Ini hanya sekelumit kisah mengenai pemuda bernama Park Jimin.

Seorang siswa SMA biasa, berasal dari keluarga biasa, dan berteman pula dengan orang-orang biasa.

Katakanlah hidup Jimin benar-benar biasa, tidak ada hal istimewa yang terjadi dalam episode kehidupannya selama tujuh belas tahun terakhir.

Sampai akhirnya sebuah hal luar biasa mengubah total garis nasibnya.

Baiklah, semua dimulai ketika Jimin tidak sengaja menyeberang ke dimensi lain dimana semua hal adalah antitesis dari kehidupan normalnya.

.

ALLER SEULEMENT

(Sekali Jalan)

Title:

ALLER SEULEMENT

Author:

Elixir Edlar

Cast :

All Bangtan Boys Member

Main: KOOKMIN

Supporting: NamJin, YoonMin, J-Hope

Genre:

Drama, Fantasy

Rate:

Teenager (T)

Length:

Chaptered

Disclaimer:

All cast belong to God, their parents and Bighit Ent. I do not own the characters.

This story is originally from my own mind

Warning :

Boys Love, M-Preg, Typos, EYD-failed, Unbeta-ed, AU, OOC

Read on Your Own Consent, Thank You~

.

Elixir Edlar Presents

.

.

Namanya Park Jimin, usianya tujuh belas, siswa SMA Bighit yang berjuang mati-matian untuk tahun terakhirnya. Sebenarnya tidak mati-matian juga sih, tetapi tidak hidup-hidupan juga. Kalau begitu anggaplah mati segan hidup tak mau, terbalik eh?

Pemuda nerd berkacamata bulat dengan frame tebal, rambut hitam berponi rata menutup dahi (bayangin Jimin di MV N.O), pipi yang lumayan berisi, tubuh tidak terlalu tinggi, tidak suka berbaur dengan teman sekelasnya alias tidak pernah dianggap ada; pengecualian untuk Kim Taehyung, selalu ditemukan sedang berkencan dengan buku-buku tebal di pangkuannya—itulah Park Jimin. Beruntung ia tidak memakai kawat gigi; karena kalau iya, predikat nerd-nya bisa bertambah dua kali menjadi nerd kuadrat. Dengan penampilan seperti itu, jangan harap Jimin memiliki pacar; tapi jangan salah, pemuda cupu ini mempunyai mimpi yang lumayan ketinggian. Ini tentang Jeon Jungkook.

Jeon Jungkook, pangeran sekolah yang kelakuannya superdiva, super menyebalkan, super narsis dan sok perfeksionis—singkat kata sebut saja dia songong. Wajahnya memang tampan bak pahatan patung dewa Yunani, namun kepribadiannya? Well, bayangkan saja sebuah kotak perhiasan terbuat dari emas bertatahkan berlian warna-warni yang isinya ternyata adalah tahi sapi—kan kampret.

Begitulah gambaran yang paling tepat untuk mendeskripsikan seorang Jeon Jungkook. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Jungkook menggenggam hampir keseluruhan definisi sempurna—tidak untuk kepribadiannya—wajah tampan, tubuh tinggi dengan abs menawan, sorot mata tajam, hidung bangir bak perosotan anak-anak, dan satu lagi, dia adalah atlet taekwondo sabuk hitam dengan intelegensi yang mengagumkan. Bagaimana tidak? di usianya yang baru menginjak tujuh belas tahun ia sudah berhasil menelurkan puluhan karya sebagai seorang komposer sekaligus penulis lagu. Hebat kan? Namun meski hebat begitu Jungkook merupakan seorang High Quality Jomblo. Kabarnya ia tak mau berpacaran karena terlalu mencintai dan mengagumi dirinya sendiri—narsis tingkat dewa.

Jimin, yang notabene naksir setengah mati pada Jungkook hanya bisa mengamati lelaki pujaan hatinya dari kejauhan. Ia sadar akan posisinya sebagai si culun yang mustahil rasanya untuk sekadar dilirik oleh sang pangeran. Contohnya sekarang, Jimin hanya bisa memandangi Jungkook yang sedang asyik bermain basket di lapangan sekolah dari lantai dua perpustakaan; tempat favorit yang menurutnya paling aman untuk melakukan kegiatan stalking pada sang pangeran. Sesekali ia gigit bibir bawahnya sendiri saking khidmatnya memandangi pangeran tampan yang tengah berkeringat seraya terengah-engah, menurut Jimin itu sangat err—seksi.

Kim Taehyung, panggil saja dia 'Tae' yang merupakan sahabat sekaligus tetangga sebelah rumah Jimin hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kawannya yang selalu berlebihan ketika fanboying over Jungkook. Taehyung mengerti benar bahwa perasaan Jimin terhadap Jungkook lebih mirip terobsesi daripada jatuh hati. Taehyung juga memahami bahwa Jimin terkadang berharap agar nasibnya diputarbalik sehari saja. Sehari saja agar ia bisa berada di posisi Jungkook sebagai sang diva yang dikagumi semua orang, selagi Jungkook menjelma menjadi pemuda nerd sekaligus fanboy yang head-over-heels terhadap Jimin. Tapi—jika terbalik begitu, memangnya Jimin masih mau sama Jungkook?

.

Aller Seulement©

.

Sementara itu di DIMENSI PARALEL

Pagi hari di sebuah apartemen mewah dengan ornamen klasik didominasi warna emas dan putih yang elegan, pada awalnyanya lengang sampai terdengar suara tangis bocah yang membuat terkejut seluruh penghuninya. Jungkook, sang tuan rumah yang tengah sibuk menyiapkan air hangat untuk mandi anak semata wayangnya segera bergegas ke sumber suara. Ia yakin suara pekikan keras yang didengarnya barusan adalah suara tangis anaknya yang sedang berada di kamar Jimin, istri Jungkook.

Sesampainya di kamar pribadi Jimin; Well, Jungkook dan Jimin menempati kamar yang terpisah, sebuah pemandangan cukup memilukan memenuhi penglihatan Jungkook. Park Jimin—istri yang dinikahinya lima tahun lalu—sedang mengomeli seorang bocah berusia sekitar tiga tahunan yang posisinya tengkurap di atas karpet beludru sambil menangis sesenggukan, sepertinya ia baru saja terjatuh. Sedangkan Jimin dengan santainya malah bergelung manja dalam selimut tanpa sedikit pun memedulikan keadaan bocah kecil yang menangis keras di sekitar bawah tempat tidurnya.

"Huweeee...Appa...cakiiiiit...huweeeee," seorang anak laki-laki berparas miniatur Jungkook menghambur ke pelukan ayahnya.

"Ssst...uljima Jungmin-ah, jangan menangis lagi ya sayang? Appa akan membelikan es krim cokelat favorit Jungmin jika jagoan appa ini berhenti menangis," sang ayah segera membopong dan mengusap punggung kecil Jungmin untuk menenangkannya.

"Eum, Jumin tidak akan menangis lagi, tapi belikan es klim yang baaaanyaaak ya Appa?" mata Jungmin yang masih penuh air mata berbinar-binar memandang Jungkook.

"Tentu saja sayang. Nanti appa belikan semua es krim yang Jungmin suka. Kalau begitu bagaimana kalau sekarang Jungmin mandi dulu bersama Seokjin ahjussi lalu berangkat sekolahnya diantar appa, heum?"

"Ne, Appa. Jumin mandi dulu ya Appa? Ceokjin ajucci~ Jumin mau mandi cama Ceokjin ajucci~" Jungmin berjalan setengah berlari ke arah Seokjin yang sedari tadi hanya berdiam diri di depan pintu kamar. Tidak mau menganggu urusan rumah tangga orang katanya. Meskipun Jungkook adalah sepupu Kim Namjoon yang notabene adalah suaminya sendiri, tetapi ia tetap merasa perlu menghargai privasi adik sepupu iparnya tersebut.

Setelah Jungmin dan Seokjin dirasa sudah cukup jauh dari kamar Jimin, Jungkook beralih menatap istrinya yang sama sekali tidak menunjukkan raut bersalah atas perlakuannya terhadap Jungmin tadi. Ia bahkan berulang kali menguap malas karena masih sangat mengantuk. Maklum saja, ia baru sampai apartemen pada pukul empat pagi dan baru bisa tidur pada pukul lima pagi. Artinya belum genap dua jam ia menikmati tidur singkatnya.

"Apa? Mau memarahiku? Aku baru pulang dari tur luar kota pagi ini dan masih sangat lelah. Tidak ada waktu untuk berargumen denganmu Tuan Jeon."

Jungkook mendesah pelan, "Jungmin hanya merindukanmu Jimin-ah. Tidak seharusnya kau berlaku kasar kepadanya."

"Asal kautahu Jeon Jungkook, aku sama sekali tidak berbuat kasar. Anakmu terjatuh sendiri ketika berusaha memanjat tempat tidurku. Kau tahu betul kan tempat tidurku itu cukup tinggi untuk ukuran balita?"

"Berhenti menyebut anak kita dengan sebutan seperti itu Jimin-ah. Apa perlu kuingatkan bahwa ia anakmu juga? Tidak bisakah kau mengerti bahwa Jungmin hanya merindukan eommanya?"

"Terserahlah, aku tidak ingin membahas hal ini lagi. Bisakah kau biarkan aku tidur dulu? Aku sangat lelah dan belum tidur sejak kemarin. Tidak ada gunanya beradu mulut dengan orang yang sedang badmood karena kurang tidur. Please, Jungkook"

"Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi," baru saja melangkahkan kakinya melewati pintu kamar tiba-tiba Jungkook kembali berbalik menghadap Jimin yang tengah bersiap merebahkan tubuhnya di atas kasur, "Satu lagi Jimin, kau boleh membenciku tapi jangan benci Jungmin. Walau bagaimanapun dia tetap anakmu, darah dagingmu sendiri."

"Hmmm," jawab Jimin, sekadar menggumam setidaknya agar Jungkook diam.

Jungkook menghela napas panjang usai menutup pintu kamar Jimin dari luar. Selalu saja begini. Jimin tidak pernah sekalipun menyebut anak mereka dengan sebutan anakku. Jungkook mengerti apabila Jimin masih belum bisa membuka hati kepadanya, namun Jungmin? Haruskah ia juga menjadi korban keegoisan orang tuanya? Sampai kapan akan terus seperti ini? Jungkook benar-benar merana dalam hatinya.

.

Aller Seulement©

.

.

DIMENSI UTAMA

Jimin POV

Aloha! Namaku Park Jimin, siswa SMA tahun terakhir yang menjalani hidup dengan sebuah warna, abu-abu. Hidupku dipenuhi oleh rutinitas harian yang bahkan kata-kata 'membosankan' sudah terlalu bosan untuk berbosan-bosan dalam garis nasibku. Setiap hari adalah ulangan dari hari sebelumnya dan hari esok adalah ulangan dari hari ini. Benar-benar mem-bo-san-kan. Jangan lupa eja per suku kata untuk menyangatkan kata mem-bo-san-kan.

Baiklah mari kita mulai dengan kegiatanku di pagi hari yang diawali dengan bangun pagi kuterus mandi tidak lupa menggosok gigi—eh ini seperti sebuah lagu anak di negara tetangga—berpakaian rapi, sarapan pagi dengan menu sama setiap hari; susu dan sandwich stroberi, lalu berangkat ke sekolah tidak lupa menghampiri Taehyung di sebelah rumah yang suka telat akibat kelamaan dandan, menunggu bus di halte, lalu naik bus, yang sialnya tidak pernah kebagian bangku. Turun dari bus di depan gerbang sekolah kemudian masuk kelas disuguhi pemandangan anak sekelas yang menggerombol di meja murid terpintar untuk meminta contekan PR secara berjamaah; ini kalau ada PR saja sih, kalau tidak ada biasanya anak perempuan akan menggosip ria sedangkan anak laki-laki—tidak jauh beda, menggosip juga.

Setelah bel masuk berbunyi, seluruh siswa akan kelabakan menuju bangkunya masing-masing. Tapi tidak denganku, maaf saja aku ini anak rajin yang bahkan sudah duduk di bangkuku sendiri sejak pertama kali masuk kelas. Apalagi jika pelajaran pertama gurunya killer, bisa-bisa kami semua mati gaya. Sudahlah lupakan mengenai guru killer.

Omong-omong, jam istirahat pertama yang durasinya hanya lima belas menit saja akan dimanfaatkan oleh sebagian besar siswa untuk mengisi perutnya di kantin, Taehyung salah satunya. Begitu bel istirahat berbunyi ia akan menjadi orang pertama yang berlari kencang menuju kantin untuk berjuang demi chocolate shortcake homemade yang dibuat terbatas dua puluh biji setiap harinya. Chocolate shortcake itu begitu populer dan menjadi buruan—yang lebih mirip kontes hunger games sih menurutku—seluruh siswa dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas. Herannya Taehyung melakukan hal ini setiap hari dan hebatnya ia selalu memenangkan minimal sebuah kue cokelat setiap harinya. Aku bilang minimal ya? Catat itu. Maksimalnya? Mana aku tahu, tanyakan saja sendiri pada Taehyung.

Istirahat usai kelaspun kembali dimulai. Tidak ada yang spesial untuk jam keempat hingga keenam ini. Kami hanya duduk mendengarkan guru menerangkan pelajaran, mengerjakan lembar kegiatan siswa, mengerjakan soal di papan tulis, berdiskusi kelompok, melakukan presentasi, dan kadang-kadang juga praktikum. Kami semua justru lebih sabar menunggu bel istirahat kedua. Bagaimana tidak? durasi yang diberikan sekolah untuk istirahat kedua adalah dua puluh lima menit. Kau dengar? Dua puluh lima menit! Maaf, aku mulai lebay. Dua puluh lima menit itu adalah surga bagi kami, para siswa tahun terakhir di SMA. Banyak hal yang bisa dilakukan selama dua puluh lima menit itu, salah satunya adalah bermain basket. Tepat ketika bel istirahat kedua berbunyi, aku buru-buru keluar kelas sambil membawa sejumlah buku menuju ke lantai dua perpustakaan sekolah.

"Chim, mau kemana?" Ini suara Taehyung. Setiap hari ia menanyakan hal yang sama meskipun sudah tahu jelas jawabannya. Dasar kurang kerjaan.

"Perpus!" jawabku setengah berlari melewati Taehyung menuju tangga yang menghubungkan lantai pertama dengan lantai dua di ujung koridor kelas dua belas.

"Ikut ya?" seperti biasa Taehyung mengekoriku dari belakang sambil nyengir kelewat lebar. Kalau sudah begini aku hanya bisa memutar onyx gelapku dan mendengus kecil. Malas mengatakannya tapi—Taehyung yang kurang kerjaan ini sekadar ingin menyaksikan seorang fanboy cupu men-stalking idolanya dengan penuh kekaguman dari balik jendela kaca di lantai dua perpustakaan.

Dan di sinilah kami berdua sibuk mengamati seorang lelaki tampan, maksudku lelaki paling tampan yang sedang bermain basket di lapangan outdoor sekolah kami. Lihatlah keringat yang bercucuran memenuhi pelipisnya, mengalir di garis hidungnya dan—

tes, tes, tes, bulir-bulir keringat berjatuhan melalui pucuk surai hitamnya yang—errr, so sexy.

Baiklah, jangan heran bagaimana aku bisa sedetail itu dalam mendeskripsikan keadaan pangeran tampanku saat ini. Aku selalu sedia teropong binocular yang kupinjam dari ayahku. Terima kasih untuk ayahku yang langsung meminjamkan teropong kesayangannya begitu aku berkata bahwa teropong ini akan kugunakan untuk mengamati pemuda tampan pujaanku yang kusadari sepenuhnya bahwa cintaku padanya tidak akan pernah tersampaikan meski gajah beranak gorilla sekalipun. Hanya saja air muka ayahku yang seolah mengatakan, ayah-turut-prihatin-atas-kasih-tak-sampaimu benar-benar membuatku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal sama sekali. Kalau dalam fanfiksi, ekspresi seperti itu kira-kira menyiratkan kecanggungan, awkward moment atau krik-krik momen.

Lupakan soal ayahku dan mari kita kembali pada makhluk yang sedari tadi cekikikan sepanjang waktu seperti orang gila yang sudah tidak waras. Eh, orang gila kan memang tidak waras ya? Abaikan pikiran absurdku dan mari alihkan fokus ke makhluk gila di sampingku ini. Sejatinya aku tahu benar kalau lelaki tampan kurang terkenal macam Kim Taehyung ini pasti sedang menertawaiku. Awas saja, kuinjak kakinya baru tahu rasa. Sekadar informasi sepatuku ini adalah sepatu kulit militan yang dihadiahkan oleh kolega ayahku dari London. Aku yakin kalau digunakan untuk menginjak sepatu-sepatu sport macam adidas, nike, atau converse pasti kaki si empunya sepatu akan kesakitan.

"Arrggghhhh! Apa-apaan sih Chim?"

Nah benarkan kesakitan? Apa kubilang kekekeke.

"Jangan menertawaiku," ucapku santai sambil kembali mengarahkan binocular kesayanganku pada sosok tampan yang masih berlarian di tengah lapang untuk mengejar si kulit bundar yang mental-mental.

.

Aller Seulement©

.

Kurang lebih sepuluh menit lagi lonceng surgawi sekolah kami akan berdentang. Lonceng surgawi alias bel pulang sekolah adalah melodi kebahagian yang membawa angin segar kebebasan. Kami menyebutnya demikian karena udara seolah menguarkan atmosfer kelegaan yang menyambut kami sekalian siswa dan juga guru. Khusus untuk guru, hanya ketika tidak ada jadwal rapat tentunya. Jika ada jadwal rapat, wajah guru-guru kami mendadak redup, gelap bak langit mendung, peace Madame.

"Chiminnie~~" Oh itu Taehyung, merangkulku seenaknya sambil nyengir kotak. Sepertinya aku mengendus aura yang tidak beres di sini.

"Chiminnie~~" panggilnya merdu. Sial, kenapa mendayu-dayu begitu sih? Memalukan tahu. Sayangnya Taehyung tidak tahu dan juga tidak malu, kesimpulannya Taehyung tidak tahu malu.

"Apaan sih Tae?" dengusku sambil berusaha melepaskan rangkulannya dari pundakku. Yang ditanya hanya memainkan alis tebalnya naik turun, sungguh kampret bocah satu ini. Apa sihmaksudnya? Tiba-tiba...

Wuuuussss...

Aroma wangi maskulin memenuhi indera penciumanku, tidak salah lagi.

Tidak salah lagi, aku sangat mengenal bau-bauan semacam ini, aroma musk pekat dengan cipratan blue cologne adalah aroma parfum milik—

"Bisa...Minggir...?" Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan! Jeon Jungkook My Prince sedang berada di hadapanku sekarang, ehm ralat, maksudku di hadapan aku dan Taehyung. Kupandangi lekat-lekat wajahnya dari balik kacamata tebalku hingga tanpa kusadari mulutku ternganga lebar membentuk huruf A. Sedangkan Taehyung seperti biasa hanya cekikikan tidak jelas. Memangnya dia pernah jelas?

"A-a...a...a..." Sial, sial, sial, kenapa di saat seperti ini suaraku harus tertahan di tenggorokan sih? Ini kan kesempatan langka, selama hampir tiga tahun baru kali ini kuberada dalam jarak begitu dekat dengan pangeranku. Oh, Jeon Jungkook My Prince.

"Tentu, silahkan lewat." Apa-apaan Taehyung tadi, menjawab dengan suara diberat-beratkan seperti om-om. Suaranya aslinya kan memang sudah berat, kenapa harus diberat-beratkan lagi sih? Kalau Jungkook naksir bagaimana?

End of Jimin POV

Taehyung segera minggir dari jalan utama koridor untuk membiarkan Jungkook lewat namun Jimin tetap bergeming di tempatnya. Beberapa kali Jungkook meminta Jimin untuk minggir namun tidak dihiraukannya. Mungkin telinga Jimin mendadak tuli dan matanya mendadak silau akibat pesona seorang Jeon Jungkook. Sampai-sampai, habislah sudah kesabaran Jungkook sehingga karakter aslinya mulai terlihat.

"Woy! Cupu, minggir! Harus berapa kali kubilang agar kau mau minggir?" Jungkook terlihat bosan namun tetap saja ia bertahan sampai saat ini.

'Tidak, aku tidak akan minggir. Ini kesempatan langka,' inner Jimin.

"Tuli ya? Hey, kacamata kuda! Minggir!" Jungkook mulai berkacak pinggang.

'Tuli karena pesonamu wahai Pangeranku, Kyaaaa.'

"Ish, benar-benar! Oy, Kuntet, minggir!" Kali ini sambil mengangkat dagunya tinggi- tinggi.

'Biar kuntet begini aku tetap mencintaimu, wahai tampanku~'

"Dasar pipi bakpao, Kau ini bisu ya? Kubilang minggiiirrr ya minggiiiiiirrrrr" Oke, Jungkook mulai lebay.

'Omo~ perhatian sekali, semua julukanku sudah disebutkannya~'

"Astaga! Malah ngiler begitu, eww.. menjijikan! Heh, Kau dengar aku tidak?!"

'Ini iler tanda cinta, asal kau tahu~"

"Ya ampun makhluk ini!" Jungkook menepuk dahinya sendiri, frustrasi.

'Bagus, dia sudah mulai emosi. Itu artinya dia akan mengingatku. Yeah!'

"Huh, sudah jelek, kuntet, pipi bakpao, rambut jamur, pakai kacamata kuda pula. Sudah begitu, ngiler lagi ewww~ Benar-benar bukan gayaku!"

'Lalu gayamu yang bagaimana? Cepat katakan My Prince~'

"Hey, Co-E Po-E Cupu! Setidaknya sebagai manusia hidup kau itu harus memiliki salah satu dari tiga kriteria; entah kerupawanan, kecerdasan, maupun kekayaan. Kulihat-lihat kau tidak memenuhi ketiganya, rupawan tidak, cerdas juga tidak—tentu saja karena kau tidak sekelas denganku di kelas unggulan, kalau kaya...sepertinya kau ini bukan berasal dari keluarga kaya," Jungkook manggut-manggut seraya meneliti makhluk aneh di hadapannya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

'Ow, aku memang tidak memenuhi ketiga kriteria itu sih. Mau sekeras apapun belajar, nilaiku tetap pas-pasan. Kalau wajahku? Huft, bahkan ibuku sendiri pun tidak pernah mengatakan aku tampan. Kalau soal kaya...hmm, orang tuaku memang biasa saja sih'

"Aish, kuberitahu ya? Baiklah... tidak masalah jika kau tidak rupawan, tidak cerdas, dan tidak kaya, asalkan kau memiliki sebuah kelebihan. Satu saja deh tidak usah banyak-banyak. Cukup satu hal yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sesuatu yang paling menonjol dari dalam dirimu. Heh, jangan berpikiran mesum ya? Omong-omong kau mengerti tidak? Lap dulu ilermu itu, ewww jijay banget sih," cerocos Jungkook, sok memberi wejangan.

'Inginnya sih mengelap ilerku dengan bibirmu hehehe. Biar sekalian kita iler-ileran,' batin Jimin, masih setia memandangi pangerannya tanpa berkedip dengan mulut menganga penuh liur. Segitunya ya?

"Grrrhh, malah diam saja. Dengarkan baik-baik, kau seharusnya minimal memiliki bakat seni. Kau tahu cabang seni tidak? Pasti tidak tahu. Apa boleh buat akan kuberitahu. Cabang seni contohnya; menyanyi, menari, menggambar, melukis, menggubah lagu atau mungkin menulis fanfiksi~ Nah apa yang kau bisa kira-kira? Kalau dilihat dari wajahmu, kurasa kau tidak ada bakat. Malangnya nasibmu. Bagaimana bisa kau menjalani hidup kalau begitu?" Nah, benarkan? Jungkook songongnya minta ampun.

'Aku menjalani hidup dengan memenuhi segala angan tentangmu Jeon tampan, rawwrrr.' Jimin masih saja menanggapi pembicaraan Jungkook dalam benaknya. Tidak mampu bersuara, lidahnya kelu katanya.

"Huft, aku turut prihatin terhadap tipe manusia good-for-nothing sepertimu. Aku yakin kau tidak punya teman atau—Hey, satu-satunya temanmu bukankah si tampan tapi tidak terkenal ini kan? Siapa namanya? Terong? Teblong? Tlepong?"

"Enak saja main ganti nama! Namaku itu Taehyung, bukan Tlepong! Tlepong itu istilah untuk tahi kuda tahu! Ehmmm istilah untuk tahi sapi juga kurasa," lirihnya di akhir kalimat.

"Hahaha, baiklah Tlepong. Kau seharusnya mencari tahu mengapa dirimu tidak populer meskipun sebenarnya wajahmu lumayan tampan. Aku sering mendapat laporan bahwa kau terlalu sering membuat ekspresi wajah kelewat aneh yang menyebabkan orang-orang ilfeel padamu. Hmm, kuakui wajahmu memang kenyataannya tampan sih. Tetapi tetap saja aku yang paling tampan hahaha!" Jungkook mulai menampakkan kenarsisannya.

'Ya benar, Taehyung tampan, tapi bagiku kau yang paling tampan Jungkookie kekeke,' kekeh Jimin dalam hati.

"Apa urusanmu? Ini wajah, wajah milikku, terserah mau kuapakan. Aku tidak peduli dengan pendapat orang lain tentang diriku. Aku ya aku, tidak sudi diatur-atur oleh orang lain. Lagi pula apa gunanya menjadi populer? Merepotkan saja. Kemana-mana diikuti, kemana-mana diamati. Apa enaknya hidup seperti itu hah?"

'Ehm, benar juga sih yang Taehyung katakan, tumben sekali ia pintar,' Jimin mengamini kata-kata sahabatnya kali ini.

"Ah, sulit berbicara dengan orang bodoh. Aku baru ingat kalau ketampanan adalah satu-satunya kelebihan yang kau miliki. Sisanya? Such a worthless douchebag, hahaha!"

"Sialan! Kau pikir kau sempurna? Seluruh sekolah juga tahu kalau kau ini tidak lebih dari makhluk songong, arogan, sotoy, sok pintar, sok tampan, sok imut, sok keren, sok kaya, sok perfect, sudah begitu—narsis lagi!" Balas Taehyung berapi-api. Jangan lupakan pose berkacak pinggang dengan satu telapak kaki digoyangkan ke lantai beserta lubang hidung jumbonya yang kembang-kempis menahan amarah.

"Aku memang sempurna kok~ Semua tuduhan tidak berdasarmu kepadaku hanya mitos belaka. Faktanya, aku memang tampan, pintar, kaya, berbakat, dan keren. Kalau soal narsis—siapakah manusia yang mampu menolak pesona seorang Jeon Jungkook?" menaikkan salah satu alisnya dan membentuk setengah lingkaran dengan bibirnya, songong sekali.

"Ish, dasar bocah tengil menyebalkan. Kalau bukan karena Jimin menyukaimu, aku pasti sudah menghajarmu saat in—oopss, ya ampun aku kelepasan bicara. Bodoh, bodoh, bodoh." Taehyung menampar-nampar bibirnya sendiri dengan ekspresi bersalah. Ia bahkan tidak berani menatap Jimin yang mendadak mengatupkan mulutnya yang sedari tadi terbuka lebar. Sedangkan Jungkook menyeringai penuh kemenangan seraya mendaratkan tatapan tajamnya tepat ke dalam obsidian kelam Jimin.

"Ow, ow, ow. Jadi, makhluk sepertimu menyukaiku? Hebat sekali! Apa kubilang, bahkan makhluk sejelek dirimu pun menyukai pria setampan diriku hahaha. Hmm, aku tidak akan melarangmu untuk menyukaiku karena itu adalah hakmu sepenuhnya. Aku tidak bisa berkata-kata selain memberikan saran yang kuharap mampu membuka pikiranmu yang buntu itu," Jungkook mengetuk dagu dengan jari telunjukknya seperti sedang berpikir untuk merangkai beberapa untaian kata.

"Begini, Kau tahu kan bahwa cupu sepertimu tidak mungkin bersanding dengan pangeran sepertiku? Maksudku kita sama sekali tidak sepadan. Bagaikan siang dan malam, aku bagaikan siang yang terang benderang penuh sinar sang surya sedangkan kau si malam yang hitam kelam dalam temaram cahaya rembulan. Paham maksudku? Matahari itu bersinar dan bulan hanya bercahaya. Jadi, sangat tidak level jika sang surya harus bersanding dengan si rembulan. Kau tahu, itu terlalu jomplang. Sekarang mengerti kan? Eh, kenapa menunduk begitu? Kau menangis ya? Ayo angkat kepalamu," Jungkook terlihat khawatir atau tepatnya pura-pura khawatir terhadap perubahan air muka Jimin yang menyiratkan kesedihan mendalam.

Akhirnya Jungkook dengan ragu mengangkat dagu Jimin dengan sebuah jari telunjuknya. Dilihatnya mata Jimin yang berkaca-kaca; sepertinya sebentar lagi air matanya tumpah. Bibir penuh Jimin yang basah akibat liurnya sendiri pun jadi ikut merekah.

"Hey? Kau benar-benar menangis ya? Masa begitu saja menangis sih. Lelaki itu jangan mudah menangis, tidak jantan itu namanya. Seharusnya kata-kata manisku itu kau gunakan sebagai motivasi yang dapat memicumu menjadi lebih ba—"

"—Mmmmmpppphhh...mmhhh," tanpa diduga, Jimin menarik kerah kemeja Jungkook dan mempertemukan belahan kenyal bibir mereka berdua dalam satu kali tarikan napas. Kejadiannya begitu cepat sehingga Jungkook bahkan tidak mampu bereaksi apapun selain membelalakan hazelnya lebar-lebar, seakan kelereng matanya dapat lepas begitu saja dari kelopaknya.

"Arrrggghhhh...!" teriak Jungkook berusaha melepas pagutan bibir Jimin dari bibirnya.

Brakkk..

Jimin terjengkang ke lantai akibat dorongan Jungkook yang terlampau keras.

"Sialan kau Park Jimin! Jangan kira aku tidak tahu namamu. Aku bisa menuntutmu atas perbuatan tidak menyenangkan sekaligus pelecahan seksual! Kalau kau masih mau melihat matahari besok pagi, jangan pernah berani muncul lagi di hadapanku! Ingat itu!"

Selesai berkata-kata, Jungkook langsung meninggalkan Jimin yang masih terlentang di lantai, meninggalkan kerumunan siswa yang terdengar seperti dengungan lebah. Nasib baik untuk Jimin dan Jungkook karena tidak ada salah satu siswa yang sempat memotret atau merekam insiden ciuman mereka karena kejadiannya memang begitu cepat.

"Chim, kau tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" Taehyung menampilkan ekspresi kecemasan luar biasa seraya memeriksa seluruh tubuh Jimin kalau-kalau ada yang terluka.

"Tidak apa-apa Tae, aku baik-baik saja. Ayo pulang~" Jimin segera berdiri dan mengibas bagian belakang celananya yang kotor terkena debu. Diraihnya tubuh Taehyung untuk segera keluar dari bangunan sekolah menuju halte tempat mereka biasa menunggu bus untuk pulang.

"Kau yakin tidak apa-apa?" Taehyung menangkup kedua pipi gembul Jimin seraya menatap lurus ke dalam manik hitam kelam Jimin yang masih basah karena air mata.

"Iya, tidak apa-apa. Jangan khawatir, lagipula besok Minggu. Aku bisa beristirahat seharian," memberikan senyum termanisnya kepada Taehyung agar ia tidak lagi khawatir.

"Huft, baiklah kalau begitu. Ayo pulang, aku sudah lapar~" Taehyung menggandeng lengan Jimin. Mereka biasa melakukannya jika salah satu dari mereka mengalami hari yang buruk, untuk menguatkan katanya.

"Eum, aku juga lapar, kajja~"

Kedua anak adam tersebut berjalan bergandeng tangan sepanjang koridor tanpa memedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh segerombolan murid yang memergoki insiden ciuman antara Jimin dan Jungkook. Suara mereka persis seperti suasana pasar di pagi hari; sebagian besar diantara mereka ada yang mencibir, menghujat, memandang jijik, bahkan melontarkan kata-kata kebencian semacam; jalang, murahan, tidak tahu diri, dan lain sebagainya. Hanya sedikit diantara mereka merasa prihatin kepada Jimin. Walaupun sejujurnya ia sama sekali tidak peduli dengan seluruh hujatan, kebencian, maupun caci maki yang ditujukan kepadanya. Menurut Jimin, lebih baik di-bully daripada tidak dianggap sama sekali.

.

Aller Seulement©

.

TBC or END?

.

REVIEW?