I asked you to not cry

.

.

.

Shixun tahu jika tidak seharusnya ia memikirkan apa yang terjadi beberapa hari ini.

Bertemu mantan kekasihnya, atau Tunangannya yang mulai mempermasalahkan waktu mereka yang kian menipis, atau malah tingkah adik kembarnya yang akhir-akhir ini selalu menemui mantan kekasihnya.

Selama bertahun-tahun ia selalu bertanya bagaimana kabar orang itu. jadi apa sekarang dia?

Beberapa teman SMU yang masih cukup dekat dengannya bilang jika sekarang Kim Jongin berhasil meraih cita-citanya menjadi seorang desainer interior berkat kegigihannya selama ini.

Tetapi sayangnya bukan itu yang ingin Shixun ketahui. Ada banyak pertanyaan dalam hatinya tentang Kim Jongin, dan pastinya hanya dirinya sajalah yang boleh tahu.

'Kim Jongin datang ke pesta ini. Kau tak mau menemuinya, Xun?'

Andai Xi Luhan tidak memberi usul untuk menemui Kim Jongin. Pasti Shixun tak perlu merasa gelisah sampai saat ini.

Namun semua bukan sepenuhnya salah Xi Luhan. Suami dari Kim Minseok itu hanya memberikan usul kan? Toh yang melakukannya juga dirinya sendiri.

"Kau darimana saja? Baekhyun terus mencarimu tadi siang" Wu Sehun, adik kembarnya bertanya.

Namja yang lebih muda beberapa menit darinya itu nampak merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan sebuah novel di tangan.

Romansa percintaan, eh? hiperbolis sekali, pikirnya.

Shixun hanya mendengus, membuat Sehun menggeleng pelan. Haruskah ada satu hati lagi yang tersakiti?

"Oi, Shixun!" Seru Sehun.

Sang kakak yang baru saja menaiki anak tangga menoleh. "Ada apa?" tanyanya. Rambut blonde-nya terlihat berantakan, dan itu membuat Sehun yakin jika Shixun baru saja mengalami hal kurang mengenakan hari ini.

"Jangan lupa hubungi Baekhyun! Kau membuatnya cemas"

Shixun menarik napas pelan.

"Apa kalian bertengkar?"

Sang kakak menggeleng.

"Lalu?"

"Aku akan menelponnya nanti" sahut Shixun.

"Jangan terlalu sibuk, Xun! Kau bisa sakit nanti"

"Hm"

.

.

.

Shixun merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menutup kedua matanya dan membukanya dalam hitungan detik.

Wajahnya terlihat lelah. Pertanda jika ia benar-benar butuh istirahat sekarang.

Ia mencoba memutar masa lalu. Dimana hanya ada dirinya dan Kim Jongin, tanpa Baekhyun diantara mereka.

Begitu Indah...

Begitu Manis...

Dan sulit terlupakan...

Shixun tidak akan pernah lupa bagaimana namja itu tersenyum.

'Aku mencintaimu, Shixun'

'Hm'

'Hm apa? Jangan ambigu'

'Aku tahu. Jangan katakan itu lagi! Katakan yang lain'

'I love you?'

'Sama saja, bodoh'

Jongin yang terkekeh dengan eyesmile-nya yang menawan. Membuat Shixun tersenyum dalam kesunyian.

Hari demi hari tak pernah terlewati untuk merasakan penyesalan.

Mengapa ia begitu bodoh? Mengapa ia begitu tega mempermainkan ketulusan manusia polos seperti Kim Jongin?

Shixun tertawa sangau. Lebih tepatnya menertawai kebodohannya sendiri.

Kata maaf sekalipun tak akan pernah cukup. Jongin sudah terlanjur terluka dengan semua yang ia perbuat pada namja manis itu.

Benar apa yang dikatakan Zitao. Well, Karma has no deadline, Has no menu, and has no option. Shixun merasakan itu sekarang. Rasa penyesalan yang begitu mendalam mulai menggerogoti hatinya pelan-pelan.

Tratataaa~

Ponselnya berdering. Nama Baekhyun menjadi yang pertama ia lihat di layar touch screen itu.

"Hallo"

'...'

"Aku tahu..Aku minta maaf. Kau tak perlu cemas"

Shixun beranjak dari ranjang. Ia mendudukan tubuhnya di kursi belajarnya sambil mengetuk pelan meja belajar itu dengan telunjuknya.

Ia tak bisa berkata apa-apa saat tak sengaja matanya menangkap sebuah kotak beludru berwarna biru yang nyaris terlupakan selama bertahun-tahun ia lulus SMU.

"Ya..Aku juga" ucap Shixun, mengakhiri sambungannya.

Ia meletakan ponselnya begitu saja. Tangannya yang putih terulur dan mengambil kotak beludru itu. Membukanya perlahan dan menatapi sebuah benda di dalamnya.

Kalung liontin dengan bandul kaca yang di dalamnya terdapat sehelai daun semanggi. Ia tersenyum tipis. Hadiah pertama yang pernah Jongin berikan di hari ulang tahunnya.

4 leaves clover...

.

.

.

.

Malam itu Shixun tengah menikmati makan malamnya bersama keluarga tercintanya.

Ada ayah, ibu, Nenek Wu, dan adik bungsunya yang masih berusia 15 tahunan.

Mark (adik bungsunya) merengek pada ayah mereka untuk dibelikan komputer baru.

Sebagai anak paling bungsu, tak heran jika Mark akan mendapatkan segala hal yang ia inginkan dari sang ayah dengan begitu mudah.

Ibunya bilang jangan terlalu memanjakan anak itu. Tetapi ayahnya yang kini telah menduduki usia 55 tahun itu hanya tersenyum dan berkata jika ia sudah terlalu tua untuk memiliki seorang anak lagi.

Sepertinya ayahnya hanya mencoba menebus rasa penyesalannya yang pernah menelantarkan dirinya dan saudara kembarnya itu saat muda dulu.

"Hallo"

Mereka menoleh, Kecuali Shixun. Namja itu lebih memilih fokus menikmati makanannya dibandingkan menoleh ke arah Sehun.

"Oh..Sehun, kau sudah pulang?" Junmyeon (ibunya) menyambut kepulangan adik keduanya itu dengan senyuman.

Sehun mengangguk pelan. Ia melangkah mendekati meja makan ketika sang ibu memintanya untuk segera bergabung dengan mereka.

Nenek Wu mulai bertingkah menyebalkan. Seperti menanyai Sehun tentang pasangan yang tak kunjung jua ia perkenalkan pada keluarganya.

Untung saja Sehun bukan Shixun. Andai Shixun berada di posisi Sehun. Pasti namja itu akan memasang tampang bad mood dan mendiamkan anggota keluarganya. Jurus ngambek yang cukup klise.

"Secepatnya" kata Sehun, mantap.

Ibu menatap putra keduanya itu dengan tatapan bahagia. Tak lama lagi kedua putra tertuanya akan segera memiliki pasangan, dan hidup berkeluarga.

"Apa dia berasal dari keluarga pengusaha?" Tanya sang ayah.

Sehun terdiam, Sementara Shixun hanya berdehem pelan. Ia paling tidak suka saat ayahnya mempertanyakan silsilah keluarga calon pasangan mereka.

Dengan senyum yang mengembang Sehun berkata, "Sepertinya tidak"

Wu Yifan menyipitkan kedua matanya.

"Memangnya kalau ia bukan anak pengusaha kenapa?" Nenek Wu bertanya. Meski sudah berumur wajahnya masih memperlihatkan gurat-gurat cantiknya di masa muda.

Sehun yang duduk di samping neneknya pun memeluk tubuh renta itu. "Aaaaa nenek, aku sangat menyayangimu, nek"

Nenek Wu terkekeh pelan. Ia menepuk pipi Sehun dan meminta cucu keduanya itu untuk segera mempertemukan calon istri Sehun padanya.

Sementara ibunya yang cantik itu pun ikut terkekeh. Sehun memang paling pintar kalau urusan mengambil hati seseorang. Dibandingkan dengan Shixun, mertuanya itu jauh lebih dekat dengan putra keduanya.

.

.

"Aku tahu orang yang kau maksud"

Sehun yang tengah bersantai di atas ranjangnya menoleh.

Kakak kembarnya tengah berdiri di depan pintu kamarnya sambil bersedekap dada.

"Syukurlah. Kau memang kakak terbaik yang pernah ku miliki"

Shixun mendengus pelan. "Apa yang kau pikirkan? Mengapa kau bisa menyukainya?"

Sang adik menoleh. Ia meletalan buku bacaannya itu di atas bantal. "Sesuatu yang biasa kau sebut cinta"

Shixun tertawa sangau. "Tau apa kau tentang cinta?"

Wu Sehun mengulas senyum tipis. "Kata yang sederhana namun tak bisa kau ungkapkan dengan kata-kata yang pernah ada di dunia ini"

Shixun terdiam. alis pualamnya bertaut. Apakah Jongin tahu mengenai hal ini? Kira-kira bagaimana ekpresi ayahnya saat tahu siapa yang akan menjadi pasangannya Sehun.

"Kau tahu kan jika ayah dan ibu sangat membenci Jongin" Shixun berkata.

Sang adik menganggukan kepala. Bagaimana ia bisa lupa hari dimana ibunya melabrak seorang siswa manis. Mengatai dirinya anak pelacur dan meminta Kim Jongin untuk segera menjauhi Shixun.

Padahal nyatanya Shixun-lah yang melukai Jongin. merusak hatinya, merusak pula tubuhnya dengan sentuhan-sentuhan tangan Shixun pada kulita tan nan lembut itu.

"Ibu dan ayah hanya tidak tahu bagaimana kejadiannya" Sehun berkata.

"Seolah kau benar-benar tahu bagaimana ceritanya, Hun"

Lantas Sehun tertawa menanggapinya. Oh...Ada satu yang tidak Shixun ketahui. Betapa cerdiknya seorang Wu Sehun.

"Kau menidurinya hanya demi pertaruhan? Atau Jongin yang menggodamu dengan tubuh moleknya?"

Shixun nampak terkejut bukan main.

"Tapi ibu lebih percaya opsi yang kedua. meski pada kenyataannya bukan begitu yang terjadi"

Wu Sehun tidak akan pernah lupa bagaimana Ibunya menatap Kim Jongin. Penuh prasangka dan kebencian di mata itu.

"Semua sudah terjadi, Xun" Ia berkata, seraya beranjak dari posisinya. "Dia terluka sekarang"

Shixun semakin mengeratkan kepalan tangannya. Oh...Dia tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati seorang Kim Jongin.

"Kau tidak tahu betapa tertutupnya dia paska kejadian itu"

Bukannya tidak tahu. Shixun sangat tahu. Tak pernah sehari pun Shixun berhenti menatap seorang Kim Jongin kala itu. Matanya selalu menangkap bagaimana Kim Jongin bertingkah. Bahkan ia masih sangat ingat siapa-siapa saja yang selalu menatap penuh intimidasi padanya waktu SMA.

Shixun tidak tahu?

Dia hanya mencoba untuk berpura-pura tidak tahu. Walau kenyataannya dialah satu-satunya orang yang selalu memperhatikan Kim Jongin dalam kesunyiannya.

.

.

.

.

Pagi yang cerah hari ini. Secerah senyuman Baekhyun yang mengundang Shixun untuk tersenyum pula.

"Aku bawa ini untukmu" Namja berparas cantik itu meletakan kotak bekal di atas meja.

Baekhyun jadi sering mengantarkan bekal makan siang sejak Shixun jatuh sakit 2 tahun yang lalu.

asam lambung kata dokter. Shixun memang orang yang pantang istirahat sebelum pekerjaannya usai. Dan itu membuat tubuhnya kelelahan dan harus beristirahat selama 20 hari di rumahnya. Hal yang dibenci Shixun adalah diam di kamar dan tidak melakukan apapun.

"Bekal?"

Baekhyun mengangguk pelan. dan berceloteh jika pagi ini ia sengaja membuat onigiri dan olahan seafood lainnya seperti oden dan cumi goreng tepung. Ia bahkan mengeluh jika ia nyaris menghancurkan dapurnya hanya karena ia bangun telat dan tidak mau membuat Shixun menunggu terlalu lama.

Shixun berucap terimakasih. Namja ini sangat mencintai dirinya. Dan Shixun juga tahu hal itu. Baekhyun begitu tulus memberikan kasih sayang, perhatian, dan cinta untuknya. Maka tak heran jika Shixun merasa sangat bersalah sekali akhir-akhir ini. Bilamana ia selalu memikirkan seorang Kim Jongin sejak pertemuan mereka di Reuni sekolah.

"Shixun, mengapa melamun?" Tanya Baekhyun.

Namja tampan itu buru-buru tersadar. Matanya hanya merasa familiar ketika membuka kotak bekal itu.

Onigiri panda yang manis. Serta tatanan yang cantik. Hanya akan mengingatkan Shixun pada kenangan lama.

Onigiri adalah makanan favorit Jongin.

Panda dan beruang adalah hewan kesukaan Jongin.

Oden dan cumi gurita adalah makanan yang selalu Jongin buatkan untuknya saat masih bersama.

'Kau ini childish sekali, Jongin'

'Biarkan saja, ini kan lucu'

'Kalau begini caranya, sayang-sayang kan untuk dimakan'

"Shixun?"

"Thx, kau memang selalu tahu apa yang aku suka"

'Jongin' lanjutnya dalam hati.

.

.

.

.

.

.

"Jongin"

Merasa namanya dipanggil, maka ia menoleh dan mendapati seorang namja jangkung tengah tersenyum di belakangnya.

Itu Jung Changmin, putra Tuan Jung Yunho dan mendiang istrinya Jung Hara. Ia adalah atasannya di kantor. Changmin juga sangat dihormati oleh semua karyawannya.

Pesonanya yang tampan, juga wibawanya tegas dan sangat perhatian pada para pekerjanya telah membawa nama seorang Jung Changmin sebagai seorang atasan terbaik dari yang paling baik menurut bawahannya.

"Oh, Direktur Jung" Jongin membungkuk hormat.

Hingga membuat Jung Changmin berdecak dan mengomentari keformalan Jongin terhadapnya.

Jongin selalu berdalih, jika sudah sepatutnya seorang bawahan selalu hormat pada atasannya.

"Ada apa dengan toner-nya?" Tanya Changmin, berbasa-basi.

Jongin memang sedang memegang toner dan hendak menggantinya dengan yang baru. Sudah pasti Changmin pun tahu hal itu.

Tetapi Changmin hanya berpura-pura tidak tahu, menghapus segala rasa salah tingkahnya saat dihadapkan oleh namja manis seperti Jongin. Sudah menjadi rahasia umum jika wibawa seorang Changmin bisa jatuh begitu saja ketika ia berada dihadapan Kim Jongin.

Well, Changmin memang menaruh hati pada salah satu pegawainya itu.

"Aku ingin mengganti toner yang baru. Tapi sepertinya habis, Direktur Jung"

"Benarkah? Sudah diperiksa lagi?" Changmin membantu Jongin memeriksa toner di loker lainnya. Mungkin ada satu yang bagus dan bisa digunakan oleh namja manis ini.

"Tidak ada. Mungkin nanti aku akan pergi ke tempat percetakan saja kalau memang tak ada"

"Oh, Jangan!" Changmin berseru. "Kau bisa gunkanan printer di ruanganku"

Inilah yang membuat sebagian pekerja di sini Jealous padanya. Jongin memang selalu bisa membuat orang-orang tampan tertarik dalam pesonanya yang so deep inside.

Jongin hendak menolak. Namun ponselnya bergetar. Ia meminta waktu pada Changmin untuk memeriksa pesan baru di ponselnya itu.

Changmin mengangguk, matanya terus meneliti pegawai manisnya itu.

Sementara Jongin fokus dengan pesan singkat yang dikirimkan Sehun untuknya beberapa waktu yang lalu.

Pesannya seperti ini:

From : Wu Sehun

Temui aku di Caffe Latte sepulang nanti. Letaknya tak jauh dari tempatmu bekerja, Thx..

.

.

.

Jongin tak menyangka jika hari ini salah satu teman devisinya tidak masuk.

Dan itu artinya Jongin punya banyak pekerjaan dan harus dikerjakan olehnya seorang diri.

Ia tak bisa merutuk, meski nyatanya hatinya amat sangat jengkel dengan keadaan seperti itu. Entah temannya benar-benar sakit atau apa, ia pun juga tidak tahu.

Apalagi dia ada janji dengan Wu Sehun untuk pertemuan mereka pukul 6 sore tadi. Tapi nyatanya ia harus membuat namja itu menunggu 1 setengah jam lamanya hanya karena pekerjaannya yang menumpuk.

Ia menarik napas pelan ketika melihat sosok yang ia yakini Sehun tengah duduk sambil membaca koran. Mengapa ia bisa seyakin itu? Karena Sehun sudah memberitahukan dirinya dimana ia menunggu Jongin.

Meja nomor 62 atas nama Wu Sehun.

"Sehun, maaf aku telat. Ada sedikit trouble di kantor dan aku-" Ia menghentikan ucapannya ketika sosok itu menurunkan korannya.

Maniks bulatnya dipaksa melebar saat tahu siapa yang kini tengah berada di hadapannya.

"Hey"

Jongin hanya terus menatapnya. Meski kenyataannya orang itu benar-benar memiliki penampilan yang sama dengan orang dimaksud. Tentu saja Jongin masih bisa mengenali salah satu diantara mereka.

"Apa kau lapar? Atau haus? Aku sudah memesan raviolli dan segelas Strawberry milkshake untukmu"

Ia mendudukan tubuhnya dengan gerakan kikuk.

Sehun terus berbicara. Tapi Jongin hanya diam. Bukan mengabaikan, hanya saja-Ah, ia sendiri pun juga tidak tahu harus bagaimana.

Sehun memang orang yang suka berkomentar. Apa saja akan ia komentari. Seperti cuaca hari ini atau keadaan lalu lintas di jalanan sana.

Seorang pelayan meletakan pesanan mereka di atas meja. Sehun mengucapkan terimakasih dan meminta Jongin untuk segera menikmati makanannya.

Tapi Jongin hanya terdiam, tatapannya begitu sendu dan tidak bisa diungkapkan degan kata-kata.

"Apa yang kau inginkan kali ini, Wu Shixun?"

Sehun menghentikan kalimatnya yang baru saja mengomentari Zuppa Soup kesukaannya di caffe ini.

"Apa maksudmu, Jongin? Aku Sehun"

Jongin menggeleng pelan.

"Kau bukan"

Sehun tertawa, mencoba memecah suasana melankolis diantara mereka. "Shixun pirang dan rambutku hitam"

Brak

Jongin menggebrak meja dan berkata, "Tolong katakan apa yang kau inginkan, Shixun! Jangan membuatku kehilangan kesabaran"

Maka yang terjadi adalah rasa sesak dihatinya ketika melihat mata almond itu berkaca-kaca. Ingin ia menangis, tapi tak bisa. dan Shixun tak bisa untuk berdusta lagi dengan mengaku jika ia adalah Sehun, kembarannya yang saat ini tengah menggantikan dirinya berkencan dengan tunangannya.

"Kau masih mengenaliku"

"Sangat jelas"

Sehun tak tahu makanan atau minuman apa yang paling Jongin sukai. Tapi Shixun tahu.

Dan sebesar apapun usaha Shixun yang mencoba mengelabui Jongin dengan berpura-pura mengaku dirinya adalah Sehun percuma saja.

Mungkin orang-orang di luar sana akan terkecoh. Tapi Jongin tidak! Dia tahu dan bisa membedakan salah satu diantara mereka berdua dengan baik.

Hanya berada di dekat Shixun saja jantungnya berdetak cepat. nyeri teramat sangat nyeri yang akan ia rasakan.

"Mianhae"

Ucapan yang dulu tak pernah ia ucapkan pada seorang Kim Jongin itu akhirnya terlontar begitu saja. Meski ia tahu jika itu tidak ada artinya sama sekali.

"Mianhe, Kim Jongin. Mianhae"

Jongin menitikan air mata. Ia hanya tidak tahu harus berkata apa saat Shixun menyentuh tangannya dan berkata dengan linangan airmata.

Ia baru saja sukses membuat namja seangkuh Shixun menangis penuh penyesalan.

"Tidak ada yang harus dimaafkan dan memaafkan untuk saat ini, Xun" ia berkata.

"Aku tahu kau terluka, Jongin. Aku selalu memperhatikan itu dari dulu"

Shixun menutup kedua matanya, membiarkan airmata menuruni pipi tirusnya.

"Tapi kau tak menangis dan membuatku semakin merasa brengsek dengan keadaanmu itu"

"Aku bukan orang yang menjadikan kesedihan sebagai alasan. Kau juga harus tau itu, Wu Shixun"

Tangan putih itu terulur, menghapus airmata yang hendak membasahi pipi gembil itu. "Jangan menangis, Jongin! Janganlah kau menangis untuk diriku"

Hiks pelan terdengar. Jongin akhirnya menangis dan menunjukan kelemahannya dihadapan namja itu. Namja yang menjadi masa lalunya sekaligus namja yang pernah ia cintai itu.

"Jangin menangisi orang brengsek ini, Jongin. Kau pantas untuk bahagia"

"Bagaimana aku tidak menangis, Xun? Aku bukan nabi yang bisa sempurna. Aku hanya manusia biasa. Aku tidak sekuat dan setegar mereka"

Shixun terus mengusap lelehan air mata Jongin. Tangan satunya ia gunakan untuk menggenggam dan sesekali mengusap tangan Jongin.

"Jika alasanmu menangis adalah aku. Maka jadikan pula alasanmu untuk bangkit dari masa lalu itu adalah aku"

Jongin tertawa pelan. Meski nyatanya ia menangis dan hatinya terluka saat ini. "Aku tidak bisa"

"Kau harus bisa!" Shixun berseru. "Kau adalah orang yang patut dicintai dan hidup bahagia. Kau harus percaya itu"

Jongin menggeleng. ia terus merapalkan kalimat tidak bisa.

"Kim Jongin, dengarkan aku!"

Shixun menyentuh kedua bahu Jongin.

"A..aku bukan orang yang bisa membenci dan melupakan sebesar aku mencintai"

Namja tampan itu tersenyum lembut.

"Kau tak harus membenci dan tak harus melupakan" Shixun berkata, sebijak mungkin.

"Lalu aku harus apa? Aku tidak tahu, Xun..Aku tidak tahu" Jongin menggeleng. ia menangis dan terisak. Mengabaikan tatapan aneh beberapa pelayan caffe ke arah mereka.

"Yang harus kau lakukan adalah bangkit kembali dan membuka hatimu, my bear" Shixun tersenyum lembut. "Hanya cukup buka hatimu dan yakinkan dirimu. Kau adalah Kim Jongin, namja manis yang patut dicintai"

Shixun menarik tangan Jongin, seraya berdiri dari duduknya. Jongin pun ikut berdiri, meski masih menunduk dan terlalu takut untuk memperlihatkan wajah sembabnya itu.

Dengan lembut Shixun mengangkat dagu Jongin. "Kau harus yakin, Jongin"

Greb...

Ia peluk tubuh itu untuk pertama dari terakhir kalinya ia melakukan itu. Begitu pula dengan Jongin. Pelukan yang akan menjadi kekuatan dirinya untuk kembali melangkah dan melanjutkan kembali kehidupannya. Cita-citanya juga untuk memiliki keluarga bahagia di depan sana.

Ini akan menjadi pelukan terakhir mereka. Dimana Shixun sadar jika setelah ini tidak akan ada yang namanya happy ever after diantara mereka.

Shixun akan menjadi suami Baekhyun. Begitu pun dengan Kim Jongin. kelak ia akan menikah dengan seseorang yang bisa mencintai dirinya dengan tulus dan memiliki keluarga kecil yang selalu ia harapkan sejak masih sekolah.

Jangan terlalu banyak bertanya tentang bagaimana perasaan mereka saat ini. Meski nyatanya Shixun kembali merasakan getaran-getaran itu, ia harus memendamnya sendiri. Biarlah hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu.

Ia tak mau menjadi yang egois lagi. Tak mau pula membuat banyak hati terluka. Maka yang harus dikorbankan untuk saat ini adalah perasaannya sendiri.

Zitao benar, Karma has no deadline, has no menu, and has no option. Shixun hanya bisa tersenyum getir saat ini. Ia pernah merasakan rasanya dicintai oleh Kim Jongin. Ia pun juga pernah memiliki hati dan tubuh itu sebelum pada akhirnya ia melepaskan seorang Kim Jongin dengan segala His Stupidity Called the pride...

"Jangan menangis lagi, Kim Jongin"

.

.

.

.

End For This Chapter..

.

.

.

.

A/n :

Thx udah meluangkan waktu utk membaca. Ff ketiga nanti spesial Sehun' side sekaligus ending. Ceritanya kurang sedih ya? Iya..soalnya aku kurang pinter bikin cerita sedih. Mungkin karna pembawaanku yg terlalu cuek dan sabodoamat*lol. Tp aku bukan introvert dan dingin lho. Aku paling benci dibilang begitu btw. I hope you enjoy it all. meskipun jelek ceritanya dan abal*huft. Untuk pertanyaan apa ini pairing Hunkai? Utk endingnya sendiri itu hmm..kejutan paling jleb ya. Atau mungkin pertanyaan. 'Knp yg jadi org ketiganya Baekie knp bkn luhan?' Lo semua mau gue bikinin hunhan? Bisa aja sih. Gue bikin nangis jangan ngomel ye*lol..Bercanda.. Yaa, itu pertanyaan jgn propaganda lah ya. Gue mah kan cinta damai orgnya. Gak demen ribut2. Jadi why Baekie? Why not Luhan? Ya karna selain menghindari protes dan bashing official couple(pastinya). Karena Joy sendiri juga pernah jadi HH shippers *lol.

*Kak Joy real name nya kak Joy siapa?* Yang tau bahasa koreanya satu pasti tahu nama aku huehehe (I'm the only daughter and the first too, *abaikan)

Lanjut? Review 20 aku lanjut yoo