Train To Seoul

By Seeuhun

.

.

.

Yuta terbangun pagi itu karena tangisan Jaemin, Yuta secepatnya bangkit dan memeriksa popok Jaemin; kalau-kalau bayi itu buang air dan tidak nyaman makanya menangis. Namun popok Jaemin masih bersih dan kering. Yuta menghela napas lega, Jaemin pasti hanya lapar.

Yuta lalu menggendong Jaemin dan menyusuinya. Ditimangnya bayi mungil itu agar terlelap kembali. Yuta melirik ke arah jam yang diletakkan di atas meja; masih jam lima kurang sepuluh menit. Tentu saja masih terlalu dini untuk seorang bayi mungl seperti Jaemin bangun. Tangan Yuta bergerak mengelusi kening jaemin dengan sayang. Air mukanya berubah sendu; teringat ayah dan ibu. Dosa besar dan rasa bersalah yang tidak akan meninggalkannya bahkan hingga ke kehidupan selanjutnya. Yuta jelas tahu konsekuensinya sejak Ia memutuskan untuk pergi. Ia hanya butuh waktu untuk terbiasa.

Jaemin sudah kembali tidur sejak tiga menit yang lalu. Bibirnya memunculkan senyum, sepertinya bayi itu mimpi indah dalam tidurnya. Yuta menidurkan Jaemin kembali ke atas kasur. Ia sendiri beranjak ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka. Biasanya Taeyong bangun pukul enam. Jadi masih banyak waktu untuk Yuta menyiapkan sarapan dan bersih-bersih rumah.

Ini sudah empat hari semenjak Yuta bertemu dengan Taeyong dan sejak itu pula Ia tinggal di rumah sederhana dan nyaman milik lelaki tampan itu. Pada hari pertama Yuta tinggal di rumah Taeyong mereka sedikit canggung karena kejadian Taeyong yang membuka pintu kamar yang ditempati Yuta itu; Yuta sendiri tak mau mengingatnya baginya itu memalukan. Tapi setelah dua hari berlalu kecanggungan itu perlahan terkikis, karena meski dingin dan tak banyak bicara Taeyong adalah lelaki baik yang sangat perhatian bahkan kepada Yuta dan bayinya yang hanyalah orang asing.

Yuta sendiri berusaha untuk melakukan banyak hal selama tinggal di rumah Taeyong; dia akan selalu berusaha bangun sangat pagi, memasak, membersihkan seisi rumah bahkan mencuci baju. Sesungguhnya Taeyong sudah melarangnya dan menyuruh Ia untuk fokus merawat Jaemin saja. Tentu saja Yuta segan, lagipula Jaemin sudah sehat meski Ia masih harus mengkonsumsi obatnya.

Selain itu Yuta juga sudah membagi pikirannya tentang mencari pekerjaan kepada Taeyong. Tapi tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Taeyong. Dengan alasan; siapa yang akan menjaga Jaemin. Yuta tidak begitu saja kalah, Ia berencena menitipkan Jaemin ke penitipan anak selama Ia bekerja. Dan sangat mengagetkan bagaimana Taeyong langsung meneriakinya sebagai Ibu yang egois; Yuta hampir menangis mendengarnya namun Ia tahan. Taeyong terlihat begitu marah waktu itu seperti seorang ayah yang tak rela anaknya ditelantarkan oleh ibunya sendiri. Karena itu Yuta akhirnya menyerah dengan ganti Ia diijinkan mengejarkan segala pekerjaan rumah mulai dari memasak hingga merawat kebun bunga depan rumah Taeyong. Taeyong ingin menolak tapi luluh juga melihat raut sendu Yuta, air mukanya terlihat menahan tangis karena Ia meneriakinya dengan kata-kata yang menyakitkan.

Taeyong tersenyum diakhir kala itu. Ia juga sempat berkata kepada Yuta untuk tidak terlalu memaksakan diri dan tidak sungkan meminta bantuannya.

.

.

.

"Apa yang kamu masak hari ini?" Yuta sedang memotong wortel yang telah Ia cuci ketika pertanyaan itu meluncur dari mulut sang pemilik rumah. "Sup. Tidak banyak bahan yang tersedia di kulkas Taeyong."

Taeyong menarik salah satu kursi di sana. Ia duduk dengan nyaman dan menyesap kopi yang telah disediakan oleh Yuta. Entah pikiran hina atau apa tapi Taeyong merasa seperti suami yang sedang dilayani istrinya. Ya, Taeyong memang bejat.

"Nanti aku akan berbelanja pulang dari Cafe." Taeyong meletakan cangkir kopinya, pandangannya teralih ke kanan dimana Yuta berada sedang mengaduk kuah sup yang baru Ia tambahi garam. "Aku bisa pergi belanja. Taeyong pasti lelah kalau harus belanja sehabis kerja." Taeyong tersenyum mendengarnya. Ya, empat hari ini Ia banyak tersenyum. "Ide terbaik adalah bagaimana kalau kita pergi belanja bersama?" Yuta menggeleng dengan anggun tentu saja tanpa Ia sadari. "Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri kok."

"Kamu ini suka berdebat ya, Yuta?" Taeyong bangkit dari kursinya dan menghampiri Yuta yang kini tengah memindah sup dari panci ke dalam mangkuk besar. "Sudah di putuskan. Nanti aku pulang jam setengah empat jadi tunggu aku jangan pergi sendiri." Taeyong melanjutkan sambil membantu Yuta menata sarapan mereka di atas meja makan; tidak banyak hanya semangkuk besar nasi, semangkuk besar sup, dan sepiring ayam goreng tepung.

"Baiklah." Pada akhirnya Yuta menyerah. Taeyong tersenyum puas.

"Masakanmu selalu enak." Ucap Taeyong setelah menyeruput sesendok kuah sup. Memang bukan masakan spesial hanya sup berisi wortel dan kubis; kulkas Taeyong sedang paceklik.

"Terima kasih." Yuta sesungguhnya tidak bisa melakukan apa-apa tentang pekerjaan rumah. Yuta tidak bisa memasak, satu-satunya yang bisa dia masak adalah telor goreng itupun terkadang harus mendapati beberapa bagian yang gosong. Namun semenjak empat hari lalu Ia sudah berusaha sangat keras. Dan kenyataan bahwa Taeyong menyukai masakannya bahkan memujinya. Bagaimanapun itu membuat Yuta bahagia dan jantungnya memacu di atas normal. Karena itu entah mengapa Yuta selalu ingin membuat Taeyong terkesan dan senang akan dirinya.

.

.

.

.

Jam tiga lebih seperempat, Yuta sudah siap memakai sweater abu-abu dengan bawahan jeans hitam. Dengan Jaemin di gendongannya, bayi itu sedang bermain dengan jemari-jemari lentik Yuta. Digodanya bayi kandungnya itu; setiap kali Ia tarik jari-jemarinya Jaemin akan bermuka cemberut saat itu juga dan akan langsung tersenyum ceria ketika Yuta memberikan jarinya kembali.

Yuta sedang memasukan botol berisi susu formula milik Jaemin ke dalam tas ketika Ia mendengar suara deru mobil memasuki pelataran rumah Taeyong. Bergegas Ia keluar menuju pelataran dan mendapati Taeyong keluar dari mobil menghampirinya. "Oh. Kamu sudah bersiap ternyata?" Taeyong memandang Yuta yang terlihat amat manis dan ayu ditambah Jaemin digendongannya. Seperti sosok malaikat; ibu.

"Apa Taeyong mau istirahat dulu?" Yuta memandang Taeyong dengan khawatir. Yuta kepikiran, Taeyong pasti lelah sehabis bekerja lalu pergi belanja. "Pekerjaanku tidak melelahkan kok. Lelahnya itu di otak bukan fisik. Kamu tidak perlu khawatir seperti itu. Masuklah, nanti keburu gelap." Taeyong membuka pintu sebelah kemudi. Yuta masih dengan raut khawatir yang semakin jelas menuruti Taeyong dan masuk ke mobil.

"Kenapa raut mukamu semakin mendung?" Taeyong menolehkan kepala ke arah Yuta sambil memasang sabuk pengamannya. "Kalau otak yang lelah bukankah itu lebih parah?" Taeyong terbahak setelahnya, Yuta benar-benar di luar imajinasi lelaki dewasa. Yuta merengut.

"Maksudku pekerjaanku lebih banyak berpikirnya daripada menggerakan anggota badan, Yuta. Lagipula aku ini pemilik kafe bukannya pemimpin negara yang punya banyak hal untuk dikerjakan dan dipikirkan." Yuta menatap Taeyong kali ini dengan raut heran. "Lain kali kamu bisa ikut aku ke kafe. Biar kamu lihat sendiri."

"Bolehkah?" Taeyong takjub melihat Yuta bertanya dengan binar bahagia yang jarang muncul di raut sendu wajahnya. Harus diakui Yuta jadi sejuta kali lebih mempesona. Taeyong jadi ingin sering-sering melihat binar bahagia itu.

"Tentu."

.

.

Supermarket yang tidak terlalu jauh dari rumah Taeyong namun akan melelahkan juga jika ditempuh dengan berjalan kaki. Disinilah Taeyong dan Yuta berbelanja. Troli yang didorong oleh Taeyong telah terisi penuh dengan berbagai bahan mentah. Bahkan ada minuman bersoda dan juga makanan ringan; sebagai pengganti minuman berakohol Taeyong karena dia tak mungkin minum minuman yang membuat mabuk sementara di rumahnya kini ada seorang ibu dan juga bayi.

Mereka kini ada di antara rak-rak berisi buah-buahan. Taeyong menyukai apel jadi Yuta berada di rak khusus apel sedang memilih apel yang paling bagus dan segar. Jaemin sedang terlelap dalam gendongannya, sementara Taeyong berdiri di samping troli memberi pendapat seperti yang di tangan kananmu terlihat lebih segar atau yang warnanya merona itu terlihat lebih enak. Yuta sendiri hanya menurutinya dan memilih apel dengan telaten. Dasarnya memang Yuta itu telaten.

Masih sibuk dengan apel ketika dua orang ibu-ibu lewat di depan mereka sedang berbisik-bisik; yang sebenarnya tidak bisa disebut berbisik juga karena Taeyong maupun Yuta bisa mendengarnya dengan jelas. "Lihatlah pasangan muda itu, serasi sekali." Yuta melirik sedikit ke arah Taeyong ketika mendengarnya, namun Taeyong terlihat biasa saja. Seolah tidak ada yang menyebut dirinya dan lelaki disampingnya ini sepasang kekasih, yang sebenarnya adalah orang asing yang tinggal serumah.

Antrian kasir tidak terlalu panjang jadi mereka bisa langsung membayar dan pulang. Sejak kejadian di tempat apel tadi, Yuta jadi semakin diam, mukanya tak sanggup dia angkat. Dia malu dan merasa canggung, lebih dari itu Ia merasa tak enak kepada Taeyong. Yuta sudah banyak menyusahkan Taeyong, dan orang-orang kini mulai salah pengertian, bagaimana jika Taeyong punya kekasih dan mendengar perkataan Ibu tadi atau orang-orang yang berpapasan dengan mereka selama di supermarket. Dan yang terburuk bagaimana jika kekasih Taeyong melihat mereka berdua. Kata apa yang sanggup untuk menjelaskan kondisi mereka saat ini? Orang asing yang tinggal satu rumah?

Memang itu hanya pemikiran terlalu dalam Yuta, tapi seseorang seperti Taeyong mungkinkah tidak memiliki seorang kekasih? Entah kenapa juga Yuta punya pengharapan pada hal itu. Yuta memang tidak tahu diri.

Taeyong menyadarinya, Yuta menjadi lebih pendiam dari biasanya sejak keluar dari supermarket. Taeyong khawatir, ingin bertanya namun takutnya itu bukan urusannya. Memang tidak ada satupun masalah yang sedang atau akan dihadapi Yuta menjadi urusannya. Taeyong mencoba sadar posisi.

"Taeyong, maaf." Diluar dugaan, Yuta meminta maaf atas sesuatu hal yang jelas tidak dimengerti oleh Taeyong. Ada ribuan tanya yang menyerbu Taeyong, lelaki ini sedari tadi bermuka lesu dan sendu dan tiba-tiba mengucap maaf. "Maaf untuk?"

"Karena aku orang-orang jadi salah pengertian, mengira aku dan Taeyong adalah...mm.." Lidah Yuta kelu tak sanggup melanjutkan kalimat, Ia tak mampu menemukan kata yang pantas dan cukup sopan untuk pengganti kata kekasih. Taeyong paham, bukannya Taeyong tak mendengarnya juga tadi. Taeyong tidak keberatan sungguh. Ada bagian dirinya yang justru merasa senang mendengar orang-orang salah pengertian mengira Ia dan Yuta adalah sepasang kekasih. Itu adalah satu dari pengharapan yang Ia buat secara diam-diam sebelum tidur.

"Jadi kamu memikirkan hal itu dari tadi?" Yuta menoleh perlahan kearah Taeyong, Taeyong mengalihkan sebentar pandangannya dari jalanan (Ia sedang menyetir) Untuk tersenyum ke arah Yuta. Yuta tertegun, jantungnya berpacu di atas normal. Harus diakui senyuman Taeyong adalah satu dari hal terindah yang pernah Yuta lihat.

"Yuta, aku tidak keberatan sungguh. Apakah justru kamu yang merasa keberatan?"

"Tidak." Yuta menjawabnya dengan cepat bahkan sebelum Ia sanggup mengehembuskan nafasnya. "Aku hanya khawatir, mungkin saja Taeyong punya kekasih dan Ia jadi salah mengira."

Taeyong tertawa setelahnya, jika Taeyong memiliki kekasih:seseorang yang memiliki hatinya Ia tidak akan mungkin membawa Yuta dan bayinya ke rumahnya. Itu hal yang tidak mungkin dilakukan seseorang yang telah terikat hatinya.

"Kamu tidak perlu khawatir, Yuta. Aku tidak memiliki kekasih." Mendengarnya, ada satu titik dihati Yuta yang menghangat dan membuatnya tersenyum kecil.

"Maaf."

"Jangan meminta maaf lagi."

"Iya."

.

.

.

.

.

.

Sesampainya di rumah Taeyong. Yuta bergegas ke kamar menidurkan Jaemin di atas kasur. Bahunya pegal: menahan beban Jaemin yang sekitar lima koma tiga kilo selama kurang lebih satu setengah jam. Sedang Taeyong membawa belanjaan mereka yang terpisah menjadi tiga kantong besar: satu berisi sayur, daging, dan ikan. Dan dua lainnya berisi buah dan makanan serta minuman ringan. Taeyong hanya membawanya ke dapur dan meletakannya di atas meja konter dapur: Yuta bilang dia akan segera memasak setelah sampai, Yuta juga bilang dia yang akan menata belanjaan di dalam kulkas. Taeyong sudah melarang, dan meminta mereka untuk makan diluar saja, tapi dasarnya Yuta itu keras kepala. Sebelum keinginannya diiyakan dia tidak akan diam. Kadang pula ketika Taeyong melarangnya melakukan sesuatu dia akan menekuk bibirnya lucu membuat Taeyong kadang lupa jika Yuta adalah seorang Ibu beranak satu. Lelaki itu memang tiada duanya. Menakjubkan.

Setelah meletakkan belanjaan di atas meja, Taeyong melangkah pelan ke arah kamar Yuta. Sekedar untuk memastikan Jaemin masih tidur, jika tidak Taeyong yang akan menggantikan Yuta memasak. Karena bagaimanapun Taeyong masih canggung di hadapkan dengan anak-anak terlebih bayi seperti Jaemin. Kenyataan bahwa dia adalah lelaki dewasa yang matang tapi tak pernah bisa berinteraksi dengan anak-anak juga salah satu alasan mengapa sampai detik ini lelaki tampan dan mapan seperti dirinya belum juga menikah. Selain juga dia memang tidak punya kekasih ataupun teman dekat wanita: orang-orang bilangnya Taeyong itu terlalu pemilih. Padahal menurut Taeyong dia memang belum menemukan yang tepat.

Yuta sedang menyelimuti Jaemin ketika Taeyong masuk: dia tidak lupa mengetuk pintu terlebih dahulu kali ini. Pandangannya mengitari kamar yang dulunya kamarnya ini. Ada sebuah jam digital berwana hitam metalik yang diletakkan di atas meja sebelah kiri tempat tidur. Itu pasti milik Yuta, karena Ia tak pernah punya yang seperti itu. Disebelahnya ada sebuah novel tebal bersampul merah. Taeyong ingat itu adalah novelnya, Ia telah membacanya sebanyak tiga kali. Ceritanya tidak fenomenal tapi Ia suka.

Tidak disangka Yuta membacanya; karena seingatnya Ia menyimpan novel itu didalam laci meja. Lalu pandangnya teralih ke jendela di kanan tempat tidur, disana tergantung pakaian Jaemin yang kecil dan lucu. Taeyong tersenyum tanpa sadar. Memiliki bayi terdengar menakjubkan. Bagaimana rasanya memiliki bayinya sendiri?

"kenapa?" Pandangan Taeyong teralih, kini pusat penglihatannya teralihkan ke Yuta yang sedang duduk di atas kasur Jaemin. "Apa menjadi Ibu menyenangkan?" Yuta mengalihkan pandangannya ke arah Jaemin yang masih pulas tertidur. Malaikat kecilnya, yang pernah Ia sesali dan Ia inginkan untuk lenyap. Bagaimana bisa Ia pernah memikirkan hal mengerikan seperti itu. Lihatlah bayi mungil itu, begitu polos tidak berdosa. Hadiah terindah dari Tuhan untuknya yang penuh dosa.

"Rasanya sangat hebat. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata." Yuta mendongak ke arah Taeyong yang masih memandanginya dalam diam. Taeyong tersenyum setelahnya.

Entah bagaimana awalnya, Taeyong kini telah menyatukan bibirnya dengan bibir Yuta yang dingin dan meleburkan seleruh sarafnya. Yuta terkejut, itu sangat tiba-tiba, bibir yang sedetik lalu masih tersenyum padanya kini telah menyatu dengan bibirnya. Lututnya lemas, tenggorokannya kering. Perutnya tergelitik geli seolah-olah ada ratusan bunga aster ungu yang sedang bermekaran disana. Tangan Taeyong bergerak dari telapak tangan Yuta yang kurus menelusuri setiap jengkalnya. Berhenti di bahu Yuta yang rapuh dan merabai tulang selangkanya. Yuta ingin menyingkirkan tangan Taeyong juga ingin melepas tautan bibir mereka, namun hatinya berkata jangan. Diam-diam Ia menikmatinya.

Saat tangan Taeyong menyentuh lebih jauh ke dadanya, saat itu pula bayangan wajah kecewa Ibu dan amarah Ayahnya muncul. Setetes air mata jatuh begitu saja. Yuta berjengit segera menyingkirkan Taeyong. Taeyong melihatnya, airmata yang mengliri pipi tirus Yuta. Rasa bersalah menyerang telak dirinya. Ia keterlaluan, bertindak terlalu jauh.

Tangisan Yuta kian jadi, airmatanya tak ingin berhenti. Rasa sesal dan kecewa membuncah memenuhi dadanya. Ia kecewa terhadap dirinya sendiri.

"Maaf Yuta, Aku tidak bermaksud." Taeyong mengatakannya dengan ragu-ragu, apakah pantas meminta maaf setelah mencium seseorang?

Yuta tidak menjawab pun tidak memandangnya. Jadi Taeyong putuskan untuk keluar, Yuta sepertinya membutuhkan waktu sendiri untuk tenang.

Sepeninggal Taeyong,badan Yuta luruh bersandar di dinding tempat tidur. Ia kecewa, setelah semua yang terjadi dan penyesalan yang tak mau berhenti menghantuinya kenapa Ia tak pernah belajar? Kenapa Ia masih Yuta yang bodoh dan ceroboh?

.

.

.

Taeyong menyandarkan punggungnya yang berkeringat di pintu kamar Yuta, masih bisa didengarnya isak tangis Yuta. Ia merasa bersalah. Sangat. Ia telah merendahkan Yuta. Memperlakukannya dengan tidak hormat. Entah apa esok Ia masih memiliki muka untuk bersitatap dengan Yuta. Yuta pasti menganggapnya lelaki brengsek kali ini. Dan yang terburuk, Yuta akan mengira bahwa Ia menolong Yuta untuk ini; to search his manhood between his thigh.

Karena cinta itu tidak melulu soal sentuhan fisik kan?

.

.

.

.

.

.

.

TBC

Sorry it took forever for me to update this. Bukan apa-apa aku hanya sangat sibuk, aku dapet promosi jabatan; masih dalam masa penilaian jadi ada banyak hal yang harus aku lakukan dan tugasku jadi makin banyak, tentu saja.

tapi pada akhirnya aku tetap meluangkan waktukan untuk melanjutkan cerita ini. Hmm aku pikir jauh dari ekspektasi kalian tapi aku harap cukup memuaskan; bagaimanapun aku bilang aku ini hanya amatiran yang gegayaan nulis fiksi. Ya tolong dimaklumi.

Tolong tetap berikan banyak cinta untuk Yuta dan Taeyong. They deserve our loves.

Tolong untuk tidak kaget jika nanti aku update atau post cerita baru pake lowercase.

Dan aku (masih) sedang cinta-cintanya dengan sunyong dan jihun; like i would give the whole universe for both of them just if i could. Idk they are just a perfect couple; jihun compose the songs and sunyong does the choreo.

SANA CANTIK DAN IMUT SEKALI AKU INGIN MENIKAHINYA HANYA JIKA AKU LAKI-LAKI TT

DAN MOMENT YANG LISA NGASIH KE KURSI KE TY DI GAON. AH KENAPA AKU JATUH CINTA KEPADA GADIS-GADIS YANG CANTIK IMUT BERBAKAT DAN BAIK HATI TT

Thx

Seeuhun