Let Me Hurt You

Jaeyong ; Slight!JaeTen NCT

Married-Life!AU ; M for Mature Content

NCT © SM Entertainment


Jaehyun marah. Ia begitu marah pada kedua orang tuanya yang dengan seenaknya merencanakan pernikahannya dengan orang lain tanpa persetujuan darinya. Bahkan ia tidak mengenal atau bahkan mengetahui tentang siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya itu sampai sekarang, selain fakta dia bernama Lee Taeyong dan dia adalah anak dari kawan lama orang tuanya. Bukankah ini sangat tidak masuk akal? Jaehyun sudah dewasa. Ia bisa menentukan pilihannya sendiri dan menikahi siapapun yang ia inginkan.

Bukan Lee Taeyong atau yang lain, ia ingin Ten. Hanya Ten, kekasihnya.

Jaehyun berteriak sambil meninju cermin di depannya dengan keras untuk meluapkan amarahnya. Pecahan cermin berhamburan ke sekitar kakinya, sebagian menancap pada kepalan tangannya yang mengalirkan darah. Bau besi berkarat memenuhi ruangan dan Jaehyun malah merasa semakin marah.

Langkah kaki tergesa terdengar dari luar bersamaan pintu yang terbuka. Ibunya datang, terlihat begitu mengkhawatirkannya. "Jaehyun!"

Jaehyun tak bergeming. Ia masih berlutut di tempatnya semula. Sentuhan lembut sang ibu di tangannya ia tepis. "Jangan sentuh aku," katanya dingin.

Mata itu menunjukkan kecewa. "Kau berdarah, Jaehyun―"

Jaehyun mengangkat wajahnya dan menatap sang ibu tajam. "Jangan pedulikan aku. Pergi." Jaehyun takkan pernah tega mengusir ibunya seperti ini. Ia sangat menyayangi wanita ini. Tapi kali ini berbeda, Jaehyun masih sangat marah.

"Jaehyun…" Ibunya tidak pergi. Wanita itu malah terisak.

Jaehyun yang tidak mau mendengar lebih banyak pada akhirnya beranjak pergi. Sampai kapanpun ia tidak mau menerima pernikahan ini.

"Kau pikir kau mau pergi ke mana?"

Langkah Jaehyun terhenti saat mendengar suara itu. Itu suara ayahnya. Tangan Jaehyun mengepal kuat saat ia berbalik untuk menatap ayahnya tanpa takut.

"Ada pertemuan dengan keluarga Lee malam ini dan kau―"

Jaehyun membuang muka, "Persetan."

Slap!

Jaehyun memegang pipinya yang terasa panas, ini tidak sakit dibandingkan sakit di hatinya. Ayahnya tidak pernah berlaku segitu kasar pada dirinya. Ia selalu membanggakan Jaehyun. Tapi kali ini, karena orang asing bernama Lee Taeyong itu Jaehyun mendapat tamparan keras di pipinya. Kepalan tangan Jaehyun semakin menguat. Ia memandang ayahnya sedemikian dingin. "Sampai kapanpun aku tidak akan menikah dengan orang pilihanmu itu."

Ayahnya menyeringai meremehkan dan berbalik pergi meninggalkan Jaehyun. "Kalau begitu pergilah. Pergilah dan buang marga Jung-mu lalu hiduplah sebagai gelandangan."

Tapi Jaehyun tidak peduli dan benar-benar melangkah pergi. Baginya Ten adalah segala.


Jaehyun memarkirkan mobilnya di depan sebuah apartemen. Ia merasa pikirannya kacau dan emosinya sama sekali tidak stabil. Satu-satunya yang ia butuhkan sekarang adalah Ten. Pelukan kekasihnya itulah yang selalu bisa membuat Jaehyun nyaman.

"Hyun-ie?"

Jaehyun langsung memeluk kekasihnya begitu pintu terbuka. Bisa ia rasakan tubuh itu tersentak kaget karena ulahnya. Ia sangat mencintai sosok ini dan ia sama sekali tak pernah sedikitpun membayangkan hidup tanpanya. Ten adalah nafasnya dan Jaehyun ingin hidup dengannya. Jaehyun mengangkat wajahnya untuk menatap Ten, menangkup wajah pemuda itu dan menciumnya manis dan lembut. Menyalurkan rasa cintanya yang tulus.

Dahi mereka menempel saat ciuman berakhir. Nafas hangat meyapu wajah Jaehyun, matanya tidak berpaling dari wajah memerah Ten yang manis, cantik. Jaehyun rela memberikan apapun untuk pemuda ini. Bahkan rela membuang marga Jung miliknya. Asalkan ada Ten, Jaehyun benar-benar tidak membutuhkan yang lainnya. Ten adalah satu-satunya yang bisa membuatnya jatuh cinta dengan segala tingkah yang manisnya.

"Menikahlah denganku, Ten," pinta Jaehyun. Di tangannya terdapat sebuah cincin putih.

Mata Ten memanas dan segera memeluk Jaehyun erat lalu menangis.

Jaehyun tersenyum lalu balas memeluk. Ten-nya memang sangat cengeng. Ia menangis begitu sering, tapi itulah yang membuat Jaehyun merasa dibutuhkan dan membuatnya merasa harus menjaga pemuda itu. Jaehyun mencium dahi Ten. "Aku mencintaimu, Ten," bisik Jaehyun.

Ten menangis semakin keras di bahu Jaehyun. Semenit sebelum melepas pelukan itu dan berbalik memunggungi Jaehyun. "Maafkan aku, Hyun-ie. A-aku tidak bisa menikah denganmu," suara itu terdengar bergetar.

Jaehyun merasa kosong mengisi hatinya saat mendengar itu. Jantungnya berdetak begitu cepat dalam ketakutan. Hatinya terasa di remas, tidak, bahkan mungkin sekarang hatinya sudah hancur tidak berbentuk. "Jangan bercanda. A-apa maksudmu?" Tidak mungkin kan? Jaehyun yakin ia salah mendengar. Maka dari itu ia meraih bahu Ten dan membaliknya. Ia bisa melihat lelehan air mata di pipi pemuda itu saat ia menggeleng.

"A-aku―aku akan pergi ke Thailand besok," lirihnya.

Jaehyun merasa jiwanya pergi dan takkan sanggup hidup lagi setelah ini.


Jaehyun bukanlah orang lemah, ia selalu berusah menjadi sosok laki-laki yang kuat di depan siapapun, terutama Ten. Ia juga selalu menjadi lelaki yang bisa dibanggakan oleh ayahnya. Tapi kali ini dia telah gagal menjadi keduanya. Ia menangis, menangis begitu pedih menangisi hidupnya. Menangisi Ten.

'Aku tidak mencintaimu, hyun-ie.'

"Bohong," lirih Jaehyun begitu mengingat kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut Ten untuknya. Genggaman Jaehyun pada cincing di tangannya menguat. Kenapa rasanya sakit sekali?

'Aku tidak pernah mencintaimu.'

"Kenapa kau berbohong padaku?" lirih Jaehyun lagi, pedih. Ia tahu Ten mencintainya. Ten selalu mencintainya. Matanya tidak bisa berbohong. Mata itu mengatakan semuanya dengan jelas.

Jaehyun bisa dengan jelas menebak apa yang terjadi sebenarnya. Ayahnya. Jaehyun tahu dengan pasti bahwa semua ini adalah perbuatan ayahnya. Jaehyun berteriak marah. Marah pada hidupnya, marah pada kedua orang tuanya, marah pada Ten yang berbohong dan meninggalkannya. Matanya menggelap oleh kabut dendam. "Lee Taeyong," bisiknya mengeja sebuah nama penuh kebencian.

Ya. Lee Taeyong. Adalah satu-satu alasan dari semua rasa sakit yang ia rasakan saat ini. Karena pemuda itu ia harus menjalani pernikahan yang tidak ia inginkan dan terjebak bersamanya. Karena pemuda itu ayahnya menampar dia. Karena pemuda itu Ten-nya pergi. Dan karena pemuda itu kini Jaehyun merasa benar-benar hancur.

Lee Taeyong.

Jaehyun mendesis, bersumpah dalam hati, untuk membuat hidup pemuda itu menderita selama sisa umurnya.


Pertemuan kedua keluarga malam itu berlangsung hangat, namun jelas terasa begitu memuakkan bagi Jaehyun yang terus berusaha memasang senyum palsunya. Jaehyun melihat pemuda itu, Lee Taeyong. Pemuda itu duduk tepat di depannya dan terus tersenyum menikmati makan malamnya tanpa berkata apapun. Saat pandangan keduanya bertemu, pemuda itu hanya melayangkan senyum tipis dan cepat-cepat mengalihkan pandangan kembali. Taeyong tampak tidak lebih manis dan cantik dari Ten bagi Jaehyun. Senyumnya terlihat memuakkan dan Jaehyun ingin sekali segera menghilangkan senyum itu selamanya dari wajah menjijikan miliknya itu.

"Kapan tanggal pernikahannya?" Jaehyun menyela, melayangkan senyum.

"Sebulan dari sekarang. Kami bisa mengaturnya jika itu terlalu cepat untuk kalian―"

Jaehyun menggeleng, memotong perkataan lebih jauh dari calon mertuanya. "Sama sekali tidak. Maksudku, bagaimana jika dimajukan menjadi minggu ini?" usul Jaehyun sambil melayangkan senyum lalu menatap calon pengantinnya lekat. "Aku―hanya benar-benar tidak sabar," lanjutnya. Ya, ia memang benar-benar tidak sabar.

Bisa ia lihat semua orang memberikan pandangan terkejut mereka bersamaan―termasuk Taeyong yang baru saja tersedak dengan makanannya. Kedua calon mertuanya segera merubah ekspresi terkejut mereka menjadi ekspresi bahagia sekaligus geli, melihat antusiasme Jaehyun yang terlihat menggebu-gebu untuk menikah. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang menatap dirinya dengan tatapan curiga setelahnya. Lee Taeyong? Entahlah karena pemuda itu menunduk terlalu dalam sehingga Jaehyun tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.

"Ada seseorang yang sudah tidak sabar di sini," goda tuan Lee sambil tertawa. "Yah, bagi kami tidak masalah. Semakin cepat pernikahan ini maka akan semakin baik. Bagaimana menurutmu, Yunho?"

Jaehyun bisa melihat keraguan di mata ayahnya selama beberapa saat sebelum dia mengangguk dan benar-benar memberi senyum balasan. "Aku senang kita akan menjadi besan lebih cepat, Siwon," balasnya antusias.

Dan semua orang kembali makan dalam hening setelah keputusan dibuat. Pernikahan itu, akan berlangsung minggu ini.

Jaehyun menyembunyikan seringainya dengan mengambil gelasnya lalu minum. Mencoba mengabaikan tatapan khawatir yang dilayangkan sang ibu padanya karena perubahan sikapnya yang begitu kentara.


"Apa yang kau rencanakan, Jaehyun?"

Jaehyun yang saat itu mau berjalan ke kamarnya berhenti. Dia berbalik dan langsung merubah ekspresi dinginnya menjadi sebuah senyum lembut saat mendapati sang ibu. "Ibu, apa maksudmu?" tanya Jaehyun balik, bertingkah seolah ia tidak mengerti apa maksud pertanyaannya.

Ibunya mendekat dan menyentuh pipi Jaehyun. "Kau berubah. Begitu cepat―"

"Ibu," potong Jaehyun. Ia meraih tangan sang ibu yang ada di pipinya lalu mengecupnya. "Aku tahu kau khawatir. Aku―aku minta maaf untuk perlakuan kasarku." Ia memeluk ibunya. Senyumnya hilang dan ekspresinya kini berubah menjadi sangat dingin di balik leher ibunya. "Aku hanya sadar jika aku memang harus melakukan ini untuk kalian. Lagipula―" Jaehyun merasa bibirnya kelu dan pahit untuk sekedar melanjutkan kalimatnya. "Ten. Dia meninggalkanku dan tidak sebaik yang aku pikirkan."

Ibunya melepas pelukan itu dan memberinya senyum lembut. Mengusap lembut pipi kanannya dengan sebelah tangan. "Apapun yang terjadi, berjanjilah untuk selalu menjaga dan memperlakukan menantuku dengan baik."

Jaehyun membalas senyum itu dengan senyum palsunya, mengangguk. "Tentu saja. Tentu saja aku akan," janjinya. Meski tahu itu adalah hal yang paling tidak mungkin ia lakukan. Karena yang akan ia lakukan adalah sebaliknya. Yaitu membuat menantu ibunya itu hidup menderita bersamanya.


"Taeyong-ie, ayo nak. Calon suamimu sudah ada di bawah," seruan lembut ibunya membuat Taeyong yang saat itu sedang melamun segera tersadar. Ia tersenyum lemah, lagi-lagi ia mulai mengenang mantan kekasihnya. Taeyong menaruh bingkai yang berisi foto dia dan kekasihnya itu ke dalam laci dan turun setelah merapihkan poninya sedikit. Hanya tersisa tiga hari sampai marganya berubah menjadi Jung dan Taeyong masih belum siap dengan semuanya. Semuanya terasa terlalu cepat untuknya. Terutama untuk melupakan kenangan manis yang telah ia buat bersama kekasihnya selama setahun ke belakang.

"Halo, sayang. Bagaimana kabarmu?" Jaehyun menyambutnya begitu ia turun, memeluknya dan mengecup pipinya mesra membuat dia tersenyum.

Taeyong tersenyum. "Baik."

Perlakuan Jaehyun benar-benar baik padanya, dan itu membuatnya selalu merasa bersalah karena ia masih mengingat mantan kekasihnya saat bersama calon suaminya. Jauh di dalam lubuk hatinya ia bahkan masih berharap jika pernikahan ini tidak jadi berlangsung dan ia bisa kembali pada orang yang ia cintai. Tapi, melihat betapa bahagianya kedua orang tuanya akan pernikahan ini membuat Taeyong merasa tidak berdaya. Ia tidak ingin mengecewakan mereka hanya karena sifat egoisnya.

"Terimakasih," ujar Taeyong begitu Jaehyun membukakan mobil untuknya.

Mereka pamit pada ibu Taeyong dan langsung melesat. Mereka berdua akan menuju butik untuk fitting pakaian sekaligus memilih cincin hari ini.

Sepanjang perjalan suasana keduanya teselimuti hening panjang. Taeyong melamun menatapi jalan sambil terus mengenang kekasihnya, sementara Jaehyun memilih untuk menutup mulutnya dibanding tidak bisa menahan dirinya untuk menyuarakan kemarahan dan kebenciannya pada sosok di sampingnya. Jaehyun sedari tadi harus menahan muak, apalagi saat ia berlaku mesra pada Taeyong di hadapan calon mertuanya.

Mereka sampai di butik setengah jam kemudian, di sambut oleh pemilih butik dan diminta untuk mencoba pakaian pernikahan mereka yang berupa sepasang tuxedo mewah berwarna hitam dan putih.

Keduanya menatap tuxedo itu dengan lirih.

Jaehyun membayangkan dia memakai tudexo hitam dan Ten lah yang akan memakai warna putih, menghampirinya yang berdiri di altar. Taeyong, ia sendiri membayangkan dirinya memakai tuxedo putih itu dan menghampiri mantan kekasihnya yang mengenakan tuxedo hitam di altar. Jaehyun menahan amarah mengingat itu, sementara Taeyong tersenyum pasrah.

Kenapa begitu menyedihkan? Pernikahan tanpa cinta seperti ini?

Fitting pakaian itu berlangsung begitu cepat tanp banyak suara. Mereka beralih ke toko perhiasan untuk memilih cincin. Taeyong terlihat memilih dengan begitu antusias, sementara Jaehyun hanya diam dengan tangan di saku. Menggenggam erat cincin yang telah ia siapkan untuknya dan Ten. Tidak, ia tidak akan pernah memberikan cincin ini pada Taeyong, karena pemuda itu memang sama sekali tidak layak. Cincin ini hanya untuk Ten.

"Bagaimana dengan yang ini?" tanya Taeyong.

Jaehyun mengangguk, meski sebenarnya sama sekali tak melihat cincin itu. "Itu bagus."

"Benarkah?"

Jaehyun mengangguk lagi. Tersenyum.

"Aku pikir juga begitu," komentarnya lagi.

Setelah selesai mereka keluar dari toko perhiasan itu. Taeyong memberanikan diri untuk menggenggam tangan Jaehyun saat itu. Jaehyun sendiri merasa terkejut tapi membiarkannya meski ia ingin sekali menepis tangan itu. Taeyong tersenyum. Ia sudah membuat keputusan, ia akan berusaha melupakan kekasihnya dan mencintai Jaehyun mulai sekarang, menjadi pendamping untuknya sebaik yang ia bisa.

Begitu mereka sampai di parkiran, Taeyong tiba-tiba berhenti dan berbalik menghadap Jaehyun. Menjinjitkan badannya sedikit dan menyatukan bibirnya dengan milik Jaehyun sedetik. Membuat Jaehyun terdiam tak bereaksi atas sensasi manis dan menggetarkan yang menyentuh bibirnya.

"Aku―aku akan berusaha mencintaimu," akunya. Taeyong mengulum senyum. Sebelum menunduk malu karena apa yang baru saja ia lakukan. "Maaf tadi itu aku―"

Jaehyun menarik wajah Taeyong mendekat dan kali ini dia yang menyatukan bibir mereka dalam sebuah ciuman yang panjang dan manis. Sebelah tangannya bergerak menuju pinggang Taeyong, dan sebelah lagi menyentuh pipinya dan beralih menuju leher untuk memperdalam ciuman mereka.

Taeyong yang pada awalnya kaget mulai menutup mata dan menikmati ciuman itu. Mengalungkan tangannya pada leher Jaehyun dan mulai hanyut dalam sensasi menggelitik yang mengisi perutnya.

Dalam ciuman itu, jantung Taeyong berdebar begitu keras, sementara bibir Jaehyun membentuk sebuah seringai. Mata tajamnya berkilat senang, merasa segalanya menjadi lebih mudah baginya kini.

Ya, jatuh cintalah padaku. Karena itu akan membuatku semakin mudah untuk membuat hidupmu menderita, Lee Taeyong.


Jaehyun berdiri di altar dengan senyum menawan. Jantungnya berdebar dalam kesenangan karena pernikahan ini semakin dekat. Setelah ini Taeyong akan menjadi miliknya dan takkan pernah ia lepaskan lagi. Setelah hari ini Jaehyun tidak usah berpura-pura lagi mencintai pemuda yang paling ia benci. Dan yang terpenting setelah hari ini Jaehyun akan mulai membuat hidup pemuda itu menderita. Ya, Jaehyun sungguh tak sabar untuk menghapus senyum menjijikan dari wajah itu.

Taeyong muncul dengan ayahnya dan berjalan mendekati Jaehyun. Hingga akhirnya pemuda itu berada tepat di hadapannya, dengan tangan di genggaman tangannya.

Jaehyun menatap Taeyong dan tanpa ragu berkata, "Aku bersedia." Atas janji-janjinya.

Taeyong mengelum senyum bahagia dan berkata, "Aku bersedia." Atas janji-janjinya.

Dan setelah itu, mereka berdua berciuman diiringi tepukan riuh rendah dari para tamu yang ikut berbahagia atas penyatuan mereka. Di sana ada kedua orang tua mereka, berdiri dengan pandangan bangga sekaligus terharu.

Tangan Jaehyun yang ada di pinggang Taeyong mencengkram lebih kuat dari seharusnya, membuat Taeyong merintih dan membuka mulutnya untuk dijamah lebih dalam oleh Jaehyun dengan senang hati.

Seharian itu mereka habiskan dengan menerima ucapan selamat dan pelukan dari berbagai orang. Taeyong hanya tidak tahu, bahwa mungkin itu akan menjadi hari terakhirnya bisa melihat senyumnya sendiri. Karena hidupnya bersama dengan Jaehyun yang sesungguhnya, akan jauh dari kata bahagia.


.

.

Welcome to the hell, my lovely husband

Let me hurt you

.

.


TBC