Itu bukan pertama kalinya.

Saat sneakers hitam Mark terhentikan, membeku di hadapan seorang lelaki berambut coklat yang selalu berantakan, dengan wajah mengantuk melewati sang wakil kapten tim basket. Seorang lelaki yang akhir-akhir ini betah menguasai seluruh isi pikiran Mark.

Mark meneguk ludahnya kasar, hatinya berdegup kencang. Dia pun tidak yakin mengapa ia menghentikan langkahnya, namun dia ingin memerhatikan wajah lelaki itu dengan seksama; mengingat seluruh detailnya hanya dalam beberapa detik sebelum dia berlalu dari pandangan Mark.

"Cantik," gumamnya, kagum setiap kali lelaki itu muncul di hadapannya. Hatinya belum berhenti berdebar, matanya masih terlekat dengan punggung lelaki itu yang makin lama makin menjauh, menghilang dari pandangan Mark. Rasanya ingin sekali Mark mengejarnya, meraih pundaknya dan—mengaguminya lagi.

Tapi kedua kaki Mark bagaikan menyatu dengan lantai, badannya pun masih membeku. Jantungnya masih berdegup kencang, penasaran tentang lelaki itu.

Namanya saja. Cukup mengetahui namanya dan Mark akan lebih lega.

.

.

About You, Baby

by yuchi-kun

| Highschool AU | Yaoi | Chapter 1 |Rated PG 15 |

Pairings: (Mark x Haechan), (Jeno x Jaemin), (Renjun x Chenle), slight!(Jaehyun x Taeyong), other side pairs.

Disclaimer: NCTDREAM and other idols that I casted are not mine. I only own the silly OCs and the ridiculous plot. Haha, useless English rambles.

Warning! YAOI. I don't appreciate any harsh comments, so I would like you to step back if you don't like it. I've warned you.

Dan ke-gaje-an, ke-garing-an, dan jalan cerita ga waras dari author yang sama ga warasnya. Please try to enjoy it, even if you'll end up puking all over your keyboard—I don't care tbh.

.

.

Mata sipit dengan pernik almond, bibir tipis pink yang selalu mengerucut lucu, hidung kecil mancung. Wajah lelaki itu bisa dibilang biasa-biasa saja, tidak ada yang terlalu spesial. Bahkan Jaemin pun bisa dibilang lebih tampan darinya.

Entah apa yang membuat Mark sangat terpesona sampai wajah lelaki itu selalu terlintas di benaknya. Mungkin karena semburat merah samar yang selalu menempel di pipinya, atau caranya menata rambut dengan acak-acakan, tampak tidak peduli sedikit pun tentang kerapihan.

Kemarin lelaki itu memakai sweater biru dan sepasang jeans abu-abu. Sepatunya masih sneakers hitam yang sama, dengan tali yang ia biarkan terlepas. Rambutnya pun berantakan, saking berantakannya Mark berpikir kalau mungkin lelaki itu tidak menyisir rambutnya—paling tidak merapikannya sebelum berangkat ke sekolah.

Bukannya Mark tidak suka, mungkin justru itu yang membuat Mark terpesona. Lelaki itu tetap terlihat cantik di mata Mark walau ujung kepala sampai kakinya berkata bahwa dia adalah seseorang yang sama sekali tidak mementingkan penampilannya. Kecantikannya terlihat natural, dan itu membuat Mark kagum, dan terpesona.

"Mark-hyung,"

Badan Mark tersentak, terbuyar dari lamunannya; potongan ayam kecap di sendoknya jatuh ke dalam mangkuk sup Jaemin yang masih setengah terisi, membuat pemiliknya menjerit dengan nada tinggi sambil memukul kepala Mark.

"Sup jagungku!" rengeknya.

Renjun yang memanggil Mark terkikik geli karena jeritan Jaemin yang membuat seluruh kantin menoleh ke arah mereka, menatap sang pemilik rambut mahogany dengan tatapan aneh.

"Kenapa, Renjun?" Mark bertanya kepada yang memanggil, tidak mengacuhkan Jaemin yang saat ini masih merengek manja di sebelahnya, mencoba menyelamatkan sup jagung yang ia beli dengan uang tabungannya.

Renjun menggelengkan kepalanya. "Kau tadi melamun," jawabnya singkat, tersenyum penuh kepolosan. Jaemin mengerutkan dahinya. "Kau memanggil pria bodoh ini karena dia melamun dan ayam menjijikkannya harus mengotori sup jagungku?"

"Hei, siapa yang kau panggil pria bodoh, sialan?"

"Tentu saja kau, bodoh."

"Sudah, sudah," Renjun menengahi mereka sambil tertawa. Kedua temannya ini selalu bertengkar karena hal kecil. Walaupun begitu mereka bertiga sudah akur semenjak sekolah dasar; sesering-seringnya ada pertengkaran mereka tidak bisa dipisahkan.

Jaemin menggembungkan pipinya, lalu menghentakkan kakinya sebal sebelum—dengan pasrah—melanjutkan makannya.

Mark menghela nafas, "Akan kubelikan yang baru, Jaemin-ah."

Tuh, kan.

Mata Jaemin langsung berbinar. "Kau berjanji!" serunya.

"Janji tidak ya—"

"Harus janji!" Jaemin menjerit lagi, memukul meja kantin kencang dan berdiri, sekali lagi menarik perhatian seisi kantin. Tapi Jaemin tidak peduli.

Karena sekali Mark 'harus' dipalak maka tidak ada ampun yang akan Jaemin berikan.

"Jaemin," Renjun tiba-tiba berhenti tertawa dan berbisik. "Ada Jeno, tuh, nggak malu?"

Jaemin langsung memerah setelah mendengar nama orang yang disukainya. Tanpa menoleh atau basa-basi apapun, dia langsung duduk dengan kasar dan melanjutkan makannya dalam diam; tidak membahas soal Mark yang harus menggantikan sup jagungnya atau Renjun yang cekikikan karenanya saat ini.

Mark bersiul, mengangkat kedua alisnya sambil memutar badannya di tempat, memerhatikan seisi ruangan. Matanya terhenti di suatu meja yang berisi tiga orang, menangkap sesosok orang yang selama ini selalu Jaemin bicarakan—sedang memandang ke arah meja mereka.

"Jaemin!" si pemilik rambut pink berbisik. "Jeno sedang melihat ke sini!"

"Tidak!" Jaemin merengek lagi, panik. Gerakannya bertambah cepat, memasukkan sesendok sup jagung ke mulutnya lalu mengeluarkannya untuk sesendok sup jagung dan memasukkannya lagi ke dalam mulutnya.

Renjun tidak dapat berhenti tertawa, dan kini Mark pun bergabung dengannya dan menertawakan Jaemin yang sedang mati-matian menahan malu.

Wajah Jaemin semakin memerah. "Dia masih melihat ke sini?" tanya Jaemin pelan, meneguk sup jagungnya yang sudah bercampur dengan ayam kecap Mark.

Renjun yang dapat melihat Jeno dengan jelas mengangguk, lalu menggeleng, lalu mengangguk lagi. Jaemin dan Mark melongo. "Renjun, kau—"

"Dia sudah pergi," potong Renjun cepat. "Tapi dia masih melihat ke arahmu. Tapi sudah tidak."

Jaemin menghela nafasnya panjang, merasa lega karena sang gebetan sudah pergi. Akhirnya dia bisa makan dengan tenang, tanpa menjaga 'image'-nya sebagai ulzzang kelas 11.

Lalu suasana di meja itu berubah menjadi tenang. Tidak ada satu pun yang berbicara, semuanya fokus terhadap makanan mereka, bahkan Jaemin.

Ralat itu. Suasananya terlalu tenang.

Renjun tiba-tiba berdehem, menarik perhatian kedua temannya. "Mark-hyung, boleh aku bertanya sesuatu?"

Mark menatap Renjun sejenak sebelum mengangguk, memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.

"Itu," si rambut hitam menghela nafas. "Akhir-akhir ini kau sering melamun. Apa kau baik-baik saja, hyung?"

"Aku?" yang ditanya malah balik bertanya, menunjuk dirinya sendiri dengan wajah polos. Renjun mengangguk pasti, di wajahnya tertera kekhawatiran. Jaemin juga jadi ikut memperhatikan wajah pria yang paling tua di antara mereka. Memang benar akhir-akhir ini Mark sering tiba-tiba melamun, Jaemin menyadarinya. Bahkan saat mereka pulang bersama beberapa hari yang lalu, Mark hampir menabrak tiang listrik karena melamun. Dia hampir membuang tas sekolahnya, lalu hampir meminum air garam percobaan kimia Renjun, dan hampir masuk ke toilet perempuan, karena melamun.

Renjun dan Jaemin bertatap-tatapan sesaat sebelum mengangguk berbarengan.

Mark terdiam. Matanya tertuju ke arah nasi dan ayam kecap di dalam kotak bekalnya, berantakan dengan omelette keju yang sudah bercampur dengan saus tomat, bawang goreng, dan kerupuk udang.

Ah, saus tomat.

Merah pekat, mengingatkan sang wakil kapten tim basket kepada lelaki itu. Merah seperti semburat warna indah yang selalu berada di pipinya. Mark selalu memiliki keinginan tersendiri untuk menyentuhnya, memastikan bahwa warna itu natural.

Pikiran Mark melayang. Hari ini Mark tidak melihat pria itu di depan lapangan basket indoor, lewat dengan rambut berantakannya seperti biasa. Aneh. Padahal sekitar dua minggu terakhir sampai kemarin mereka selalu berpapasan di depan loker-loker biru langit setiap pagi, dua minggu sejak Mark pertama kali terpesona akan dirinya.

Tiga puluh menit Mark menunggu di depan deretan loker itu, mengetuk-ngetukkan kakinya di lantai dan meneguk ludahnya berkali-kali. Namun sampai bel masuk berdering pun tidak ada tanda-tanda kehadirannya, membuat Mark dengan setengah hati menyeret kakinya ke kelas Fisika.

Mark menyapu rambut pink-nya ke belakang dengan jari-jarinya sambil menghela nafas panjang, otomatis membuat rahang kedua teman semeja kantinnya terjatuh setelah menunggu lama untuk mendengar jawabannya.

"Ada apa, hyung?"

"Saus tomat."

"Saus to—"

"Indah dan memesona."

Jaemin dan Renjun melongo lagi. "Dia kenapa?" tanya Renjun, mengerutkan dahinya. Jaemin mengangkat bahu, menyuap sesendok sup jagungnya lalu berkata,

"Memang bodoh dan aneh dia. Sudahlah biarkan saja."

.

.

.

Pegal, lengket, dan bau keringat.

Tiga konsekuensi yang seluruh anggota tim basket Dream High dapatkan setelah masuk ke dalam tim inti. Mark mengusap peluhnya, duduk di bangku besi panjang di sudut lapangan basket yang luas milik sekolahnya. Coach Yifan tampaknya ingin habis-habisan melatih anggota tim inti yang baru. Dan efeknya adalah 11 mayat bergeletakan di lapangan.

"Markiepoo," Mark menoleh, mendapati sang kapten tim basket sedang tersenyum ke arahnya sambil menyodorkannya sebotol Pepsi. Mark merengut, "Jaehyun, apa kau sedang menawarkanku Pepsi itu?"

Jaehyun tersenyum kuda lalu mengangguk dan duduk di sebelah Mark; tangannya masih menyodorkan sebotol Pepsi itu ke arah si rambut pink. "Tidak ada yang minum Pepsi setelah perang, Jaehyun, tidak sehat," Mark berujar, mengelap keringat yang terus mengalir dari dahinya dengan handuk putih yang dikalungkan di lehernya.

Si kapten tertawa. "Tidak perlu kau minum sekarang, bodoh. Simpan saja, hadiah dariku."

Mark menatap Jaehyun bingung. "Hadiah?"

"Mhm," Jaehyun mengangguk, meletakkan sebotol Pepsi itu di paha Mark dengan tidak bertanggungjawab. "Sebenarnya tadi itu kubelikan untuk Jisung, tapi dia harus menghadiri rapat OSIS tidak penting sekolahnya hari ini jadi—hei, hei, Sanha, Moonbin, beristirahatlah dulu, jangan memaksakan diri! Sicheng! Tidak—jangan masuk ke situ, itu ruang ganti wanita! Hei—Sicheng!"

Sicheng yang sudah meraih gagang pintu ruang ganti wanita menoleh ke arah Jaehyun yang sedang melompat ke arahnya dengan wajah tablo, seakan melihat seekor babon bersayap yang sedang terbang. Jaehyun menabrak Sicheng dengan kelewat sengaja, otomatis menggulingkan mereka berdua ke lantai.

Sicheng tiba-tiba mengerang nista, lalu Kun menabrak ring basket, lapangan menjadi gaduh.

Mark, sebagai wakil kapten tim basket yang bertanggungjawab dan peduli terhadap timnya memutuskan untuk melarikan diri ke ruangan loker.

.

.

.

Tidak seperti lapangan yang saat ini seperti pasar malam, suasana ruang loker itu bagaikan hati seorang Moon Taeil, kosong dan hampa.

Mark mendudukkan pantat datarnya di salah satu bangku, menyenderkan punggungnya ke dinding yang terasa dingin entah kenapa. Tangannya meraih botol minum milik Seungkwan, teman sekelasnya dan juga seorang point guard tim basket inti sekolah mereka.

Pria itu menghela nafasnya panjang. Sepanjang sparing basket tadi, pikirannya tidak terfokus terhadap game samasekali. Pikirannya melayang ke seseorang berambut coklat dan bibir pink tipis, mata yang selalu setengah terbuka; tidak berhenti menghantui pikirannya semenjak kemarin malam.

Bukan, dia tidak berhenti menghantui pikirannya semenjak dua minggu yang lalu—semenjak pertemuan pertama mereka.

Mark mendesah. Dia tidak bisa terus begini. Lelaki itu selalu muncul di pikirannya semenjak saat itu, tidak tahu waktu maupun tempat—dia selalu muncul di benaknya. Di kelas, di lapangan, di kamar, bahkan di toilet. Selalu begitu padahal dia samasekali tidak mengenalnya. Jangankan kenal, namanya saja Mark tidak tahu.

"Minhyung, dimana yang lain?"

Pria pemilik nama korea Minhyung itu terbangun dari lamunannya, dengan sigap ia menegakkan punggungnya dan menoleh ke arah suara itu berasal, mendapati kawannya Yuta sedang melongok ke dalam ruang loker dengan wajah datar.

"Lapangan," jawab Mark singkat, merasakan suatu hawa berbahaya memancar dari tubuh si pria kelahiran Osaka itu.

Yuta mengangguk simpel. "Taeyong ingin bertemu dengan Jaehyunnya. Tapi kalau dia sedang sibuk, mungkin kau bisa menemuinya, Minhyung. Sepertinya ini tentang kegiatan klub dance juga."

"Hm," Mark balas mengangguk, meregangkan tubuhnya sebelum bangun dari duduknya. "Aku akan ke sana sekarang."

Sang pria Jepang mengangguk lagi, masih dengan wajah datarnya; lalu pergi meninggalkan Mark yang kembali sendiri di ruang loker.

Mark menghela nafasnya lagi, mengusap tengkuknya yang sempat merinding karena sang sadako—maksudnya sang Yuta, yang tidak biasanya sedatar itu. "Ada apa dengannya?" gumam Mark pelan, memiringkan kepalanya bingung. Pria itu mengangkat bahunya, memutuskan untuk tidak memikirkan masalah orang lain dan berjalan keluar lapangan yang masih gaduh itu.

.

.

.

Namanya adalah Lee Taeyong, seorang kapten klub dance Dream High, berambut putih layaknya uban kakek Jaemin yang umurnya sudah 127 tahun. Ulzzang kelas 12 yang dipuja-puja oleh sekolah, baik siswa-siswa maupun siswi-siswinya. Jadian dengan seorang Jung Jaehyun atau kapten tim basket semenjak pertengahan kelas 11 dengan tidak elitnya.

Ya, tidak elit.

Siapa yang menyatakan cinta di tengah-tengah jurit malam berlumpur di depan toilet pria yang berbau seperti toilet pria dengan seorang Moon Taeil yang memakai wig kusut dan hanbok wanita, memegangi gagang lentera dari jauh? Jung Jaehyun.

Namun seorang Lee Taeyong yang notabene berhati mulia, baik hati, dan rajin menabung itu mau saja menerima perasaan Jaehyun, bahkan jadian dengannya.

Tidak ada yang tahu isi pikiran Taeyong saat itu, tapi tidak ada pula yang peduli. Biarkanlah dia berlaku sesukanya, toh' cinta adalah cinta 'kan.

Saat ini dia sedang tersenyum cerah ke arah Mark, tampaknya sudah mengetahui bahwa kekasihnya tidak dapat datang keluar dari lapangan dan menemuinya. Tangannya ia lambaikan ke arah si pria asal Kanada itu dengan ceria, kedua matanya berkelap-kelip seperti biasa.

Tapi bukan itu yang ingin Mark Lee bahas.

Orang yang berada di sebelahnya, sedang bersandar ke loker sambil mengucek sebelah matanya. Rambut coklatnya yang berantakan terlihat sangat familiar bagi Mark, begitu juga semburat merah samar di kedua pipinya.

Itu dia.

"Mark!" sapaan Taeyong membuyarkan Mark dari lamunannya lagi. Entah sudah berapa kali Mark tiba-tiba terbawa ke lamunannya hari ini. Mark tersenyum kecil, membalas lambaian tangan Taeyong lalu berjalan ke arahnya dan lelaki cantik itu.

Hanya untuk beberapa detik, saat lelaki itu menoleh dan menatap Mark, saat mata almond indahnya bertemu dengan mata hazel Mark; hanya untuk beberapa detik sebelum dia mengalihkan pandangannya, Mark berhenti bernafas. Jantungnya berdegup tidak karuan di dalam dadanya, seluruh badannya bergemetar, berjalan setengah mati ke arah Taeyong dan lelaki itu seolah tidak terjadi apa-apa—padahal nyatanya Mark ingin berbalik dan berlari ke manapun, menyembunyikan wajahnya yang mungkin sudah semerah tomat saat ini.

"Taeyong, ada apa?"

Mark balik menyapa, hatinya masih berdegup kencang ketika jarak dia dengan lelaki itu hanya tinggal beberapa langkah saja.

"Ada pesan dari Yukwon-nim, kalau latihan untuk Seoul Dance Street akan dimulai lebih awal dari yang sudah dijadwalkan."

Mark mengangguk kaku, pandangannya tidak terlepas dari lelaki itu. Pertama kalinya Mark dapat memerhatikan wajah lelaki itu dari dekat, dan tidak dalam waktu yang singkat. Mark tidak perlu khawatir kalau kecantikannya akan berlalu dengan cepat seperti biasanya; dia bisa memandangnya lebih lama.

"Hari apa?" tanya Mark, merespon Taeyong, matanya masih ada pada lelaki itu.

"Selasa minggu depan."

Mark mengangguk lagi, tersenyum tipis ke arah si rambut putih yang balas tersenyum. "Baiklah, akan kuatur jadwalku," ujarnya. "Perlukah kuinfokan Jaehyun tentang ini?"

Taeyong menggelengkan kepalanya. "Nanti kuberi tahu secara personal," dia menjawab, sedikit tersipu ketika Mark menyebut nama kekasihnya. "Mungkin kau bisa membantuku untuk memberitahu Ten, jika kau tidak keberatan?"

"Ten akan kuinfokan."

"Terima kasih," Taeyong tersenyum lebar lagi, menunjukkan personanya. Tidak heran ia adalah seorang idola, ulzzang yang selalu dipuja kalau senyumnya saja bisa mencerahkan pikiran semudah ini. Tapi lelaki di sebelahnya dengan rakus mengambil semua pandangan Mark. Senyum Taeyong yang biasanya sangat menarik perhatian, bahkan perhatian Mark sekalipun, sekarang tak terlihat di samping keberadaan lelaki itu.

"Kalau begitu aku akan pamit," kata Taeyong.

Mark mengangguk, memaksakan senyum di wajah datarnya. Tidak ada sejengkal pun dari badannya yang menginginkan lelaki itu untuk pergi, namun apa daya Mark yang hanya bisa terdiam di tempatnya, tidak bergerak sedikit pun.

Payah.

.

.

.

.

.

"Haechan, ayo pergi."

Lelaki itu mengangguk. "Okay."

TBC


Review-nya ya, sayang-sayangku. :* ikutan gila juga gapapa kok.

Anyways.

Author baru nih, salken.