McCarran International Airport.

Rasanya aku baru saja tertidur saat Kyuhyun membangunkanku. Ia sedikit menyesal mengganggu tidurku yang seperti orang mati dalam dekapannya. Tapi mau bagaimana lagi, kami bahkan penumpang terakhir yang turun dari pesawat. Kyuhyun merangkulku, menuntunku berjalan menuju pintu keluar. Susah payah aku mengingatkan diriku untuk membuka mata setiap kali setelah mengerjap. Butuh beberapa menit sampai aku sepenuhnya tersadar ketika kami sudah berada diluar.

Sama seperti Korea, Vegas juga sedang musim dingin. Aku merapatkan jaketku, menarik nafas dalam-dalam membiarkan paru-paruku terisi dengan udara pagi yang dingin. Ini masih pukul empat pagi, tidak banyak orang-orang yang beraktifitas pada jam seperti ini.

Sebuah mobil sedan - yang ku tahu adalah mercedes - berhenti persis di depan kami. Seorang pria keluar dari sisi kemudi. Kyuhyun menyapanya, ia bernama James, tubuhnya besar dan berkulit hitam. Mirip seperti Tyere Gibson hanya saja ia memiliki rambut panjang yang di kepang kecil-kecil.

James melempar kunci mobilnya pada Kyuhyun. Ia tersenyum mengedipkan sebelah matanya padaku lalu pergi menaiki mobil jeep yang entah sejak kapan berada disana. James membuka pintu kemudi, aku melihat seorang wanita bergeser saat James masuk kedalam.

"Thank you, James." Kyuhyun setengah berteriak.

James membuka kaca mobilnya, menyembulkan kepalanya keluar. "Anytime, Kyu." James menyahut. Teman wanitanya tadi melambaikan tangan tersenyum pada kami.

"Ayo kita pergi. Kau sepertinya masih mengantuk."

"Sebenarnya aku lapar." Aku melingkarkan tanganku diperutnya. Ia tertawa lalu mengecup bibirku.

"Kau bisa memesan makanan apapun setelah kita sampai di hotel nanti."

Aku mengangguk. "Ide bagus."

Sekitar dua puluh menit berkendara, kami tiba di Manhattan. Sebenarnya Josh dan Sab menawarkan untuk tinggal bersama mereka di apartemen. Tapi Kyuhyun menolaknya, memilih menginap di hotel saja, hanya berdua. Pikiranku semakin melantur, perutku tiba-tiba mulas memikirkannya, seperti demam panggung.

Kyuhyun membuka pintu kamar hotel. Aku lebih dulu masuk sementara ia berjalan dibelakangku sambil membawa koper. Kamar ini dua kali lebih luas dari ruang tengah dirumahku. Ranjang berukuran besar lengkap dengan fasilitas mewah lainnya. Catnya berwarna coklat dan kuning pastel, banyak barang-barang antik yang terpajang di rak-rak kecil yang menggantung didinding. Tapi aku tidak memperhatikannya secara spesifik.

Kyuhyun menghampiriku setelah menaruh koper kami di dekat lemari, tangannya menangkup wajahku, mengecup bibirku sekilas.

"Katakan sesuatu." Bisiknya tepat dibibirku. Aku bisa merasakan hangat nafasnya menerpa kulit wajahku.

"Tidak tahu." Aku berkata lirih. Demam panggungku belum juga hilang. Menyebalkan.

Aku memejamkan mata saat Kyuhyun kembali menciumku. Ciumanya sangat bergairah dan dalam. Ia mengangkat tubuhku dengan satu kali hentakan, aku melingkarkan kakiku dipinggangnya, memeluk erat lehernya memperdalam ciuman kami. Kyuhyun mendudukanku di atas meja. Aku tidak bisa lagi berfikir jernih, kepalaku berputar dan lututku terasa lunak. Tanganku merosot turun mencari kancing kemejanya. Setelah aku berhasil membuka dua kancing teratas, Kyuhyun menghentikanku. Ia melepas tautan bibir kami membuatku mendesah kecewa.

"Tidak." Suaranya nyaris tidak terdengar oleh nafasnya yang memburu. "Tidak sekarang."

"Kurasa kita sudah cukup dewasa."

Ia tersenyum sambil menggeleng. Tangannya menyusuri bibirku, kembali mengecupnya dengan lembut. "Tentu, aku bahkan bisa melihatnya dari bentuk tubuhmu."

Oh!

"Biar kusiapakan air hangat untukmu mandi."

Lagi-lagi mengalihkan pembicaraan. Aku melompat turun saat Kyuhyun berjalan ke kamar mandi. Ku buka koper milikku, mengambil peralatan mandi, juga kaos dan celana pendek. Ponselku bergetar, Sab mengirimku pesan bahwa mereka akan datang pukul sepuluh nanti. Mereka sudah berada di Vegas sejak kemarin. Aku masih memiliki waktu sekitar empat jam, jadi aku memutuskan untuk tidur setelah mandi. Tidak peduli Kyuhyun memintaku untuk sarapan lebih dulu sebelum tidur. Tiba-tiba tidak lagi lapar dan sangat mengantuk sekarang.

.

.

.

.

Setelah makan siang, Kyuhyun mengajakku ketempat latihan. Tidak jauh berbeda dengan tempat latihan Josh di Korea, hanya saja ini lebih kecil. Hampir semua yang berada disana bersorak saat kami masuk kedalam. Itu bukan untukku tentu saja. Beberapa meneriakan nama Kyuhyun, mengeluran suara siulan yang keras. Aku memasukan tanganku kedalam saku jaket, mendadak mengkeret berada diantara mereka.

"Kau baik-baik saja?" Kyuhyun bertanya. Menyadari raut wajahku.

"Tentu." Aku berbohong, tapi gagal. "Sedikit ketakutan."

Kyuhyun tersenyum. Ia menarik tanganku, membawanya kebibir, mengecupnya cukup lama. "Abaikan saja. Itu hanya mereka."

Aku hanya mengangkat bahuku. Kyuhyun mengajakku bertemu dengan orang-orang yang berada di kerumunan meja paling belakang. Dua perempuan berjalan mendahului kami, mereka mengedipkan matanya pada Kyuhyun, tapi Kyuhyun tidak begitu memperhatikannya. Bibir mereka mengerucut lalu menyungging senyum puas saat melihat penampilanku yang ternyata biasa-biasa saja. Aku mengangkat alisku kemudian bergidik melihat pakaian mereka yang kelewat pendek.

"Lihatlah siapa yang datang." Salah satu dari mereka berteriak. Aku yakin pria itu adalah orang korea.

Kyuhyun mengangguk sekali. Ia mendengus berusaha menunjukan wajah kesal, tapi sebenarnya senang bertemu mereka. Josh juga ada disana. Ia tersenyum padaku setelah menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi.

"Uh sialan. Dia membawa gadis cantik."

"Anak nakal. Jangan bicara seperti itu di depan perempuan." Josh memukul kepalanya. Ia menghisap lagi rokoknya dalam-dalam sebelum membuang puntung rokoknya kedalam asbak.

"Memangnya aku bicara apa sih?"

Kyuhyun memutar matanya lalu menggeleng heran. "Tutup mulutmu, Chanyeol."

Pria bernama Chanyeol tadi mendengus, tapi juga tertawa.

"Min, mereka semua adalah saudara-saudaraku." Kyuhyun memperkenalkan, menunjuk mereka satu persatu. "Max, Chanyeol, Minho dan Taeyong."

Mereka semua mengangguk kecuali Max. Pria yang ku tebak paling tua diantara saudara Kyuhyun yang lainnya. "Jadi apa kepanjangan dari Min? Hyomin? Jimin?" Tanyanya sambil mengulurkan tangan.

"Lee Sungmin." Aku tersenyum menjabat tangannya. Cukup terkejut saat ia membawa tanganku kebibirnya.

"Senang bertemu denganmu, Sungmin."

"Sangat senang." Chanyeol menimpali, ia mengedipkan sebelah matanya padaku.

Aku duduk ditengah-tengah Kyuhyun dan Taeyong. Diantara yang lainnya, sepertinya Taeyonglah yang paling muda dan pendiam. Tapi diantara mereka juga, Taeyonglah yang terlihat tidak begitu menyukaiku. Sab datang bergabung. Ia duduk dipangkuan Josh melingkarkan tangannya di leher pria itu. Minho dan Chanyeol terang-terangan menggoda mereka, Taeyong sibuk dengan ponselnya sementara Max pergi saat seseorang memanggilnya.

"Maafkan orang-orang sinting itu, Min." Sab berkata padaku. Ia menjulurkan lidahnya pada yang lain.

"Aku sudah terbiasa sepertinya." Aku mengangkat bahu. Sab tertawa keras sampai mendapat pukulan kecil dari Josh di bahunya.

"Bung, kau masih mau duduk disitu atau latihan bersama kami?" Max berteriak dari kejauhan. Ia sudah berganti pakaian, hanya memakai kaos tanpa lengan dan celana olahraga. Max juga petarung.

Kyuhyun mengangguk.

"Aku pergi latihan sebentar." Ucapnya lalu meraih daguku menempelkan bibir kami. Hanya sebentar. Aku yakin, saudara-saudaranya sedang tertawa sekarang.

Saat Kyuhyun latihan aku sengaja tidak bergabung dengan Sab. Teman-teman wanitanya sudah jelas tidak menyukaiku. Aku menaiki tangga tribun, di bangku paling atas aku melihat Taeyong dengan teman perempuannya. Tapi saat aku datang, ia meminta perempuan itu untuk pergi. Aku melihat kilatan marah dimata perempuan itu, ia melotot padaku sebelum pergi meninggalkan kami.

"Kau tidak seharusnya menyuruh dia pergi." Aku berkata, merasa tidak enak.

"Dia sendiri yang ingin pergi. Aku tidak." Jawabnya datar.

"Kau seharusnya lihat wajah kesalnya tadi."

Ia tidak menjawab.

Aku menghela nafas. Tanpa meminta ijin, aku duduk disampingnya. Ia menggeser sedikit tubuhnya, sengaja memberiku ruang lebih banyak. Taeyong sepertinya sulit untuk didekati, tapi entah kenapa aku lebih nyaman dengannya daripada saudara-saudara Kyuhyun yang lain. Ia tidak banyak bicara, lebih senang mendengarkan sepertiku.

"Kau tidak sekolah?" Aku bertanya lebih dulu.

"Tidak."

"Kenapa?"

"Hanya tidak."

Ugh, aku benci jadi wartawan. Aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi tapi ia melanjutkan. "Aku masih bisa mengejar mata pelajaranku yang tertinggal tentu saja. Tapi jika aku sekolah, aku tidak bisa melihat Kyuhyun bertarung malam ini."

"Kau tidak sekolah sampai malam kan?"

Ia menoleh padaku, tersenyum. "Tentu saja tidak. Tapi aku lebih senang berkumpul dengan yang lain seperti ini."

Aku mengangguk paham. Tentu saja momen seperti ini jarang mereka temui sejak Josh dan Kyuhyun pindah ke Korea. Jika aku jadi Taeyong, aku juga akan melakukan hal yang sama.

"Kapan terakhir kali kau ke Korea?" Aku bertanya lagi. Ia mengangkat alisnya menatapku sebentar. Pandangannya kembali lurus kedepan, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin mengingat-ingat.

Ia mendesah. "Aku sudah lupa, mungkin sembilan atau sepuluh tahun yang lalu."

"Aku tidak punya keluarga lagi disana." Lanjutnya.

Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa.

"Sebenarnya aku bukan saudara Kyuhyun." Taeyong melanjutkan. Aku cukup terkejut, ia tertawa kecil seperti sudah menebaknya.

"Dulu aku punya kakak perempuan, cantik sepertimu." Katanya sambil tersenyum. "Jihyun pernah berkencan dengan Kyuhyun, tapi tidak lama."

Ia memberi jeda menunggu reaksiku. Aku tersenyum mengatakan padanya bahwa tidak masalah jika ia ingin bercerita.

"Beberapa minggu setelah putus dengan Kyuhyun, Jihyun ternyata hamil."

"Oh, bukan. Bukan Kyuhyun yang melakukannya." Taeyong cepat-cepat mengoreksi. Tapi sejujurnya jantungku seperti merosot mendengarnya. "Jihyun hamil dengan pria tolol yang tidak bertanggung jawab. Aku mendengarnya menangis setiap malam. Suatu hari, Jihyun meminta pertanggung jawaban Kyuhyun. Memberitahu orang-orang bahwa Kyuhyun menghamilinya. Aku tahu bukan Kyuhyun pelakunya, tapi aku sangat kasihan melihatnya frustasi seperti itu."

Ia menarik nafas dalam-dalam. Begitu juga aku.

"Jihyun akhirnya mengambil jalan lain. Ia memilih bunuh diri." Katanya pelan. Aku menyentuh bahunya. Ia menggeleng sambil tersenyum.

"Aku tidak punya siapapun kecuali Jihyun. Ayah dan ibuku meninggal saat aku masih kecil. Dan hari itu, Jihyun menyusul mereka. Aku sangat kesepian, rasanya aku juga ingin bunuh diri. Aku mencoba meninum racun. Ku pikir aku akan mati, tapi Kyuhyun malah membawaku ke rumah sakit. Saat itu Kyuhyun memang ingin menjengukku."

"Setelah aku sembuh, Josh dan Kyuhyun merawatku. Aku tinggal bersama mereka. Saat mereka memutuskan untuk pindah ke Korea aku lebih memilih tinggal disini saja."

Ia berhenti bercerita lalu melirikku. "Maafkan aku, aku jadi melantur."

"Tidak masalah."

Ia tertawa kecil. "Kau tahu, saat aku melihatmu tadi, aku jadi teringat Jihyun. Dia juga punya rambut coklat panjang sepertimu. Jika kau pernah melihat foto ibu Kyuhyun - bukan Sab, pasti kau akan melongo. Kalian bertiga, ibu Kyuhyun, kau dan Jihyun, mempunyai kemiripan. Dan kau tahu? Kyuhyun tidak pernah mengajak teman kencannya kemari. Termasuk Jihyun."

Aku nyengir. Lagi-lagi tidak tahu harus berkata apa. Taeyong masih sangat muda, masih membutuhkan sosok keluarga. Ia beruntung bertemu Josh dan Kyuhyun.

"Jihyun adalah orang yang baik. Hanya saja, pria bajingan itu memanfaatkannya." Lirihnya lalu menghela nafas. "Aku merindukannya, tapi saat melihatmu, rasanya sedikit terobati."

"Kau beruntung memiliki Kyuhyun, dia sangat baik." Taeyong menunjuk Kyuhyun yang sedang berjalan ke arah kami.

Aku tersenyum. Mataku tertuju pada Kyuhyun. Pria ku, pria yang berhasil merebut hatiku dalam waktu singkat. Beberapa saat aku tenggelam dalam pikiranku, jika saja Jihyun masih hidup dan mereka tidak putus, mungkin aku tidak akan pernah berada disini sekarang. Egois memang, tapi aku tidak bisa membayangkannya jika itu terjadi.

Taeyong berdiri. "Aku pergi dulu. Mungkin Winwin sedang ngambek sekarang."

Aku tertawa. Pasti Winwin adalah perempuan yang melototiku tadi. Perempuan yang sepertinya keturunan Cina.

Kyuhyun menghampiriku, ia memukul bahu Taeyong, mengeluh karena Winwin mengamuk di belakang. Taeyong hanya meringis lalu turun ke bawah.

"Mereka itu kenapa sih?"

Kyuhyun menggerutu lalu duduk disampingku. Tubuhnya berkeringat dan ujung rambutnya basah. Ia menciumku, seperti biasa bibirnya berhasil membuatku hilang akal. Aku memejamkan mataku menikmati tiap kecupan yang ia berikan.

"Ayo kita pulang."

.

.

.

.

Malam datang begitu cepat. Aku cukup gugup saat kami tiba di tempat pertarungan. Aku mengingatkan diriku untuk tidak berfikir yang macam-macam. Tapi bayangan Kyuhyun mendapat pukulan selalu muncul di kepalaku.

Kami melewati pintu belakang. Menuruni anak tangga menuju ruang bawah tanah. Orang-orang yang tidak tahu, pasti akan mengira ini hanya sebuah klub biasa. Josh dan Sab berjalan di depan kami. Entah disengaja atau tidak, kami semua berpakaian serba hitam. Sab mengenakan gaun sepan hitam pendek lengkap dengan topi bundar para bangsawan. Josh mengenakan setelan jas hitam seperti saat ulang tahun Sab, ia juga memakai topi bundar. Sedangkan aku dan Kyuhyun memakai jaket kulit yang dipadukan dengan jeans.

Kami berhenti di depan pintu kaca. Seorang perempuan berambut pirang membukakannya untuk kami, memandu kami menuju arena. Aku bergidik mendengar sorakan orang-orang yang sudah memenuhi tribun. Pria, wanita, bahkan remaja seumuran Taeyong turut memenuhi tempat ini. Mereka meneriaki nama Kyuhyun, tapi samar-samar aku juga mendengar mereka meneriaki nama lain. Jenks.

Lawan Kyuhyun sudah berada diatas ring. Tubuhnya lebih besar dari Kyuhyun, kulitnya hitam dan botak. Ia melihat garang ke arah kami, membuatku mengkeret di pelukan Kyuhyun. Kyuhyun pasti sadar aku ketakutan, jadi ia menciumku sekedar menenangkan.

"Hey, semua akan baik-baik saja."

"Ya. Tentu."

Kyuhyun membuka jaket kulitnya, melepas kaos yang ia pakai memperlihatkan otot-otot perutnya yang tercetak samar. Kyuhyun terlihat menggairahkan, ia luar biasa tampan dan seksi. Perut bawahku menegang saat ia membawaku kepelukannya, merasakan kulitnya yang hangat dan otot-ototnya yang kencang.

Sebelum naik ke atas ring, ia menuntunku ke depan. Tangannya menangkup wajahku lalu menciumku penuh nafsu dan gairah. Kyuhyun menahan pinggangku, mencondongkan tubuhnya memperdalam ciuman kami.

Sorakan orang-orang terdengar dua kali lebih kencang dari sebelumnya. Tentu saja karena pertunjukan yang sedang mereka lihat sekarang. Kyuhyun melepaskan tautan bibir kami. Mengecup keningku sekali.

"Ini tidak akan lama." Ia berbisik.

Aku mengangguk. Tidak akan lama baginya memang, tapi bagiku?

Sab mengajakku duduk di deretan bangku paling depan bersama Josh dan lainnya. Aku melihat Winwin dan Taeyong di bangku atas, ia tidak lagi melotot padaku. Tapi ia memeluk erat lengan Taeyong sambil mengerucutkan bibir. Aku duduk didekat Chanyeol. Aku berterima kasih padanya sudah mengingatkanku untuk menarik nafas dan jangan terlalu tegang.

"Kyuhyun akan menang, percayalah." Ia sedikit berteriak. Sorakan orang-orang disini tidak bercanda.

Seorang pria berjas naik keatas ring setelah Kyuhyun. Suasana semakin riuh saat pria yang memperkenalkan diri sebagai Mike itu menyapa. Mike cukup tua, ia mungkin seumuran dengan Josh. Aksen Italinya sangat kental saat ia berbicara.

Aku melihat orang-orang mulai mengeluarkan uang mereka.

Saatnya taruhan.

"Simpan saja uangmu, Min." Sab berteriak mengingatkanku.

Aku mengangkat bahu, Sab memutar mata melihatku mengambil dua lembar lima puluh ribu dolar dari sakuku.

Chanyeol tertawa. Ia merampas uangku mengumpulkannya pada si gadis pirang. "Nice, Darling." Chanyeol mengedipkan matanya padaku. Aku tertawa.

Mike berteriak lagi. Itu berarti pertarungan akan di mulai. Aku menggigit bibirku, mungkin akan lebih baik jika aku duduk di bangku belakang. Menit pertama Kyuhyun mendapat pukulan diwajahnya. Orang-orang mendesah, beberapa dari mereka bahkan menjerit lalu mengumpat. Aku meringis, itu pasti sakit, tapi Kyuhyun biasa-biasa saja. Ia sepertinya sengaja membiarkan lawannya memukul lebih dulu.

Beberapa menit kemudian Kyuhyun berhasil memukul Jenks. Seakan tidak memberi kesempatan untuk membalas ia terus memukulnya. Jenks tergeletak di lantai tapi belum menyerah. Ia berdiri balas memukul Kyuhyun, tapi sayangnya Jenks lebih dulu mendapat pukulan telak.

Aku menggigit bibir, meremas jariku menghilangkan rasa gugup. Kyuhyun sangat menakutkan, tapi aku tidak ketakutan.

Jenks melayangkan tinjunya pada Kyuhyun. Tapi beberapa detik kemudian Kyuhyun balas meninju lebih keras.

Mike meneriaki nama Jenks, saat Jenks mencoba berdiri, Kyuhyun sudah menariknya, memberi pukulan tepat di hidung. Orang-orang mengeluarkan suara jijik saat darah dari hidung Jenks muncrat ke lantai. Tapi banyak dari mereka juga tertawa puas. Aku memejamkan mataku sebentar. Aku benci darah.

"Jenks pulanglah, dan obati lukamu." Pria di belakangku berteriak lalu tertawa lebar.

Kyuhyun memukulnya sekali lagi. Jenks sudah tidak bisa berdiri. Ia terkapar di lantai dengan hidung berdarah. Mike naik keatas ring, menghitung sampai sepuluh lalu mengumumkan bahwa Kyuhyunlah pemenangnya.

Semua berteriak senang, tapi tidak di tribun seberang. Mereka mengumpat bahkan hampir mengamuk. Kalah taruhan.

Kyuhyun turun dari ring. Orang-orang langsung mengerubunginya. Untung saja Chanyeol menggandeng tanganku, jika tidak aku sudah terjatuh karena tertabrak. Sab dan Josh langsung pergi ke belakang di kawal oleh dua orang pria bertubuh besar, aku dan Chanyeol mengekori mereka. Aku tidak bisa melihat Kyuhyun, ia seperti tenggelam dalam lautan manusia.

"Sialan, kita menang banyak malam ini." Minho berseru sambil membawa setumpuk uang ditangannya. Josh dan Sab tertawa cekikan. Chanyeol melompat menghampiri Minho, tidak sabar mengambil uang kemenangannya.

Itu hanya uang taruhan yang kami dapatkan. Tidak termasuk bayaran Kyuhyun yang Chanyeol bilang hampir seharga mercedes keluaran terbaru.

"Kau harus mentraktirku kopi." Minho mengulurkan uang padaku. Aku mendapat tiga kali lebih banyak dari yang ku keluarkan.

Aku tersenyum. "Bonus sepotong cake coklat dariku." Minho tertawa, Chanyeol menggerutu padaku karena aku tidak mentraktirnya.

"Guys."

Serempak kami menoleh kearah pintu. Disana, berdiri pria yang aku cintai. Kyuhyun dengan tubuh berkeringat super seksinya. Ia tidak lagi bertelanjang dada, aku berterima kasih untuk itu. Karena pikiranku pasti sudah kemana-mana nantinya.

Chanyeol dan Minho memeluk Kyuhyun bergantian. Sab bersorak lalu berlari ikut memeluk Kyuhyun. Taeyong, Winwin dan Max baru saja datang. Mereka bergabung bersama Josh. Sementara aku duduk di sofa memperhatikan mereka. Sebenarnya aku hanya fokus pada Kyuhyun.

"Biarkan aku menemui gadisku." Kyuhyun berkata sambil tersenyum padaku.

Aku menunduk, pipiku pasti memerah. Chanyeol dan lainnya mengeluarkan suara sengaja menggodaku. Termasuk Josh. Ya Tuhan.

"Aku mencemaskanmu." Ucapnya lalu mengecup bibirku.

"Harusnya aku yang mengatakan itu."

Kami berciuman lagi. Entah sudah keberapa kalinya untuk hari ini. Tapi aku tidak merasa bosan tentu saja. "Aku mencintaimu." Bisiknya.

"Aku juga mencintaimu."

"It's time to party!" Sab berteriak senang. Sengaja mengganggu sepertinya. Ia cekikikan lalu keluar menggandeng tangan Josh. Minho, Chanyeol, dan Max tertawa keras. Taeyong dan Winwin tersenyum, tapi Winwin cepat-cepat menutup rapat mulutnya saat mata kami bertemu.

"Pesta apa?" Aku bertanya. Yang lain sudah lebih dulu pergi keluar.

"Pesta kemenangan tentu saja. Di klub atas."

Kyuhyun melepas kaosnya, menggantinya dengan kemeja berwarna hitam yang entah sejak kapan sudah ada diatas meja.

"Ayo."

.

.

.

Sama seperti ditempat latihan tadi siang. Orang-orang yang berada di Klub bersorak saat kami masuk. Dentuman musik dan asap rokok yang bercampur dengan bau alkohol seakan menyambut kami. Kyuhyun menuntunku melewati orang-orang yang sedang meliukan tubuhnya di lantai dansa. Sebenarnya tempat ini lebih mirip dengan kasino. Banyak dari mereka sedang mengadu keberuntungan di meja judi. Termasuk Josh.

"Kau tahu cara bermain kartu?"

"Poker?" Aku balik bertanya. Ia mengangguk. "Tidak."

"Lihat bagaimana aku mengambil uang-uang mereka."

Ia tersenyum percaya diri. Kami berjalan ke salah satu meja judi. Tiga pria dan satu perempuan berada di sana seperti sedang menunggu kami.

"Mereka teman-temanku." Kyuhyun menunjuk mereka satu persatu. "Nathan, Luke, Jhony dan pacarnya, Vey."

Mereka menyapaku ramah. Bahkan menggunakan bahasa korea yang terdengar lucu. Aku duduk disamping Kyuhyun di dekat Vey, ia keturunan Jepang. Vey cantik, rambutnya pendek sebahu berwarna hitam. Tubuhnya sempurna seperti model victoria secret.

Luke mulai mengocok kartu dan membagikannya. Aku tidak begitu paham cara bermainnya, tapi Kyuhyun menang di putaran pertama. Hanya pemanasan, mereka menambah taruhan menjadi seratus ribu dolar. Lagi-lagi putaran berikutnya Kyuhyun yang menang. Begitu juga putaran ke tiga.

"Full house." Kyuhyun berkata, tersenyum congkak sambil meletakan kartunya diatas meja.

Luke dan Nathan mengumpat, sementara Jhony mendesah kesal.

"Kau membawa keberuntungan, sayang." Ia mencium pipiku.

"Aku tidak yakin, tapi trims." Aku tersenyum.

"Uh uh, kau stop saja." Nathan menggerutu kesal. Kyuhyun tertawa lalu mengambil tumpukan uang diatas meja. Kurang dari lima belas menit, Kyuhyun sudah memenangkan satu juta dolar. Yang benar saja.

"Maafkan aku, Min. Tapi jika pacarmu ini tetap disini, aku akan bangkrut. Ia tidak memberi kami kesempatan untuk menang." Nathan berkata. Berpura-pura frustasi.

Aku tertawa.

"Aku akan menghabiskan uang yang ia dapat di meja ini jika itu bisa membuat kalian senang."

"Ide bagus." Jhony menyeringai. "Setidaknya dia harus bangkrut juga."

Aku tertawa lagi. Tentu saja itu hanya omong kosong.

"Ok, ok, aku juga sudah bosan. Semoga beruntung, kawan."

Kyuhyun tertawa. Lalu mengajakku pergi. Sebelumnya ia menciumku, aku mendengar Jhony mendengus meminta kami untuk cepat pergi.

Kami kembali ke hotel sekitar pukul dua pagi. Kyuhyun sedang mandi saat Eunhyuk menelpon. Aku berbaring di atas kasur, sudah berganti pakaian, kaos longgar dan celana pendek.

"Sialan. Aku mengirim pesan tadi siang dan kau baru membalasnya."

"Maafkan aku. Aku baru mengeceknya."

Aku mendengarnya berdecak. "Sebenarnya kau dimana sih?"

"Emm Hyuk, apa kau percaya jika aku bilang aku sedang berada di Vegas bersama Kyuhyun?"

Tidak ada jawaban apapun.

"Hyuk." Aku memanggilnya lagi.

"Tunggu aku sedang berfikir."

Aku mengehela nafas.

"Oh Tuhan, kau di Vegas? Las Vegas. Kota Dosa?"

"Ya, Hyuk." Ucapku sambil memutar mata.

"Ya Tuhan, ternyata kalian benar-benar serius ya. Kyuhyun bahkan mengajakmu berlibur kesana."

"Uh, kau pikir kami hanya main-main?"

Ia terbahak. "Ya Tuhan, iya iya yang di mabuk cinta. Aku mengerti, darling."

"Tutup mulutmu."

"Jadi apa yang kalian lakukan di kota dosa itu? "

"Tolonglah, kau bisa menggunakan istilah lainnya kan?"

"Eh? Kau belum pernah mendengar julukan Sin City ya?"

Aku memutar mataku lagi lalu menghela nafas. "Ya, ya. Lupakan saja."

"Jadi, apa yang kalian lakukan?" Desaknya.

"Banyak. Akan kuceritakan saat kita bertemu nanti."

"Kau selalu berhutang cerita padaku."

Pintu kamar mandi terbuka. Kyuhyun sudah selesai. Ia bertanya siapa yang menelponku malam-malam seperti ini. Well, pagi sebenarnya.

"Eunhyuk." Aku menjawab tanpa suara.

Kyuhyun mengangguk. Ia berjalan menuju lemari mengambil pakaiannya.

"Hyuk, aku akan menelponmu lagi besok."

"Ada Kyuhyun ya? Ya sudah. Ingat, kau berhutang cerita padaku."

"Oke."

Aku memutuskan panggilannya. Kyuhyun sudah selesai berpakaian. Ia melompat ke kasur, bergabung denganku di bawah selimut.

"Tidur?" Ia bertanya.

"Tidur."

.

.

.

TBC

Sign

AnissaLee