Sometimes... Someone

.

CHAPTER 1

Warning! YAOI, Best-fucking-Friend, Typo(s).

Pair! Mark x Jaemin

Slight! Mark x Donghyuck, Jeno x Jaemin

NCT adalah punya Sment, Saya Cuma pinjem nama dan gejolak cinta yang mereka rasakan satu sama lain (?)

.

Happy Reading

.

"Mark!"

Jangan hiraukan dia, biarkan saja.

Aku kembali bergulung dalam selimutku. Tidak membiarkan hawa dingin pagi dan teriakan melengking si bocah bodoh merusak hari yang paling kutunggu selama seminggu. Ayolah, untuk apa juga aku meladeni bocah bodoh itu jika ia tidak pernah puas untuk mengganggu hidupku.

"MARK!"

Teriakan itu muncul lagi. Kali ini diikuti dengan bunyi kaca jendela yang dilempari sesuatu. Oh, semoga kaca jendelaku diberi ketabahan oleh Tuhan.

Sudah kucoba berbagai cara untuk meredam suara itu. Bantal, selimut, sudah kupakai semua untuk menutupi telingaku tapi suaranya tetap terlalu keras untuk tidak masuk ke indra pendengaranku.

"Mark! Demi Tuhan, Jaemin sudah berkali-kali memanggilmu. Kenapa kau masih bergelung disini?"

Kenapa semua orang jadi berteriak padaku?

Selimut yang membebat tubuhku seketika diseret paksa oleh seseorang. Namja tinggi yang super duper tampan-huek- menatapku dengan mata mendelik. Ia berkacak pinggang demi mempertegas kekesalannya padaku.

Mencoba mengabaikannya, aku berusaha tidur lagi. Mencoba mengabaikan ketiadaan selimut yang menjagaku tetap hangat.

"Mark…"

"Yes Hyung! I hear you. I just need to sleep. Last night, I had a horrible training if you want to know!"

"That's not a reason to you ignore your beloved best-boy-friend."

Mendengar kata itu lagi untuk kesekian kali keluar dari bibir Hyungku, rasanya membuat perutku berputar. Selalu terasa geli.

"Bestfriend your butt."

"Don't you dare curse your brother, little chill."

Sedetik kemudian rasa sakit menjalar dari telinga. Tangan dingin yang kejam menjewerku hingga aku berteriak kesakitan dan tak punya pilihan lain selain beranjak dari tempat tidur. Oh… tempat tidur sayangku…

Ia menjewerku sampai ke depan jendela. Dibukanya korden dan jendela itu tanpa melepaskan satu tangannya di telingaku. Kakak kurang asam!

"Omo! Jaehyun Hyung! Kenapa kau menjewer Mark seperti itu?"

Jaemin di balkon seberang sana memekik setelah melihat penampakan kami berdua dari balik jendela. Aku tidak bisa menahan erangan kesakitanku saat Jaehyun Hyung malah semakin mengeratkan jewerannya.

"Jae-Jaemin-ah! Suruh Jaehyun Hyung lepaskan jewerannya. Ini sakiiit!"

Namja itu gelagapan. Dia menatap Jaehyun Hyung sesaat kemudian.

"Jae-Jaehyun Hyung! Lepaskan Mark! Aku mohon."

"Oke, sesuai permintaan adikku tersayang."

Aku menatap Jaehyun Hyung sengit. Selalu saja Jaemin jadi titik terlemahnya, bahkan lebih dari love-hate boyfriendnya, Doyoung Hyung. Dia selalu menuruti setiap permintaan Jaemin tanpa pikir panjang bahkan jika itu bisa mencelakaiku yang notabennya adik sepupunya sendiri.

Segera setelah itu, Jaehyun Hyung pergi dari kamarku. Meninggalkanku di depan jendela dengan Jaemin yang setia di balkon seberang sana. Kutatap malas dia.

"Kenapa?" tanyaku.

"Main yuk…"

"Gak."

"Ayolah… Mark hyuuung."

Jaemin menunjukkan aegyonya lewat kedipan mata. Aku berusaha mengalihkan pandanganku tapi pada akhirnya hal yang sama selalu terjadi jika dia melakukan itu.

"Hah… baiklah."

"AYE!"

.

Aku tidak tahu apa ini. Rasanya begitu menyenangkan, familiar, dan hangat. Mata itu menatapku dengan sejuta arti di dalamnya. Aku merasa begitu.

"Mark, ini Donghyuk. Donghyuk ini Mark. Mark ini temanku sejak kecil, Hyuk. Dan Donghyuk ini teman sebangkuku sejak kemarin, Mark."

Jaemin memperkenalkan kami satu sama lain. Suaranya nyaris tak terdengar olehku karena mata Donghyuk seakan menenggelamkanku ke dalamnya. Ia mengulurkan tangannya. Aku menatap tangan itu sejenak, lalu menjabatnya sambil berusaha menyembunyikan kegugupanku.

Kegilaan apa ini? Kenapa tangannya yang bahkan tidak selembut milik Jaemin itu mengalirkan impuls yang tidak bisa kutahan. Rasanya tubuhku bergetar begitu tangan kami bersentuhan. Aku tidak bisa mengontrol tubuhku, seseorang telah mengambil alihnya dariku. Sepertinya begitu.

Beberapa saat berlalu dengan sangat cepat. Tapi, tidak dengan kedua orang yang ada bersamaku. Aku menangkap mata Jaemin yang terus memandangku heran lalu beralih pada tanganku yang menjabat tangan Donghyuk. Seketika aku sadar apa yang sudah kulakukan.

Aku melepaskan tangannya bersamaan dengan tawa canggung yang keluar dari bibirku. Tubuh sialan.

"Senang bertemu denganmu, Mark…" suaranya berat, oooh… Tuhan jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini.

"-Hyung. Mark ini lebih tua satu tahun dari kita. Kau bisa memanggilnya Mark Hyung, Donghyuk."

"Tidak usah!" Seketika aku menyentak. "Maksudku, terserah Donghyuk saja. Toh, Jaemin juga memanggilku tanpa 'Hyung'."

"Mwo,kau terus menyuruhku memanggilmu Hyung, sementara Donghyuk tidak? Wah, menyebalkan sekali."

Suara sedotan Jaemin pada lemon squashnya kuabaikan setelah itu. Masalahku dengannya bisa diselesaikan nanti. Yang penting sekarang adalah bagaimana aku bisa menatap Donghyuk tanpa merasa terganggu dengan detak jantungku yang tak beraturan ini.

Awalnya kami hanya berdua di café sambil menikmati minuman kami setelah bermain basket di Sungai Han. Seperti biasa, Jaemin selalu jadi orang yang berisik dan aku akan jadi pendengar yang baik. Bukannya aku sok dingin atau bagaimana, tapi aku lelah kalau bicara dengannya. Selalu saja aku kalah cepat, kalah keras, kalah berdebat, pokoknya aku kalah kalau harus beradu mulut dengan teman –ehem- kecilku yang satu ini.

Lalu ditengah kecerewetan Jaemin, namja asing itu tiba-tiba datang menyapanya. Kedua namja itu lalu saling melemparkan sapaan dan Jaemin dengan seenak jidat menyuruhnya bergabung. Untuk pertama kalinya aku berterimakasih pada sikap seenaknya sendiri Jaemin.

Sekarang kami bertiga duduk dengan aku disamping Jaemin dan namja itu –Donghyuk- diseberang Jaemin. Sebisa mungkin aku bersikap biasa, namun sepertinya terlalu terlihat bahwa aku menahan sesuatu dari wajahku.

"Kau dekat dengannya?"

"Ye?"

Aku memecah keheningan diantara aku dan Jaemin saat kami pulang dari café menggunakan sepeda. Namja yang berdiri di belakangku itu membungkukkan tubuhnya ke arahku, meminta pengulangan dari pertanyaan yang kulontarkan.

"Sudah lama kau dekat dengan Donghyuk?"

"Belum. Dia itu murid pindahan dari Jeju. Katanya, orang tuanya naik jabatan dari cabang perusahaan yang ada di sana."

Aku termangut. Anak pindahan. Pantas saja aku tidak pernah melihatnya satu semester ini.

"Memang kenapa?" tanya Jaemin penuh selidik. Aku menggeleng tapi namja itu tidak puas dan menggoncang bahuku. Sepeda kami nyaris jatuh, untung aku menahannya.

"Kau gila!?"

"Kenapa kau tanya soal dia?"

"Tidak apa-apa!"

"Kalau kau berpikir untuk mengencaninya, jangan harap! Teman sekelasku saja banyak yang mengincar dia. Kakak kelas 3 juga begitu. Kau terlalu banyak saingan jika ingin mendapatkan Donghyuk."

"Memang aku kalah apa dari teman sekelasmu dan kakak kelas itu? Aku tampan."

Dengan tidak sopannya, Jaemin tiba-tiba menabok kepalaku. Kurang asam dia. Kalau saja bocah ini bukan kesayangan orang tua dan kakak sepupuku, mungkin sejak dulu sudah kutenggelamkan di kolam ikan Shim Ahjushi.

"Tidak ada yang mengakuimu tampan."

"Ada."

"Siapa?"

"Nae eomma…"

.

Hari senin yang dibenci setiap orang akhirnya datang. Aku bergegas mengeluarkan sepedaku dari garasi selesai sarapan dan berpamitan pada orang tuaku. Jaehyun Hyung sudah berangkat kuliah beberapa menit setelahku dengan motor besarnya. Bertaruh, dia pasti menjemput Doyoungienya lebih dulu.

Bicara tentang jemput menjemput, sebenarnya aku juga punya tanggung jawab yang sama.

"Jaemiiiin!" panggilku di depan rumahnya. Sudah jadi kebiasaan sejak taman kanak-kanak kami pulang dan berangkat sekolah bersama. Tipikal teman kecil pada umumnya, benar bukan? Tidak jarang kami dapat ejekan dari teman-teman karena kedekatan kami. Tapi, setiap aku ragu untuk berdekatan dengan Jaemin, bocah itu selalu sukses meyakinkanku.

Orang yang kutunggu akhirnya datang. Jaemin langsung naik ke atas boncengan berdiri di belakang sedelku. Setelah memastikan dia berdiri dengan aman, aku langsung mengayuh sepeda ke sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Hanya butuh 15 menit dengan sepeda.

Tidak seperti biasanya, selama perjalanan Jaemin tidak banyak bicara. Tanpa bertanya pun aku sudah tahu apa yang terjadi padanya. Tapi aku memutuskan untuk tutup mulut. Pagi ini biarlah dia berpikir sendiri untuk masalahnya. Toh, jika dia butuh sesuatu dia akan datang sendiri padaku.

Niatan untuk bertanya-tanya tentang Donghyuk akhirnya tidak terlaksana. Tentu aku tidak mau dia marah karena bertanya untuk kepentinganku sendiri sementara dia sedang banyak masalah.

"Aku ada latihan sepak bola sore ini. Kau pulang duluan saja." Ucapku saat kami sampai di sekolah.

Jaemin terlihat berfikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

Aku duluan masuk ke dalam kelas karena kelas 2 ada di lantai 2 sementara kelas 1 ada di lantai 3. Sampai di tangga, Jaemin langsung naik tanpa menyapaku.

Sudahlah Mark. Tinggalkan dia sendiri untuk sementara waktu.

Jaemin memang tipe orang yang seperti itu. Lebih banyak diam saat mendapatkan masalah. Berbeda dengan orang lain yang cenderung menceritakan masalahnya pada orang lain untuk menemukan solusi, dia lebih suka merenung dan menunggu seseorang bertanya padanya. Tapi itu tidak pengaruh padaku. Karena aku tidak suka bertanya maka kebiasaan itu tidak berlaku padaku. Aku adalah pengecualian.

"Hey, Jisung. Mamamu dimana?"

Baru pada saat jam makan siang aku pergi ke kelasnya karena gambaran wajahnya yang murung terus mengganggu kegiatan belajarku selama beberapa jam kebelakang ini. Kenapa aku harus peduli padanya? Karena aku temannya tentu saja. Seberusaha apapun aku untuk tidak peduli, aku tidak pernah benar-benar bisa mengabaikannya.

"Hi, Mark Hyung. Aku tidak tahu. Sejak bel dia pergi dan aku tidak menemukannya di manapun di kantin."

"Oh benar, biasanya dia menyuapimu."

Namja kecil di depanku itu merotasikan matanya malas. Salah satu teman dekat Jaemin di kelas saja tidak tahu, maka kemana lagi harus bertanya? Aku melihat Donghyuk di ujung kelas, duduk di sebelah tempat duduk Jaemin. Aku mendekatinya, ragu.

"Hi, Donghyuk."

"Oh! Hi, Mark Sunbae."

"'sunbae'?"

"Oh ya, sekarang kita di sekolah bukan? Sepertinya aku harus sopan padamu jika di sekolah."

Aku hanya mengangguk saja. Kududukan pantatku di kursi Jaemin. Tidak ada seorangpun yang menatapku heran karena aku sudah terbiasa berkunjung ke kelas itu.

"Kau lihat Jaemin?"

"Tidak setelah bel jam makan siang berbunyi. Sepanjang hari dia melihat ke lapangan terus tanpa memperhatikan pelajaran. Kira-kira kenapa dia?"

"Molla.Lain kali kalau dia begitu lagi, abaikan saja."

"Yaa… selama beberapa saat yang lalu aku memang memilih untuk diam. Hey, sunbae sudah makan siang?"

Tunggu, apa ini sebuah sinyal? Kenapa dia bertanya begitu?

Jantungku berdebar lebih cepat lagi.

"Belum. Mau makan denganku?"

Dan senyumannya yang jenaka serasa mengubahku menjadi lilin yang mencair.

.

Sebentar lagi akan ada kejuaraan olahraga tingkat regional. Klub sepak bola dan seluruh elemen olahraga di sekolah jadi super sibuk karenanya. Aku, kapten tim sepak bola tentu jadi salah satu yang paling sibuk. Mengkoordinasikan ini dan itu pada pelatih, pada guru, dan mengatur tim agar tetap menjadi satu bagian yang utuh bukan masalah gampang.

Kami berlatih mulai dari pulang sekolah sampai matahari tergelincir di langit barat. Benar-benar menguras tenaga yang tidak sedikit.

Kuteguk dengan ganas air minum yang kubawa dari rumah. Tubuhku rasanya terbakar oleh keringat yang menetes dari pori-pori kulitku sendiri.

Bugh!

Nyaris aku menjatuhkan botol minum dan tersedak saat seseorang dengan sengaja menyenggol bahuku.

"JENO!"

"Aish, Mian kapten…"

Salah seorang striker yang kuandalkan di tim ternyata jadi pelakunya. Dia menyengir tanpa dosa, mengadahkan tangannya padaku. Tanpa bertanya, kuberikan botol minumku yang isinya tidak sampai setengah padanya.

Senyuman bodoh terpampang di wajahnya saat menerima botol minum itu.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya. Aku menoleh padanya. Bingung ingin menjawab apa.

"Tidak…"

"Tentang Donghyuk atau teman kecilmu itu?"

"Yah! Sudah berapa kali kubilang, namanya Jaemin. Donghyuk saja kau ingat masa Jaemin tidak?"

Lalu senyuman nakal menggantikan senyuman bodohnya. Kurang ajar orang yang satu ini. Apa yang sedang dia pikirkan adalah hal yang sangat ingin kuketahui sekarang.

"Ya baiklah. Jadi kenapa dengan Jaemin?"

"Aku tidak tahu. Beberapa hari ini dia diam terus."

"Mungkin ada masalah." Jawabnya enteng. Kalau itu aku juga tahu, mata sipit!

Aku menghela napas. Ini sudah tiga hari sejak dia mendiamiku, tidak! Mendiami semua orang. Bahkan begitu Jisung, anaknya sendiri.

Ada beberapa waktu saat dia berdiam diri selama ini. Pertama, saat neneknya meninggal. Kedua, saat kelincinya, si Pico, mati. Ketiga, saat Huk, burung hantuku mati. Jadi, siapa lagi yang mati sekarang? Aku tidak ingat dia memelihara binatang lagi sejak Pico mati.

"Biasanya dia akan langsung cerita padaku setelah beberapa saat. Ini benar-benar mengganggu."

"Mungkin sekarang sudah saatnya kau yang tanya duluan."

Kutatap Jeno. Apa yang laki-laki itu coba sampaikan dari kalimat itu? Aku tidak mengerti. Jeno tahu persis bagaimana sifatku yang sangat anti memulai sesuatu apalagi pembicaraan.

"Haruskah?"

Jeno mengangguk pasti. Ia meletakkan botol minumku yang kosong di samping. Istirahat kami sudah selesai, kami harus mulai latihan lagi.

.

Jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul sembilan. Sambil berharap cemas, aku menatap balkon kamar di seberang sana. Seharusnya sejak sore Jaemin sudah di sana. Duduk di kursi sambil membaca buku catatannya. Tapi sejak beberapa hari yang lalu kebiasaan itu tidak lagi terlihat. Kamarnya terang benderang, dia pasti sudah masuk ke kamar itu namun aku melewatkannya.

Aku masih duduk di depan jendela. Berharap dia segera kembali ke kamarnya.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Pesan dari Donghyuk. Oh! Apakah menjauhnya Jaemin darinya membuatnya kesepian hingga berakhir mendekatiku? Terimakasih Tuhan…

Kami bertukar pesan cukup lama. Berbasa-basi tentang bagaimana latihan sepak bolaku dan bagaimana latihan pianonya. Ya, dia cukup baik memainkan piano dan suara benar-benar bagus. Aku menyukainya. Menyukai suaranya, dan menyukai orangnya tentu saja.

Brak!

Suara mengglegar pintu yang ditutup –dibanting- membuatku terlonjak. Sudah pasti suara itu bukan berasal dari rumahku, semua orang disini sudah tidur. Aku melihat keseberang. Benar saja, Jaemin masuk ke kamar dengan wajah sembabnya. Ia membanting tubuhnya sendiri ke kasur seakan membanting pula semua bebannya.

Beberapa saat kemudian dia masih berbaring di tempat tidur tanpa gerakan berarti kecuali getaran yang kuyakini sebagai salah satu dari bentuk 'tangisan'.

"Jaemin-ah!" aku memanggilnya. Namun dia tak mempedulikanku.

"Jaemin-ah!" aku kembali memanggilnya dengan suara yang lebih keras. Oh, sekarang aku tahu bagaimana rasanya diacuhkan. Hebat sekali Na Jaemin.

Kulihat dia bangkit dari posisi berbaringnya, langsung menghadap padaku.

"Hei, kau menangis?"

Tiba-tiba dia bergerak cepat keluar kamar. Menapaki balkonnya dengan mata yang merah melotot. "Kecilkan suaramu!"

"Ayolah, keluarga kita sudah biasa dengan suara percakapan kita."

"Tidak untuk sekarang!"

Keheningan menyelimuti kami berdua. Jarak yang lumayan jauh -5 meter- membuatku bingung untuk bicara dengan suara pelan. "Turun. Kita bicara." Ucapku final.

.

Sebuah taman kecil yang dibuat kedua orang tua kami tepat di antara rumah menjadi tempat paling sering untukku dan Jaemin menghabiskan waktu saat kecil. Hanya pagar tumbuhan sebatas pinggang yang membatasi kedua rumah kami, dengan pintu kayu –yang sebenarnya tidak berguna karena kami bisa melompati pagarnya- diantara pagar itu. Disanalah kami sekarang.

"Aku benar-benar ingin melakukannya." Ucap Jaemin putus asa.

"Kau harus bujuk ibumu lebih keras lagi. Tapi, sungguh aku benar-benar terkejut."

"Aku juga. Ini pertama kalinya aku ditawari hal lain selain belajar. Rasanya, agak asing tapi aku ingin mencobanya."

Jaemin bilang, dia ditawari untuk mewakili sekolah dalam lomba lari tingkat regional karena catatan sprinternya yang melebihi anggota ekskul lari. Kuakui, sejak kecil larinya Jaemin benar-benar kencang apalagi dengan tubuhnya yang kecil itu. Tapi aku tidak berpikir Ia benar-benar tertarik pada lari karena setiap saat yang dilakukannya hanya belajar.

Bukan aku tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu. Na Ahjumma selalu menyuruhnya belajar dan belajar. Beliau orang yang sangat menjunjung tinggi pendidikan dan tidak ingin Jaemin jadi orang bodoh. Dan Jaemin tidak pernah menolaknya sama sekali. Malah, kulihat dia menikmatinya.

Saat Jaemin bilang ingin mencoba lomba lagi, ibunya tidak mengijinkan. Katanya hanya buang waktu dan tenaga. Ternyata itu yang membuatnya murung beberapa hari ini.

"Mark, aku ingin mencobanya. Aku ingin lari. Rasanya penat melihat tulisan setiap saat. Aku ingin…"

"Arra. Ayo kita coba bujuk sama-sama. Otte?"

Matanya membulat senang. Lucu sekali. Aku berusaha menahan tanganku tetap di tempatnya dan tidak dengan seenak jidat mencubit pipi Jaemin.

"Jeongmal?"

Aku mengangguk pasti. "Tapi dengan satu syarat."

Lalu, wajah Jaemin kehilangan senyum lucunya.

Hahaha! Tidak ada yang gratis di dunia ini anak muda!

.

Tidak ada yang tidak bisa dilakukan seorang Mark Lee. Semua orang harus mengakui itu.

Sungguh, aku tidak bisa berhenti membanggakan diriku sendiri untuk usaha yang sudah kulakukan untuk Jaemin. Aku memohon, dan membujuk Na ahjumma seakan-akan kehilangan harga diriku. Bahkan aegyo kulakukan di depannya agar wanita itu mengijinkan Jaemin ikut lomba lari. Apa lagi yang kurang dariku ini untukmu, Jaemin-ah?

Sekarang, di lapangan sepak bola ini, aku melihatnya berlatih dengan anggota klub lari lainnya di pinggir lapangan. Tentu saja dia sangat senang karena akhirnya punya kesempatan untuk melakukan apa yang disukainya. Terbukti dari bagaimana cara anak itu menatap pelatih seakan-akan siap memeluknya setiap saat.

"Yuhu… Jadi teman kecilmu ikut lomba lari?"

Tiba-tiba si sipit Jeno menyenggol bahuku. Ingin sekali kuabaikan dia. Tapi semakin diabaikan, Jeno pasti akan semakin menjadi. Sifat yang sama dengan Jaemin.

"Begitulah. Ternyata itu yang membuatnya murung akhir-akhir ini. Ibunya tidak mengijinkan dia ikut lomba."

"Jinjjaaaaaa?"

Apa-apaan pertanyaan itu? Aku menoleh lalu melemparkan tatapan tajam pada Jeno yang cekikikan. Dia seperti tidak peduli dengan apa yang membuat Jeno murung. Malah sepertinya dia hanya ingin menggodaku saja.

"Lalu, kau membantunya?"

"Yep! Sebagai teman yang baik aku ikut meyakinkan ibunya."

"Teman yang baik?"

Jeno menyipitkan matanya penuh selidik.

"Ok ok, aku meminta imbalan padanya."

"Apa?"

"Membantuku kencan dengan Donghyuk."

Setelah mengatakannya, aku segera berlari menjauh. Melanjutkan latihanku tanpa ingin mendengar responnya.

Sekali lagi, kulihat ke luar lapangan. Kali ini mataku bertemu dengan Jaemin yang juga melihatku. Namja itu dengan bodohnya melambaikan tangan padaku. Ugh!

.

Latihan selesai saat hari sudah malam. Gedung sekolah jadi terlihat lebih angker dari biasananya karena bulan purnama terlihat bulat tepat di atas atap. Angin musim panas berhembus, dingin. Aku berusaha menekan rasa takutku demi sebuah buku catatan yang berisi materi ulangan untuk besok.

Lorong menuju kelas memang terang oleh lampu, tapi kelas-kelas di sebelahnya tetap gelap. Hal itu membuatku tak berani menoleh. Jaemin sialan, dia tidak mau mengantarku ke kelas karena alasan capek. Kalau dia minta bantuan lagi, jangan harap aku akan menolong.

Setelah berhasil mengambil buku catatanku, aku segera keluar dari kelas. Tidak mau aku berlama-lama dalam gedung menyeramkan itu.

Ting! Ting!

Tapi tiba-tiba langkah kakiku terhenti oleh suara piano yang dipencet asal. Aku menoleh kebelakang. Lorong di belakangku itu tiba-tiba terlihat lebih panjang dari biasanya. Jalan yang berujung pada sebuah ruang musik yang kuyakini sebagai asal dari suara piano itu.

Kakiku gemetaran, keringat mulai mengalir dari dahiku kala suara piano itu berubah menjadi sebuah lagu yang padu. Selama ini tidak pernah aku mendengar ada hantu di ruang musik. Ruangan itu digunakan seriap hari, jadi sepertinya tidak mungkin ada penunggunya. Atau, aku akan jadi korban pertama?

Astaga memikirkannya saja nyaris membuatku kehilangan kesadaran.

Ngomong-ngomong tentang kesadaran, entah sejak kapan aku ada di depan ruang musik ini. SHIT! Siapa yang memindahkanku kesini!? Aku ingin berteriak dan mengumpati setiap hantu yang mungkin memindahkanku secara ajaib ke sana, tapi kalau diingat lagi, aku sendiri yang berjalan kemari sambil melamun.

Ruangan itu terang. Aku memutuskan untuk mengintip dari celah pintu yang terbuka sambil berharap hantunya tidak dengan tiba-tiba muncul di balik sana.

Seseorang duduk memunggungiku. Rambutnya pendek, khas anak laki-laki. Punggungnya lumayan lebar begitu pula pundaknya.

"Donghyuk?"

Namja itu langsung menoleh. Terkejut dengan keberadaanku di depan pintu. Aku tidak takut-takut lagi mengintip. Kudekati dia.

"Sunbae? Baru selesai latihan?" tanyanya. Aku mengangguk saja.

"Kau kenapa masih disini?"

"Ekskul musik juga baru saja selesai. Aku belum mau pulang, makanya masih disini."

Donghyuk tidak mengalihkan pandangannya dariku. Tapi, sikapnya juga biasa saja.

Kecanggungan terasa kental di sini. Berbeda dari chatting di ponsel, berhadapan langsung dengannya membuatku grogi. Jujur saja.

"Permainan keyboardmu bagus. Tapi, memainkannya malam-malam begini agak…"

"Hahaha… aku sudah tahu. Maaf membuatmu takut."

Donghyuk lalu mengisyaratkanku untuk duduk di sebuah kursi dengan matanya. Duh! Jadi aku harus lebih lama bersamanya? Apa kabar jantungku ini?

Tangan Donghyuk kembali menekan tuts keyboard, memainkan sebuah lagu milik Yiruma yang aku lupa apa judulnya. Dilihat dari bagaimana dia memainkan benda itu, aku yakin dia telah mempelajarinya sejak lama. Aku jadi penasaran apa yang sering dilakukan Donghyuk selain ini, apa yang disukainya, apa yang tidak disukainya. Aku ingin tahu semua hal tentang dia.

"Aku mulai belajar piano sejak kelas 3 sekolah dasar. Belum terlalu lama 'kan?" seakan bisa membaca pikiranku, tiba-tiba Donghyuk mengatakan kalimat itu.

"7 tahun itu lama. Lagi pula permainanmu bagus."

"Gomawo." Ia tersenyum tanpa menatapku karena fokus pada keyboardnya.

Betapa beruntungnya aku memiliki momen ini dengannya. Tebak berapa orang di luar sana yang menginginkan hal yang sama tapi tak tercapai. Sejenak, aku merasa jadi orang paling beruntung di dunia karena kehadiran Donghyuk.

"MARK!"

Teriakan melengking disertai bunyi pintu yang dibuka paksa –mungkin sebenarnya ditendang- membuat aku dan Donghyuk menoleh. Menemukan Jaemin di sana dengan napas terengah dan mata yang menyalak marah.

"Kenapa kau disini? Aku sudah menunggumu dari tadi tahu!"

Jaemin-ah, kenapa kau muncul di saat seperti ini sih? Oke, aku tahu aku salah karena lebih memikirkan diriku sendiri, yang mungkin seharusnya bisa menikmati waktu berdua lebih lama dengan Donghyuk –tapi kau mengacaukannya- ketimbang memikirkanmu yang sudah menungguku.

"Jaemin, kau disini juga?" Donghyuk yang melihat teman sebangkunya terengah segera mendekatinya.

"Aku menunggu Mark, eh dia malah ada di sini denganmu."

Saat Donghyuk mengalihkan pandangannya padaku, aku langsung beralih. Tidak ingin berpandangan dengan matanya yang penuh tanya.

"Ah! Begitu."

"Donghyuk sedang apa disini?"

"Aku baru saja selesai ekskul musik. Kau baru selesai latihan lari?"

"Hah! 'Baru' apa, ini sudah satu jam lebih sejak Kim Saem menyuruhku istirahat."

Aku hanya bisa mendengarkan mereka tanpa berkata apa-apa.

"Eih... lihat Jae, Mark Hyung lebih memilih duduk disini bersamaku."

"Tanpa kau bilang pun, aku sudah tahu. Ah! Kalian berdua menyebalkan!"

Setelah itu Jaemin keluar dari ruang musik dengan langkah kaki lebar-lebar. Menggema suaranya di sepanjang lorong kosong jam 7 malam. Aku dan Donghyuck tertawa melihat tingkahnya yang kekanakan. Aneh, padahal biasanya aku akan kesal melihat Jaemin yang manja, tapi bersama Donghyuck semua hal di sekitarku jadi terlihat lucu. Apakah ini efek dari jatuh cinta?

.

Biasanya aku dan Jaemin lebih sering menghabiskan waktu di taman atau di kamarku. Namun, kali ini aku mengalah karena dia sepertinya masih kesal untuk kejadian tempo hari. Karena kejadian itu kami tidak jadi pergi membeli sepatu lari baru untuknya. Hasilnya aku harus merayunya dengan iming-iming sepatu lari lamaku –yang sebenarnya tak pernah kupakai.

Aku tiduran di kasurnya sementara Jaemin sibuk mengerjakan PR yang katanya sangat banyak.

"Donghyuck itu orang yang bagaimana?"

"Hyung, aku sedang mengerjakan tugas."

"Donghyuck itu orang yang bagaimana?"

Jaemin langsung memutar kursi belajarnya menghadapku. Terlihat sangat kesal dengan pertanyaan yang tak pernah kuganti karena tidak pernah ia jawab.

"Annoying, berisik, dan segala macam yang jelek-jelek."

"Yah! Kenapa kau menjelek-jelekkannya di depanku?"

"Salah siapa tanya terus saat aku sibuk. Kalau Hyung ingin tahu, cari tahu saja sendiri."

Jaemin kembali terfokus ke PR-nya. Mengabaikanku setelah itu.

"Kau sudah janji untuk membantuku Na Jaemin."

"Kalau kau benar-benar mengharapkan bantuan terbaik dariku, maka hanya ada satu," Dia menarik napasnya lalu kembali bicara. "Lupakan saja dia."

"Gzzz... menyesal aku membantumu ikut latihan lari."

Menyebalkan. Jaemin menyebalkan. Aku mulai emosi padanya. Jadi, aku memilih untuk pergi. Terserah jika hubungan kami buruk lagi. Dia yang membuatnya seperti ini.

Mark Pov End.

.

Jaemin Pov.

Pagi ini aku menunggu Mark lebih awal di depan gerbang. Sekaligus berencana untuk minta maaf atas perkataanku semalam. Baru kusadari apa yang sudah kukatakan saat dia pergi. Sekarang Mark pasti sangat kecewa padaku karena janji yang sudah kuingkari. Tapi, bagaimana lagi? Aku terlanjur kesal padanya yang setiap saat membicarakan Donghyuck.

Sudah setengah jam aku menunggu. Sepedanya, batang hidungnya, atau apapun yang berhubungan dengannya tak juga muncul dari rumah di sebelahku itu. Kekhawatiran mendorongku untuk menghampiri rumahnya.

"Lho, memang Mark tidak bilang padamu kalau dia ada latihan lagi?"

"Latihan pagi?" aku tidak pernah mendengar ada latihan pagi untuk tim sepak bola.

"Jaemin, ini sudah 5 menit sebelum sekolahmu mulai lho."

Peringatan ibu Mark sukses membuatku membulatkan mata. Setelah berpamitan, dengan buru-buru aku lari ke sekolah. Syukurlah aku punya bakat lari yang bagus.

Masuk lewat celah gerbang yang nyaris ditutup bukan perkara mudah. Terlambat sedetik saja aku pasti sudah terjepit diantaranya. Tapi, tentu penjaga tidak akan sekejam itu padaku.

Lapangan sepak bola telah ramai. Ternyata bibi benar. Mark tengah berlatih pagi disana bersama tim sepak bola. Sebagai seorang kapten, perannya terlihat menonjol di lapangan hijau. Mengalahkan sang bintang lapangan, Lee Jeno. Atau mungkin hanya perasaanku saja.

Sepertinya tim itu akan sedikit melewatkan jam pelajaran paginya. Terbukti dari bagaimana pelatih mengabaikan bel tanda pelajaran dimulai yang baru saja berbunyi. Aku berlalu. Tak ingin kena marah guru fisika yang saat ini mungkin sedang berjalan lebar-lebar menuju kelasku.

.

Begitu bel tanda pelajaran usai berbunyi, aku langsung bergegas menuju lapangan. Kali ini ditemani anakku, Jisung, yang sedang libur ekskul dancenya. Padahal sih sebenarnya dia mau lihat duo China yang sedang latihan panahan di dekat trek lari.

Pelatih masuk ke lapangan beberapa saat setelah aku dan anggora tim lari lainnya selesai melakukan pemanasan. Hari ini adalah penentuan empat orang yang akan maju sebagai tim estafet. Aku menginginkan salah satu posisi dari empat orang itu. Menurutku, lari estafet adalah yang paling tepat untuk seorang pelari pemula sepertiku.

"Aku akan umumkan lomba yang akan kalian ikuti. Hina, Kim Yoo Jung, Lee Chan, dan Yoon Sanha."

He, kenapa aku tidak disebut? Ah, apa usahaku kurang keras selama beberapa hari ini untuk menunjukkan pada pelatih bahwa aku mampu ikut dalam lomba walau pemula? Apa aku akan dikeluarkan dari daftar anak yang ikut lomba?

"Choi Hansol, sprint. Kim Sohye, lari jarak menengah. Dan yang terakhir Na Jaemin, lari maraton tiga kilometer. Setelah ini-"

"AH! Tunggu Saem! Aku apa? Aku dapat apa?"

"Maraton. Sudah, setelah ini kita akan mulai intensive ke bidang masing-masing. Ada bantuan dari para alumni yang dulu ikut perlombaan lari juga. Mereka akan mengawasi kalian satu-persatu. Kkeut!"

Aku kehilangan seluruh kekuatanku untuk bicara. Belum lagi saat seorang noona bertubuh seksi menghampiriku dan mengajakku untuk mulai latihan. Dia adalah tutor private-ku. Kata pelatih. Tapi, bagaimana bisa aku berlatih dengan seseorang yang bukannya fokus melatihku melainkan sibuk menggoyangkan dada pan pantatnya kesana-kemari? Sekarang kami berdua jadi pusat perhatian anggota lain bahkan dari cabang olahraga lain. Aku khawatir idolanya Jisung –Chen Lee dan Renjun- akan melesatkan anak panahnya ke arah yang salah.

Tim sepak bola menghentikan sejenak latihan mereka. Terbukti dari sorakan mesum yang mereka keluarkan setiap aku dan pelatihku berlari mendekati mereka. Berusaha setengah mati kujaga wajahku untuk tetap tenang. Tapi, aku terlampau malu. Kulirik gerombolann tim sepak bola itu. Mark ikut bersorak keras seakan tidak ada hari esok untuk mengeluarkan suaranya.

Dia benar-benar...

"Kenapa aku di cabang yang ini? Kurasa Vernon lebih cocok, Saem."

Setelah latihan selesai begitu matahari jatuh ke Barat, aku langsung mendekati pelatih demi menuntaskan rasa penasaranku.

"Dia sudah ikut maraton tahun lalu dan tidak mau melakukannya lagi. Sepenglihatanku, lari dan napasmu cukup oke, jadi aku memilihmu di cabang ini."

"Tapi, Saem. Aku pemula."

"Tidak ada hubungannya pelari pemula atau lama. Asal kau rajin latihan, pasti bisa." Pelatih menepuk pundakku sekilas. "Cepat pulang dan istirahatkan tubuhmu. Besok kita latihan lagi."

"Ye Saem!"

Aku tidak bisa seperti ini. Aku butuh Mark untuk berbagi.

Bicara tentang laki-laki itu, dimana dia? Lapangan sudah kosong. Entah sejak kapan.

Selama latihan tadi, Mark tidak sedikitpun menyapaku. Melirik saja tidak. Sedih rasanya diperlakukan demikian. Memang aku yang salah. Tapi, tetap saja...

Kudatangi ruang klub sepak bola. Terdengar ramai disana.

"MARK!"

"ASTAGA!"

"Cabul!"

Pemandangan memalukan langsung terpasang sempurna begitu pintu ruang klub Mark kubuka. Sebelumnya aku sudah mengetuk benda persegi panjang itu, namun tidak seorangpun menggubrisnya. Aku kehilangan kesabaran sampai-sampai akal sehatku ikut hilang.

Kumpulan namja yang tengah ganti baju membuatku mematung. Tentu saja aku akan biasa saja jika mereka hanya ganti baju biasa. Tapi... aku tidak mengerti kenapa klub sepak bola ganti baju sampai buka celana dalam. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu...

"Wah... teman kecilnya Mark." Tiba-tiba seseorang yang tidak ikut membuka bajunya, yang duduk di pojokan bersama Mark yang telanjang dada –shiiit!-, buka suara. Aku tidak terlalu mengenalnya. Jeno, biasanya Mark mengucapkan nama itu di beberapa kesempatan saat ia ingin kabur dari janjinya bersamaku.

Beberapa saat setelah itu, pintu di depan wajahku ditutup. Bersamaan dengan itu, Mark menarikku pergi dari ruang klub sepak bola ke lorong terdekat dengan seragam tersampir manis di bahu. Dia masih telanjang. Tapi, masih pakai celana. Aduh! Aku berpikir apa?

"Kau ini apa-apaan!?" terdengar kekesalan dari nada bicaranya. Setelah apa yang telah kuperbuat semalam, kejadian barusan tentu membuatnya semakin kesal padaku. "Membuka pintu tanpa izin itu tidak sopan, Jaemin."

"Tadi aku sudah mengetuk kok. Kalian tidak mendengarnya." Belaku.

"Tapi tetap saja kau salah. Kenapa tiba-tiba membuka pintu dan berteriak begitu? Meneriakan namaku lagi. Duh! Sekarang aku yang malu tahu!"

Aku terdiam. Awalnya aku ingin bertemu Mark untuk mengajaknya pulang bersama dan meminta maaf. Tapi semua tinggal rencana. Berkata saja aku tidak berani. Sekarang aku menundukkan kepalaku sebagai cerminan dari penyesalanku.

Anggota tim sepak bola satu-persatu keluar dari ruang mereka untuk pulang. Pandangan geli dan nakal mereka mengusikku. Aku sadar jadi satu-satunya orang yang malu karena kejadian tadi. Dan Mark.

Jeno sejenak menepuk pundak Mark dan bertukar pandang denganku sebelum akhirnya mengikuti yang lain untuk pergi.

"Maafkan aku."

"Ya sudahlah. Mereka juga sepertinya tidak menganggapnya serius."

Mark memakai seragam atasannya di hadapanku sebelum akhirnya berjalan kembali ke ruang klub. Setelah mengambil tas, ia kembali.

"Ayo pulang."

Sebuah ajakan yang tak terduga.

Aku hanya mengikutinya. Tak menolak.

.

Author Pov.

Kamar Mark menjadi tempat selanjutnya Jaemin berada setelah selesai makan malam bersama keluarganya. Ia membawa serta ponselnya yang dia janjikan pada Mark saat perjalanan pulang tadi.

Dalam ponsel itu ada puluhan bahkan ratusan foto Donghyuck yang didambakan Mark. Donghyuck memang sering memakai ponselnya untuk selfie. Dia narsis di depan semua ponsel teman sekelasnya, lebih tepatnya.

"Ouh... manisnya!" Kata sejenis sudah satu jam ini Mark lontarkan dari bibirnya sementara tangannya sibuk mengotak-atik ponsel Jaemin.

"Mark, apa aku pernah bilang kalau wajahmu kadang-kadang menggelikan?"

"Aku selalu tampan, Jaemin. Jangan mengada-ada." Ucap Mark tanpa mengalihkan pandangan dari layar datar di hadapannya.

"Kalau saja kau bisa melihat wajahmu sekarang..."

Mark tidak menggubrisnya lagi. Terlarut dalam keimutan Donghyuck di ponsel Jaemin sampai-sampai tidak menyadari tatapan lurus yang orang lain dalam kamar itu yang ditujukan padanya. Dia tidak pernah sadar bahwa tatapan itu telah ratusan kali sahabatnya tunjukkan padanya.

Mereka berteman sejak kecil. Usia Mark 5 tahun saat baru pindah dari Kanada ke tempat ini. Saat itu, Jaemin adalah satu-satunya anak kecil yang tinggal di kompleks itu. Ia tidak punya teman bermain selain sekop dan ember yang sering dia pakai untuk membangun istana di kotak pasir.

Pertemuan pertama bukan di depan rumah, bukan di pekarangan belakang, tetapi sebuah pohon tua yang tumbuh di taman kompleks menjadi saksi bisunya. Saat itu Jaemin masih menenteng ember dan sekop pasir, teman kesayangannya, tatkala melihat seorang anak laki-laki asing sedang berusaha memanjat pohon besar di dekat kotak pasir.

"Hyung, jangan naik pohon. Tidak boleh!" celoteh Jaemin kecil.

"Berisik kamu! Aku mau tangkap squirrel di atas!" jawab Mark yang baru saja bisa mengucapkan huruf 'r' dengan benar. Mendengar cara bicara Mark, Jaemin langsung terpesona. Namja kecil itu segera meletakkan mainannya di tanah.

"Sekuilel, apa itu?" Mata kecil Jaemin berbinar-binar menunggu jawaban Mark.

Mark kecil tidak tertarik dengan laki-laki kecil asing itu. Dia lebih tertarik pada tupainya.

"Hei, kamu, ayo berlutut disini."

Jaemin melakukan apa yang disuruh Mark tanpa protes. Saat itu ia langsung bertumpu pada tangan dan lututnya. Lalu, Mark menapaki punggungnya dengan kejam. Tentu Jaemin kecil merasa kesakitan. Ia langsung menegakkan tubuhnya tanpa memikirkan Mark yang masih berdiri di atas punggungnya.

Mark terjerembab ke tanah. Seketika dia mimisan. Tapi, Jaemin adalah seorang yang menangis keras melihat darah keluar tanpa ampun dari kedua lubang hidung 'teman barunya'. Ia takut temannya akan pergi dan dia akan sendirian lagi.

Maka dari itu dia menarik Mark berlari ke rumahnya dan mengadu pada ibunya. Jaemin langsung mendapat jeweran menyakitkan dari sang ibu saat melihat kondiri Mark, anak asing yang tiba-tiba dibawa anaknya pulang ke rumah. Setelah mengobati Mark, Ibu Jaemin menanyai letak rumah teman anaknya itu. Mark tanpa ragu menunjuk rumah yang berdiri di samping rumah Jaemin.

"Pasti anakku yang nakal. Aduh, Jaemin sampai nangis begitu." Ibu Mark menyambut kedatangan anaknya dan tetangga sebelah dengan keterkejutan. Apalagi melihat kapas tersumpal di hidung putranya dan tangisan bocah asing yang bersembunyi di balik punggung ibunya.

"Tidak. Jaemin menjatuhkan Mark." Balas Ibu Jaemin.

"Tapi, aku sih yang minta bocah itu berlutut di tanah lalu aku menaiki punggungnya. Terus, dia tiba-tiba berdiri dan aku terjatuh. Dia laki-laki payah."

Setelah itu tidak ada seorangpun yang menganggap Mark bocah baik. Dia adalah bocah yang nakal.

Meski begitu, Jaemin punya pandangan berbeda. Tidak peduli sebanyak apa dia jadi korban kenakalan sahabatnya, dia selalu memandang Mark dengan sama. Sebagai seseorang yang dia kagumi. Alasan kekaguman itu mungkin awalnya hanya karena Mark bisa mengucapkan huruf 'r' dengan baik dua belas tahun lalu, namun sekarang alasan kekagumannya semakin bertambah. Sampai Jaemin tidak bisa menyebutkannya lagi. Baginya Mark selalu melakukan sesuatu yang patut dia kagumi.

"Kapan kaurencananya mengajak Donghyuck kencan?"

"Hah?"

Pertanyaan Jaemin sukses membuat Mark melepaskan pandangan dari layar datar ponsel. Dia terlihat ragu dengan apa yang baru ia dengar.

"Kalau tidak salah, seminggu lagi dia akan ikut kompetisi piano. Bagaimana kalau sebelum itu? Kau bisa menyemangatinya."

"Jaemin, kau ini kenapa? Tiba-tiba menawarkan surga seperti itu..."

Jaemin hanya tertawa kecut. Sakit tapi gak berdarah. Begitu kalimat trennya sekarang.

"Hanya ingin membayar hutangku saja."

Sejenak, Mark berpikir. Apakah ini terlalu terburu-buru atau tidak.

"Baiklah. Berhubung kau juga yang menawarkannya."

Tak ada yang mereka bicarakan atau lakukan untuk beberapa saat. Kehampaan datang bersamaan dengan badai pikiran dalam kepala Jaemin.

"Tapi, aku punya satu permintaan." Ucap Jaemin.

"Hei! Ini tidak adil. Kita 'kan sudah sepakat tentang perjanjian ini sebelumnya."

Jaemin menggeleng. "Permintaan ini berbeda."

"Ya sudah cepat katakan."

"Lihat perlombaan lariku. Harinya sama dengan kompetisi piano Donghyuck, tapi lombaku sore hari. Aku ingin kau disana." Aku ingin kau lihat bahwa aku juga punya sesuatu untuk dikagumi.

"Tentu saja aku akan disana. Pegang janjiku!"

Janji kelingking. Satu-satunya hal manis dari pertemanan mereka sejak kecil adalah janji ini. Tidak pernah ada yang berani mengingkari. Keduanya sama-sama sadar bahwa janji adalah tanggungjawab. Sesuatu yang harus mereka lakukan.

Jaemin menyambut jari kelingking Mark.

"Terima kasih, Hyung."

.

.

TBC

.

A.N.NEW FF! MARKMIN! Akhirnya kesampaian juga nyelesain FF ini. Percayalah, FF ini aku buat bareng To You Johnten Ver. Lama kaleeeee... aku tuh rada bingung sama konfliknya. Secara mereka masih minor, kalau masalahnya terlalu berat kayanya belum sesuai. Jadi, aku mencoba mencocokkan sama diriku yang sekarang. Yang GAK NGERTI CINTA. Eeeeh...

Anak SMA mana tahu sih cinta sejati tuh macam gimana. Adanya juga paling kekaguman yang akhirnya nanti makin besar, makin besar terus pada saat yang tepat akan mereka sadari bahwa perasaan itu benar-benar perasaan yang disebut cinta. Cieeeey~

OOT dikit, aku dengar kemarin ada sedikit masalah. Yah, masalah couple sebelah sih. Aku juga gak terlalu paham. Tapi, sayang banget deh kalau sampai ada masalah ginian. Enak tuh kalau damai, bikin FF NCT banyak-banyak terus di post dengan adem... hem...

Hope You Like It ^^