REMAKE NOVEL BY TILLY D

REMAKE NOVEL BY TILLY D

REMAKE NOVEL BY TILLY D

REMAKE NOVEL BY TILLY D

REMAKE NOVEL BY TILLY D

Bab 1

"Karena dia akan datang padaku, tanpa perlu susah payah aku mencarinya."

oOoOo

JONGIN POV

"Jong, dengarkan aku. Aku tau kau marah pada kami, tapi ini semua demi kebaikanmu." Wanita separuh baya itu terus memegang lenganku. Aku menepisnya dengan pelan. Tak kuhiraukan semua ucapannya. Aku terus bergegas memasukan seluruh pakaianku ke dalam koper. "Jongin, kami menyayangimu." Desahnya frustasi.

"Jika kalian menyayangiku, kalian akan setuju dengan keputusan yang kuambil." Aku menuruni anak tangga dengan tergesa. Ibu tiriku-wanita separuh baya tadi-masih setia mengikuti langkahku. Ia sama sekali tak menyerah mengejarku yang terus menghindarinya. Ia cukup adil dalam memberikan sebuah perhatian, hanya saja jika ia marah...

Oh Tuhan, aku tak ingin mengabaikannya. "Aku tak setuju untuk hal itu, aku menyuruhmu untuk memasukki Fakultas Hukum. Kau bisa menjadi seperti ayahmu, bukan Seni Rupa. Kau pikir, apa yang akan kau dapat jika kau masuk ke sana? Lukisan? Pameran?" terangnya panjang lebar. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan nanar. Mataku menatapnya dengan kesal.

Perlahan, aku menarik napas panjang. Aku tengah mencoba menetralkan emosiku yang mulai menggebu. Jika dia bukan ibuku ya... walau ibu tiri, ingin sekali aku berteriak padanya,

BAHWA AKU BENCI FAKULTAS HUKUM!

Dan aku benci, aku benci diatur seperti ini. Aku sudah cukup dewasa untuk memilih masa depanku. Kenapa mereka begitu hobi memainkanku sebagai bonekanya? "Jongin... " desahnya. "Kau bisa melihat hyungmu, dia menuruti perintah Ayah dan menjadi seorang Dokter. Kau lihat masa depannya."

"Jadi, kau membandingkanku dengan Mino hyung anakmu?!"

"Bukan, bukan seperti itu. Aku tak bermak-"

"Cukup, Bu!" Dadaku naik-turun, "kenapa kau sama dengan Ayah? Kumohon, berhentilah memaksaku! Aku tak ingin menjadi seorang pengacara. Aku hanya ingin menjadi seorang pelukis..."

"Semua aku lakukan karena aku menyayangimu, aku dan ayahmu peduli..."

"Bullshit!" umpatku, Aku membanting koperku ke dalam bagasi. Lalu menutupnya dengan rapat. "Tidakkah kau lihat apa yang aku lakukan selama ini? Ketika kau kehilangan ibumu? Aku selalu menyayangimu, bukan?" Ucapannya terdengar emosi. "Jadi, kau ingin aku membalas budi?" ejekku.

"Setidaknya menurutlah! Kau dasar anak yang tidak tau diuntung! Kau tahu, berapa banyak biaya yang kau habiskan untuk membeli alat-alat sialan itu! Pergi ke pameran! Kau pikir aku tidak kesal?! Hah?!" Ia mulai membentakku. Matanya tampak memerah karena menahan amarah. Inilah sosok iblisnya...

"Aku memakai uangku! Aku tak pernah meminta pada ayah!" dalihku. "Oh ya?" Ia tersenyum sinis, "kembalilah Jongin."

"Tidak!" Aku setengah berteriak. "Jongin!" panggilnya ketika aku telah memasukki mobilku. Segera kunyalakan mesin dan mobil pun menjauhi pekarangan rumahku. Kulirik sosok Mirae yang tampak menggeram marah karena aku tak menghiraukannya. Ia tampak meraih ponselnya. Aku memaki dalam hati. Ia pasti akan menelpon ayah.

Aku segera menginjak pedal gas, berharap bahwa mobilku dapat melaju lebih cepat. Sekarang aku hanya menatap lurus pada jalanan. Entah ke mana tujuanku pergi. Pikiranku terlalu kalut hingga aku hanya merasakan kekosongan dalam otakku, intinya aku sama sekali tak memikirkan apapun. Otakku kosong. Aku menepi di tengah jalan, tepatnya di sebuah danau. Memarkirkan mobilku di pinggiran.

Jalanan di dekat danau ini sangat sepi. Tak ada satupun mobil yang melintas. Otakku mulai mencoba bekerja, dimana aku sekarang? Aku mendesah, menghela nafas kasar kemudian melempar tubuhku ke atas jok mobil. Kutekan sebuah tombol untuk membuka kap. Semilir angin terasa berhembus, menyelinap ke dalam ruang kosong dalam diriku ketika kap telah terbuka dengan sempurna.

Kutatap langit yang terasa dekat denganku. Kemudian, kupejamkan mataku yang terasa berat sejenak. Angin masih terasa menerpa di atas permukaan kulitku. Ah, apakah sesulit ini hidupmu Jongin? Okay, kuakui sepertinya aku yang mempersulit hidupku sendiri. Ini semua memang salahku. Aku dengan keras kepalanya menolak biaya sekolah di Inggris.

Dan lebih memilih menetap di Korea. Aku memang sungguh tak tahu diuntung, ayahku telah merogoh koceknya cukup dalam untuk membayar fasilitas kuliahku di Inggris, tapi aku menolak. Pantas ibu tiriku begitu marah. Aku tahu, walaupun ia sedikit, Err ... banyak bicara-tapi ia menyayangiku.

Aku Kim Jongin, akan menunjukan kepada ayahku -Kim Hyunseung- bahwa aku bisa menjadi kebanggaannya. Akan kutunjukkan padanya. Aku membuka mataku ketika merasakan tetes demi tetes air membasahi keningku. Aku segera beranjak menutup kap mobilku dengan cepat. Dewi dalam diriku memaki, sial.. kenapa hujan?

Pemandangan alam di sini sungguh indah, aku tak pernah melihat danau seindah ini di Korea. Seumur hidupku, aku tak pernah merasakan indahnya alam. Karena ayahku tak membebaskanku layaknya remaja biasa. Aku tak pernah bersekolah di sebuah sekolah biasa. Ayahku selalu mendaftarkanku pada sekolah asrama.

Hingga sampai saat ini, ia kembali mendaftarkanku pada sebuah Universitas tanpa persetujuan dariku. Tentu saja, aku berontak sekarang. Aku kembali ke alam nyata ketika tiba-tiba mobilku berhenti. Keningku berkerut. Dengan segera aku turun dan memeriksa. Aku menggeram kesal ketika ternyata bahan bakar mobilku habis.

Aku mengusap wajahku yang tengah diguyur derasnya air hujan. Kemeja yang kugunakan mulai basah, begitupun dengan celana jeansku. Bagus! aku mulai kedinginan kembali masuk ke dalam mobil. Kuraih handuk kecil di jok belakang mobilku. Lalu kuusap wajahku dengan kasar. Tanganku bergerilya mencoba mencari-cari dompet milikku, namun aku hanya dapat mengumpat.

Lagi-lagi aku mulai emosi, dompetku tertinggal di kamar. Kembali kurogoh sakuku. Lagi, yang kutemukan hanyalah uang receh. Jika begini, untuk apa aku pergi jauh-jauh. Akhirnya aku memutuskan untuk diam. Menunggu hujan reda, namun hujan sama sekali tak berhenti. Aku melirik sekitarku, berharap ada seseorang. Lalu tatapanku berhenti pada sebuah rumah berpagar tinggi.

Indra penglihatanku mulai meneliti dengan cermat. Tak ada tempat tinggal lain di sini selain rumah itu. Hanya ada pepohonan rindang di sampingnya. Kembali kulirik rintikkan hujan di balik kaca mobilku, hujan semakin deras. Aku menghela napas. Kuputuskan untuk turun dan berteduh di rumah itu. Siapapun pemiliknya, aku akan meminta izin.

Aku yakin pemiliknya tak akan jauh dari sepasang suami-istri tua. Batinku menyeringai. "Permisi!" ujarku dengan lantang. Kugoyangkan pagar cukup keras, berharap sang Empu pemilik rumah segera menampakan batang hidungnya. "Permisi!" Aku kembali berteriak ketika tak mendengar sahutan apapun. Tubuhku telah menggigil hebat akibat kedinginan.

Dengan sedikit bergetar, kuberanikan diri membuka pagar yang menjulang tersebut. Namun belum beberapa detik aku meraih besi itu ke dalam genggamanku, pagar itu telah terbuka dengan lebar. Aku melirik ke sekitarku. Lalu melangkah memasuki pekarangan rumah itu. Walau ragu, aku terus melangkah hingga sampai di depan pintu.

Rumah ini tampak kuno, dengan desain khas zaman dulu, ditambah air mancur yang menjulang di halaman tengahnya, dan cat hitam pekat menghiasi dindingnya. Kesannya terlihat begitu gelap menurutku, tapi mungkin hanya perasaanku saja karena cuaca tengah mendung. Aku memutuskan untuk masuk ketika bel yang kupencet berulang kali sama sekali tak mendapat respon.

Katakanlah bahwa aku lancang, tapi mau bagaimana lagi, perutku terasa mulai perih sekarang karena lapar. Aku berjalan mengendap-endap seperti seorang pencuri. Langkahku terhenti ketika tiba-tiba lampu menyala menerangi tiap sudut ruangan. Aku menganga tak percaya melihat pemandangan di hadapanku. Mataku mulai berbinar.

Ya Tuhan ... apa ini? Aku melangkah mendekati dinding, dinding-dinding yang dipenuhi dengan lukisan. Tampak lukisan yang tak biasa-maksudku-dari segi warnanya berbeda. Terpajang dengan rapi. Ada lukisan serigala, rumah kuno, hutan, pemandangan gunung, dan satu lukisan yang paling besar, lukisan seorang pria. Pria yang tampak begitu gagah dan tampan.

Aku sempat tertegun melihatnya. Lukisan itu tampak begitu nyata. Pandangan tajam sang pria yang duduk terlihat begitu menusuk. Aku bertanya pada diriku, Tangan siapa yang begitu mahir melukis se-nyata ini. Pria berjubah hitam-panjang yang menjuntai hingga menyentuh lantai, dengan sorot mata tajam, dan rahang tegas. Pria yang menunjukkan bahwa sosoknya adalah pria yang ditakuti.

Entah pemikiran mana yang membawaku menyimpulkan hingga sampai ke sana. Yang jelas terlihat dari sosoknya. Tiba-tiba aku tersadar ketika hujan tampak telah reda. Aku berlari menuju mobilku, meraih koperku dari sana. Setelah itu, aku kembali masuk ke dalam rumah tadi. Aku berjalan menaiki anak tangga seraya membawa koperku.

Satu per satu anak tangga telah kunaikki hingga aku berada di sini, di lantai dua rumah ini. Aku kembali melanjutkan langkahku. Ketika aku tengah melangkah, tiba-tiba sebuah pintu besar di hadapanku menarik perhatianku. Aku menyentuh handle pintu yang terasa begitu dingin. Menariknya dengan perlahan, hingga pintu terbuka. . ..

Aku membeku seketika. Bibirku terbuka. "Ya Tuhan ..." bisikku tanpa sadar. Aku melangkah menatap isi ruangan ini dengan terpana. Ada sebuah ranjang yang menarik perhatianku di tengah-tengah ruangan ini, sebuah ranjang yang begitu mengkilat dibaluti dengan emas dan berlian. Benar-benar indah.

Kuulurkan tanganku menyentuh ranjang itu. Sprei satin berwarna merah yang membaluti kasur di bawahnya terasa begitu dingin, namun begitu halus. Aku yakin, kenyamanan akan sangat terasa ketika berbaring di sini. Aku tersenyum dan membanting tubuhku ke atas sana. Ah ... benar, begitu nyaman.

Aku menatap langit-langit ruangan ini, ternyata ini bukan ruangan, ini adalah sebuah kamar. Kualihkan pandanganku pada dindingnya. Lagi, di sini terpajang lukisan sosok pria di bawah tadi. Namun, lukisan yang terpajang di sini bukan hanya satu, ada lima lukisan yang terpajang yang tampak begitu nyata.

Rumah siapa sebenarnya ini?

oOoOo

"Mungkin kau tak mengingatku, tapi aku akan membuatmu mengingatku kembali."

oOo

"Si ... siapa kau?!"

Pria dengan jubah hitam itu menyeringai ke arahku. Wajahnya tampak tertutupi sebuah tudung, membuatku hanya dapat melihat bibirnya saja. Ia semakin melangkah mendekat. Aku melangkah mundur mencoba menghindarinya, namun dengan cepat ia menarik pergelangan tanganku. Perlahan, ia mengusap lenganku merambat hingga ke leherku.

Dapat kulihat bibir tipisnya menyunggingkan senyuman miring. Aku mencoba menepis tangannya, tapi usahaku sia-sia. Seperti ada sesuatu yang menghalangiku, sehingga aku hanya dapat diam. Aku membeku. "Apa kau mengenalku, sayang?" Ia mengendus leherku. Kedua tangannya mengurung kedua pergelangan tanganku.

Suaraku tercekat, napasku memburu, kulirik ia yang tampak menyeringai di balik leherku. Ia tersenyum-senyum tak biasa, tersenyum menampakan dua gigi taringnya yang panjang. Mataku membelalak, jantungku berdetak seakan-akan mencelos seketika. Ia mengarahkan dua taring panjangnya tepat di kulit leherku.

Ketika taring itu telah menancap, aku merasakan sakit yang luar biasa. Dan aku merasa, terlahir kembali...

oOo

Aku terbangun dengan napas terengah. Keringat dingin terasa membanjiri keningku. Aku mengusap peluh tersebut dengan kasar. Kulirik sekitarku, ada yang aneh? Di mana aku? Dengan setengah kesadaranku, aku mencoba mengolah otakku agar bekerja dengan cepat. Kemarin ... ya kemarin, mobilku mogok. Itu yang aku ingat.

Aku menghela napas. Kulirik meja kecil di samping ranjang ini. Di sana terdapat segelas air. Aku meraihnya dan segera menegaknya dengan lapar. Kerongkonganku terasa kering dan mati rasa. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang bergesekan dengan tubuhku, rasanya terasa begitu halus. Aku segera melirik tubuhku. Seketika mataku membelalak.

Apa yang aku kenakan? Aku melirik pakaian tidur yang menempel di tubuhku dengan seksama. Pakaian tidur itu terbuat bahan yang begitu halus, berwarna merah, panjangnya hanya sampai lututku, dan kurasa terbuat dari satin. Ya Tuhan... Tadi aku bermimpi buruk dan sekarang aku terbangun dengan pakaian ini.

Aku menatap ke sekeliling kamar ini dengan hati-hati. Semua barang di sini masih tertata rapi. Tak ada tanda-tanda yang bagiku mencurigakan-maksudku-aku mengira mungkin saja ada orang yang masuk dan berniat berbuat jahat padaku. Semoga itu tak terjadi. Aku bangkit bergegas mendekati pintu. Keningku berkerut ketika pintu di kunci.

Tadi malam-sebelum aku tidur-aku memang sempat menguncinya. Jadi benar tak ada kejahatan disini kalau begitu. Lalu, siapa yang mengganti pakaianku? Dan apakah pemilik rumah ini telah kembali? Aku menghela napas kasar lalu melangkah menuju balkon kamar ini. Kupandang pemandangan di luar, di sana terdapat sebuah taman yang begitu indah.

Aku menatapnya dengan terpana. Dari halaman depan rumah ini tampak begitu menyeramkan, tapi kenapa di sini begitu indah bak surga? Taman yang indah dengan berbagai macam bunga menghiasinya. Membayangkan keindahannya, bibirku terangkat melukis senyuman. Ah ... pasti sangat menyenangkan jika dapat melukis di sana.

Suasana damai dan tenang itu akan membuatku betah berlama-lama untuk melukis. Kakiku segera melangkah menuju kamar mandi di kamar ini. Seketika aku hanya terpaku ketika pintu telah terbuka dengan lebar. Lagi, aku terkejut dengan kemewahan isi ruangan ini. Kakiku segera melangkah masuk. Aroma kayu-kayuan yang begitu harum menguar ke seluruh sudut ruangan.

Indra penciumanku tak dapat menolak harum tersebut. Aku melangkah mendekati sebuah bath tube yang begitu luas. Bath tube yang terbuat dari sebuah kaca. Di atas bath tube tersebut terdapat sebuah shower. Orang pintar mana yang dapat mengolah kaca menjadi sebuah bath tube? Selain itu, setiap sisi bath tube ini dihiasi dengan sebuah berlian.

Aku mengulurkan tanganku menyentuhnya. Aku mengulum senyum ketika merasakan air hangat yang menyentuh langsung kulit polosku. Aroma harum kayu menguar-menenggelamkan diriku ke dalam harum itu. Aku benar-benar hanyut dalam kenyamanan ini.

Mataku terpejam perlahan, menikmati tiap sentuhan air hangat, aroma yang menguar, dan keindahan bath tube yang kutempati. Aku sama sekali tak memikirkan siapa pemilik rumah ini, aku tak perduli. Tiba-tiba mataku terbuka ketika aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Mataku mengerjap beberapa kali, aku melirik sekitarku dengan waspada.

Tak ada siapa-siapa di sini. Aku segera bangkit dan menggosok gigiku. Setelah itu aku membilas tubuhku di bawah guyuran shower-bukan-ini bukan shower di bawah bath tube, tapi shower yang berada di balik bilik.

oOo

Aku menatap bayangan diriku di cermin seraya mengusap rambutku yang masih basah. Mataku menatap lurus tepat ke arah bayangan diriku. Aku tampak masih menggunakan bath robe-ku tanpa memakai apapun di dalam sana. Perlahan, tanganku bergerak melepaskan tali bath robe yang kukenakan.

Ketika bath robe itu telah terjatuh dari tubuhku, aku melangkah menuju koperku berada dan segera mencari pakaian di dalam sana. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh, rasanya aku merasakan seseorang memperhatikan ketelanjanganku. Aku membalikkan tubuhku, namun yang terlihat hanya sosok lukisan besar yang terpajang di dinding.

Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan lalu kembali mencari pakaianku. Setelah kutemukan, segera kugunakan pakaianku dengan cepat. Lalu aku mematut diriku di cermin. Sial, aku lupa membawa parfum. Aku merutuk dalam hati. Kulirik parfum yang tertata rapi di atas meja rias. Tanpa basa-basi aku meraihnya ke tanganku lalu menyemprotkannya perlahan ke atas kulit leherku.

Aroma musk langsung tercium dalam indra penciumanku. Maskulin? Keningku berkerut. Harumnya seperti parfum pria? Aku kembali menyimpan parfum itu kembali ke tempat asalnya. Tiba-tiba aku merasakan perutku berbunyi. Aku menghela napas kasar. Uang receh, ya ... hanya uang recehan yang kupunya.

Aku mengusap wajahku lalu membuka pintu kamar. Kakiku melangkah keluar, mulai menuruni anak tangga, kemudian dengan lincah melangkah berkeliling mencari-cari dapur. Hingga aku sampai di sana. Aku terpaku ketika melihat meja makan yang penuh dengan makanan. Mataku menatap makanan yang tersaji itu dengan lapar.

Aroma harum bau masakkan membuat perutku semakin berbunyi. Aku melangkah mendekat dengan ragu. Sedikit menunduk, aku menghirup aroma masakkan tersebut. Baunya sungguh enak pikirku. "Hm... " Tanpa sadar aku bergumam ketika makanan itu kucecapi. Aku memejamkan mataku sejenak, rasa makanan ini benar-benar menggugah selera.

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang basah melumat bibirku. Aku mengerjap kembali ke alam nyata. Jantungku tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat. Ketakutan mulai menyergapi diriku. Apa rumah ini berhantu? Aku begidik. Kulirik jendela kamar yang menyorot langsung halaman rumah. Di luar tampak hujan deras disertai badai.

Aneh ... padahal tadi langit terlihat cerah. Tanpa memikirkan apapun, aku kembali menyantap makanan di hadapanku dalam diam. Walau ragu dan takut, tapi aku sama sekali tak punya pilihan lain. Aku benar-benar kelaparan saat ini. Aku menyantap makananku dalam diam hingga selesai. Lagi, aku merasakan seseorang memperhatikanku. Kulirik ke kanan dan kiriku, tapi tak ada siapapun.

Oke, aku benar-benar takut sekarang. Aku bangkit hendak membereskan peralatan makan, namun tiba-tiba saja semua benda itu menghilang. Aku mengerjap kaget. Beberapa detik yang lalu aku hanya melirik ke samping, tapi dengan cepatnya semua benda ini menghilang. Aku menghela napas kasar. Dengan perasaan takut, aku berlari menuju pintu keluar.

Aku menarik handle pintu sekuat mungkin, tapi pintu terkunci dengan rapat. Dan badai di luar sungguh membuatku kebingungan. Bingung karena aku tak mungkin keluar, aku bisa mati dilahap hujan deras dan angin besar itu. Yang bisa aku lakukan sekarang adalah ... menunggu sampai esok. Menunggu sampai mimpi buruk ini pergi, semoga ... ini hanya mimpi, karena aku ingin pulang.

oOo

"Karena memang seharusnya kita dipertemukan kembali."

oOo

Aku melangkah mondar-mandir seraya menatap keluar kaca dengan perasaan gundah. Sesekali tanganku bergerak resah mengusap wajahku sendiri. Aku kebingungan sekarang, otakku tengah berfikir keras bagaimana caranya agar aku keluar dari sini? Andai aku tak masuk kesini, mungkin aku tak akan terkurung. Tapi, bagaimana nasibku jika aku tak pergi dari rumah?

Hoh.. pastinya aku akan masuk ke Fakultas Hukum. Mereka akan memaksaku. Aku terduduk di sebuah sofa yang menghadap langsung ke jendela. Mataku menatap cemas hujan badai diluar sana. Tanpa sadar aku mengusap lenganku dengan telapak tanganku sendiri. Udaranya benar-benar dingin. . ..

Aku harus mencari sesuatu di dalam koperku. Aku melangkah menuju kamar yang kutempati tadi malam. Segera kuraih koperku dan membukanya. Tanganku bergerak mencari-cari jaket tebal, tapi sama sekali tak kutemukan disana. Bagaimana bisa aku lupa membawa sebuah jaket? Aku mendesah kesal. Tiba-tiba pandangan mataku tertuju pada sebuah pintu Asing. Keningku berkerut.

Ada lagi pintu? Aku melangkah mendekat. Kubuka pintu tersebut dengan hati-hati. Sebuah walk-in-closet? Aku melangkah memasuki walk-in-closet itu dengan ragu. Mataku meneliti dengan cermat. Berbagai pakaian pria tergantung rapi di sini. Ada banyak sepatu yang tertata rapi, satu laci dasi, penjepit dasi, dan jubah berwarna hitam yang begitu panjang.

Aku melangkah mendekati jajaran jubah yang tergantung rapi itu. Bibirku terangkat menyunggingkan senyuman miring. Hei, apakah pemilik rumah ini seorang pemain drama? Dalam hati aku terkekeh. Ya Tuhan, pakaian kuno? Beberapa pakaian kerajaan kuno, entah Roma atau apa. Jubah panjang? Dan apakah mereka pesulap? Aku benar-benar tertawa sekarang.

Aku menyentuh jubah itu. Kemudian, kuraih jubah itu ke tanganku, lalu aku memakainya seraya bercermin. Bibirku kembali terangkat untuk tersenyum. Jubah ini benar-benar menghangatkan tubuhku. Bahannya yang halus dan lembut melingkupi tubuhku yang tidak begitu besar untuk ukuran pria. Aku mendekap jubah itu lebih erat ke tubuhku. Aroma maskulin menguar, membuatku memejamkan mata.

Aroma pria yang begitu lembut. . .. Aku mengerjap dengan cepat ketika tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan kekar memeluk pinggangku. Aku berbalik menatap sekitarku dengan takut-takut. Tak ada siapa-siapa di sini, hanya ada aku. Aku segera melangkah keluar. Ketika aku hendak meraih handle pintu, aku membeku. Entah aku salah atau apa.

Aku mendengar air shower yang menyala. Jantungku mulai berdetak dua kali lebih cepat. Aku menelan ludahku dengan susah payah. Kakiku melangkah dengan pelan menuju pintu kamar mandi. Aku menempelkan telingaku di sana, seketika aku terkejut. Air shower itu terdengar jelas membasahi lantai-maksudku-rintikkannya. Dan aku mendengar dehaman seorang pria.

Aku segera berlari keluar kamar ketika handle pintu bergerak. Aku terjaga di dekat pintu seraya memegang dadaku. Aku dapat mendengar detakkan jantungku yang berpacu dan napasku yang memburu karena takut. Aku menarik napas perlahan. Wajahku mendekat, mataku mengintip di balik celah pintu. Seketika aku tertegun, bibirku sedikit terbuka.

Seorang pria tampan, pria tampan? Aku tergagap dalam pikiranku. Pria tampan itu ... dia bukannya pria di lukisan itu? Aku menatap pria itu dengan seksama. Sungguh, sosoknya lebih tampan daripada di lukisan. Aku terus menatapnya tanpa berkedip. Ia tampak tengah mengusap rambutnya. Jadi apakah pria itu pemilik rumah ini?

Kapan sosok itu datang? Pupil mataku membesar. Pria itu tampak selesai dan kemudian bibirku menganga tak percaya. Ia-pria itu-masuk ke dalam lukisan yang terpajang di kamar itu. Dengan mudahnya, ia menembus ke dalam sana. Baru saja kakinya tenggelam ke dalam lukisan. Aku memekik karena tak tahan. Ia menoleh ke arahku dan menatapku dengan tajam.

Sorot matanya terlihat membara, ia memiliki mata yang begitu merah menyala. Kakiku segera melangkah berlari. Rumah ini dikutuk! Sialan, seharusnya aku tak masuk ke dalam rumah setan ini. Lihatlah, penghuninya adalah makhluk supranatural. Bagaimana bisa aku begitu bodoh hanya karena hujan?

Aku terus berlari. Dan ketika aku menuruni anak tangga, aku hampir saja terjatuh karena kakiku tak berhati-hati. Tapi, sebuah tangan memeluk pinggangku dengan erat. Aku menoleh seketika mataku membelalak. "Kau hampir saja mematahkan tulang-tulangmu, Nona. . .." Ia menggeram di balik giginya yang bergemeletuk. Hei apa-apaan tadi! Nona?! Aku adalah seorang pria. Pria! Namun aku tak mempermasalahkan karena sungguh aku sedang ketakutan sekarang. Matanya tampak menatapku dengan dingin.

Aku tergagap segera menjauh darinya, namun ia menarikku hingga aku kembali di lantai atas. Ia masih mencekal pergelangan tanganku. Sorot matanya benar-benar dingin. Sungguh, tatapannya menelanjangiku. "Si-siapa kau?!" Suaraku tercekat dan bergetar. Ia tersenyum. Senyum yang benar-benar menakutkan, "Kupikir kau mengenalku."

Bisiknya, membuat bulu kudukku meremang seketika. "Kau adalah ha-hantu, hantu penghuni rumah ini?" Mataku menatapnya dengan takut. "Apa kau berfikir begitu?" Ia menyeringai, "Aku pemilik rumah ini, Nona.. seharusnya aku yang bertanya kau siapa?" Ia menyilangkan tangannya di depan dada. Lagi, dia memanggilku dengan 'nona'. "Kau hantu-"

"Aku bukan hantu, beberapa menit yang lalu aku baru saja pulang."

"Tapi, kau masuk ke dalam lukisan itu. . .."

"Itu bagian dari sulapku. Bukankah kau berpikir aku seorang pesulap?" Ia mengangkat sebelah halisnya. "Ya-ya, a-aku fikir begitu. Kau-tapi-bagaimana bisa kau mengetahui itu? Maksudku-aku tidak bersuara-"

"Aku pesulap, kau tau pesulap bagaimana. Tentu saja, aku bisa membaca pikiranmu itu." Terangnya dengan datar. Aku menggigit bibir bawahku dengan gugup. Bingung, aku bingung dengan apa yang harus kulakukan. Pemilik rumah ini bukan hantu, dia ternyata seorang pesulap. "Apa kau masih berpikiran bahwa aku hantu?" Ia mengerutkan keningnya tak suka.

Aku menggeleng ragu, "Tidak! Tentu tidak, Tuan! Maaf sebelumnya aku lancang masuk ke dalam rumahmu tanpa meminta izin."

"Aku mengerti. Ikutlah ... akan kutunjukkan padamu."

"Eh?" Ia menarik tanganku begitu saja. Kami kembali memasuki kamar tadi. Aku menatapnya dengan takut. Ia menaiki ranjang. "Ayo ... akan kutunjukkan sulapku. Agar kau tak takut." Ujarnya. Dengan ragu aku mengikutinya. Tangannya yang terasa dingin menggenggam tanganku. Aku hanya bergidik saat tangannya bersentuhan langsung dengan tanganku. Ia mengulum senyum.

"Lihatlah. . .." Ia memasukan tangan kami ke dalam lukisan itu. Perlahan tanganku tenggelam, menembus begitu saja ke dalam lukisan. "Bagaimana bisa?" Aku menahan senyumanku. "Tentu bisa, berapa kali aku harus mengatakan bahwa aku pesulap? Kau percaya padaku? Aku bukan hantu." Kekehnya pelan.

Aku melepas jari kami yang bertautan ketika tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Rasanya aliran darahku berdesir. Aku meliriknya sekilas. "Namaku Oh Sehun, aku pemilik rumah ini dan aku pesulap." Ujarnya. "Dan kau?"

"Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri seperti orang bodoh. Ia mengangguk pelan. "Aku Jongin. Dan aku bukan wanita, jadi jangan memanggilku 'nona'." Ia mengulum senyum. "Tapi kau cantik seperti wanita," Entah apa arti dibalik senyuman itu. Aku hanya dapat menatap kedua bola matanya yang tampak cerah. Bukankah tadi matanya berwarna merah? Mungkin aku salah lihat.

Tidak ada manusia di dunia ini yang memilikki warna mata merah, bukan? Kecuali makhluk penghisap darah ... err ... yang hanya ada dalam cerita-cerita.

oOo

Rumah luas ini tampak ramai karena pemiliknya telah kembali. Dan Hawa dingin diluar masih terasa karena badai belum berhenti. Aku mendesah pelan. Kapan aku pulang? Rasanya aku merasakan hal aneh ketika para pelayan di rumah Sehun menatapku. Seakan-akan mereka akan melahapku hidup-hidup.

Tatapan mereka menyiratkan sesuatu yang tak nyaman bagiku. "Apa pelayanmu selalu menatap semua orang seperti itu?" Bisikku. "Maksudmu?" Sehun mengerutkan keningnya. Tepatnya dua hari yang lalu aku salah paham dan dua hari kemudian kami menjadi akrab. Menurutku, Sehun adalah pria yang baik, dia adalah sosok yang friendly.

Tapi, aku masih heran dengan satu hal, sebenarnya ... siapa yang menciumku? Jujur saja, itu keterlaluan. "Kau tau, tatapan mereka seperti kelaparan. Apa mereka baik-baik saja?" Sehun menyeringai, "mereka memang begitu," tiba-tiba raut wajahnya menjadi datar, "Akan kuperingatkan nanti." Geramnya pelan.

Aku mengusap cangkir dalam genggamanku seraya menatap lurus keluar jendela. "Kapan badainya berhenti?"

"Ini akan lama." Bisik Sehun pelan. "Aku harus pulang,"

"Bukankah kau sedang menghindari keluargamu?" Aku tertegun, "Bagaimana kau tau?"

"Aku bisa meramal. Aku pesulap, ingatlah itu ..." Aku terdiam beberapa saat, lalu kembali berujar. "Maaf aku lancang, aku memasuki rumahmu tanpa permisi dan memakai milikmu." Aku kembali mengingat tingkahku yang seenaknya. "Apa?"

"Jubahmu, parfum milikmu, kamarmu, semuanya aku memakainya seenaknya."

"Aku sama sekali tak keberatan." Ia tersenyum, kemudian berdeham, "Aku senang kau memakainya."

"Senang?" Keningku berkerut. Bibirku membentuk garis simpul. Selang beberapa detik, Aku melumat bibirku sendiri. Sehun tampak tersenyum canggung, "Baiklah, sepertinya kau harus makan malam. Pelayanku telah menyiapkan."

"Kau tak makan?" tanyaku. "Aku tak memakan apapun untuk beberapa waktu."

"Kenapa?" Ia hanya menjawabnya dengan mengulum senyum.

Selesai makan malam, Sehun mengajakku mengelilingi sekitar rumah, sekedar melihat-lihat. Tentunya masih di dalam karena di luar badai. "Kau memiliki banyak barang yang antik." Aku menyentuh sebuah vas bunga yang klasik miliknya. "Dan lukisan... " Tambahku seraya mengusap lukisan sosoknya yang tampak begitu nyata.

"Aku melukisnya sendiri." Sehun berujar dengan datar. "Benarkah?" Mataku berbinar. "Kau begitu pandai membuat lukisan yang nyata." Bisikku kagum. "Hanya dengan sedikit sentuhan." Ia mengangkat bahu. "Aku melukis jika aku bosan, tapi semuanya berjalan begitu saja menjadi kebiasaan. Menjadi banyak koleksi di rumahku."

"Aku juga suka melukis, tapi orang tuaku melarangku. Mereka tak setuju." Bisikku pelan seraya menerawang. Membayangkan ketika kedua orang tuaku-terutama Ibuku-sangat tak setuju aku berkeinginan menjadi pelukis. Sehun mengusap tanganku dengan pelan. "Kau memilikki harum yang berbeda." Ia memejamkan matanya.

Keningku berkerut, "Sehun? Apa kau baik-baik saja?" tanyaku takut. Ia tampak pucat. Sosoknya berubah drastis. "A-aku baik-baik saja, sebaiknya kau segera ke kamarku. Kau tidurlah di sana lagi." Ia memaksakan sebuah senyuman. "Tapi, di mana kau akan tidur nanti?"

"Tidurlah, Jongin ... jangan pikirkan aku." Ia menjauh begitu saja. Sosoknya menghilang di balik sebuah pintu. Rasa penasaran langsung merayapiku. Aku melangkah mengikutinya. Menyusulnya ke dalam ruangan itu. Ruangan itu tampak begitu luas, namun gelap. Hanya ada penerangan seadanya disini. Kakiku melangkah dengan mengendap-endap.

Berharap tak menimbulkan suara. Langkahku terhenti ketika aku melihat sosok Sehun yang mematung. Beberapa pengawal di rumahnya, tampak berada di sampingnya. "Sialan!" Sehun memukul salah satu pengawalnya dengan tangan kosong. Ia tampak menggeram marah, "Jangan membuat kekasihku takut, bodoh!" Bentaknya.

Seorang pengawal yang mendapatkan bogem mentah itu hanya tertunduk. "Tuan, dia ... dia memilikki harum yang-"

"Aku tak perduli!" bentaknya lagi. Sebenarnya, siapa yang ia bicarakan? "Seujung jari kalian menyentuhnya, apalagi melukainya, aku akan membakar kalian hidup-hidup!" ancamnya. "Ja-jangan, Tuan..." Pengawal itu menjawab dengan suara ketakutan. "Sekarang mana, mana minumanku!"

"Mana? Berikan padaku sekarang!" bentaknya menggelegar. Seorang pelayan di sampingnya menyerahkan satu gelas cairan berwarna merah ke arahnya. Sehun menerimanya dengan cepat. Ia menegak habis minuman itu tanpa sisa. Cairan apa itu? Mataku meneliti dengan seksama.

Ia tampak tersenyum, tepatnya tersenyum lebar. Dua gigi taringnya memanjang. Mataku membelalak. Ia memilikki dua gigi taring, matanya tampak membara, dan tiba-tiba sebuah jubah melingkupi tubuhnya. Ia mengusap bibirnya yang memerah dengan tenang. Apakah cairan itu darah?

Aku begidik. Rasanya aku ingin muntah. Tiba-tiba sebuah benda dengan tak sengaja kugenggam. Aku memekik, Cicak! Aku menatap ke arah Sehun dan para pengawalnya yang kini menatap ke arahku. Sehun tersenyum sinis. Aku menatapnya dengan takut. Ia melangkah mendekat, dan aku semakin mundur.

Ya Tuhan, Mereka bukan manusia! Aku benar-benar takut sekarang, apakah mereka akan melukaiku?! Seseorang tolonglah aku!

oOo

AUTHOR POV

Bugh ... bugh. . ..

Pria itu terus melemparkan bogem mentahnya tanpa henti. Ia sama sekali tak perduli dengan seorang pria yang telah meminta ampun sedari tadi. Ia terus memukuli pria malang itu tanpa ampun. "Sehun! Stop! Hentikan!" Hingga sebuah teriakan membuatnya berhenti. Ia mengusap kepalan tangannya yang sedikit memerah.

Kemudian ia menatap pengawal yang ia pukuli tadi dengan geram. "Kau! Jangan lari dariku!" ancamnya. Ia menoleh ke arah pengawal lain yang tampak ketakutan. "Bakar dia!"

"Tu-tuan am-pun, Tuan ... ja-jangan-" pria itu menunduk ketakutan. "Cepat bawa dia!" bentaknya menggema. Para pengawal di sampingnya dengan terpaksa segera membawa pria itu. "Sehun ..." panggil seseorang. "Dia mengetahuinya, rencanaku gagal." Desah pria yang disebut namanya itu.

"Tidak! rencanamu tidak akan gagal." Wanita separuh baya di sampingnya menggeleng. Dengan tenangnya ia duduk diikuti oleh Sehun. Wanita separuh baya itu menyesap cairan merah di tangannya dengan santai. Sejenak ia memejamkan matanya, meresapi betapa nikmatnya cairan itu, pemberi kehidupan dan kekuatan bagi dirinya.

"Dia telah mengetahuinya Bu-"

"Berapa pengawal yang kau bunuh hari ini?" Wanita itu mengalihkan pembicaraan. "Sepuluh." Sehun bergumam setengah menggeram. "Kenapa mereka?" Wanita itu kembali menyesap minumannya.

"Mereka menatap Jongin dengan lapar. Mereka juga telah memilikki rencana untuk mengambil darahnya." Jelas Sehun dengan mata yang menerawang. "Apa Ibu tau mereka juga menyembunyikan harum Jongin dariku?"

"Maksudmu?"

"Mereka dengan sengaja mengalihkan penciumanku. Mereka memberiku darah manusia yang telah di campur air suci."

"Ada baiknya kau mengganti pengawal untuk Jongin- maksudku-harum Jongin berbeda, mereka pasti menginginkannya. Kecuali, jika kau melakukannya pada Jongin. Dia akan memilikki harum yang sama dengan tubuhmu." Wanita itu menghela nafas, "Dan kau, hanya kau yang dapat mencium baunya." Wanita itu mengakhiri ucapannya dengan tegas.

"Kau memang mencium harum di tubuh Jongin, tapi kau tak akan berani seujung jari-pun untuk menyakitinya," tambah wanita itu lagi. "Apa dia sama seperti Kai?" Sehun menggumamkan nama itu dengan sedih. "Bagaimana perasaanmu terhadapnya Sehun?" Wanita itu tak menjawab, melainkan balik mempertanyakan.

"A-aku ... aku sangat menyayanginya."

oOo

JONGIN POV

Aku terbangun ketika mendengar suara keributan. Mataku mengerjap beberapa kali untuk memperjelas penglihatan. Objek pertama yang kutangkap adalah sinar matahari yang begitu menyilaukan. Sinar matahari?! Aku segera bangkit. Kakiku hendak melangkah keluar. Pasti badainya telah berhenti pikirku.

Tapi, tunggu dulu! Aku menatap sekelilingku. Ingatanku kembali berputar pada kejadian itu, kejadian dimana aku bertemu dengan seorang pria tampan bernama Sehun, kemudian melihatnya meminum cairan... Mataku mengerjap. Di mana aku sekarang?! Aku menatap sekelilingku dengan berhati-hati. Aku ada di kamarnya.

Kulirik pakaianku yang telah berganti, lagi! Siapa yang mengganti pakaianku? Aku mengusap wajahku dengan kasar. Ya Tuhan ... aku ingin pulang. Aku tak ingin mati sia-sia di sini, disantap oleh para makhluk penghisap darah itu. Aku terduduk lemas di pinggiran ranjang. Bibirku terkatup rapat. Rasanya tanganku mulai kembali terbanjiri oleh keringat dingin.

Apakah aku akan mati kehabisan darah di sini? Tiba-tiba ketika aku tengah menunduk menatap kedua kakiku, pintu terbuka. Aku mengalihkan pandanganku ke arah sana. Seorang wanita separuh baya tampak tersenyum ke arahku. Aku menatapnya dengan takut. "Waktunya makan siang, Tuan ... " ujarnya seraya menyimpan nampan di atas nakas.

"Kau siapa?"

"Aku Shinhye, kepala pelayan di rumah ini. Tuan Sehun memerintahkanku untuk membawakan makan siang untukmu." Jelasnya dengan ramah. Sehun? "Di mana Sehun?!" Ujarku tak sabaran. "Beliau sedang berada-"

"Aku ingin pulang, keluarkan aku dari sini, kumohon ... " bisikku pilu, seperti bukan diriku saja. "Maaf, Tuan-"

"Apa kalian akan menyantapku hidup-hidup? Kumohon ... jangan." Shinhye hanya mengulum senyum, "Makanlah, Tuan. Tuan Sehun akan marah padaku jika kau tak menghabiskan makananmu. Beberapa menit lagi dia akan ke sini." Ia menjauh begitu saja. Aku melangkah menuju pintu.

Kutarik handle pintu dengan kuat, namun alhasil aku malah terjengkang ke belakang. Aku kembali terduduk lemas di atas ranjang seraya menangis pelan, benar-benar bukan diriku. Aku ingin pulang ... Ya Tuhan ... "Kenapa kau tidak memakan makananmu, Jongin?" Suara bariton yang memanggil namaku membuatku menoleh. Seketika aku terkejut.

Di lukisan besar, tampak Sehun muncul dari sana. Dengan jubah panjang yang ia kenakan, ia melangkah santai di atas ranjang menuju ke arahku. Aku menatapnya dengan takut-takut. Ia tampak begitu menyeramkan dengan mata merahnya yang menyala dan Gigi taringnya yang tampak mencuat keluar.

"Makan, Jongin ... habiskan!" tegasnya. "Aku ingin pulang ... " ujarku dengan bergetar. Sehun menghela napas. Ia memejamkan matanya. Aku masih setia menatapnya tanpa berniat mengalihkan pandanganku darinya. Perlahan, mata merahnya berubah menjadi warna mata cokelat keemasan, kemudian gigi taringnya menghilang begitu saja.

"Kau tak boleh pergi."

"Kenapa?!" Aku membentaknya dengan suara bergetar, "Aku ingin pulang ... aku tak ingin mati sia-sia di sini." Sehun terkekeh, "Aku tidak akan menyakitimu, sayang... " Pria itu mengusap wajahku dengan pelan. Tangannya terasa begitu hangat. Aku memejamkan mataku ketakutan, "Ja-jangan sentuh aku!"

Ia menangkup wajahku dengan kasar, "Tatap aku, Jongin!" Aku memejamkan mataku. Tak sedikitpun kubuka mataku untuk menatapnya. Ia tampak menggeram. Lalu selanjutnya kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Mataku membelalak, aku memberontak memukul dadanya dengan pelan.

Ia melepaskan ciumannya, "Bagus." Sehun tersenyum miring, "tatap aku, sayang.. " bisiknya lembut. Aku menatapnya dengan nanar, "Kumohon.. jangan sakiti aku.." bisikku seraya terisak pelan. "Hei ... aku tidak akan menyakitimu."

"Hiks... " Aku kembali memejamkan mataku, "Biarkan aku pergi ... " lirihku. "Tidak!" Ia menggeram. "Aku ingin pulang ... aku akan mengganti apapun yang pernah kugunakan. Aku janji, aku akan membayar." Ujarku. Ia tampak menyeringai, "sayangnya, bukan itu yang aku mau." Tatapannya berubah menjadi tajam, "Sekarang makan."

Aku menggeleng, "Aku ingin pulang!"

"Kau ingin pulang? Silahkan kalau begitu, kupastikan kau akan kembali ke sini." Sehun melempar kunci mobil milikku. Kunci yang tak utuh lagi melainkan kunci mobilku yang telah patah. Aku melempar kunci mobil itu ke arahnya, namun kunci mobil itu sama sekali tak ia tangkap.

Kunci mobil itu mengambang tepat di depan wajahnya, beberapa detik kemudian kunci mobil itu berubah menjadi abu. Mataku membelalak. Sehun melangkah mendekat ke arahku. Aku terus memundurkan langkahku hingga aku terjatuh ke atas ranjang. Ia menatapku dengan senyum sinis yang terukir di bibirnya.

Aku terus mundur hingga terpojok di kepala ranjang. "Menjauh!" ujarku dengan suara bergetar karena takut. Ia mencekal pergelangan tanganku. Sebelah tangannya meraih sesuatu dari dalam sakunya. Aku hanya dapat memejamkan mataku ketakutan. Beberapa detik kemudian aku membuka mata ketika merasakan sesuatu melingkar di tanganku.

Sehun mengikat kedua tanganku dengan sebuah dasi berwarna hitam. Ia mengikat tanganku tepat di kepala ranjang. "Kumohon ... ja-jangan ..." lirihku pilu. "Diam ..." bisiknya tepat di telingaku. Aku hanya memejamkan mataku, pasrah dengan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Ucapan dan umpatan dengan kata-kata kotor yang biasa kugunakan untuk mengusir para pria brengsek yang menggangguku hilang begitu saja. Aku sama sekali tak melawan ketika Sehun membuka ikatan piyamaku. Bahkan ketika ia menciumku, aku hanya pasrah. Sebenarnya apa yang terjadi dalam diriku?

Aku seperti orang bodoh yang hanya pasrah ketika Dracula tampan itu melakukan hal tak senonoh padaku. Aku seperti merasakan sesuatu yang tak asing ketika ia menjalankan jari-jarinya di sekitar tubuhku. Dan ketika aku merasakan sesuatu yang membuatku melayang, semuanya terasa tak asing bagiku.

Ini versi Yaoi-nya guys.. karena ada yang minta yaoi juga haha..

Terserah kalian mau baca yang gs or yaoi tetapi jangan lupa review yah hehe...

Ini bab 1 dan 2 yang gs ver, lalu aku jadiin 1 bab di versi yaoi-nya. Terimakasih~~