding membuat makan malam seperti biasanya, Inaho memilih untuk mengetuk pintu kamar gadis itu. Ia memanggil-manggil nama gadis itu beberapa kali hingga akhirnya gadis itu membuka pintu sambil menatapnya penasaran.

"Apa?"

'Sinis sekali,'batin Inaho saat mendengar nada suara Slaine. Namun Inaho tetap pada tujuannya semula. "Apa terjadi sesuatu di sekolah?"

Kali ini, kerutan muncul di dahi Slaine. Ia menatap Inaho tajam sebelum memutuskan untuk menjawab. "Tidak. Tidak ada."

"Kau yakin?"

Sekali ini, Slaine kebingungan. Selama dua tahun ini, Kaizuka-san tidak pernah bertanya soal hal-hal di sekolah. Ia pikir Kaizuka-san memang tidak tertarik dengan kehidupan sekolahnya. Ia pun tidak pernah berinisiatif untuk bercerita. Jadi mendengar pertanyaan semacam ini keluar dari mulut Kaizuka-san sungguh membuatnya bingung. Ada apa dengan Kaizuka-san? Apa telur yang dimakannya tadi pagi sudah busuk?

"Ya,"ujar Slaine akhirnya menjawab setelah terdiam selama beberapa saat sembari memicingkan mata. Ia pun tergoda untuk melanjutkan percakapan dengan berkata, "Kenapa… bertanya?"

Kaizuka-san menatapnya lagi. Ia tidak bisa membaca ekspresi pemuda itu sama sekali. Apa yang sedang dipikirkan pemuda itu? Sekali ini, ia merasa gelisah saat mendapat tatapan seperti itu. Rasanya seperti seorang anak yang kedapatan berbuat salah di hadapan orang tuanya.

"Tidak," ucap Kaizuka-san akhirnya. "Tidak ada apa-apa."

'Aneh sekali,'batin Slaine saat melihat Kaizuka-san memilih untuk mengalihkan pandangan dan berbalik. Kaizuka-san yang biasanya akan bersikap menyebalkan dan memaksa, bukan menyerah begitu saja seperti ini. Tidak seperti Kaizuka-san saja.

"Apa telur yang kubeli kemarin sudah kadaluarsa?"

Kaizuka Inaho kembali menoleh ke arah Slaine saat mendengar pertanyaan itu. Ia menatap langit-langit sebentar sebelum berkata, "Tidak, semuanya bagus."

"Oh, ya?"Slaine memicingkan mata dan berjalan keluar dari kamarnya. Ia mendekati kulkas dan menarik pegangan pintu kulkas. Tangannya meraih telur yang sebelumnya ia beli dan mengangkatnya di atas kepala. "Tidak ada yang salah."

"Sudah kubilang 'kan?"Kaizuka Inaho menimpali. Pemuda itu berjalan mendekat ke kulkas dan mengambil beberapa bahan yang ia butuhkan untuk memasak makan malam. Dari sudut matanya, ia tahu bahwa gadis berambut perak platina itu masih memandanginya. Hanya saja, ia memilih untuk tidak bertanya dan menunggu reaksi gadis itu.

"Kau sakit, Kaizuka-san?"

Inaho menoleh ke arah gadis itu. Tangannya terlebih dahulu menarik si gadis dan menutup kulkas sebelum berjalan ke meja dapur untuk meletakkan barang-barang yang dipegang dengan tangan satunya. Ia tidak menjawab pertanyaan Slaine, sehingga gadis itu mengikutinya dan berdiri di sampingnya di meja dapur.

"Hei!"

Pemuda bermanik merah itu menoleh ke arahnya, menatap gadis berambut perak itu. Sementara itu, yang ditatap tampak salah tingkah. Ia tidak tahu mengapa dirinya begitu bersikeras menuntut jawaban. Seharusnya ia tidak peduli, 'kan? Seharusnya ia tidak mau tahu, 'kan? Seharusnya ia membiarkannya lalu, 'kan?

"Kenapa kau berpikir begitu?" Kaizuka Inaho membalas pertanyaannya dengan pertanyaan.

Jawaban Inaho membuat Slaine geleng-geleng kepala. Ia sudah tahu bahwa pemuda ini memang mengesalkan. Sudah bertanya, ia malah balik mendapat pertanyaan. Apakah tidak bisa bila jawabannya hanya iya atau tidak dan diskusi ini akan segera berakhir? Kenapa harus dibumbui pertanyaan segala?

"Tidak,"jawab Slaine akhirnya, "kalau kau tidak sakit, ya sudah."

Setelah itu, Slaine pun berlalu dan kembali masuk ke kamarnya. Ia berbaring sebentar di atas ranjangnya untuk membunuh waktu sebelum makan malam dan membuat PR. Ia memejamkan matanya, berharap dengan begitu ia akan segera berkelana dalam alam mimpi. Untungnya, Slaine memang bukan orang yang sulit tidur. Tiga detik membaringkan kepala di atas bantal dan gadis itu sudah pergi ke alam buaian.

"Koumori!"

Slaine menggerakkan kepalanya dan melihat seorang pria mengulurkan tangan padanya. Pria bermanik merah dengan rambut berwarna dark brownyang cukup familiar walaupun ia tidak dapat mengingatnya. Ia menyambut uluran tangan pemuda itu dan membiarkan pemuda itu mendekapnya dan meletakkan kepala pada bahunya.

"Aku lelah."

Mendengar keluhan pria itu, Slaine merasakan bahwa dirinya tertawa kecil dan mengulurkan tangan mengusap-usap kepala pria tersebut. Mereka berdua hanya saling mendekap, dengan tangan Slaine di kepala dan punggung pria itu, sementara pria itu meletakkan tangan di pinggangnya, memeluknya erat.

"Penelitianmu mengalami jalan buntu lagi, Orenji-iro?"

Anggukan kecil di bahu Slaine sudah cukup untuk menjawab pertanyaan yang diajukan olehnya. Mengetahui hal itu, Slaine pun tidak bertanya lagi. Ia hanya terus mengusap-usap kepala pria yang memeluknya itu sembari berkata, "Paling tidak kau sudah berusaha."

Mendengar perkataan Slaine, pria itu hanya berkata, "Berusaha saja tidak cukup, Koumori."

Slaine tertegun saat mendengar nada monoton itu. Nada monoton itu sepertinya pernah ia dengar, entah di mana. Siapa pria ini sebenarnya? Kenapa ia begitu familiar bagi Slaine?

"Aku…,"kata Slaine yang merasakan bibirnya bergerak membentuk kalimat, "tidak pernah menginginkan itu, Orenji-iro."

"Aku yang menginginkannya, Koumori,"ujar pria itu dengan kepala yang masih tertunduk. "Cara agar kau bisa hidup di duniaku."

"Bagaimanapun, aku hanya manusia biasa yang akan menua dan mati, Orenji-iro,"ujar wanita itu lagi, tangannya yang semula mengelus-elus kepala pria itu kini hanya diam di tempatnya. "Dan bila selama waktu itu aku ada di sampingmu, itu sudah cukup bagiku. Jadi kau tidak perlu melakukan penelitian itu. Kau cukup ada di sampingku, Orenji-iro."

"Tidak bagiku, Koumori,"jawab pria itu sambil mengangkat kepalanya. "Delapan puluh tahun, paling lama seratus tahun. Itu tidak cukup bagiku. Apa yang harus kulakukan setelahnya bila kau tidak ada di dunia ini?"

"Kau selalu bisa berbahagia, Orenji-iro," ujar gadis itu sambil menyentuhkan tangan ke pipi pria tersebut. "Dulu pun, kau bisa hidup tanpa kehadiranku. Aku yakin, setelah beberapa saat kau akan kembali menjalani hidupmu seperti biasa."

"Tidak bisa."

"Orenji-iro…"Slaine berusaha membujuknya.

"Tidak sama,"ujar pria itu lagi. "Aku tahu, segalanya takkan sama lagi bila kau tidak ada di sampingku."

Mendengar itu, Slaine hanya bisa menghela napas dan tersenyum menghadapi kekeraskepalaan pria di hadapannya. Ia pun kembali berkata, "Baiklah Orenji-iro, kalau menurutmu begitu aku akan bersabar untuk sementara ini."

"Koumori…"

"Hanya sesekali,"kata Slaine sambil menyentuh wajah pria itu, "tolong keluarlah dan berbicara denganku. Sehari sekali juga sudah cukup. Aku juga ingin bersamamu, Orenji-iro."

Pria di hadapannya mengangguk mendengar permintaan Slaine. "Ya, maafkan aku, sudah membuatmu kesepian."

Slaine hanya tersenyum, "Terima kasih."

Kali ini, Slaine membuka matanya dan pemandangannya berubah. Tidak ada rumah bergaya Jepang dengan halaman besar yang indah. Tidak ada lagi pria bermanik merah dengan rambut dark brownyang ia sukai. Sekelilingnya hitam, begitu hitam hingga akhirnya warna merah dan kuning mulai menyala di kakinya. Awalnya ia tidak menyadari, namun begitu warna merah dan kuning mulai merambat di kakinya, sadarlah ia benda apa itu sebenarnya.

'Api' batinnya, panik. Harus cepat-cepat dipadamkan. Harus…

Slaine mencoba bergerak, namun ia tidak dapat melepaskan diri. Tubuhnya seolah terikat oleh sesuatu. Ia terus menggeliat, mencoba berteriak, lagi dan lagi, hingga akhirnya ia mendengar suara-suara di sekelilingnya. Awalnya hanya berupa gumaman, namun semakin lama, gumaman itu semakin jelas dan semakin terdengar keras, hingga akhirnya berubah menjadi jeritan kebencian yang diperdengarkan oleh beberapa orang.

""Mati kau, Penyihir!"

"Bakar! Bakar!"

Slaine berusaha berkata-kata, namun tidak ada suara yang keluar. Ia bukan penyihir. Kenapa tidak ada yang mendengarnya? Ia berusaha meminta tolong, tapi kenapa tidak ada suara yang terdengar? Kenapa? Seseorang… tolong…

Tolong, siapa saja… Tou-chan! Tou-chan! Tou-chan!

Tidak ada suara, tidak ada jawaban. Slaine mulai menyerah. Ia benar-benar nyaris menyerah ketika ia teringat sebuah nama, dan kali ini suaranya terdengar.

"Orenji-iro, tolong!"

...

"Slaine! Slaine!"

Slaine terkejut begitu ia membuka mata dan menemukan Kaizuka-san di sampingnya dengan suara sedikit lebih keras dibanding biasanya. Ia menatap pemuda itu dan terdiam selama beberapa saat, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Kaizuka-san…?"

Tanpa menunggu jawaban Slaine, Kaizuka Inaho menyentuhkan tangannya pada dahi Slaine. Kemudian ia menyentuhkan jarinya mencoba membuka sedikit kelopak mata yang masih setengah terpejam itu. Tak berhenti sampai di situ, ia pun memaksa Slaine membuka mulut sembari menggerakkan dagunya. Ke atas, ke kiri, ke kanan, ke bawah, lalu…

"Kaizuka-san!"

Slaine akhirnya terpaksa sedikit berteriak sambil mendorong pemuda itu. Tingkah pemuda itu sedikit membuatnya jengah. Sekali lagi, seorang Kaizuka Inaho bertindak di luar sikapnya yang biasa. Sungguh satu hari yang luar biasa anehnya. Ada apa ini? Apakah sudah mau kiamat? Jangan-jangan besok penduduk Mars datang dan hendak menyerang Bumi?

"Kau aneh sekali,"ujar Slaine akhirnya ketika Kaizuka sudah sedikit didorong darinya. "Sungguh! Ada apa denganmu hari ini? Kau salah makan atau bagaimana? Tingkahmu aneh sekali."

"Slaine…"

"Ya?"

"Diamlah sebentar."

Setelah itu, ia pun menggerakkan tangannya ke wajah Slaine, dan kembali memaksa gadis itu membuka mulutnya. Slaine berusaha meronta, namun pemuda itu memang punya tenaga layaknya pemuda pada umumnya. Setelah mulut, kali ini pergelangan tangan Slaine yang ditekan dengan ibu jari, lalu terakhir pemuda itu menempelkan kepalanya di atas dada Slaine. Tentu saja, tindakan terakhirnya membuat Slaine mendorong kepala tersebut dan menendang perut seorang Kaizuka Inaho.

"Kubilang…"

Sebelum Inaho sempat mengucapkan apapun, Slaine sudah lebih dulu berkata, "Kau yang diam! Apa sih maumu? Kau pikir aku akan diam saja melihatmu bertindak mesum?"

"Mesum?" Inaho, tetap dengan wajah tanpa ekspresinya, kebingungan mendengar pernyataan semacam itu diberikan padanya.

"Kau masih mau menyangkal?"

"Terserahlah," balas Inaho tak peduli dan kembali mendekat pada Slaine. "Sekarang diamlah sebentar, aku perlu mendengar detak jantungmu."

Sekali lagi Slaine mencoba menendang, sayangnya Inaho sudah memprediksinya dan menghentikannya dengan satu tangan, sementara satu kakinya yang lain ditahan dengan lutut. Tidak puas, Slaine masih mencoba menggerakkan tangannya. Ia hanya berhenti saat mendengar Inaho berkata, "Tolonglah…"

Mendengar itu, Slaine berhenti bergerak. Ia menurunkan tangannya dan membiarkan seorang Inaho mendekat dan menaruh kepala di dadanya. Sungguh posisi yang mengundang salah paham, mengingat Slaine yang sekarang adalah seorang gadis dan Inaho adalah seorang pemuda. Siapapun yang masuk ke kamar mereka pasti akan menyangka bahwa mereka sedang berbuat macam-macam dan bukannya mendengarkan detak jantung seperti alibi Inaho.

"Tidak ada masalah,"ujar Inaho sembari mengangkat kepalanya.

"Kau yang ada masalah apa?" cecar Slaine pada pemuda berambut dark brown itu. "Cepat menyingkir dariku, Kaizuka Inaho!"

"Kau mimpi buruk?"

"Ti…"

"Kau berteriak."

Mendengarnya, gadis itu malah diam dan menundukkan kepala. Sikap diamnya membuat Inaho menghela napas dan beranjak menuju tepian ranjang. Ia menyentuhkan satu tangannya ke kepala gadis itu dan mengacak-acak sedikit rambut platina perak si gadis.

Slaine sendiri membiarkan tangan besar Kaizuka-san mengacak-acak rambutnya. Tangan yang besar, tangan yang hangat, hampir sama rasanya dengan tangan yang selalu disentuhkan Tou-chan-nya bila ia ketakutan setelah bermimpi buruk. Bedanya, tangan ayahnya tidak sehalus ini, dan tidak berbau jeruk seperti tangan Kaizuka-san. Bau jeruk yang cukup menenangkan, hingga membuat Slaine tanpa sadar bergumam, "Orenji…"

Seketika itu juga, Inaho berhenti menggerakkan tangannya. Pendengarannya tidak salah menangkap kata-kata tersebut, 'kan? Slaine… Slaine memanggilnya. Slaine…

"Kaizuka-san, apakah kau baru saja mengupas jeruk? Entah kenapa tanganmu…"

Perkataan Slaine tidak pernah selesai, karena tahu-tahu saja tangan Kaizuka-san yang satu lagi mencengkeram pergelangan tangannya. Tubuhnya ditarik begitu saja dan tangan di kepalanya membawanya semakin mendekat pada pemuda itu. Ia mencoba berbicara, namun wajah Kaizuka-san sudah terlalu dekat dengannya. Ia tahu apa yang akan terjadi setelahnya dan berusaha meronta dari pegangan Kaizuka-san. Namun pegangan tangan Kaizuka-san yang begitu erat, juga manik merah yang menatapnya membuatnya berhenti meronta dan menyerah.

Ah, terserahlah!

...

t.b.c

Thank you for reading! If you mind, please leave a review so I could update soon XD