A/N : So, here'e the sequel just like my promise in the finale of Dark and Dangerous. Don't expect to much for this story, I'm so green for this pairing. I hope you like it. Please enjoy.

REVENGE

by

AchernarEve

Disclaimer : I own nothing, JK Rowling has

Summary : Orang-orang berkata mata akan dibayar dengan mata, lalu nyawa akan dibayar dengan nyawa. Tetapi, bagi Scorpius hal itu tak akan pernah menjadi semudah yang diucapkan. Mata tak akan pernah cukup dibayar dengan mata begitu juga dengan nyawa. "My name is Scorpius Malfoy. Don't ever messed up with my family. If you dare, prepare your die."

Rate : M (for some adults scene and extremely language)


Chapter One

London, Inggris

Tarasov Penthouse

Matahari di bulan Agustus sudah menunjukan dirinya sejak pukul 7 pagi tadi. Sinarnya sudah mencoba untuk menerobos setiap sela dari penthouse ini, termasuk pelupuk mata dari pria yang baru memasuki usia 25 tahun beberapa minggu yang lalu itu. Ia membuka matanya perlahan dan menyadari bahwa tak ada lagi sosok yang terlelap tidur bersamanya tadi malam. Pria itu bangkit lalu menemukan secarik kertas di sisi nakasnya dengan dua butir Advil dan segelas air.

Running some errands. Take the advil – K

Tanpa menunggu lagi ia menenggak kedua butir pil itu lalu bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dari sisa aktivitas mereka semalaman. Setelah berpakaian seperti biasanya, Scorpius keluar menuju beranda penthouse ini. Dia duduk di kursi dengan sebuah meja tempat biasa ia menyantap sarapannya. Udara London di musim panas begitu menyenangkan baginya. Hangat dan terang, karena Scorpius tak pernah suka dengan musim dingin. Ada begitu banyak kejadian yang ingin ia lupakan terjadi di musim dingin.

"Kau sudah bangun?" tanya seorang wanita dari dalam penthouse itu saat melihat bahwa Scorpius sudah berada di beranda.

Scorpius hanya menatapnya sesaat dan tak menjawabnya. Wanita berambut hitam legam panjang itu bergabung bersamanya tak lama kemudian setelah membuatkan dua cangkir kopi untuk mereka berdua. Dia juga membawa beberapa muffin dan roti gandum serta selai di dalam sebuah keranjang anyaman. Scorpius menyesap kopi panasnya perlahan lalu meletakkan cangkirnya kembali ke meja itu. Dari semua keluarganya hanya Scorpius yang menyukai kopi di pagi hari, karena seluruh keluarganya menganggap meminum kopi di pagi hari itu 'sangat Amerika' dan mereka tak suka akan hal itu. "Kau sudah meminum Advil yang kutinggalkan di nakas?" tanya Katya yang dijawab dengan anggukan oleh Scorpius.

"Kepalamu masih sakit?"

Kali ini Scorpius menggeleng. Kembali ia menyesap kopi itu. "Kau seharusnya setuju saat aku memintamu menikahiku," ujar Scorpius.

Bukannya tersipu malu atau merasa tersanjung, Katya justru tertawa lalu menggeleng. Ia ikut menyesap kopi miliknya lalu menggigit muffin yang dibelinya di toko roti tak jauh dari penthouse ini. Katya Tarasova masih terkekeh. Puteri dari Sergei Tarasov yang merupakan pemimpin The Bratva di Moscow ini kembali menggeleng.

"Kau kenal diriku bertahun-tahun lamanya. Kau tahu bagaimana ide pernikahan di dalam hidupku. Aku tak mau kau menikahiku hanya untuk sebuah aliansi kekuatan. Aku tak mau sebuah pernikahan yang berdasarkan hukum The Bratva dan The Sociaty, Scorp."

Scorpius hanya mengedik. Dirinya dan Katya berteman sejak berada di bangku kuliah lebih dari lima tahun yang lalu. Pertemanan yang tak biasa memang, mereka bukanlah tipikal yang bersahabat hingga tahu rahasia terdalam masing-masing. They just fuck and they care for each other, but they're never be exclusive. Tetapi, semua orang apalagi media meyakini bahwa mereka lebih dari itu.

Katya mengenakan sunglass-nya lalu memosisikan diri menantang matahari pagi lalu. "Jadi, bagaimana sosok calon istrimu ini?" tanyanya.

Scorpius kembali mengedik. Satu bulan menjelang upacara pernikahannya, Scorpius sama sekali belum pernah bertemu dengan wanita itu. Ia sudah tahu latar belakangnya dan ia tahu sosok itu sejak masih berada di Hogwarts dulu, tapi secara tiba-tiba sosok itu menghilang dari peradaban London. Dan kini ia tahu alasan dari kepergian wanita itu dulu.

"Bila ia masih gadis yang kuingat saat kami masih di Hogwarts dulu, anggap saja aku kurang beruntung," balas Scorpius.

Kening Katya berkerut. "Maksudmu?"

"Katakan saja bahwa ia seorang itik buruk rupa."

Katya tertawa lalu kembali menyesap kopinya. "Goodluck, baby."

Ponsel milik Scorpius berbunyi. "Yes, Al."

Ia tampak mengangguk-angguk pada suara di seberang sana. "Pukul berapa meeting hari ini?" tanyanya kemudian.

"Baiklah. Aku akan manor terlebih dahulu."

Scorpius bangkit dari kursinya lalu masuk ke penthouse untuk mengenakan jas yang merupakan bagian dari setelannya. Hari ini ia mengenakan setelan rangkap tiga bernunsa abu-abu yang senanda dengan iris matanya. Saat ia keluar menuju balkon, Katya masih berada di sana dengan wajah yang menengadah ke arah matahari pagi untuk menyerap setiap vitamin dan energi yang ada.

"Kau sudah mau pulang?" tanya wanita.

Scorpius mengangguk. "Take care," ujar Scorpius pada Katya yang tak bergerak dari tempatnya.

"You too."

"Kabari aku saat kau kembali dari Moscow," ujar Scorpius sedikit berteriak saat ia sudah berada di ambang pintu penthouse ini.

Dua orang pengawalnya sudah sedari tadi siap menunggunya. "Sir," ujar keduanya bersamaan saat Scorp menunjukkan batang hidupnya.

Scorpius hanya mengangguk sebentar lalu berjalan memimpin mereka.

000

Malfoy Manor

Matahari bulan di awal musim panas seakan berebut untuk masuk ke dalam manor saat Scorpius berjalan ke dalamnya. Suasana begitu damai pagi ini. Rhaella baru akan kembali malam ini setelah merampungkan studinya di Amerika Serikat dan Rhaegar hanya Tuhan yang tahu keberadaannya saat ini, mungkin sedang menyelesaikan tugasnya atau terdampar di suatu tempat karena mabuk selepas berpesta semalaman.

Langkah Scopius terhenti di ambang rolling door yang menghubungkan ruang tengah manor ini dengan teras belakangnya. Draco Malfoy – ayahnya – tengah duduk dengan sebuah buku di pangkuan dan kacamata berbingkai persegi yang menghiasi wajahnya. Ia mengenakan setelah kasual pagi ini. Hanya celana jeans dan kemeja biru tua yang lengannya sudah dilipat hingga siku. Ada satu set teh lengkap dengan camilan di hadapannya. Scorpius masih menatap pria yang setia menduda meski istrinya sudah meninggal lebih dari lima belas tahun lamanya. Dan perasaan hangat selalu menjalar di dadanya saat menyadari betapa ayahnya begitu mencintai ibunya saat melihat tato huruf sambung bertuliskan 'Hermione' di lengannya. Tak hanya itu, bahkan Draco Malfoy tak pernah melepaskan cincin pernikahannya hingga saat ini.

"Mau sampai kapan kau berdiri disana, son," ujar Draco pada Scorpius tanpa melepaskan pandangan dari buku yang di bacanya.

Scorp – panggilan orang-orang terdekat padanya itu – berjalan untuk bergabung dengan ayahnya. "Father," sapanya.

"Kau ada pertemuan hari ini?" tanya Draco setelah menutup bukunya dan mendapati anak sulungnya sudah berpakain lengkap.

Sebelum ia dapat menjawab Magnus datang dengan satu set teh untuk masternya. Scorpius mengangguk pada Magnus yang telah menjadi peri rumah di manor ini berpuluh-puluh tahun lamanya.

"Ada pertemuan dengan beberapa distributor serta klien kita. Aku dan Albus juga akan memeriksa beberapa gudang penyimpan," jelas Scorp.

Draco mengangguk. Sejak setahun yang lalu, secara perlahan ia mulai mengalih kuasakan semua tugas dan usahanya pada Scorpius. Dibantu oleh Rhaegar yang akan menjadi The King's Hand saat Scorpius sudah resmi mejadi King of The Sociaty, Albus Potter dan Niklaus Zabini, Draco merasa bahwa Scorpius sudah mampu memegang tanggung jawab ini.

"Kapan kau akan bertemu dengan Rosabelle Allegri?" tanya ayahnya setelah menyesap tehnya.

Scorpius menaikan alisnya dengan topik yang berganti secara tetiba seperti ini. "Besok," jawabnya singkat.

"Dan acara pernikahan kalian akan diadakan sesuai rencana?" tanya ayahnya lagi.

Ia mengangguk. "Jika tak ada hambatan, acara itu akan diadakan sesuai dengan rencana."

Jeda lama diantara ayah dan anak itu. Draco tampak menikmati cahaya matahari ini sama seperti yang dilakukan Katya tadi di penthouse-nya, sementara Scorpius memeriksa beberapa e-mail di ponsel sihirnya.

"Kau tahu bahwa kau tak perlu menikahi Miss Allegri, bukan?"

Ucapan ayahnya tadi membuatnya memasukan kembali ponsel yang sedari tadi berada di tangannya itu. Dia mencoba membaca ekspresi dari ayahnya ini, tapi gagal. Karena seperti yang selalu ibunya ucapkan dulu, Draco Malfoy adalah pria tanpa ekspresi dalam hidupnya.

"Aku tahu itu. Tetapi, aku membutuhkan pernikahan ini. The Sociaty membutuhkan pernikahan ini," balas Scorpius.

Draco menggeleng. "Kita mungkin memang membutuhkan sekutu, tapi kau dapat melakukan hal lain. Pernikahan bukanlah satu-satunya jalan."

Scorpius belum menjawab ucapan dari ayahnya tadi. Percakapan ini sudah pernah terjadi beberapa bulan yang lalu saat ide untuk beraliansi dengan salah satu kelompok mafia di negara lain muncul di benaknya. Dan ucapan ayahnya tadi juga sudah sempat terucap padanya. Jika melihat bagaimana sejarah antara ayah dan ibunya dulu, Scorpius tahu betul mengapa Draco tak menginginkan putera sulungnya terjebak dalam pernikahan seperti ini. Scorpius tahu bahwa ayahnya ingin ia memiliki seseorang seperti Hermione Granger-Malfoy, ibunya. Wanita yang mencintainya serta menemukannya di waktu yang tepat. Karena usia 25 tahun terlalu muda baginya untuk membangun sebuah rumah tangga.

"Keputusanku sudah bulat, Dad."

Draco mengangguk. "Kau tak mencoba untuk meminta Miss Tarasova kembali?"

Katya Tarasova.

Scorpius menaikan sebelah alisnya lalu menggeleng. Katya menolak permintaanya beberapa bulan lalu dan ia tak akan meminta hal yang sama hanya untuk mendapat penolakan yang sama pula.

"Baiklah. Bawa wanita itu ke London dan mari selenggarakan pernikahanmu," ujar Draco pada puteranya.

000

Senja hampir menyapa saat Scorpius masih berkutat dengan laptop sihir di pangkuannya. Setelah beberapa pertemuanya dengan para kolega bisnis dan 'kolega lainnya' , ia dan Albus kembali ke manor. Sementara Scorpius sibuk dengan perkembangan kerajaannya, Albus tengah sibuk dengan billiard di hadapannya. Sedari tadi ia berpindah tempat untuk memasukkan bola-bola itu ke dalam lubangnya. Suara geraman sering kali keluar ketika ia tak berhasil melakukannya, meski manuver yang ia buat sudah terlihat begitu berlebihan.

"Argh," sekali lagi Albus Potter mengeram karena gagal memasukan bola terakhirnya.

Scorpius melepaskan kacamata yang dipakainya hanya saat-saat tertentu itu lalu menghela napas melihat tingkah sahabatnya itu. "Kau berisik sekali," ujar Scorpius lalu kembali kepada pekerjaannya.

Albus hanya mengedik lalu menjatuhkan diri di sofa tepat di hadapannya. "Rhaella pulang malam ini?" tanya Albus yang tetiba saja membuka mulutnya.

Scorpius meliriknya sesaat lalu mengangguk. Scorpius tahu bahwa Al – sapaanya untuk pria berambut hitam legam di hadapannya – menyukai adik perempuan semata wayangnya sejak dulu, tapi pria ini tak pernah melakukan pergerakan atau langkah nyata untuk mendekati Rhaella. Scorpius tak tahu alasannya. Mereka tak pernah memiliki perjanjian untuk tak boleh mengencani adik perempuan masing-masing, tapi Al tetap bergeming di tempatnya.

"Studinya sudah selesai?" tanya Al lagi.

Dan kembali Scorpius hanya mengangguk. Tahun ini Rhaella sudah berhasil merampungkan studinya di Boston, Amerika Serika dan akan sepenuhnya menetap kembali di London bersama keluarganya. Tentunya hal ini juga disambut bahagia oleh Scorpius, karena ia tak perlu mencemaskan keselamatan adik perempuannya itu lagi.

"Pukul berapa ia tiba?"

Kali ini Scorp benar-benar kesal dibuatnya. "Apakah kita sedang bermain '20 questions you should ask me'?" tanya Scorp yang bangkit dari sofanya lalu berjalan ke mini bar di sudut suite ini.

Al mendengus. "Aku hanya bertanya," tandasnya.

"Tanyakan hal itu pada Rhaella langsung. Kau memiliki nomornya, bukan?" ucap Scorp.

Kembali Al mendengus. Mendengus untuk jutaan kalinya semenjak ia bersahabat dengan Scorpius Malfoy yang tengah memandangi lemari penyimpanan wine-nya sembari berpikir botol mana yang akan ia pilih. "Bawakan botol itu serta gelasnya juga kepadaku," pinta Al saat Scorp membuka penutup kayu dari wine yang dipilihnya.

Scorp berjalan kembali ke sofa itu lalu memberikan sebuah gelas pada Al dan perlahan mengisinya. Setelah membauinya, kedua sahabat itu menyesapnya perlahan. Kebiasaan menyesap wine ini ditularkan oleh Scorp kepada Albus yang perlahan mencintai semua wine peninggalan ibunya dulu dan terbawa hingga sekarang. Bahkan Scorp pernah menghabiskan ribuan dollar dan galleon hanya untuk sebotol wine yang diinginkannya.

"Aku dengar dari Rhaegar, Ballard akan kembali ke London lagi?"

Scorpius mengangguk. "Aku rasa Novosibirsk sudah aman dan kita sudah memiliki pengikut yang loyal disana. Sudah saatnya Ballard kembali ke London untuk menjadi wingman bagi Rhaegar."

"Kapan dia kembali?" tanya Al kembali setelah memeriksa ponsel sihirnya yang beberapa saat lalu memberikan notifikasi.

"Dia sudah kembali sejak beberapa hari yang lalu."

Albus mengangguk-angguk lalu mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Albus sibuk dengan ponsel sihir di tangannya, sementara Scorp dengan beberapa perkamen di hadapannya. Tetiba saja Al tertawa lalu kembali sibuk dengan ponselnya untuk kemudian menatap Scorp dengan penuh kejahilan.

"Ada apa?" tandas Scorp.

Senyum jahil itu masih terpancar di wajah putera dari Harry Potter itu. "Kau sudah siap bertemu dengan sepupuku besok?"

Scorp membalas dengan tatapan malas kepada Al yang tetiba saja terkekeh. "Tak ada yang perlu disiapkan."

"Ayolah, mate. Kau sudah bertahun-tahun tak bertemu dengannya. Kau pasti akan takjub pada Rose yang sekarang."

Dia tak menghiraukan ucapan dari Al dan kembali menyesap wine di tangannya. Bila benar Rose yang akan menjadi istrinya dalam beberapa minggu ke depan adalah Rose yang pernah ia temui di Hogwarts dulu maka ia sama sekali tak bersemangat. Wanita dengan rambut lusuh dan wajah yang dipenuhi bintik itu bagaikan mimpi buruk baginya. Untung saja ia tak membutuhkan keturunan secepatnya.

"Rose yang sekarang sudah berubah 180 derajat dari Rose yang kau kenal di Hogwarts dulu. Semenjak ia kembali ke keluarga kandungnya di New York sana, Rose sudah bertransformasi menjadi puteri mahkota," kekeh Al.

Scorp mendengus. Ia yakin sekali Al hanya berkelakar. Wanita itu tetap saja 'the ugly duckling' baginya, bahkan tak ada sihir yang dapat menolongnya meskipun ia adalah pewaris tunggal dari Cosa Nostra di New York sana. Bukan rahasia lagi bahwa Rose Weasley bukanlah putri kandung dari Ron dan Luna Weasley. Dan setelah sebuah kecelakaan tragis yang membuat Ron dan Luna tewas serta melumpuhkan Hugo, sebuah keluarga sihir berdarah Italy mendatangi The Burrow serta menunjukan semua bukti bahwa Rose adalah cucu dari Maurizio Allegri , seorang Capo atau pimpinan tertinggi dalam sebuah mafia yang menyebut diri mereka Cosa Nostra. Sejak saat itu Rose pindah ke New York dan menjalani hidup barunya. Scorp tak mengetahui hal ini sampai ide pernikahan naik ke permukaan. Cosa Nostra dan The Sociaty diketahui tak pernah memiliki hubungan yang baik sejak dulu, sampai beberapa tahun lalu hubungan antara kedua mafia beda negara ini mulai membaik. Kebutuhan untuk beraliansi yang dicetuskan oleh Scorpius disambut dengan baik oleh Maurizio Allegri dengan sebuah pernikahan. Saat itu juga dia baru sadar bahwa Rose Weasley-lah yang akan menjadi pengantinnya.

"Look alive, Scorp!" ujar Al dengan memetikkan jari di hadapannya.

Scorp hanya kembali menyesap wine-nya hingga kandas. "Kau tak berniat untuk mundur dari pernikahan ini, bukan? Cosa Nostra akan mencincang kita sampai kandas," ujar Al lagi.

"Aku tak berniat mundur. Pernikahan ini hanya sebuah bisnis, tak ada yang perlu dicemaskan. Dan meski aku mundur dari pernikahan ini, Cosa Nostra tak akan sanggup menyentuh kita. Aku yang akan terlebih dahulu mengeksekusi mereka," balas Scorp dengan dingin.

"That's sounds really you."

Scorp mengedik dan mereka kembali menyesap isi dari botol itu.

000

Pengawal-pengawal selalu berjaga dari ujung gerbang utama Malfoy Manor sejak bangunan ini dijadikan kediaman pemimpin tertinggi – King – dari The Sociaty, begitupula dengan malam ini. Beberapa dari mereka secara refleks mengangguk saat sebuah mobil sedan sihir memasuki pelataran manor ini dengan Rhaella Malfoy di dalamnya. Alih-alih menggunakan Portkey atau ber-Apparate, Rhaella akan memilih menempuh perjalanan sedikit lebih lama dengan menggunakan jet sihir pribadi keluarganya. Saat semua orang mengatakan bahwa ia adalah cetak biru dari ibunya, bakat takut terbangnya dan tak suka dengan Portkey serta ber-Apparte juga menurun pada putri satu-satunya keluarga ini.

"Miss Rhaella," sapa Magnus saat wanita muda ini turun dari mobilnya.

Senyum terpulas di wajahnya. "Magnus."

"Saudara-saudaraku sudah ada di dalam?" tanyanya.

Magnus mengangguk. "Tuan Draco Malfoy, Tuan Scorpius dan Tuan Rhaegar serta kolega lainnya sudah berada di dalam sejak tadi."

Rhaella mengangguk dan secara sihir seluruh kopernya melayang menuju suite-nya di manor ini. Senyum wanita berusia 23 tahun ini masih terpancar saat ia masuk kembali ke manor ini. Mulai hari ini ia secara resmi kembali ke manor untuk menetap karena ia sudah merampungkan studi hingga tingkat master-nya di Boston. Tatapannya terhenti pada sosok yang baru menaiki anak tangga yang menuju ke dungeon bangunan ini. Pria itu berdiri tegap seperti biasanya dan senyum Rhaella semakin mengembang saat menatapnya. "Ballard."

"Miss Rhaella," Ballard berbalik menyapa.

"Rhaella."

Wanita berambut cokelat persis seperti ibunya itu menengadah dan mendapati Scorp tengah menuruni anak tangga dengan Albus Potter di sampingnya. "Big brother," balas Rhaella lalu memeluk erat pria itu.

"Senang rasanya bisa kembali lagi kesini," ujar Rhaella.

Ia melepaskan pelukanya lalu menatap Al yang masih berada di sisi kakaknya itu. "Hey, Al."

"Apa kabarmu, Rhaella?" tanyanya.

"Sangat baik."

Tatapan mereka semua beralih pada Rhaegar yang sudah berdiri di belakang Ballard. Ia tersenyum pada mereka. "Look who's here," ujarnya

Rhaella berjalan ke arah adik lelakinya itu, namun Rhaegar menggeleng saat ia akan memeluknya. Alis Rhaella berkedut sebelah melihat hal ini. "Aku kotor," ujar Rhaegar cepat.

Kini kening Rhaella yang mengerut. "Apa yang baru saja kau lakukan?" tandasnya.

Adik lelakinya itu hanya terkekeh lalu menggeleng. "Kau pasti tak mau tahu apa yang telah kulakukan di dungeon bersama Ballard, bukan?"

Tatapan Rhaella beralih pada Ballard yang hanya bergeming di tempatnya. "Yaa, aku tak mau tahu," jawabnya cepat.

"Makan malam sudah siap, Tuan-Tuan dan Nona," ujar salah seorang pelayan yang muncul dari arah ruang keluarga manor ini.

Mereka tak mengangguk atau menjawab pelayan itu, mereka hanya memberi tatapan seadanya lalu pelayan itu pamit undur diri dari hadapan mereka. "Kalian ke ruang makan terlebih dahulu aku akan menyusul. Dad pasti sudah berada disana saat ini," ujar Rhaegar pada mereka.

Tatapan Rhaegar jatuh pada Ballard. "Kita akan ke Yorkshire lewat tengah malam ini. Aku akan menunggumu di tempat biasa," ujar Rhaegar pada Ballard yang dijawab dengan anggukan.

Ia berjalan menuju tangga untuk menuju suite-nya di manor ini. "Once again, welcome home, sister," ucap Rhaegar lalu menghilang dari hadapan mereka.

"Aku akan bertemu Dad terlebih dahulu," Rhaella ikut menghilang menuju ruang keluarga.

Scorp berjalan mendekat kepada Ballard. "Masih ada masalah di Yorkshire?"

Ballard mengangguk. "Komisioner mereka masih bermasalah dengan kita?" tanya Scorp lagi.

Dan kembali Ballard mengangguk. "Aku rasa kita terlalu lembut pada mereka. Aku dan Rhaegar akan sedikit memberikan mereka pelajaran," jawab Ballard.

Seringaian Scorp terpancar di wajahnya. "Good. Ajari mereka sebaik mungkin untuk tahu siapa kita sebenarnya."

"Kau ikut makan malam dengan kami, bukan?" tanya Scorp.

"Tentu," jawab Ballard cepat.

Mereka berjalan ke arah ruang keluarga untuk bergabung bersama Rhaella dan Draco Malfoy serta Uncle Zab dan Niklaus yang baru saja sampai di jaringan floo mereka.

000

Makan malam berjala dengan lancar seperti malam-malam sebelumnya. Mereka saling tertawa terutama oleh lelucon-leluon yang dilontarkan oleh Blaise Zabini atau mereka lebih familiar memanggilnya Uncle Zab. Dan tawa mereka semakin membahana saat Rhaegar ikut nimbrung di hadapannya sementara Scorp hanya tertawa dan tersenyum seperlunya. Mereka pindah ke ruang tengah untuk menghabiskan malam bersama selepas makan malam. Tawa kembali terdengar saat Rhaegar mulai beradu argumen dengan Al atau saat mereka membuat lelucon tentang Niklaus Zabini.

"Nikmati malam kalian, ada beberapa hal yang perlu kukerjakan malam ini," ujar Draco yang bangkit dari sofanya.

"Kau akan pergi kemana, Dad?" tanya Rhaella dengan nada protektif kepada ayahnya itu.

Ayahnya hanya tersenyum setelah selesai menyeasap habis whisky kesukaannya. "Ada banyak yang harus kulakukan malam ini."

"Blaise," ujarnya pada sahabat karibnya sejak berpuluh-puluh tahun lalu itu.

Blaise Zabini beranjak dari tempatnya lalu berjalan ke arah Draco. "Aye, Sir."

"Ballard," panggil Draco pada pria yang sudah dianggap anak lelakinya sendiri itu.

"Yes, Sir."

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

Tanpa menunggu lagi ketiga pria itu pamit dari ruang tengah manor ini. Perhatian Rhaella kembali kepada kedua sudara dan teman-temannya itu. "Apa Dad masih mengurusi semua kegiatan The Sociaty? Aku kira kau sudah mengambil alih semuanya, Scorp."

"Belum semuanya," jawab Scorp enteng.

"Lalu kapan kau resmi menjadi King?" tanya Rhaella.

"Saat ia menikahi Rosabelle Allegri, saat itu pula sihir kuno The Sociaty akan mengukuhkannya sebagai King," kekeh Niklaus dari ambang beranda ruangan ini.

Sontak Albus dan Rhaegar ikut tertawa. Mereka tahu sekali bahwa Scorpius tak suka masalah ini disebut kembali. Dan semakin Scorp membencinya semakin sering pula kedua temannya serta adik laki-lainya menjadikan hal ini lelucon. "Fuck off," desis Scorp yang membuat mereka bertiga semakin tertawa dengan renyah.

Sebuah pernikahan memang bukanlah syarat mutlak untuk menjadikannya sebagai pemimpin tertinggi dari The Sociaty karena sejujurnya ayahnya menjadi King of The Sociaty jauh sebelum ia menikahi ibunya. Tetapi, saat ide untuk beraliansi dengan Cosa Nostra untuk memperkuat The Sociaty, para tetua termasuk ayahnya mendeklarasikan bahwa ia akan menjadi King saat sumpah pernikahannya terucap.

"Omong-omong soal pernikahan,apakah kau bersemangat untuk bertemu Rosabelle besok?" tanya Rhaegar.

Albus dan Niklaus kembalu terkekeh. "Jangan memulainya, Rhaegar. Aku sudah cukup menerima semprotannya siang tadi."

Kening Rhaegar mengerut. Pria dengan rambut pirang platina khas keluarga Malfoy ini pura-pura terkejut. "Kau tak bersemangat bertemu dengan calon kakak iparku?"

Scorpius hanya diam dan tak menjawab celotehan adiknya itu, sementara Rhaella hanya tersenyum dan ikut menyesap wine yang tadi dibuka oleh Al. "Kau pasti belum melihat wajahnya, bukan? Rosabelle ibarat malaikat yang turun dari surga, brother. Dia sangat cantik."

"Shut up, Rhaegar Kraver."

Rhaegar langsung menutup mulutnya, namun pulasan senyum jahil masih berada di wajahnya. Scorpius tak mau terpengaruh oleh ketiga pria di hadapannya ini. Dia sudah memeriksa latar belakang calon istirnya itu, tapi hingga saat ini ia sama sekali menolak untuk melihat wajahnya. Semua orang termasuk ketiga pria di hadapannya ini mengatakan bahwa wanita yang memiliki nama lengkap Rosabelle Archangela Weasley-Allegri itu memiliki wajah yang sangat cantik, tapi mengingat bagaimana perawakan wanita itu saat mereka masih di Hogwarts dulu Scorpius tak berani mempercayai omongan orang-orang ini. Itik buruk rupa tak akan pernah menjadi angsa. Hal itu hanya terjadi di dongeng-dongeng pengantar tidur milik Rhaella.

"Tapi kau besok akan tetap menemuinya, bukan?" Rhaella kembali membuka suara.

Scorp mengangguk. "Tentu."

"Great. Sampaikan salamku untuk calon kakak ipar kami itu," ia ikut becanda sama seperti ketiga orang itu.

Kali ini Scorp tak sanggup menjawabnya. Rhaella bangkit dari kursinya lalu merenggangkan otot-ototnya. "Aku kembali ke suite-ku duluan. Jetlag selalu menyebalkan," ujarnya.

Albus menatapnya dari sofa yang ia duduki. "Selamat malam, Rhaella."

"Selamat malam, Al," jawabnya.

Setelah mencium kedua saudaranya ia berjalan dan naik ke suite-nya yang terletak di lantai tiga bagian barat manor ini. Seperti biasa lorong menuju suite-nya memang hanya diberi pencahayaan seadanya, begitupula dengan area manor lainnya. Ia memeriksa jam yang melingkar di tangannya. Tengah malam masih sekitar dua jam lagi. Baru saja ia handak masuk ke suite-nya sebuah tangan sudah menariknya. Pria itu membuatnya terperangkap di balik pintu suite ini. "Hello, milaya," ujar pria itu.

Senyum Rhaella terkembang dan ia mengalungkan lengannya di pria dengan mata kelabu jernihnya. "Oh God. I really miss you, Liam Ballard," ujar Rhaella sebelum mencium pria itu.

000

Allegri Mansion

"Berhenti mondar-mandir seperti itu."

Rosabelle berhenti seketika dengan tatapan yang jatuh pada suara itu. Ia memicingkan matanya dengan wajah yang tak senang dengan kalimat yang baru dilontarkan oleh pria itu. Dia masih berdiri di tempatnya dan masih menatap pria itu dengan mata kelamnya. "Kau tak punya hak untuk memerintahku, Vitiello."

"Sorry."

"Sorry what?"

"Sorry, Boss."

"Great."

Wanita yang tepat akan berusia 23 tahun di bulan depan itu menghempaskan tubuhnya di salah satu sofa di ruang kerja mansion ini. Ia menuangkan wine ke dalam gelasnya lalu menyesapnya perlahan untuk kemudian memejamkan matanya. Edward Vitiello mendekatinya lalu duduk di lengan sofa itu kemudian mengambil gelas di tangan wanita yang ia panggil 'Boss' itu. Mata Rosabelle terbuka dan Edward menggelengkan kepalanya. "Sudah cukup wine untuk hari ini."

"Aku selalu mengatakan padamu untuk tak pernah memerintahku."

Pria dengan rambut hitam legam dan mata yang kelam serupa yang dimiliki Rosabelle itu menggeleng. "Aku tak memerintahmu, aku memintamu."

Rosabelle kembali memicingkan matanya sebelum ia membuka suaranya, Edward mengangkat tangannya. "Alih-alih memanggilmu Boss, kau adalah Rose bagiku."

Wanita itu mengambil kembali gelas yang tadi sempat diambil dari tangannya. Tanpa memedulikan ucapan pria tadi ia menenggak isinya hingga kandas tak bersisa. Edward mengambil tangan Rosabelle dan wanita itu membeku di tempatnya. "Berhenti mendramatisir keadaan, Edward," ucap Rose – sapaan akrabnya.

"Dan hentikan ide gilamu ini," balas salah satu anggota Cosa Nostra yang paling dipercayainya itu.

Rose melepaskan tautan mereka lalu menggeleng. "Aku tak mau melakukan hal ini, tapi aku harus melakukan hal ini. Aku membutuhkan aliansi untuk Cosa Nostra dan pasukan untuk mendukungku menjadi pemimpin kalian."

"Kau tak perlu menikahi klan Malfoy untuk hal ini," balas Edward.

Rose tertawa dengan nada sarkastik. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Membiarkan keluarga Scuderi mengklaim tahtaku di Cosa Nostra? Tak akan pernah terjadi."

"Pernikahan bagi kelompok kita adalah hal yang sakral dan kau tak mencintainya, Rose."

Rose kembali menuangkan wine ke dalam gelasnya untuk kembali menyesapnya. "Cinta? Sejak kapan kita peduli dengan cinta?" balas Rose.

"Aku peduli," jawab Edward cepat.

Rose mendengus lalu menggeleng dan bangkit dari tempatnya. Ia berjalan dan berhenti di ambang rolling door beranda ruangan ini. Sinar bulan yang terpancar dari langit malam ini ke arah Rose membuatnya bak bermandikan cahaya itu. "We fucked. We care each other, but we never a lover, Edward Vitiello. And respect me, I'm your boss."

Edward tampak tak mampu berkata-kata di tempatnya. Ia hanya bangkit lalu berjalan ke pintu keluar ruangan ini. "Fine. Goodnight, Boss."

Suara pintu tertutup menandakan bahwa Edward benar-benar sudah menghilang dari ruangan ini. Rose menyesap habis minumannya lalu kembali ke ruangan itu. Ia merasa terusik dengan perilaku Edward tadi. Sejak kapan pria itu menjadi melankolis seperti tadi. Ide brilian tentang pernikahan antara dua kelompok mafia sihir ini saja sudah membuatnya hampir gila, Rose tak sanggup jika Edward menambahkan masalah lain dalam hidupnya.

Tok..tok..

Suara ketukan terdengar dari pintu ganda ruang kerjanya selama di mansion ini. Tak berapa lama kemudian Lorenzo – tangan kanannya – melangkah masuk ke ruangan ini. "Kau sebaiknya membawa hal bagus, jika tidak segera enyah dari hadapanku," ujar Rose yang masih memijit kepalanya setiap mengingat reaksi Edward tadi.

Lorenzo masuk dengan beberapa perkamen di tangannya. Ia menunjukkan lembaran demi lembaran itu pada Rose. "Data seluruh klan Mafoy serta orang-orang dekat dari calon suamimu," ucap Lorenzo.

Rambut halus di tengkuk Rose masih selalu meremang saat seseorang menyebut Scorpius Malfoy sebagai calon suaminya. Segera setelah perkamen itu berada di hadapannya, ia meletakkan gelas yang dipegangnya lalu mengambil berkas itu. Ada banyak foto di dalam perkamen itu lengkap dengan data mengenai sosok tersebut.

"Jelaskan semuanya padaku," ucap Rose yang masih tak melepaskan pandangannya dari foto-foto di perkamen di hadapannya itu.

Lorenzo sedikit berdeham dan mengambil posisi di sisi sofa Rose. "Scorpius Montella Malfoy, anak pertama dari Draco dan Hermione Malfoy. Dia baru saja genap berumur 25 tahun satu bulan yang lalu, merupakan lulusan dari Hogwarts dan Law School dari Oxford University."

Alis Rose mengerut. "Dia berkuliah di sekolah muggle?" tanyanya tak percaya.

Rose tahu betul siapa klan Malfoy di negara ini. Keluarga penyihir berdarah murni ini sangat anti terhadap muggle dan orang-orang yang bergaul dengannya. Fakta bahwa penerus kerajaan keluarga itu menempuh pendidikan di salah satu universitas muggle ternama di Inggris benar-benar tak masuk akal baginya.

Mendengar pertanyaan Rose, Lorenzo mengangguk. "Tak hanya Scorpius, semua adiknya juga berkuliah di universitas muggle. Mereka semua adalah sosialita tak hanya bagi para kaum penyihir namun juga oleh para muggle. Bersekolah di Oxford adalah salah satu cara mereka menjaga citra di mata para klien muggle mereka."

Rose mengangguk. Masuk akal. Karena ia juga melakukan hal yang sama. "Bisa aku lanjutkan?"

Pertanyaan Lorenzo tadi mendapatkan anggukan dari Rose. "Scopius dijuluki The Ice Man karena ia sangat tenang dan tak banyak berbicara serta ia mampu membunuh musuhnya dengan sangat mudah tanpa perlu banyak interogasi. Scorpius juga mempunyai keahlian khusus dalam membaca dan masuk ke dalam pikiran seseorang. Selain The Ice Man, Scorpius Malfoy juga dijuluki Drug Lord karena sejak The Sociaty perlahan di pegang olehnya penjualan narkoba mereka sudah merambah Asia dan Afrika. Setelah kalian resmi menikah ia juga akan resmi menjadi King dari The Sociaty."

Jeda sesaat, Rose memberikan isyarat agar Lorenzo melanjutkan penjelasannya. "Anak kedua dari klan Malfoy adalah Rhaella Adaline Malfoy, berusia sama denganmu. Memiliki perawakan yang persis sama seperti ibunya kecuali mata kelabu yang dimiliki oleh semua anggota keluarga Malfoy. Baru saja lulus Law School dari Harvard Univesity dan sekarang sudah kembali ke London untuk menjalankan panti asuhan dan badan amal yang dulu dikelola ibunya serta semua usaha sampingan klan Malfoy."

Tatapan Rose sekarang beralih pada foto lainnya yang beberapa bulan lalu sempat ia temui di New York. "Dia adalah Rhaegar Kraver Malfoy, anak ketiga klan Malfoy. berusia dua tahun lebih muda dari Rhaella dan dengan kecerdasan otaknya ia sudah menyelesaikan studi Business School di Harvard University saat ia belum genap berusia 20 tahun. Rhaegar Malfoy adalah Hands of King bagi Scorpius saat ia dinobatkan nanti. Dia memiliki sebutan Bloody Blonde karena kebrutalannya dalam membunuh semua orang yang dianggapnya musuh. Tak seperti Scorpius, Rhaegar memiliki emosi yang gampang meledak dan sifat ceroboh serta gegabah dalam mengerjakan sesuatu."

Rose mengangguk lalu tatapannya berhenti pada foto Scorpius dengan kedua sahabatnya saat mereka berada di sebuah pesta. "Apakah ini Albus Potter? Apa dia salah satu anggota The Sociaty? Tak mungkin Harry Potter mengizinkannya terlibat dalam dunia seperti kita," cecar Rose.

"Dia adalah Albus Severus Potter, sepupu angkatmu. Aku tak tahu apakah Harry Potter tahu apa yang dilakukannya puteranya itu, tapi ia adalah salah satu anggota The Sociaty. Dia adalah ahli IT dalam kelompok atau lebih mudah disebut hacker dan jarang sekali ikut turun ke lapangan. Tetapi, tak ada yang boleh menganggapnya remeh karena dia sama berbahayanya dengan sahabatnya."

Rose menunjukkan pria lain di foto itu. "Dan ini adalah Zabini?"

Lorenzo kembali mengangguk. Sebelum ia pindah di tahun kelimanya di Hogwarts, Rose sudah tahu persahabatan kental yang terjadi antara Scorpius, Albus, dan Niklaus. Tetapi, ia tak tahu bahwa persahabatan mereka bertahan hingga sekarang. Hingga mereka berada di dunia yang sama.

"Niklaus Zabini adalah putera satu-satunya dari Blaise dan Millicent Zabini. Merupakan sahabat Scorpius dan Albus bahkan sejak mereka masih di taman kanak-kanak. Niklaus adalah sniper di The Sociaty,semua misi yang diberikan padanya hampir seluruhnya berhasil."

Kali ini Rose yang mengangguk. Lorenzo berhenti menjelaskan namun Rose tetap memperhatikan data dan foto demi foto di hadapannya. Alisnya sesaat bertaut. Ia memperhatikan sosok wanita yang selalu ada di setiap frame bersama dengan Scorpius. Rose menunjuk wanita berambut hitam yang panjang terurai itu. "Siapa wanita ini?"

"Dia Katya Tarasova."

Rose terkejut mendengarnya. "Tarasova dari klan Tarasov? Tarasov The Bratva dari Moscow? Adik dari Aleksei?" tanya Rose tanpa sedikitpun jeda.

Lorenzo mengangguk. "Benar sekali."

"Lalu apa hubungannya dengan Scorpius Malfoy?"

"Tak ada yang tahu pasti hubungan mereka. Mereka sama-sama berkuliah di Oxford lalu Katya selalu menemani Scorpius di setiap acara, tapi setiap wartawan menanyakan status hubungan mereka, keduanya hanya bungkam."

Jika pernikahan antara dirinya dengan Scorpius hanya untuk aliansi semata, lalu kenapa ia tak menikahi Katya Tarasova? Selain mereka sudah bersama sejak lama, beraliansi dengan The Bratva juga merupakan hal yang besar, bukan?

"Apakah sudah cukup, Boss?" tanya Lorenzo.

Rose mengangguk. "Kau bisa pergi, Lorenzo."

Barus saja Lorenzo akan meninggalkan ruangan itu, Rose kembali membuka suaranya. "Dimana Hugo?"

"Dia sudah berada di kamarnya selepas makan malam tadi, Boss."

"Great."

Dan Lorenzo benar-benar pamit dari hadapannya. Rose menghela napas. Esok ia akan bertemu dengan Scorpius, pria yang ia yakin bahkan tak mengenalnya saat mereka masih di Hogwarts dulu. Dia sesap lagi wine-nya dan memutuskan untuk tidur.

000

Matahari di bulan Agustus kota London tak pernah berbohong dengan cahaya terangnya. Suasana musim panas begitu menggema. Suara kicauan burung, hijaunya rerumputan di taman-taman kota, serta kumpulan orang yang sengaja menjemur dirinya. Scorpius keluar dari sedan Audi-nya sambil membenarkan jas hitam yang dikenakannya lalu melepas sunglass yang sedari tadi dikenakannya. Ia berdiri sejenak di depan pintu sebuah restaurant dengan reservasi atas namanya di dalam sana. Ia merasakan beberapa kali 'jepretan' dari kamera paparazi yang berusaha mengabadikan dirinya. Tanpa memedulikan para pencari berita itu, ia langsung masuk dan duduk di kursi pesanannya.

Tak perlu lama menunggu, sosok yang akan ia temui sudah berjalan masuk ke arahnya. Pupil mata Scorpius membesar saat melihat seorang wanita berjalan ke meja yang telah dipesannya. Pasti ada kesalahan. Wanita ini pasti salah meja. Dia pasti bukan Rose Weasley yang dulu pernah dilihatnya di Hogwarts. Wanita itu berdiri di hadapannya. "Scorpius Malfoy, senang bertemu denganmu," ujarnya.

Scorpius masih berusaha menemukan logika yang tepat untuk keadaan ini. Itik buruk rupa tak akan pernah berubah menjadi seekor angsa. Teori itu dipegang teguh olehya. Setidaknya sampai beberapa saat lalu. Mencoba mengembalikan akal sehatnya ia membalas jabat tangan itu. "Rosabelle Allegri."

Wanita berambut merah kecokelatan serta panjang bergelombang ini tersenyum sangat tipis lalu menggeleng. "Rosabelle Weasley-Allegri."

"Baiklah, Miss Allegri."

Scorpius bangkit dari kursinya lalu menarikan kursi untuk Rosabelle duduk. Wanita yang berbeda 180 derajat dari masa remajanya ini hanya mengangguk sambil melepaskan blazer hitam yang dikenakan. Mata Scorpius memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rosabelle mengenakan jumpsuit tanpa lengan bewarna hitam serta kalung berlian yang menghiasi leher jenjangnya. Wanita yang berumur dua tahun lebih muda dari Scorpius ini juga mengenakan stiletto bewarna senada dengan pakaian yang ia kenakan.

Seorang pelayan mendatangi meja mereka. Scorpius mulai menyebutkan menu apa saja yang ingin ia pesan dari appetizer hingga dessert nanti dan begitupula dengan Rosabelle.

"Wine apa yang kalian miliki?" tanya Rosabelle pada pelayan itu tanpa menatapnya.

"Kami memiliki semua wine terbaik di dunia ini dari masa ke masa," balas pelayan itu.

Rosabelle mengangguk. "Barolo 1992."

"Great choice, Maam," balas pelayan itu.

Tak seperti wanita-wanita lain yang merasa tersanjung saat dipuji ia hanya melirik pelayan itu dengan ujung matanya. "Sekarang pergi dari hadapanku."

Pelayan itu seakan terkejut dengan ucapannya lalu langsung pami dari hadapan mereka. Scorpius bersandar lalu menyilangkan kakinya. "Kau pecinta wine?" tanyanya.

"I'm Italian."

"Half Italian," balas Scorpius.

"You did a background check," balas Rosabelle.

"So did you."

Senyuman tipis Rosabelle kembali terlihat lalu ia menyesap wine yang baru saja dituangkan ke gelasnya, begitupula dengan Scorpius.

"Aku tak akan berbasa-basi Mister Malfoy. Kita akan menikah satu bulan lagi. Aku akan membantumu dengan semua urusan The Sociaty dan kau akan membantuku dengan semua urusan Cosa Nostra," ucap Rosabelle.

Seringaian terpulas di wajah Scorpius. "Kau percaya diri sekali Miss Allegri."

Rosabelle tak menjawabnya. "Mengapa kau menyetujui ideku untuk meminangmu?"

Wanita di hadapannya itu mengedik. "Aku membutuhkanmu untuk mendukungku menjadi Capo menggantikan kakekku," jawabnya lugas.

Dari penampilan hingga gaya bicaranya, Scorpius lagi-lagi dikejutkan oleh wanita yang memulas kukunya dengan cat bewarna merah itu.

"Dan apa yang membuatmu meminangku?" tanya Rosabelle.

"Karena Cosa Nostra memiliki pasar di hampir seluruh Amerika, kalian akan menjadi aliansi terbesar yang pernah The Sociaty miliki," jawab Scorpius.

Rosabelle menatap lekat ke arah calon suaminya itu. "Rosabelle Weasley-Allegri and Scorpius Malfoy. Sounds great, we're really meant to be together," ucapnya sarkastik.

Seringaian kembali terpulas di wajah Scorpius, namun ujung matanya menatap sesuatu yang aneh di restaurant ini. Tetiba saja ruangan ini sepi meski sekarang sudah memasuki waktu lunch service. Makanan yang sedari tadi mereka pesan juga tak kunjung keluar. Tak hanya itu pintu restaurant ini juga tertutup sangat rapat. Dan hal yang lebih mencurigakan adalah pria-pria yang duduk dengan posisi janggal di sudut-sudut restaurant ini. Rosabelle yang menyadari perubahan manik wajah dari Scorpius mengubah posisi duduknya untuk sedikit maju hingga jarak mereka menyempit. Ia tersenyum. Palsu. "Apa ada yang salah?"

"Kita dikepung," jawan Scorpius tenang.

Rosabelle mengangguk yang juga tak kalah tenangnya. Dia membuka clutch hitamnya lalu mengeluarkan kotak bedak untuk berpura-pura memeriksa riasannya. Ia melihat pria-pria yang bersiaga dan seakan siap untuk menyerang mereka setiap saat. Rosabelle memasukan kotak itu lagi dengan malas. "Kau tahu mereka siapa?" tanya Rosabelle.

"Entahlah," balas Scorpius.

"Aku pikir mereka orang-orangmu," tambah Scorpius lagi.

Rosabelle mendengus lalu menggeleng. "Orang-orangku? Percayalah aku tak akan mengacaukan rencanaku untuk sekadar membunuhmu."

"Baiklah. Tetap duduk di tempatmu, saat aku mulai menyerang kau berlindunglah di bawah meja," ucap Scorpius yang terdengar lebih mirip dengan sebuah perintah.

Calon istrinya itu menggeleng. "Kau kira aku akan membiarkan kau bermain-main seorang diri."

Dalam aba-aba yang tak tersirat Scorpius dan Rosabelle bangkit dari tempat duduknya sambil mengeluarkan senjata dari dalam pakaian mereka. Scorpius menendang meja di hadapannya dan dengan satu gerakan refleks ia dan Rosabelle sudah berdiri sambil memunggungi satu sama lain. Pistol dan tongkat sihir sudah berada di tangan mereka masing-masing dengan mata yang sangat awas terhadap pria-pria yang sudah ikut bangkit dari poisinya itu.

"Who're you guys?" tanya Rosabelle dengan aksen khas para New Yorker.

Pria-pria itu sudah berada di posisi menyerang dengan pistol dan tongkat sihir di tangan mereka. Bahkan beberapa orang tambahan tetiba muncul dari arah dapur restaurant ini. "Tidak penting siapa kami," balas pria berkepala pelontos tepat di kiri mereka.

Senyum merendahkan Rosabelle mengembang. "Huh Russian?" ucapnya.

"Stop this friendly chit chat, Miss Allegri. You wanna play, let's play," ucap Scorpius.

Kilatan serta sambaran cahaya dari tongkat mereka seketika seperti bersahutan. Letusan pistol juga sama nyaringnya menghiasi ruangan ini. Scorpius bermanuver dari satu pria ke pria lain begitu juga dengan Rosabelle yang terlihat sangat anggun saat menarik pelatuk untuk menghilangkan satu per satu nyawa dari pria-pria itu.

Bang

Bang

Bang

Scorpius terpanah dengan kelihaian Rosabelle dengan belatinya. Ia baru saja menarik belati itu dari tubuh pria berkulit pucat khas para orang Rusia. Rosabelle berdiri tegap dan tatapan mereka bertemu. Napas mereka terengah akibat menghadapi orang-orang yang memiliki misi bunuh diri ini. Scorpius mengedarkan pandangan dan mendapati mayat-mayat berserak di restaurant ini lengkap dengan darah yang menghias di dinding serta lantai ruangan ini.

"Sial! Aku membunuh di hari Minggu," ucap Scorpius.

"Apa katamu?" tanya Rosabelle yang berjalan dengan santai di antara tubuh-tubuh yang baru saja ia habisi dengan mudahnya sambil membersihkan tanganya dari darah dengan serbet yang di ambilnya dari salah satu meja.

Scorpius menggeleng. Dia kemudian mengambil ponsel sihirnya lalu menekan satu tombol yang langsung menghubungkannya dengan Rhaegar.

"Brother," ujarnya dari seberang sana.

"Aku butuh Tukang Ledeng dan alibi untukku dan Rosabelle Allegri."

000

to be continued

so let me know what you think:)