Author's note:

MikoRei Week 2016 day 7: Reunion, with a bit prompt from one of 7 sins: Greed-yet I guess you wouldn't find it anywhere #slapped. Well... it's sad to say goodbye to MikoRei Week 2016, have been following the event since 2014, yet I never get tired nor get enough of this lovely pairing. Thank you for reading this piece, and let us meet again on the next fiction!


...


K Project (c) GoRa & GoHands

SEVEN SINS' KALEIDOSCOPE ~Kiss of Reincarnation~

Dedicated for MikoRei Week 2016, Day 7: Reunion

.

"Selamat datang kembali, Reishi."

.

.

.

.

.

Ketika Suoh Mikoto kembali merasakan kakinya menjejak menapaki tanah, dimensi putih dengan kepingan pecahan kaca yang mempertontonkan masa lalunya itu perlahan memudar. Bagaikan tirai panggung yang tersibak terangkat. Meski kedua matanya sendiri tidak dapat lepas dari sepasang ungu yang tengah memperhatikan keping-keping itu membumbung mengangkasa. Ada rindu, nostalgia, yang terpancar dari sirat wajah menyungging senyum tipis itu. Seolah Munakata Reishi masih belum ingin berpisah dengan semua gambaran kenangan itu. Membuatnya tidak mampu menahan untuk mengulas satu lengkung bibir yang sama.

"Jangan khawatir, Reishi. Kita akan membuat kenangan baru di kehidupan yang baru."

"Hmm. Tentu saja. Selama di kehidupan selanjutnya nanti, kau tidak menyimpan skenario merepotkan lainnya yang akan membuatku menjalani alam kematian tanpa ketenangan seperti ini lagi."

Satu kecupan didaratkannya di antara helai-helai biru langit malam itu. "Kau pegang janjiku."

"Sementara kau adalah pembual kelas paus, Mikoto. Bagaimana aku bisa mempercayaimu setelah janji-janji yang tidak bisa kau tepati selama ini?"

Kata-kata yang pedas, namun ia tahu pria itu tidak bermaksud untuk menyakitinya. Kenyataannya, senyum itu semakin merekah di bibir Reishi. Tanpa sindir. Tanpa cela. Tanpa intimidasi.

Ia menyeringai. "Aku hanya tinggal membuktikannya padamu bahwa aku bisa menepati janjiku."

Detik berikutnya, pandangannya dan laki-laki itu sama-sama beralih. Alam kematian yang semula terasa begitu suram mencekam, kini seperti menampakkan wajah aslinya. Langit malam hitam sempurna yang bertaburan bintang, menaungi di atas kepala. Padang rumput dandelion yang bergoyang tertiup angin segar berhembus. Lentera-lentera kecil, begitu cantik bagai kunang-kunang menari, menerangi setiap sampan yang tengah mengarung permukaan sungai, melaju perlahan hingga memasuki gerbang torii raksasa yang membentang membingkai tepian sungai dengan tinggi menjulang ke langit, tidak jauh di depan sana yang menjadi muara dari alirannya. Dan arwah-arwah tembus pandang di sekeliling mereka, satu persatu bergantian terbalut cahaya keemasan, untuk kemudian menghilang meninggalkan butiran cahaya yang mengangkasa.

"Syukurlah, kalian telah kembali dengan selamat dan dapat saling menemukan satu sama lain."

Suara Kusuhara Takeru menyapanya. Ia hanya mengangguk, sementara pria di dekapnya yang beringsut melepaskan tautan tangannya. Tampak satu sorot keterkejutan yang ditunjukkan Reishi ketika melihat sang pemandunya itu di sana.

"Kusuhara… Takeru-kun…? Mengapa…."

Pemuda itu kemudian melipat sebelah tangan di depan dada sembari membungkuk hormat. "Lama tidak berjumpa, Kapten Munakata. Saya di sini bertugas sebagai pendayung perahu serta pemandu bagi mendiang Raja Merah, Suoh Mikoto, sekaligus… menyelesaikan urusan yang mengganjal yang juga membuat saya tidak bisa melangkah melewati gerbang reinkarnasi begitu saja."

Intensi Kusuhara yang tidak pernah terucap itu lantas membuatnya menaikkan sebelah alis. "Kau juga, memiliki urusan yang harus kau selesaikan?"

Kusuhara kemudian mengangguk. Sementara Reishi melanjutkan kalimatnya. "Dan apakah urusan itu… berhubungan dengan Suoh?"

"Sayang sekali, untuk kali ini tebakan Anda salah, Kapten," ujar Kusuhara sembari tertawa. "Urusan saya yang belum selesai… adalah Anda sendiri, Kapten Munakata."

Kebingungan sontak melandanya. Begitu pula Reishi. Keduanya bertukar pandang, hanya untuk menangkap satu dengus geli lainnya, meluncur dari mulut pemuda itu.

"Kapten, terlepas dari hal yang pernah Anda katakan pada Fushimi-san mengenai puzzle bernama Scepter 4 yang justru akan lengkap kepingannya tanpa kehadiran saya, namun bagi saya pribadi, seorang anggota klan tidak seharusnya mati dan meninggalkan rajanya begitu saja. Meski penyebab saya terbunuh di hari itu pun adalah demi melindungi Anda, tetap saja seharusnya saya bertahan dan tidak menyerah. Anda telah mempercayakan saya untuk membawa sebagian aura Anda, kebanggaan dan harga diri Anda, maka sudah selayaknya pula saya untuk menjaga kepercayaan itu, dan hidup selama mungkin untuk mengabdi pada Anda.

"Dan karena semua penyesalan itu, saya berakhir di tempat ini. Melalui permukaan sungai pula, saya selalu mengawasi Anda. Semua sepak terjang Anda. Bahkan di hari ketika Anda merasa bahwa Anda kehilangan segalanya setelah Anda mengakhiri nyawa Suoh-san. Lalu Pedang Damocles Anda yang meretak. Dari hari ke hari kian memburuk keadaannya. Hingga pertarungan terakhir yang Anda lalui. Saya selalu berpikir… akan menjadi suatu kehormatan bagi saya untuk bisa menyokong punggung Anda, seperti Hidaka maupun Zenjou-san, hingga saat-saat terakhir selalu berjuang bersama Anda. Karenanya saya berharap, setidaknya di tempat ini, ada yang bisa saya lakukan untuk Anda. Sebentuk keegoisan saya, yang ingin membantu Anda untuk mencapai kebahagiaan yang terlepas dari genggaman tangan Anda di dunia."

Ah, rupanya seperti itu. Rupanya pemuda ini tidak hanya sekedar mengekori langkahnya dan ikut campur menentukan apa yang harus dilakukannya. Ternyata Kusuhara pun tidak ubahnya seperti dirinya dan Reishi. Sama-sama terjebak dalam penyesalan. Sama-sama terjebak dalam alam kematian tanpa ketenteraman, tanpa bisa melanjutkan langkah menuju kehidupan selanjutnya.

Ia lantas memperhatikan pria di sampingnya itu yang melangkah. Mendekati Kusuhara. Tangan kanan Reishi yang tampak terjulur ke depan Kusuhara. Sementara pemuda yang bersangkutan hanya menatap tangan itu, lalu pada wajah Reishi, bergantian.

"Terima kasih sudah menungguku di sini, Kusuhara-kun. Ya, kau adalah kartu joker yang sengaja kutahan di tanganku, karena aku sangatlah membenci joker yang tertahan di tangan musuh untuk kemudian dimainkan ke hadapanku dan memporakporandakan sistem strategiku. Meski demikian, sebagai seorang Munakata Reishi, aku sangat berterima kasih padamu. Terima kasih… karena sudah bersedia mengantarkan Suoh Mikoto padaku."

Pemuda itu mengangguk. Kedua tangan yang kemudian saling menjabat.

"Kalau begitu… boleh saya pamit pergi terlebih dahulu, Kapten?"

Tubuh Kusuhara mulai dirayapi cahaya keemasan itu. Dimulai dari ujung kaki, menyebar hingga ke ujung surai cokelat tua itu. Jabat tangan yang kemudian dilepas, dan ia mengawasi pemuda itu membuka jubah dan menaruh dayung di atas tanah. Memperlihatkan balutan kimono putih yang sama seperti yang dikenakan Reishi. Tatapan pemuda itu yang melayang ke arahnya. Senyum lebar yang terulas.

"Suoh-san, jaga Kapten baik-baik, ya?"

Ia mengangguk. Tanpa menunggu kata-katanya, pemuda itu kembali berpaling pada Reishi.

"Maaf karena saya tidak bisa menunggu Anda lebih lama lagi."

Dilihatnya kepala Reishi yang menggeleng. "Tidak masalah, Kusuhara-kun. Beristirahatlah dengan tenang. Aku dan Suoh akan menyusulmu sebentar lagi."

"Un. Semoga kita dapat bertemu di kehidupan selanjutnya, Kapten."

Gema suara itu seolah mengiringi titik-titik cahaya emas menyerbu Kusuhara, memendarkan tubuh tersebut, kemudian melenyapkan pemuda itu dari pandangannya. Sementara Munakata Reishi yang masih bergeming di tempat. Sebelah tangan tampak terjulur, berusaha menggapai pada titik-titik cahaya yang tersisa. Yang tertangkap di tangan hanya untuk memudar dan menguap pada detik berikutnya.

Ia melangkah. Menepuk pundak itu meski tanpa mengatakan apa-apa. Pria itu berbalik. Senyum dan desah napas yang tertuju padanya.

"Aku tidak apa-apa. Ayo kita lanjutkan perjalanan."

Menuruti permintaan Reishi, tumitnya kembali diputar. Lalu tangan kirinya yang digenggam. Jemarinya yang bertaut dengan milik pria itu. Langkah keduanya terasa selaras. Tidak terlalu cepat namun tidak juga terlalu lambat. Kemudian mendaki bukit kecil, untuk menemukan dua buah gerbang torii, cukup lebar dan tinggi untuk dilalui keduanya.

"Kurasa, itu gerbang reinkarnasi kita."

Ia hanya mengangguk. Genggaman di tangannya terasa mengerat. Ia terkekeh.

"Kau takut?"

Pria di sampingnya itu lantas membetulkan letak kacamatanya. "Terserah kau saja, Mikoto."

Muka gerbang berwarna merah itu tampak kian mendekat. Meski di tengah langkahnya, ada tanya yang gatal ingin Mikoto lontarkan pada laki-laki itu.

"Reishi, ke mana perginya pengayuh perahumu?"

Gumaman nada terdengar di sisinya.

"Ia pergi meninggalkanku setelah aku selesai melewati satu rintangan sebelum ujianku yang membawaku bertemu denganmu. Pemanduku itu berkata bahwa penyesalannya telah terbayar, hingga ia harus pergi terlebih dahulu tanpa bisa mengantarku hingga gerbang reinkarnasiku."

Keningnya bertaut. "Seseorang yang kau kenal baik yang juga menyesal karena mati duluan ketimbang kau?"

"Tidak juga. Ia merasa bersalah karena… kematiannya lantas merenggut nyawa seseorang yang begitu berharga dalam hidupku. Dan jika kau tanya apakah aku mengenalnya dengan baik… percayalah, Mikoto. Kau lebih mengenal pemanduku itu lebih baik dibandingkan aku sendiri."

Satu nama dan bayang wajah tergambar di kepalanya. Tanpa pria itu menyebutkan nama sang pendayung perahu pun, Mikoto sudah mengetahuinya. Ah. Ternyata orang itu juga sampai di tempat ini. Akhirnya kata maaf yang dipendam Totsuka Tatara untuk Munakata Reishi dapat tersampaikan secara langsung.

"Boleh aku bertanya satu hal padamu, Mikoto?"

Ia mendengungkan nada persetujuan.

"Di antara semua orang yang kulihat dan mengenakan kimono berwarna putih, kenapa hanya kau yang tetap memakai kaos oblongmu itu, lengkap dengan celana panjang hingga rantainya?"

Pertanyaan klasik. Khas Munakata Reishi. Mempertanyakan setiap detail yang tidak perlu. Tawanya lantas meledak.

"Menurutmu, Reishi? Aku mati dengan cara jasadku dibakar menggunakan sisa-sisa kekuatan HOMRA, tanpa sempat Izumo menggantikan pakaianku dengan pakaian yang selayaknya dikenakan orang mati."

"Mm…. Jawaban logis dan masuk akal."

Tanpa terasa, gerbang reinkarnasi itu tiba di hadapannya. Cahaya dari seberang gerbang itu yang menyilaukan matanya. Degup jantungnya yang memacu.

"Kira-kira, kehidupan seperti apa yang akan menanti kita?"

Ia hanya mengangkat bahu. Tatapan yang semula terpancang pada putih di depannya itu ia alihkan. Mungkin untuk terakhir kalinya di dunia ini, ia memandang lekat pada sepasang ungu yang balas menatapnya itu.

"Kuharap kita bisa saling menemukan satu sama lain di kehidupan itu kelak, Mikoto."

Mengangguk. "Aku benci mengatakan ini, tapi… sampai bertemu di seberang sana, kalau begitu?"

Kekeh tawa. Terdengar begitu manis di telinganya.

"Ya. Jangan khawatir. Ini hanyalah perpisahan sementara. Sampai jumpa lagi, Mikoto."

Dan keduanya melangkah. Dalam iringan ritme yang sama. Menjemput tangan takdir baru yang mengikat mereka. Entah berupa belenggu rantai sedingin es. Ataupun serupa jalin kuat yang sehangat mentari pagi.


...


Munakata Reishi membuka matanya. Kedua korneanya menangkap semburat cahaya yang menyelusup malu di antara tirai gordennya. Menggisik mata seraya mendudukkan tubuh, ia kemudian mencari-cari kacamata yang selalu diletakkannya pada nakas samping ranjang. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela, lalu membuka tirai merah marun itu lebar-lebar. Ya. Merah marun. Warna yang begitu kontras di antara seluruh perabotan kamarnya yang bernuansa biru langit lembut maupun warna-warna cokelat natural. Karena meski kedua orang tuanya bersikeras mengatakan bahwa biru adalah warna yang cocok untuknya, hanya kakak laki-lakinya lah satu-satunya orang yang berkata bahwa merah pun cocok berpadu dengan biru tuanya. Terutama merah marun.

Dan warna yang sama, seringkali hadir dalam mimpinya. Meletup bagai derak kobar api. Dirinya berdiri di tepian sebuah sungai dengan arak-arakan cahaya lampion dan langit bertabur bintang. Lalu sebuah janji yang ditukarnya dengan sosok itu. Seseorang yang tampak begitu kental dengan imaji merah marun membara. Ia merasa mengenal orang itu. Laki-laki itu. Aneh, pikirnya. Jika ia berada di dalam cerita-cerita roman yang kerap dibacanya, romansa manis nan klise semacam ini tentunya akan selalu menggambarkan sosok wanita cantik, lemah gemulai, dengan sapuan warna lembut sebagai pasangannya bertukar janji di dalam mimpinya. Meski tidak pada kenyataannya. Meski sosok itu hanya berupa siluet yang buram di ingatannya, Reishi tahu persis bahwa sang pemilik warna merah marun dalam bunga tidurnya itu adalah seorang pria. Entah mengapa.

Menghela napas sembari berpikir bahwa tidak ada gunanya untuk terus-menerus mempermasalahkan isi mimpinya, ia membalikkan tubuh, lalu melempar pandang sekilas pada jam beker di atas nakas. Pukul enam pagi. Masih terlalu pagi untuk bangun dan menyiapkan hari pertama kehidupan sekolahnya di bangku SMA. Namun tidak ada salahnya pula untuk bersiap lebih awal. Ia tahu ia pun bisa menyiapkan bekalnya terlebih dahulu, sebelum sang kakak kembali mengacaukan kotak bekalnya dengan telur dadar gulung esktra manis dan nasi kepal isi sambal.


...


"Selamat pagi, Reishi! Uwaaaah, kau bangun pagi sekali hari ini?"

Reishi hanya tersenyum dan membalas sapaan cerah dari sang kakak. Sementara sang ibu di sisinya, tertawa sembari menggoreng sosis yang dipotong menyerupai bentuk gurita.

"Adikmu khawatir hari pertamanya di SMA akan rusak karena bekal buatanmu, Tatara. Karena itu ia bangun lebih pagi untuk menyiapkan semuanya sendiri. Ia juga membuatkan bagianmu."

"Bekal sarapan buatan Reishi! Kuharap ini akan mendatangkan keberuntungan untuk satu semester ke depan!"

"Keberuntungan itu tidak akan datang tanpa jerih payah usahamu sendiri, Niisan."

Tatara, kakak laki-laki yang hanya terpaut umur satu tahun darinya itu tergelak. Sang kakak kemudian membantunya menata isi kotak bekal, kemudian membawa menu sarapan ke meja makan, menatanya beserta piring-piring, mangkuk, serta alat makan. Suasana kegiatan makan pagi yang selalu hangat. Seperti biasa. Hingga sang kepala keluarga Munakata akhirnya datang bergabung.

"Bagaimana, Reishi? Sudah siap dengan hari pertamamu di SMA?"

Tersenyum seraya menyumpit acar plum ke dalam mangkuk nasinya, Reishi menjawab, "Aku bukan lagi anak SD yang mengalami serangan keringat dingin di hari pertama masuk sekolah, Ayah. Meski bisa kukatakan, ya, aku siap untuk bersekolah di sekolah yang sama seperti Niisan."

"Hei, hei… kenapa kesannya kau tidak mau satu sekolah lagi denganku, Reishi~?"

"Jangan Niisan pikir aku tidak tahu beberapa surat panggilan yang ditujukan pada Ayah tentang kebiasaan Niisan membolos di beberapa pelajaran, atau mengintip ruang ganti baju perempuan. Aku membutuhkan kehidupan sekolah yang kondusif untuk membantuku belajar."

Kakaknya itu mengerucutkan bibir. Ia lantas mendengar derai tawa sang ibu. "Tapi siapa sangka? Murid sebandel Tatara ternyata bisa menjadi sekretaris OSIS! Jadi ya, satu atau dua kali membandel, tidak apa-apa, 'kan?"

Reishi bisa melihat kedipan sang ibu pada ayahnya, yang lantas dibalas oleh deham sang kepala keluarga Munakata sebagai tanda untuk melanjutkan kegiatan sarapan mereka. Meski di tengah-tengah suapan terakhirnya, ia tahu ada kata-kata yang tidak tahan untuk tidak dilemparkannya pada Tatara.

"Aku jadi ingin tahu seperti apa ketua OSIS yang bisa meloloskan Niisan sebagai sekretarisnya."

Dan reaksi sang kakak yang tidak terduga olehnya. Tatara lantas tersenyum lebar ke arahnya. "Aku juga tidak sabar ingin memperkenalkanmu dengannya. Entah mengapa, tapi aku merasa kalian akan memang ditakdirkan untuk bertemu satu sama lain."

Ungkapan Tatara mengenai kata takdir meluncurkan satu dengus geli tertahan dari bibirnya. Meski begitu, ia tahu sesuatu dalam dadanya bergerak. Ada rasa yang terbangun. Debar lembut yang menggelitik manis di benak. Apakah memang ini yang dinamakan takdir?


...


Reishi membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di samping mimbar. Dirinya baru saja dipanggil sebagai perwakilan siswa baru untuk menyampaikan sambutan, berbekal nilai ujian masuknya yang berhasil meraih angka total delapan ratus dari delapan mata pelajaran yang diujikan. Ia kemudian melangkah turun dari podium, menuju barisan kursi terdepan tempatnya semula duduk. Lalu pemuda yang duduk di sebelahnya, Kusuhara Takeru, teman sepermainannya sejak kecil yang tidak pernah absen untuk bersekolah di sekolah yang sama dengannya, lantas mengacungkan dua jempol diserta seringai lebar. Ia hanya mengangguk dan membalas senyum itu singkat, kemudian kembali fokus pada sambutan lainnya di upacara pembukaan semester baru sekaligus penerimaan siswa baru sekolahnya.

"Selanjutnya, sambutan dari Ketua OSIS…. Suoh Mikoto-Kaichou, silakan naik ke atas panggung."

Desir di dadanya. Kedua matanya yang lantas terpancang pada sosok yang tengah berjalan lambat ke atas mimbar itu. Gaya berpakaian yang tidak terlalu rapi—tidak seperti yang seharusnya ditunjukkan oleh figur seorang pemimpin organisasi intra sekolah—dengan bagian leher kemeja yang sedikit kusut terlipat, bentukan dasi yang tidak simetris, jas yang tidak dikancingkan. Kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Tatapan malas dari mata yang dihiasi cekungan. Meski ada yang membuat Reishi tidak bisa berpaling. Sepasang emas dan surai merah berantakan itu seakan menghipnotisnya. Ia merasa ia pernah bertemu dengan laki-laki yang begitu ingin sang kakak kenalkan padanya tersebut.

Aneh. Bahkan benaknya begitu yakin bahwa ia mengenal baik laki-laki itu, sebagaimana pemuda itu pun mengenal dirinya.

"Ah. Hmm. Selamat karena sudah berhasil masuk ke sekolah ini. Dan selamat menikmati kehidupan sekolah kalian selama tiga tahun ke depan. Sekian."

Lalu hening. Pidato sambutan tersingkat yang pernah didengarnya. Bahkan tidak ada tepuk tangan. Tidak ada reaksi. Semua murid saling melempar pandang. Dan sang ketua OSIS nampak tidak terganggu dengan nihilnya apreasiasi yang diberikan audiensi.

Meski di antara canggung yang menggantung itu, ada sepasang emas yang bertemu dengan ungunya. Dua detik yang kemudian terasa memerangkap dalam keabadian. Seolah jarum jam berhenti berdetik. Seakan bumi berhenti berputar. Walau detak jantungnya berlari. Gejolak rasa yang timbul menyeruak, menggigilkan tubuhnya. Sensasi menggelegak yang ia tidak ketahui artinya, namun terasa amat dikenalnya. Begitu melenakan. Begitu memabukkan.

Dan ketika dunianya telah kembali berotasi, satu seringai mengarah padanya. Ternyata kakaknya itu benar adanya. Ia harus bertemu dengan pemuda itu. Demi meredam kobar dalam dadanya.

Serta untuk mengajarkan pemuda serampangan itu tata cara berpidato di depan khalayak umum.


...


"Kaichou! Aku sudah membawanya!"

Reishi mengikuti Tatara yang membawanya ke atap gedung sekolah. Sesampainya ia di sana, dua orang pemuda tampak tengah menunggunya. Yang satunya, ya, tiada lain tiada bukan adalah sang Ketua OSIS sendiri, Suoh Mikoto. Sementara pemuda satunya lagi, berkacamata dan bersurai pirang dengan aroma parfum madu yang menguar manis, tampak tidak dikenalnya.

"Kau tentunya sudah kenal dengan Ketua OSIS, 'kan? Kalau begitu, yang satu ini adalah Kusanagi-san, bendahara OSIS."

Pemuda pirang itu kemudian mengulurkan tangan padanya. "Adik Tatara, eh? Perkenalkan, aku Kusanagi Izumo dari kelas 2-A, satu kelas dengan kakakmu dan Mikoto, sekarang menjabat sebagai bendahara OSIS demi menyelamatkan uang kas OSIS dari kelakuan kakakmu yang senang bereksperimen dengan kegiatan-kegiatan sekolah. Mohon bantuannya!"

Reishi tersenyum seraya membalas jabat tangan itu. "Munakata Reishi dari kelas 1-A. Senang berkenalan denganmu, Kusanagi-senpai." Sebelah tangannya yang bebas kemudian terangkat untuk membetulkan letak kacamatanya. "Kusanagi-senpai, kau berbicara menggunakan logat Kansai. Apakah kau berasal dari Kansai? Osaka? Ah, bukan. Izinkan aku menebak. Hmm… Kyoto?"

Gelak tawa menyambut pertanyaannya. "Tatara, adikmu ini memang luar biasa! Dia bisa membedakan logat Osaka dan Kyoto!"

Tampak kakaknya itu mengangkat bahu seraya menyungging senyum penuh kebanggaan. "Sudah bilang, kau akan terkejut dengan isi otaknya."

"Berkebalikan denganmu, eh?"

"Kusanagi-san, kau sengaja menjelek-jelekanku, hmm?"

Adu cercaan itu yang kemudian terputus dan terhenti begitu saja akibat sebuah dehaman rendah, yang Reishi tahu berasal dari sang ketua OSIS. Tertawa kecil seraya menggamit tangan Kusanagi Izumo, kakaknya itu tampak melambai pada pemuda satunya, lalu pada dirinya. "Nee, Reishi, Kaichou bilang ada yang ingin dibicarakannya denganmu. Karena itu, aku dan Kusanagi-san pergi dulu, ya? Kau santai saja, Kaichou tidak menggigit, kok~!"

Ia hanya mengangguk, sembari mengawasi Tatara dan Kusanagi Izumo melangkah melewati pintu menuju tangga bagian lorong gedung sekolah lalu menghilang di baliknya. Tatapannya yang kemudian berpaling. Mengamati sosok pemuda yang tengah bersandar pada dinding jaring seraya menyeruput sekotak susu stroberi. Embus angin meniupkan surai-surai merah itu. Terlihat seperti anak-anak api yang menari. Indah. Pemandangan yang sama seakan pernah pula dinikmatinya. Entah di mana.

"Munakata."

Suara berat itu memanggilnya, mendegupkan laju pacu jantungnya. Tidak serendah apa yang ada diingatannya. Namun nada bicara yang terdengar sama persis seperti suara yang membisik namanya dalam mimpi-mimpinya.

Berusaha tidak menghiraukan debar di dada, ia tersenyum dan membungkuk. "Salam kenal, Suoh-senpai. Perkenalkan, aku adik dari Tatara-niisan—"

"—kau tidak ingat apa-apa?"

Kata-katanya terputus. Ia menatap pemuda itu dengan keheranan. Sementara satu sorot tajam balas memandangnya. Apa katanya tadi?

"Munakata. Kau sunggu tidak mengingat apapun? Tentang aku? Tentang kehidupan kita sebelum ini?"

Kedua bola matanya mengerjap. Logikanya berusaha mencerna apa yang diucapkan senior di hadapannya itu. Mengingat hal tentang Suoh Mikoto? Mengingat tentang kehidupan sebelumnya? Oh, astaga. Apakah dirinya tengah menjadi tokoh utama sebuah cerita roman picisan mengenai kehidupan yang melintasi ruang dan waktu?

"Maaf, Suoh-senpai. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan—"

"—kau sama sekali tidak mengingatnya, Reishi?"

Namanya yang dibisik begitu rendah. Derap langkah yang mendekat ke arahnya. Sementara gambaran demi gambaran berkelebatan dalam ingatannya. Memori yang tidak pernah dialaminya, namun juga bagai bagian kesatuan dari dirinya di waktu bersamaan. Ia tahu, ia pernah mengenal sosok yang sama. Langkah kaki yang sama. Gestur tubuh yang serupa. Meski dalam kenangannya yang terasa begitu jauh, sosok itu selalu ditemani kobar api ke manapun melangkah.

Angin berhembus kencang. Menyapu lamunannya. Kesadarannya yang kembali, bersamaan dengan pemuda itu yang telah tiba di hadapannya. Kepalanya mendongak hanya demi menemukan sepasang emas itu. Tidak. Rasaya tidak seperti ini. Dahulu, ia tidak perlu menengadahkan maupun menundukkan kepala hanya untuk mempertemukan sorot mata mereka. Karena ia dan pemuda itu selalu berdiri sejajar. Dalam berbagai status.

"Suoh…sen—"

Tangan kanan pemuda itu menyentuh dagunya. Menariknya mendekat. Tanpa aba-aba. Meniadakan jarak di antara keduanya. Kecupan pertama di bibirnya. Tubuhnya yang terasa menegang. Ia ingin berontak. Logikanya berseru agar tangannya mendorong tubuh itu menjauh. Meski raganya terkunci hangat yang meresap di jiwanya. Meluap tak terkendali. Bersamaan dengan gaung suara-suara di gendang telinganya. Potongan-potongan mimpinya yang mengalir memenuhi kepalanya.

Atau mungkin… ingatan masa lalunya.

.

"Kalau begitu, sampai mati pun aku tidak akan berhenti meminta maaf padamu. Hingga kau memaafkanku, dan juga dirimu sendiri. Aku akan menunggumu, Munakata Reishi. Di alam kematian nanti, hingga kau menerima permintaan maafku."

"Aku hanya tinggal membuktikannya padamu bahwa aku bisa menepati janjiku."

"Aku benci mengatakan ini, tapi… sampai bertemu di seberang sana, kalau begitu?"

.

Cumbuan pertamanya yang tidak dibalasnya, namun tidak pula ditampiknya. Dan ketika otot-ototnya terasa melemas, pemuda itu melepaskannya. Ada senyum yang hadir untuknya. Terlihat letih. Sarat penantian yang panjang.

Laki-laki itu ternyata menunggunya.

"Sudah ingat sekarang?"

Reishi memegang kepalanya. Dunia di sekelilingnya terasa berputar. Ingatan kehidupan masa lalunya yang berlarian. Satu demi satu berselisihan. Tubuhnya terasa limbung ketika ia hendak melangkahkan kakinya.

Sepasang tangan hangat yang kemudian menangkap jatuhnya. Mendekapnya dengan cara yang sama. Meski tidak sepanas apa yang ada terekam di memorinya.

"O—oi… kau baik-baik saja?"

Ia menghela napas. Mengangguk. "Jangan khawatir. Aku hanya… sedikit terkejut."

Kekeh tawa di atas kepalanya. "Setidaknya kau mengingatnya."

"Meski kuharap tidak semuanya," ujarnya, sembari berusaha menarik napas dan meredakan rasa pusing di kepalanya. "Kepalaku bisa meledak rasanya jika ingatan masa laluku pun terbawa sampai ke kehidupan ini. Dan…," ia memberhentikan kata-katanya sejenak hanya untuk mengulum satu senyum di bibir, "caramu menyambutku di reuni kita berdua ini benar-benar mencengangkan dan di luar ambang batas logikaku, Suoh-senpai. Mencium seseorang, sesama jenis, di hari pertama kau bertemu orang tersebut. Kewarasan otakmu benar-benar tidak pernah membuatku berhenti mengagumimu."

Satu decih meluncur. "Hentikan memanggilku dengan embel-embel itu, Munakata."

"Tapi kita hidup di dunia yang berbeda. Yang kali ini, secara status aku tidak bisa berdiri berjajar di sampingmu. Meski suatu hari nanti, kurasa aku bisa mengejarmu, kalau kau sebegitunya tidak suka ketika kau harus menunduk untuk menatapku."

Angin musim semi yang lembut bertiup. Menerbangkan guguran merah jambu kelopak bunga sakura. Melayangkan ingatannya. Membumbung jejak rasa di benaknya tinggi hingga ke langit. Dan ia tidak ingin beranjak. Untuk sejenak saja, Reishi ingin tenggelam dalam pelukan itu. Dalam kerinduan yang tumpah-ruah.

Satu kecup lain, mendarat di puncak kepalanya.

"Selamat datang kembali, Reishi."

Ia tersenyum. Kedua tangannya lantas menarik tubuh itu. Erat.

"Mm. Aku pulang, Mikoto."


...


Lentera cahaya matahari terbenam melatarbelakangi suasana. Suara dua pasang langkah kaki berirama. Berjalan perlahan di tengah kata-kata yang berkisah, dalam perjalanan mereka menuju stasiun kereta.

"Katakan padaku, bagaimana ceritanya hingga kau bisa mengingat seluruh kehidupan masa lalumu?"

"Tidak ada yang istimewa. Aku terlahir dengan ingatan ini. Dan aku lahir di sebuah lingkungan baru, di mana tidak ada satu pun orang dari masa lalu yang kukenal. Hingga ketika aku berumur sebelas tahun, ibuku melahirkan seorang anak perempuan, yang tidak lain adalah Anna. Dan setelah itu, ketika SMP, aku bertemu dengan Tatara, dan tidak lama setelahnya dengan Izumo sebagai murid pindahan dari Kansai. Kemudian aku mengenalimu, ketika suatu hari aku bermain ke rumah kalian untuk mengerjakan tugas kelompok. Aku melihat fotomu di ruang tengah keluarga kalian. Dan Tatara memergokiku. Aku tidak tahu ia memiliki ingatan ini atau tidak, tapi… sejak saat itu ia bersikeras untuk mempertemukanku denganmu."

"Lalu… bagaimana dengan Anna?"

"Anna terlahir normal, kau tidak perlu khawatir. Sedikit pendiam, memang. Tapi ia tidak memiliki kekuatan apapun, dan bisa bersosialisasi dengan baik di sekolahnya. Datanglah ke rumahku sesekali untuk bertemu dengannya. Kuyakin Anna akan senang. Ada lagi yang ingin kau tanyakan?"

"Terakhir. Bagaimana caranya seorang otak bebal semacam dirimu bisa menjadi seorang ketua OSIS?"

"Hmm. Tidak tahu. Hanya saja kurasa, jika kemungkinan terburuk adalah kau sama sekali tidak mengingat apapun, maka dengan menjadi ketua OSIS, aku akan tetap bisa mencari masalah denganmu sebagai senior tidak becus yang butuh perhatian darimu."

"… dan dengan apa yang kau lakukan hari ini, kau tetap bertaruh bahwa perilaku barbarmu tadi bisa mengembalikan ingatanku?"

"Cara yang patut untuk dicoba. Ayolah, Reishi. Aku sudah menunggu selama enam belas tahun. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi."

Satu hela napas panjang. Pasrah.

"Baiklah, baiklah. Tapi sebagai gantinya, karena kau telah terlanjur menjadi ketua OSIS, kau akan kuajarkan bagaimana caranya menjadi seorang ketua yang memiliki wibawa, karisma, serta kepatutan dalam memimpin."

"Asalkan aku bisa menghabiskan waktu denganmu, apapun."

Tarikan napas lainnya. Suoh Mikoto tidak mengerti mengapa lawan bicaranya itu senang sekali menghela napas seharian ini.

"… hahh…. Kau benar-benar tidak akan membuat hidupku kali ini lebih mudah, bukan begitu, Suoh-senpai?"

"Selama aku bisa mendapatkanmu serta menepati semua janji yang pernah kuberikan padamu. Dan tolong berhenti memanggilku dengan sebutan itu, Reishi. Kau membuatku jengah."

"Baiklah, Mikoto. Dan kau juga. Berhenti berusaha menggenggam tanganku. Kita sedang berada di jalan umum! Bagaimana jika ada orang yang melihat?"

"Kalau begitu, mereka akan tahu bahwa Ketua OSIS SMA Ashinaka yang terkenal pintar di kehidupan kali ini, ternyata sudah memiliki seorang kekasih."

Lontaran kata-kata di balik pandangan lurus. Lalu semburat merah jambu di kedua pipi itu. Begitu manis. Begitu menggemaskan.

"M—Mikoto! Dasar kau manusia barbar!"

Tawanya yang terlepas ke angkasa. Debar lembut berdendang di dadanya. Suoh Mikoto tahu, musim dinginnya di bawah langit kelabu di masa lalunya telah berakhir. Tergantikan sibak tirai musim seminya yang baru saja dimulai.


...


.

p.s. Sekali lagi, terima kasih banyaaaaakk sudah mau mampir ke lapak author kali ini. Sampai jumpa di fiksi-fiksi author selanjutnya~!