Kuroko No Basuke © Fujimaki Tadatoshi


©Buku dengan Sampul Merah©

Ruang OSIS Rakuzan High saat itu tampak lengang. Hanya suara detik yang bergema dari jam disudut ruangan yang menemani satu-satunya orang yang ada diruangan itu,atau bahkan mungkin disekolah. Walau mengetahui ia sendirian,sedikitpun ia tidak takut. Sosok itu masih asyik bergelut dengan lembaran-lembaran buku ditangannya. Sudah sepuluh menit ia dalam posisi diam. Tidak mengganti lembar yang dibacanya,pun menggerakkan kakinya kanannya yang dalam posisi bertengger diatas kaki kirinya.

Ia tidak tidur. Kelopak matanya terbuka,menunjukkan pada dunia bahwa iris mata berwarna merah cerah bak delima itu tengah fokus pada lembar itu. Tidak. Lebih tepatnya tengah fokus pada rentetan kalimat paragraf ketiga dilembar tersebut.

'Lagi-lagi Akashi meyendiri. Sebenarnya aku gemas ingin menariknya dari ruang pengap OSIS dan mengajaknya bermain basket atau shogi mungkin? Yah walau tidak mungkin aku akan menang dalam permainan shogi. Tapi setidaknya aku cukup baik dalam hal basket walau aku perempuan. Ahh,tidak tidak. Sebaiknya tidak usah. Aku takut dia akan menyerangku lagi dengan gunting yang ajaibnya muncul darimana aku tidak tahu. Sekalipun dia kenal semua murid disekolahan ini, tidak mungkin ia akan menanggapiku. Duh,kenapa aku kefikiran kapten merah itu lagi sih setelah ia melihatku dalam keadaan menangis waktu itu?! Sudahlah,lebih baik aku membahas tentang hal lainnya.'

Kening sosok itu berkerut. Ini buku harian? Ceroboh sekali membawa buku harian kesekolah dan terjatuh pula tepat didepan loker miliknya. Untung saja ia menemukan buku dengan sampul berwarna merah ini saat jam ekskul sedang berlangsung tadi. Kalau tidak mungkin sudah ditemukan orang lain dan pemiliknya akan menjadi perbincangan satu sekolah karena telah menulis hampir semua isi buku tentang Akashi Seijuurou,dirinya.

Merasa seluruh badannya pegal-pegal karena terlalu lama diam,ia merenggangkan otot. Handphone di meja kemudian bergetar menunjukkan pesan masuk bahwa supirnya sudah datang menjemput. Dengan santai ia merapikan meja dan memasukkan handphone serta buku merah itu kedalam tas dan melangkah pasti menuju mobil. Melihat tuan mudanya akan segera sampai,supir dengan rambut berwarna cokelat dan umur sekitar tigapuluhan itu segera membukakan pintu dan menutupnya ketika tuan mudanya sudah masuk kedalam mobil. Dengan sigap ia berjalan ketempat duduk pengemudi,menstarter kendaraan mewah itu dan melaju dijalanan Kyoto yang mulai dipenuhi penerangan lampu jalan.


©Payung Merah©

Sejak pagi hari Kyoto dilanda hujan deras. Payung-payung basah terbentang berserakan didepan pintu loker sepatu yang sepi sehingga banyak genangan air dilantai. Suara gaduh para siswa dari tiap lantai sekolah seakan berlomba dengan kencangnya hujan. Sepertinya hujan tidak akan berhenti hingga sore hari. Sehingga anak-anak memutuskan untuk menghabiskan jam makan siang dikantin. Mengisi perut mereka yang sangat lapar akibat cuaca.

"Akhirnya kita bisa makan siang bersama-ssu!"

"Ki-chan benar! Jarang sekali kita bisa berkumpul lengkap begini."

"Berisik sekali kau Kise,Satsuki!"

Dimeja panjang itu berkumpul anggota basket,manajer dan teman-teman mereka. Tampak dari ujung meja sebelah kiri duduk Midorima Shintarou,Shooter Generation of Miracle,dengan rambut hijau,kacamata fullframe dan jari-jari tangan sebelah kiri yang diperban tengah memakan bekalnya dengan tenang. Disebelahnya ada Akashi Seijuurou,Captain and Point Guard Generation of Miracle,meminum teh hijau sambil memeriksa laporan OSIS minggu ini. Kise Ryouta,Copy-cat and Small Forward Generation of Miracle dan Aomine Daiki,Ace and Power Forward Generation of Miracle,tengah berdebat hal tidak jelas. Sementara itu Murasakibara Atsushi,Center Generation of Miracle,tengah khidmat menikmati makan siangnya dengan Himuro Tatsumi,pacarnya yang duduk didepannya. Disebelah Himuro duduk Momoi Satsuki,Manajer klub basket yang berusaha melerai Kise dan Aomine.

"Kuroko,bukankah lebih baik kau jug melerai mereka?"

"Tidak usah,Kagami-chan. Biarkan saja mereka."

"Iya benar,Taira-chan. Membuang tenaga mengurus mereka. Benarkan,Shin-chan?"

"Diam saja kau,Bakao."

Kuroko Tetsuna,gadis dengan surai biru langit yang duduk didepan Kise menyeruput milkshakenya sambil membaca buku light novel ditangannya. Kagami Taira,gadis bersurai merah gelap disebelahnya itu hanya menggelengkan kepala sambil meneruskan memakan isi kotak bekalnya yang kedua. Sementara Takao Kazuna,gadis bersurai raven itu sedang menggoda Midorima. Jam istirahat selalu ramai dan hidup dengan kelakuan aneh masing-masing ketika mereka berkumpul. Terutama jika ada Kise dan Aomine.

"Atsushi,makannya pelan-pelan saja. Kau juga Taira."

"Baiklah Muro-chin."Sedangkan Kagami hanya mengangguk.

Aomine yang melihat adegan Ibu dengan kedua anaknya itu tertawa.

"Ada apa Aomine-cchi?"Sepertinya perhatian mereka teralih dari perdebatan sebelumnya.

"Oi,Bakagami! Makanmu itu seperti tupai tauk!"Kagami menatap tajam Aomine yang menyeringai dari seberang. Mulutnya masih dipenuhi makanan.

"Pipi Kagami-cchi gembul-ssu!"Kise dihadiahi tendangan kaki dari bawah meja oleh Kuroko.

"Ki-chan! Dai-chan! Tidak boleh berkata seperti itu pada perempuan."

"Tapi memang cara makannya seperti tupai,Satsuki."

"Ehem."

Semuanya mendadak diam dan melirik kearah Akashi. Pasalnya kalau sampai Akashi yang turun tangan untuk bicara,artinya hanya ada dua pilihan,menurut atau mati. Dan mereka hanya bisa berdoa dalam hati semoga yang terpilih dalam eksekusi bisa tenang dialam sana.

"Sudah selesai Ryouta,Daiki?"

Kise dan Aomine bergidik ngeri saling memeluk satu sama lain. Sedangkan yang lain hanya tersenyum pedih. Akashi lalu berdiri dari tempat duduknya. Menjadikan alarm bagi semua agar segera bersiaga kalau sewaktu-waktu gunting merah sakti kesayangan kapten mereka itu muncul. Namun setelah beberapa saat tidak nampak sedikitpun gunting. Semua hampir membuang nafas lega secara bersamaan ketika pandangan Akashi berpindah kearah Kagami.

"A-a.. Ada apa Akashi?"Tubuh Kagami bergetar.

"Bukankah sudah kubilang panggil aku 'Seijuurou',Taira?"

Kagami menunduk dengan wajah merah. Akashi menyeringai. Sedangkan penonton disana terpaku. Ada apa dengan mereka berdua?! Pekik mereka dalam hati. Dengan wajah masih memerah Kagami mendongakkan kepala menatap Akashi.

"Um,baiklah... A-ada apa,Sei?"

"Begitu lebih baik. Ada nasi dipipimu,Taira."

Belum sempat Kagami memeriksa pipinya,dengan satu gerakan mulus Akashi mengambil nasi yang menempel dipipi Kagami dan memakannya. Kagami bersemu seraya mengucap terima kasih dengan pelan lalu melanjutkan makan. Akashi tersenyum puas kemudian kembali duduk dan membaca laporan ditangannya. Sedangkan semuanya masih memproses kejadian sebelumnya. Bahkan Murasakibara menghentikan makannya. Dan hampir semua populasi perempuan di kantin yang menyaksikan kejadian itu menatap Kagami iri.

"Sepertinya ada yang tidak kau ceritakan padaku,Kagami-chan."Kuroko berbisik, menyikut pelan tangan Kagami.

"Um,nanti akan kuceritakan."Kagami bergumam pelan.

"Kenapa tidak diceritakan sekarang saja,Taira?"

Untunglah ia diselamatkan oleh bel masuk kelas. Dengan segera Kagami merapikan kotak bekalnya dan berlari meninggalkan kantin sementara Akashi hanya tertawa dan berjalan menyusul Kagami.

"Kita melewatkan apa-ssu?"Kise menatap koridor yang menghubungkan bangunan kantin dengan gedung kelas.

"Aku yang sahabatnya saja bahkan tidak tahu,Kise-kun."Kuroko berdiri dari bangku kantin dan menuju kekelasnya yang sama dengan Kagami.

"Aku sebagai saudaranya saja tidak diceritakan apapun."Himuro murung.

"Sudahlah,Muro-chin. Mungkin Kaga-chin malu untuk bercerita."Murasakibara mengusap pelan kepala Himuro.

"Tch."Aomine meninggalkan kelompok tanpa berkata apapun yang segera disusul Momoi.

"Aomine-cchi kenapa-ssu?"Kise menatap bingung.

"Masa kau tidak tahu,Kise-chan?"Takao tersenyum jahil kearah Kise.

"Sebaiknya kita segera kekelas-nodayo."Midorima menarik Takao meninggalkan kantin.

Tanpa menunggu Kuroko,Kagami segera berlari keluar kelas ketika bel selesai pelajaran berbunyi. Kagami segera membuka loker sepatunya dan mengganti sepatu ruangan dengan sepatu luar. Menutup paksa loker dan mengambil payung merahnya yang tergeletak disisi pintu masuk. Sepertinya lebih baik hari ini ia bolos saja dari latihan,fikirnya diam sambil memandangi hujan yang masih mengguyur Kyoto. Walau intesitasnya tidak sederas tadi pagi,tapi masih mampu membuat seragam sekolah mereka basah dalam beberapa menit. Ketika hendak membuka payung,sebuah tangan terulur menahan pergerakan tangannya.

"Kau mau kemana,Kagami?"

"A-aomine?! Ada apa?"

Aomine mengeratkan pegangannya. Menatap intens Kagami sehingga yang ditatap merasa risih. Tanpa berkata apapun ia segera menarik lengan Kagami menuju ruang sempit tempat alat-alat kebersihan disimpan dan menguncinya dari dalam.

"Aomine,apa maksudnya ini?!"

"Bisakah kau diam sebentar,Bakagami?!"

Kagami bungkam setelah dibentak Aomine. Dengan segera ia menarik tangan yang masih digenggam Aomine dan mengelus pelan pergelangannya yang memerah. Lalu menatap tajam Aomine mengisyaratkan agar ia segera bicara. Tapi yang ditatap hanya memandang dalam diam. Air mukanya melembut setelah melihat wajah dan tangan yang memerah dihadapannya.

"Maaf,bukan maksudku ingin berbuat kasar."Aomine memegang pergelangan tangan Kagami dan mengelusnya dengan sayang.

"A-apa yang kau lakukan,Aomine?"Kagami kikuk melihat tingkah Aomine.

"Kenapa kau sangat menggemaskan,Bakagami!"Aomine merengkuh tubuh yang lebih pendek darinya sepuluh senti itu.

"Hey! L-lepaskan aku!"Gadis itu meronta-ronta.

"Biarkan seperti ini. Sebentar saja."Aomine mengeratkan pelukannya tanpa membuat gadis bersurai merah gelap itu sesak.

Sang gadis menuruti keinginan laki-laki dengan surai biru tua dihadapannya. Satu tangannya yang bebas ia letakkan dipunggung laki-laki itu dan mengelusnya penuh pengertian. Setelah lima menit dalam diam akhirnya sang gadis bertanya.

"Aomine,sebenarnya apa yang terjadi? Kalian bertengkar?"

"Tidak. Hal lain. Tapi kau janji jangan menertawaiku. Lagipula jangan sampai ada orang lain yang tahu bahwa kita sedang disini."

"Err... Baiklah. Tapi kenapa memilih tempat ini? Terlalu sempit."

"Hanya ini satu-satunya tempat terdekat sebelum Akashi melihat kita."

"Ha? Kenapa memangnya dengan Akashi? Dan bagaimana dengan Momoi?"

"Ada yang ingin kutanyakan padamu berkaitan dengan Akashi."

"Bukankah lebih baik kau tanyakan langsung? Aah,aku mengerti. Baiklah. Ada apa?"

"Apa hubunganmu dengan Akashi?"Aomine memegang kedua pundak Kagami.

"Keluargaku dan keluarganya merupakan relasi bisnis. Memangnya kenapa?"

Aomine menepuk keningnya keras.

"Bukan itu maksudku! Bukan hubungan antar keluarga. Tapi antara kau dengan kapten sadis itu?"

Belum sempat Kagami menyahut,tanpa mereka sadari pintu dibelakang Aomine telah terbuka dan menampakkan sosok Akashi Seijuurou dengan gunting merah ditangannya.

"Siapa yang kau panggil sadis,Daiki?"

"Akashi! Bagaimana kau bisa membuka pintunya?!

"Akashi?!"

Akashi menarik lengan Kagami dan menyembunyikan gadis itu dibelakang punggung.

"Apa yang kau lakukan padanya Daiki?"Akashi menatap Aomine.

"Bukan urusanmu Akashi!"Tatapnya nanar.

"Kau berani menatapku begitu,Daiki?"

"Memang apa urusanmu dengan Kagami?!"

Lorong yang sebelumnya sepi seketika ramai dengan para siswa yang hendak pulang ataupun menuju keruang klub masing-masing. Para siswa kemudian menghentikan niat mereka ketika melihat anggota klub basket tengah bersitegang. Tapi keduanya seperti tidak peduli misalkan menjadi tontonan umum. Kagami yang ketakutan dengan hawa membunuh dari mereka pun mencoba melerai. Namun hasilnya nihil. Seakan-akan mereka berada dalam Zone.

"Itu menjadi urusanku karena Taira adalah calon istriku."

"The Hell?! Jangan bercanda,Akashi!"

"Kapan aku pernah bercanda,Daiki?"

Terdengar suara tertahan dari para siswa yang menyaksikan termasuk anggota Generation of Miracle lainnya. Momoi yang menyaksikan pun hanya tersenyum kecut dan pergi menuju gedung olahraga. Takao,Kuroko dan Himuro menatap sedih dan menarik anggota tim basket untuk mengikuti Momoi. Kagami melihatnya dari ujung matanya. Dadanya sesak. Ia tidak tahan lagi. Ia tidak ingin ada kesedihan lagi. Sudah cukup drama yang terjadi. Dengan segenap keberanian ia melerai mereka berdua dengan berdiri diantara keduanya. Tapi itu adalah pilihan terburuk karena sedetik kemudian badannya terpelanting membentur loker.

"Kagami!"

"Taira!"

Kedua mendekati Kagami yang jatuh terduduk berusaha untuk menolong.

"Jangan sentuh Taira! Apa yang kau lakukan? Tak kusangka,setelah kau dulu menyakiti hatinya dengan berselingkuh,sekarang kau juga berani melukai fisiknya."Akashi menggendongnya seraya berbisik,'Tidak apa sayang. Kau akan baik-baik saja' ketelinga Kagami yang meringis kesakitan lalu berjalan menuju ruang kesehatan. Meninggalkan Aomine yang membeku bersama payung merah yang tergeletak tak jauh dari tempat Kagami jatuh.


©Sepatu Air Jordan Merah©

Setelah kejadian beberapa hari yang lalu suasana gedung olahraga nampak suram. Tidak ada yang berani membuka suara baik sekedar percakapan ringan maupun perintah untuk berlatih. Hanya tertempel beberapa lembar kertas tentang jadwal latihan anggota tim,namun sang leader sendiri absen karena menemani Kagami kerumah sakit. Itupun atas paksaan Akashi karena tidak mau terjadi sesuatu pada Kagami.

"Urgh,aku serasa berada dirumah hantu-ssu."Sepertinya Kise yang paling berani memulai.

"Kau berlebihan Kise-kun."Kuroko tengah memeriksa lembaran kertas yang tertempel diloker Akashi sebelumnya. Momoi hari ini izin pulang lebih dulu karena tidak enak badan. Jadilah Kuroko yang merupakan Asisten Manager mengerjakan tugas Momoi dan dirinya secara penuh.

"Lebih baik kau berlatih nanodayo."Midorima membenarkan letak kacamatanya.

"Lihat Mine-chin. Daritadi ia sudah berlatih melempar bola."Murasakibara memakan snacknya rakus.

"Murasakibara! Jangan makan saat latihan."

"Iya-ssu! Mentang-mentang Akashi tidak datang bukan berarti bisa makan snack begitu saja."

'Duak'

Terdengar suara bola yang didunk dengan keras. Semua diam dan menoleh kearah Aomine yang membungkuk setelah melakukan dunk. Aomine diam sesaat dalam posisi itu. Tidak terdengar suara deru nafas yang cepat layaknya seseorang sehabis berlatih. Aomine tidak kelelahan. Tapi mengapa ia diam saja?

"Apakah aku salah bicara,Kuroko-cchi?"Kise berbisik.

"Sangat Kise-kun."

"Kau menekan tombol bahaya,Kise."

Midorima dan Kuroko menghela nafas.

"Sepertinya hanya aku dan Kise-chin saja yang tidak tahu apapun. Benar kan,Kise-chin?"

"Iya aku bingung-ssu."

"Hey! Kalian kesini ingin latihan atau bergosip? Kalau begitu lebih baik aku pulang. Kuroko,aku ijin duluan."Aomine tiba-tiba sudah menggendong tas olahraganya dan berjalan meninggalkan gedung olahraga tanpa menunggu jawaban dari yang lainnya.

"Aomine-cchi tidak mandi dulu?"

"Nah,mungkin malas."

"Ah,kenapa harus sampai seperti ini..."Kuroko menatap layar ponsel yang menunjukkan foto saat mereka semua saling dipertemukan pertama kali di lapangan basket dekat sekolah Teiko Junior High empat tahun lalu.

"Mau bagaimana lagi? Aomine yang berbuat kesalahan fatal. "

"Aah,akhirnya aku mengerti apa maksud kalian-ssu."

"Kise-chin lamban."

"Hidoi! Padahal Murasaki-cchi juga belum tahu."

"Sebaiknya kita juga pulang,Midorima-kun. Telingaku sakit."

"Kau benar,Kuroko."

"Hidoi! Kalian jahat sekali!"

Aomine segera pulang kerumah dan membasuh diri. Setelah memakai pakaian rumah yang nyaman ia segera merebahkan diri diatas kasurnya yang berukuran queen size. Ia berbaring menghadap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Sesekali tangannya terangkat keatas seolah-olah mencoba menggapai bola lampu. Lalu diturunkannya tangan tersebut dan memukul kepalanya sendiri dengan keras dan mengaduh kesakitan.

"Daiki,kau baik-baik saja?"

Ibunya berdiri membuka pintu kamarnya dan menutupnya perlahan. Kemudian ia berjalan masuk dan duduk disisi tempat tidur. Menatap putra sematawayangnya dengan penuh kasih sayang dan mengelus pucuk kepalanya.

"Kau bertengkar dengan Satsuki-chan?"

Aomine menggeleng.

"Kalau begitu ada apa? Ada masalah disekolah?"

Aomine masih hanya menggelengkan kepala.

"Baiklah kalau tidak ingin bicara sekarang. Oh iya,Taira-chan kemana? Sudah dua tahun ia tidak main lagi kesini. Padahal ibu mau mengajaknya memasak bersama."

Aomine meringis. Tapi masih bersikukuh untuk diam.

"Sebentar lagi makan malam siap. Kalau kau merasa baikan,turun dan makanlah."

Dan begitu pintu ditutup. Aomine menghela nafas.

"Dasar bodoh!"

"Ini benar-benar salahku."

Aomine mengutuk dirinya sendiri. Entah sudah berapa ratus kali sumpah serapah yang ia lontarkan pada dirinya sendiri setelah kejadian dua tahun lalu. Andai saja kalau ia lebih bersabar melawan egonya,mungkin sekarang hubungannya dengan Kagami baik-baik saja. Mungkin kalau dulu ia tidak malu mengakui bahwa Kagami adalah pacarnya,mungkin ia tidak akan terkena karma seperti ini.

'Sore itu Kagami berjanji akan berkunjung lagi ketempat Aomine untuk memasak bersama dengan Ibu Aomine. Tapi begitu sampai dirumahnya,tidak ada yang membukakan pintu.

"Aomine... Buka pintunya."

"Aomine!"

"Aho! Buka!"

"Aneh. Apa mereka semua pergi ya?"

"Ada suara tv dari dalam. Berarti ada orang."

'Klik'

"Eh tidak dikunci? Tapi apa tidak apa aku masuk tanpa ijin begini? Emm, yasudahlah."

Setelah berguman,'maaf telah mengganggu',Kagami menutup pintu pelan dan melepas alas kakinya. Ia berjalan menuju ruang tengah rumah Aomine. Tapi belum sempat ia melangkah lebih jauh,terdengar suara yang sangat dikenalnya.

"Dai-chan,kau yakin tidak apa-apa?"

"Mau bagaimana lagi,Satsuki? Aku malu mengakuinya."

"Tapi Kagamin..."

"Daiki,ambilkan Satsuki air minum! Kau ini pacar yang bagaimana sih? Masa membiarkan pacarmu kehausan."Terdengar suara Ibu Aomine dari lantai dua.

"Ibu cerewet sekali. Kau mau minum apa,Satsuki?"

"Ahaha,tidak usah kalau kau tidak mau mengambilkannya."

"Yasudah kau ambil sendiri saja."

Terdengar langkah kaki pelan menuju dapur yang kebetulan terhubung dengan ruang tengah. Kagami tiba-tiba merapatkan tubuhnya dibalik tembok yang membatasi lorong pintu masuk dengan ruang disebelahnya. Dadanya bergemuruh. Jarinya terkepal diatas jantungnya yang tiba-tiba terasa ngilu. Tanpa berusaha menampakkan eksistensi dirinya,ia kembali mendengarkan percakapan orang diruangan lain tersebut.

"Tapi Dai-chan,kalau kau malu mengakui Kagamin sehingga menyembunyikan hubungan kalian,lantas untuk apa kau memacarinya?"

"Awalnya aku hanya iseng. Dan Haizaki mengajakku bertaruh siapa yang lebih dulu bisa memacari Kagami karena ia fikir Kagami sulit. Tapi nyatanya lebih mudah. Hanya dengan mengalahkannya dan bermain basket setiap hari,ia dengan mudah jatuh cinta padaku. Hahaha."

"Kau jahat sekali Dai-chan! Kalau yang lainnya sampai mendengar ucapanmu barusan,mungkin tubuhmu akan dicincang. Lantas kau juga memacariku setahun yang dengan alasan yang sama?"

"Maka dari itu aku tidak pernah berkata apapun bahkan menyembunyikan hubunganku dengannya selama enam bulan. Siapa sangka hampir semua anak laki-laki akan menyukainya. Yah,aku sih hanya sedikit. Itupun karena dia pernah mengalahkanku ,Mungkin?"Kagami bisa membayangkan seringai diwajah Aomine.

"Dai-chan!"

"Tenang saja,Satsuki. Aku tidak memandangmu rendah seperti Kagami."

Terdengar suara langkah kaki dari tangga. Dengan cepat Kagami menegakkan punggung dan mengarahkan pandangannya pada wanita dengan surai biru tua itu.

"Eh,Taira-chan!"

Aomine dan Momoi menahan nafas. Sejak kapan Kagami disitu? Kagami tidak mendengar mereka kan?

"Selamat siang,Aomine-san."

"Sudah kubilang jangan terlalu formal. Panggil aku Natsumi."

Ibu Aomine merangkul Kagami menuju dapur.

"Sejak kapan kau disitu,Taira-chan? Aku tidak mendengar suara pintu?"

"Baru saja,Natsumi-san. Sepertinya suara tv terlalu keras sehingga tidak ada yang membukakan pintu. Untunglah pintu tidak dikunci. Maaf kalau aku masuk tanpa izin."

"Maafkan aku dan Daiki kalau begitu."Ibu Aomine menatap tajam anaknya.

"Tidak apa-apa,Natsumi-san."Kagami berbalik memunggungi ruang tengah dan mengenakan apron yang tergantung di samping lemari es.

"Baiklah! Hari ini kita akan masak apa chef Taira?"

"Natsumi-san! Berhenti menggodaku."Kagami menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Ahaha,kau selalu menggemaskan Taira-chan. Andai saja kau anakku,atau mungkin bertemu lebih dulu dengan Daiki."

"Ehm,bu?"

"Ahaha,maaf aku hanya bercanda."

Percakapan mereka terputus dengan kegiatan memasak. Aomine dan Momoi saling bertukar pandang kemudian melirik Kagami. Kagami sendiri memilih diam dan sesekali menanggapi perkataan Ibu Aomine. Kemudian Ayah Aomine datang dan kegiatan mereka berlanjut dengan makan malam bersama.

"Terima kasih atas makanannya."

"Aku yang harusnya berterima kasih padamu,Kagami-chan. Setelah kau berkunjung kerumah ini,akhirnya aku bisa merasakan makanan yang sesungguhnya."

"Daisuke! Kau jahat sekali."

"Ahaha,aku hanya bercanda sayang."

"Tidak masalah Daisuke-san. Terima kasih atas jamuannya. Jarang sekali aku bisa makan bersama seperti ini."Kagami membungkukkan badan.

"Kalau kau mau aku bisa mengangkatmu menjadi anakku,benar kan Daisuke?"

"Aku tidak masalah. Dan Daiki akan punya saudara seumurannya."

"Argh,Ayah Ibu! Jangan membuatku malu!"

"A-ano... Tapi Ayahku di Amerika..."

"Haha,kami hanya bercanda. Tapi kalaupun kau mau aku bersedia."

Kagami hanya bisa tertawa pelan.

"Baiklah kalau begitu. Sepertinya hari makin gelap. Dan aku tidak ingin pulang larut malam. Aku pamit dulu."

"Hati-hati dijalan,Taira-chan!"

"Daiki antar Kagami-chan pulang."

Sebelum Aomine Daiki berdiri dari kursi,Kagami berbicara.

"Ano,tidak usah Daisuke-san. Aku bisa pulang sendiri."

"Tapi,Kagamin..."

"Tidak apa Momoi. Lagi pula belum terlalu gelap."

"Baiklah kalau kau memaksa. Daiki,Satsuki,antar Kagami-chan sampai depan pintu."

Kagami berjalan lebih dulu. Aomine dan Momoi mengikuti dibelakang masih saling bertukar pandang. Ketika Aomine mendapat anggukan dari Momoi,tangannya terulur memegang pundak Kagami yang baru saja selesai memakai sepatu.

"Kagami..."

"Ya Aomine?"Kagami menjawab tanpa menoleh.

"Kau yakin tidak ingin diantar?"Aomine menautkan jarinya dengan jari Kagami.

"Iya,tenang saja. Lagipula aku bukan wanita lemah."

"Tapi..."

"Lebih baik kau mengantar Momoi pulang."

"Rumahnya hanya berjarak dua rumah dari sini,Bakagami."

"Iya Kagamin. Aku bisa pulang sendiri."Momoi menatap waswas.

"Tidak apa."

"Tapi Bakagami..."

"Ne,Aomine..."Kagami berbalik,air mata telah turun deras. Tapi bibirnya tersenyum.

"Bisakah kita hentikan hubungan ini? Aku tidak ingin mengganggu hubungan kalian lebih lama lagi."

Dan sebelum ada jawaban,Kagami telah berlari keluar rumah Aomine. Sepatu merah kesayangannya dengan merk Air Jordanlah yang menjadi saksi bisu dari awal Kagami menahan tangis,menemaninya berlari diantara lalu lalang manusia,sampai menapakkan kaki ditaman dekat sekolah.