Author's note: Sebelum masuk ke cerita ada baiknya saya mengucapkan selamat untuk Kuchiki Rukia kita yang telah resmi dilantik sebagai kapten devisi tiga belas! Yeiy, saya sudah yakin dia pasti akan mendapatkannya. Mungkin untuk ke depannya Rukia-taicho tidak akan bersama-sama dengan Ichigo seperti dulu lagi (setidaknya seperti Urahara dan Yuroichi saja itu sudah lebih dari cukup T.T) semoga chapter dua minggu lagi Bleach tidak membuat saya sedih. Saya hanya berharap itu saja kok.
I do not own Bleach.
Warning : Vampire fiction and high school theme.
Grow Old with you
Saat jam istirahat tiba adalah hal yang paling ditunggu. Wajah ngantuk murid-murid menjadi lebih hidup dan penuh keceriaan. Mereka mengeluarkan bekal makan siang dan menyimpan buku-buku yang berada di atas meja ke dalam laci. Untuk sesaat, semua buku tidak akan berguna. Sebagian dari mereka memilih untuk makan siang di taman sekolah, lalu sebagian lagi memilih untuk tetap di dalam kelas. Kuchiki Rukia salah satunya. Tetap memilih menghabiskan makanan di dalam kelas.
Rurichiyo menarik kursinya, menempatkan diri di sisi meja Rukia. Tanpa kata apapun ia menaruh sebuah kotak bekal makan siang berkarakter bebek dan sebuah botol air mineral yang masih tersegel.
"Boleh aku makan bersamamu?"
Rukia hanya mengerjab sesaat ke arahnya. Teman sekelasnya itu sudah duduk duluan sebelum meminta izin. Rukia tidak punya alasan untuk menolak.
"Kau bawa bekal apa hari ini?" Gadis itu bertanya dengan nada ceria seusianya.
Rukia tidak tampak ragu saat mengeluarkan kotak bekalnya yang berkarakter kelinci ke atas meja. Ia tahu, untuk ukuran anak SMP tidaklah cocok masih mementingkan karakter pada benda-benda pribadi. Teman lelaki di kelasnya selalu mengejek benda berkarakter yang Rukia punya. Yeah, mereka memang menyebalkan. Lelaki tidak akan mengerti bahwa karakter favorit sudah seperti udara yang dibutuhkan. "Hanya nasi daging dan beberapa cemilan. Apa kau ingin mencicipinya?"
"Whoa!" Mata hijaunya berbinar cerah. "Mewah sekali!" serunya kagum.
"Benarkah?" Rukia menggaruk pipinya canggung. Ia merasa Rurichiyo berlebihan sebab ia merasa bekalnya biasa-biasa saja.
"Bagaimana kalau kito bertukar bekal?"
Rukia hanya meringis. Ia tak yakin dapat memakan bekal punya orang lain. "Kedengerannya bagus."
Rurichiyo langsung mengambil alih bekal Rukia dan menyerahkan miliknya. Dengan ragu Rukia membuka bekal Rurichiyo, tampak lebih mewah dari isinya dan yang terpenting ada irisan timun di dalamnya. Thanks God, Rukia sangat suka mentimun. Walau ada beberapa irisan daging ikan di sisi lain, itu tidak akan masalah. Sebab Rukia benci makan ikan.
Mereka berdua makan dengan tenang. Tata cara makan seperti inilah yang selalu mereka berdua terapkan di rumah, dengan postur tubuh yang tegap, tidak meletakan siku di meja atau mengangkat kaki, dan tidak ada suara saat sedang mengunyah. Sangat damai tapi terkadang begitu monoton. Sapu tangan putih tentu siap di sisi kotak bekal mereka. Mereka berdua sangat cocok, berasal dari kalangan atas dan memiliki banyak kesamaan. Tinggi badan dan tempramen tentu termasuk ke dalamnya.
Makan siang sudah selesai namun mendadak Rukia ingin bergegas ke toilet. Ia menawarkan kepada Rurichiyo untuk ikut dengannya tetapi gadis itu merasa malas karena kekenyangan. Yeah, terkadang Rurichiyo malas mencuci tangan di sekolah karena letak toilet cukup jauh. Tapi tak apa, lagipula ia punya tisu basah di dalam tasnya.
Rukia berjalan keluar kelas, langkah kakinya menuju ke arah toilet yang berada di dekat tangga. Ia heran, kenapa toilet selalu berada di sudut bangunan padahal ruangan itu sering sekali digunakan. Hm, mungkin karena udara toilet akan menguar di sekitar, mungkin juga karena toilet bukanlah kelas untuk belajar.
Rukia tertawa sendiri dalam bayangannya.
Bruk!
Langkahnya mundur terhuyung yang membuatnya hampir terjatuh. Rukia segera mendongak, melihat seseorang yang baru saja ia tabrak. "Ku-kurosaki-sensei, maaf aku tidak sengaja." Ia segera membungkukan badan dengan hormat walau itu sedikit memalukan.
Untuk sesaat, Kurosaki hanya menatap ke arahnya. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Rukia ragu-ragu menarik badannya kembali ke posisi tegap. Ia kemudian memutuskan untuk kembali melangkah ke toilet dengan sedikit ketakutan.
Kurosaki Ichigo-sensei selalu memandangnya seperti itu. Rukia tidak mengerti cara pandangnya. Itu... Sedikit mengerikan dan membingungkan. Cara pandangan itu seperti melihat terdakwa yang sudah tertangkap basah melakukan kejahatan. Dari pertama kali ia bertemu dengan mata madu itu, saat upacara penerimaan murid baru hingga hampir setengah tahun.
Apakah ia sudah berbuat salah?
Keluarganya tidak pernah memberikan uang suap pada siapapun untuk masuk ke sekolah ini. Rukia murni lulus tes masuk ke SMP ini. Dan juga uang sumbangan pembangunan yang diberikan keluarganya.—Ia rasa itu tidak dalam bentuk suapan.
Menaikan bahu, Rukia masuk saja ke toilet.
.
.
.
"Hei, Kurosaki. Sepertinya kau penasaran sekali dengan anak itu." Ishida tiba-tiba menepuk punggung Ichigo. Pria berambut oranye itu dari tadi memandangai punggung salah satu muridnya sampai ia benar-benar menghilang.
Pandangan Ichigo beralih ke pria berkaca mata itu. "Kurasa aku butuh pergi ke toko Urahara untuk mendapatkan obat penenang agar dapat menekan keinginanku."
Ishida tertawa pelan. "Itu aneh. Biasanya kau tidak tertarik dengan bau wangi darah sekali pun.
Sudah lebih dari lima puluh tahun kau tidak meminum darah manusia lagi."
"Sebaiknya kau tidak mengungkitnya di sini, Ishida."
Ishida hanya menaikan bahunya acuh. Ia sangat suka menggoda Kurosaki. Baginya itu adalah kesenangan. "Aku hanya berbasa-basi."
"Terserah kau," desis Ichigo. Setelah itu ia pergi meninggalkan Ishida di lorong itu.
.
.
.
Selagi di dalam toilet. Rukia tak tahu apa yang sedang terjadi di luar. Ia juga tidak pernah tahu ada tiga orang teman lelaki sekelasnya sedang cekikikan. Mereka memiliki ide untuk mengunci Rukia dari luar toilet. Saat jam pelajaran dimulai, ia tidak bisa masuk dan masalah akan datang padanya. Mereka selalu berbuat jahil pada siapapun. Apalagi pada anak gadis pendiam dan acuh tak acuh pada orang-orang di sekitarnya.
Rukia yang berada di dalam masih sibuk mencuci tangannya. Sesaat ia berkaca lalu sedikit merapikan rok pendek kotak-kotaknya. Sekarang ia siap masuk ke dalam kelas.
Saat ia mencoba memutar knop pintu, kekuatannya tidak membantu sedikit pun. Pintunya terkunci dari luar entah bagaimana caranya. Rukia berpikir positif bahwa mungkin pintunya hanya tersangkut oleh sesuatu. Namun saat ia mencoba lagi untuk mendorong ke luar pintu itu tetap pada posisinya. Jelaslah sudah ia tengah terkunci sekarang.
Raut cemas semakin tergambar ketika bel istirahat berakhir berbunyi.
"Tolong! Siapa saja di luar, aku terkunci di sini!?" Rukia menggedor pintu dengan sebelah tangan mungilnya. Sebelah tangan yang lain memutar-mutar knop dengan ketakutan.
Ia ragu, bahwa pintu ini rusak. Sebab sekolah ini bukanlah bangunan tua. Pintu-pintu yang berada di sekolah ini adalah kualitas terbaik. Karena Rukia tahu ini bukan sekolah murahan.
Ia terus menggedor hampir menangis. Keringat sudah keluar dari pelipisnya dan ia mulai sesegukan. Ia lupa bahwa toilet sekolah ini sedikit kedap suara. Rukia merosot duduk sementara dahinya menempel pada pintu. Ia hanya berharap akan ada orang yang ingin ke toilet dan membebaskannya segera. Yeah, sebelum berharap ada baiknya ia harus berhenti menangis.
.
.
.
Rurichiyo menatap tempat duduk Rukia. Teman sebangkunya belum kembali juga sampai sekarang. Apa mungkin ia sakit perut dan membutuhkan waktu lebih di dalam toilet? Rurichiyo menjadi cemas. Mungkin lebih baik ia segera pergi ke toilet dan melihat keadaan Rukia.
Karena sekarang adalah pelajaran mulok dengan bab memasak roti isi untuk sarapan, Rurichiyo mengundur niatnya untuk beberapa menit sebab guru di depan kelas sedang menjelaskan materi. Ia akan menundanya sampai ibu guru selesai dan mereka semua berpindah tempat menuju dapur sekolah.
Selesai mendapatkan penjelasan, guru menginstruksi murid dengan tertib untuk berpindah ke ruang dapur.
"Rurichiyo!" Seru Mimi dengan riang. Yeah, dia salah satu teman sekelasnya yang sangat berisik. "Kita satu kelompok yaaa?"
"Boleh saja sih. Tapi, kau boleh duluan ke dapur nanti aku menyusul." Rurichiyo berusaha melepaskan pegangan Mimi.
"Memangnya kau mau kemana? Ibu guru akan marah jika kau terlambat ke dapur."
"Aku hanya ingin ke toilet."
"Kalau begitu aku akan menemani-"
Sebuah ledakan terdengar dan sepertinya itu berasal dari dapur. Para murid berteriak terkejut dan memeluk buku cetak yang mereka pegang masing-masing.
Untuk sesaat Rurichiyo melupakan Rukia. Ia berjalan maju menuju ke sumber suara.
"Anak-anak, cepat pergi ke lapangan sekarang!"
Murid-murid yang masih melongo karena belum mengerti apapun belum bergerak sama sekali setelah mendapati perintah dari guru.
"Ada kebakaran di dapur, cepat kalian ke bawah!"
Baru setelah itu mereka semua terbirit-birit menuju ke tangga bawah.
.
.
.
Ruang dapur sudah tidak tertolong lagi. Sebuah ledakan tabung gas yang bocor begitu mendadak. Membuat seisi dapur menjadi kacau balau. Beberapa pertolongan pertama seperti menyiram air dengan selang atau gas membeku tidak berguna lagi untuk mengurangi kobaran api.
Lorong di sekitar dapur sudah terasa panas. Lebih baik menyerahkan pekerjaan ini pada petugas pemadam kebakaran daripada melakukan hal yang sia-sia.
Semua murid dikerahkan untuk keluar kelas dan berkumpul di lapangan sepak bola. Guru-guru sudah menyelamatkan berkas-berkas yang penting bersamanya untuk keluar dari gedung itu pula. Dalam beberapa menit dari ledakan pertama, lapangan sepak bola sudah penuh. Mereka berharap agar petugas pemadam kebakaran segera tiba.
Dapur itu terletak di lantai dua. Sedikit dekat dari tangga dan cukup jauh dari ruang kepala sekolah yang berbeda gedung dari gedung murid angkatan pertama. Awalnya hanya bagian dapur saja yang terbakar. Namum, tidak disangka, api itu merambat dengan sangat cepat ke lantai atas dan di sisinya. Kelihatannya ini gawat. Media akan segera mempublikasikan berita ini besok pagi-pagi sekali. Reputasi sekolah akan menurun. Dan kepala sekolah berharap tidak ada korban selama kecelakaan ini berlangsung.
Yeah, tidak ada korban sampai ada seorang anak berlarian yang akan menuju tangga untuk ke atas.
"Rurichiyo, kau tahu ini berbahaya, kan? Kenapa kau harus pergi ke dalam?"
Langkah Rurichiyo berhenti karena seorang guru mencengkram tangannya paksa. "Bu, kumohon lepaskan aku. Ada Rukia di atas sana. Ia masih di lantai tiga."
Mata guru itu melebar. "Be-benarkah?" Dengan cepat ia menoleh ke sumber api untuk memastikannya. Letak toilet yang berada di lantai tiga tidak terlalu jauh dari ruang dapur di bawahnya. Sementara untuk menuju ke bawah, kemungkinan api sudah memblokir tangga dan panas sudah menjalar. Malang sekali nasib anak itu.
"Apa kau yakin Kuchiki masih di toilet?!" tanya ibu guru lagi. Kali ini nadanya tampak panik.
Sialnya begitu. Rurichiyo tidak sanggup menjawab. Ia hanya bisa mengangguk dengan wajah bersedih. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Rukia. Dengkulnya mulai bergetar. Aksinya yang akan naik ke atas tangga hanya bertahan sesaat. Sejujurnya ia hanyalah seorang gadis penakut.
"Apa yang sudah terjadi di sini?" Ishida mendekat ke arah mereka karena sepertinya ada masalah.
"Kuchiki dari kelas 1-A masih di atas. Bagaimana ini, Ishida-sensei. Apa yang harus kita lakukan?" Ibu guru meremas kedua tangannya sendiri. Itu hanya kebiasaannya saat panik.
Ishida langsung tersentak. Namun, pilihan yang dilakukannya hanya menoleh ke belakang mencari sosok rekan kerjanya. Ishida menajamkan penglihatannya di antara murid-murid dan guru yang sedang berkumpul. Tidak ada yang berambut oranye di sana. Sial, kemana dia saat situasi gawat seperti ini terjadi. Baiklah, tidak ada pilihan kecuali dirinya saja yang akan naik ke atas dan menyelamatkan Kuchiki.
Saat Ishida berbalik ia malah tekejut. Ichigo (orang yang dicarinya) sudah berada di hadapannya sedang mengenakan sebuah helm. Hey, ia tidak sedang mengendarai motor, kan?
"Aku akan ke atas, tolong awasi murid kelasku." Setelah ia menepuk bahu Ishida menyerahkan tanggung jawabnya, Ichigo belari masuk ke dalam gedung menuju ke arah tangga.
Namun, setelah tubuh Ichigo menghilang di balik pintu, Ishida baru menyadari sesuatu. Helm yang dipakainya itu adalah miliknya.
"Woi, helmku fuck!"
.
.
.
Rukia hampir tertidur menunggu di dalam toilet. Punggungnya bersandar di pintu. Dan mendadak tubuhnya berkeingat banyak. Udara semakin menyesakan dan juga panas. Apa yang sudah terjadi sekarang?
Sesaat ia terbatuk dan pandangannya mulai terasa perih. Apa ia sedang dijahili lagi? Apa ada seseorang yang menyalakan api di luar sana? Rukia benar-benar penasaran.
Sudah hampir sejam ia berada di sini dan tidak ada seorang pun yang menyadarinya. Yeah, ini sedikit kejam. Bahkan guru pun tidak mengabsennya. Apa perlu ia mengadukan ini kepada kakaknya dan menuntut orang-orang yang melakukan ini? Sayang sekali, Rukia tidak akan setega itu. Mungkin lebih baik ia balas dendam dengan caranya sendiri. Menemukan pelakunya dan menghajarnya sendiri. Tolong jangan remehkan badan pendeknya. Ia bahkan mampu memegang pedang seberat tiga kilogram dan menebas boneka yang berada di halaman rumahnya. Dalam beberapa tahun ini ia sudah melatih permainan pedangnya. Mengikuti tradisi keluarga Kuchiki walau nyatanya ia bukan berdarah murni.
Huh, pedang sepertinya tidak akan membantu. Seharusnya ia belajar bela diri saja agar bisa mendobrak pintu toilet ini.
"Kuchiki, apa kau di dalam?!"
Samar-samar Rukia mendengar suara itu. Suara seorang pria yang terdengar mengkhawatirkannya. Suaranya benar-benar dewasa dan keren. Seperti suara seorang pria tampan?
Rukia membuka matanya yang mulai mengeluarkan air mata karena pedih. Dadanya benar-benar terasa sesak.
"Yeah, aku tahu kau berada di dalam tepat di balik pintu ini." Suara itu terdengar lagi. Kemudian knop pintu berputar dan membuat pintu itu terbuka. Rukia segera bergerak dari posisinya untuk melihat siapa yang sudah membebaskannya.
Sesuatu yang Rukia lihat adalah latar dari pria itu. Berkobar menyala dengan panas menciptakan hawa yang menyengat. "Ke-kebakaran!" Rukia baru tersadar sekarang. Mulutnya menganga dan matanya melebar.
Lebih dari itu ia malah mengabaikan Ichigo.
Pria itu mendekat ke arahnya lalu melepaskan helm itu untuk dipakaikan pada Rukia. Tampak keringat membasahi wajah Ichigo. Sementara Rukia masih terpaku dengan degupan jantung yang bertalu kuat.
"Apa kau bisa berdiri?" Tanya Ichigo.
Rukia mendongak. Mengalihkan perhatiaannya dari kobaran api. Baru kali ini gurunya itu berbicara padanya. Apa tadi ia bertanya untuk menggunakan kakinya? Rukia merasakan kakinya bergetar. Ia tidak yakin bisa berdiri sekarang.
Tanpa bertanya lagi Ichigo menggendong Rukia pada kedua tangannya. Rukia tidak bisa menolak karena ia telah kehilangan kekuatannya. Bahkan untuk melepaskan helm di kepalanya ini. Itu sedikit mengganggu.
Ichigo membawanya ke luar dari toilet. Awalnya ia ingin menuju tangga untuk turun. Karena tangga sudah terblokir sepenuhnya oleh api, maka tak ada jalan lain selain mencapai tangga yang satunya. Ichigo memutar arah larinya. Masih ada lorong yang aman untuk mereka melewati ini. Tapi, sebelum Ichigo sempat menuju ke tangga bagian lain, ia hampir terjatuh. Kelihatannya ada sedikit masalah pada bagian kakinya dan Rukia menyadari hal itu.
Dengan sisa kekuatan, Rukia meminta izin untuk diturunkan. Lagipula kobaran api cukup jauh dari mereka. Perlahan Rukia melepas helmnya dan melihat kondisi Ichigo. Pria itu meringis seperti menahan sakit.
Dengan tangan yang gemetar Rukia mengangkat ujung celana Ichigo untuk melihatnya. Ternyata benar, ada luka memar di bagian kaki dan beberapa luka bakar di bagian bahunya. Rukia menatap Ichigo tidak percaya. Ini semua terjadi demi menyelamatkannya!
Rukia menggiring Ichigo ke sebuah ruangan dan menyuruhnya bersadar pada kaki meja untuk sementara waktu beristirahat. Di bawah sana sudah terdengar mobil pemadam kebakaran. Mereka pasti sedang berjuang memadamkan api.
"Jika kau sudah sanggup berjalan. Turunlah ke bawah dulu lewat tangga di sebelah utara. Tidak ada api di sana," ujar Ichigo lemah. Napasnya masih tampak terengah. Ia menjadi selemah ini karena sudah tidak mengonsumsi darah manusia hampir puluhan tahun. Fisiknya melemah dan pemulihan lukanya ini akan memakan waktu agak lama. Sama halnya seperti manusia normal lainnya.
"Tidak," Ichigo tidak percaya Rukia menolak perintahnya. "Aku tidak mungkin meninggalkan sensei! Aku akan mencari kotak obat untuk pertolongan pertama."
Tipe anak yang cerdas sekali.
Pergelangan Rukia ditahan saat gadis itu berniat beranjak pergi. Gadis bodoh, ia tidak perlu mengorbankan dirinya untuk mencari kotak p3k. "Aku baik-baik saja," ujar Ichigo. "Aku tidak butuh obat." Yeah, karena percuma. Obat buatan manusia tidak akan berpengaruh pada seorang vampir.
"Tapi, kau terluka, sensei. I-ini semua karena kecerobohanku." Rukia mulai menangis dan sesegukan. Ia tidak tahu mengapa ia harus menangis karena ini.
Melihat itu, Ichigo hanya tersenyum lemah. Kuchiki Rukia menghawatirkannya? Entah mengapa ia merasa bahagia. Urgh, kebahagian itu hanya bertahan sebentar ketika rasa sakit di bahunya menyerang lagi. Sementara kakinya tetap berdenyut hebat. Ini akan makan waktu lama untuk menjadi normal. Dan kemungkinan ia akan lumpuh untuk selamanya jika tidak segera meminum... Darah.
Ichigo melirik leher krimi Rukia. Sangat menggoda untuk dicicipi. Ia benar-benar penasaran akan hal itu. Ia merasa yakin seratus persen bahwa ia akan segera pulih dengan sekali menggigit lehernya saja.
Bolehkah? Hanya ingin memastikan saja.
"Rukia..."
Rukia menyeka air matanya dan menatap Ichigo kembali. Jika tidak salah dengar Ichigo telah memanggil nama kecilnya.
"Pergilah dari sini!" Ichigo benar-benar tidak mau ia menjadi hilang kendali.
Dahi Rukia berkerut. Kenapa Ichigo bersikeras meninggalkannya sendiri? "Sensei, aku tak tahu kau ini ternyata bodoh sekali!"
Ichigo terkesiap mendengar itu.
"Mana mungkin aku mau meninggalkanmu setelah kau datang menyelamatkanku!" seru Rukia lantang. Yeah, tidak akan ada orang yang peduli padanya jika tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya—darimana ia berasal sebelum menjadi Kuchiki. "Aku tetap akan di sini bersamamu sampai para petugas pemadam kebakaran memberikan pertolongan untukmu!"
Ichigo terpanah dengan kata-katanya. Anak ini kenapa begitu manis dan menggemaskaaan.
Detik berikutnya Ichigo hanya menyeringai. "Kau ini keras kepala juga. Apa kau tahu, para petugas tidak akan sanggup menyembuhkan lukaku. Bahkan dokter ahli sekaligus."
Rukia semakin mengerutkan alisnya tidak mengerti. Tidak mungkin dalam situasi seperti ini Ichigo sedang bercanda. "Sensei, lukamu hanya perlu diperban dan kau butuh istirahat penuh. Aku yakin kau pasti semb-"
"Darah..." Ichigo memotong kalimat Rukia. "Aku hanya perlu darah."
Rukia terbelalak.
"Apa kau bersedia membagi darahmu untuk membalas kebaikanku?"
Rukia menelan ludahnya dengan susah payah. Ini pasti mimpi. Setelah ia dikunci di dalam toilet, lalu mendapati kebakaran, dan sekarang bertemu kanibal? Yeah, ini pasti mimpi.
Tapi, semua rasa cemas itu akan ia tepis. Dengan alasan impulsif Rukia mengulurkan tangannya. Ichigo memandang itu sesaat. Apa maksudnya?
"Silahkan, kalau itu memang dapat membuatmu sembuh total. Lagipula aku berhutang padamu."
Ichigo melihat tangan itu bergetar. Rukia pasti sedang ketakutan. Semakin ia melihat tingkahnya, Rukia tampak begitu cuteeee. Ichigo hanya menyeringai.
Karena dilihatnya Ichigo diam saja, Rukia berseru kembali. "Kenapa kau tidak segera menggigit tanganku? Oh, aku tahu, posisi menghisap darah pada umumnya berada di leher, kan?" masih setengah gemetaran Rukia membuka kancing atas kemejanya. Memperlihatkan leher pendeknya yang begitu bersih.
Hasrat Ichigo untuk menenggelamkan ke dalam lehernya menjadi terpancing, seharusnya Rukia tidak melakukan ini karena Ichigo sudah tak tahan lagi.
"Silahkan..." ujar Rukia lemah. Ia menutup matanya perlahan dan membiarkan Ichigo berdebat dengan hasratnya. Sial!
Kebutuhan untuk segera mencicipi darahnya sudah melewati batas. Pria berambut oranye itu segera menarik Rukia ke dalam pelukannya dan menenggelamkan kepalanya untuk menggali tepat pada titik nadi urat leher. Taringnya memanjang, mempermudah dirinya dalam proses penghisapan.
Hanya satu gigitan dan semuanya menjadi menakjubkan. Perlahan semua rasa sakit di badannya menghilang. Sementara luka memar di kakinya berangsur pulih. Lalu otot-ototnya kembali rileks. Seperti bangun pagi setelah melepaskan semua rasa penat selama bertahun-tahun. Ichigo sudah lama tidak merasa sehidup ini.
Darah Rukia begitu berbeda. Dan Ichigo sudah menduga hal itu sebelumnya.
Rukia terkulai lemas di dalam pelukannya. Ia kehilangan kesadaran bukan karena kehabisan darah. Rukia hanya merasa lelah karena guncangan yang dialaminya barusan. Jejak gigitan Ichigo seketika lenyap pada sekitar lehernya.
Ichigo menatapnya dengan sangat lembut. Membelai rambutnya dengan kasih sayang yang selama ini tidak pernah ia lakukan kepada salah lagi, Rukia adalah takdirnya, pasangan hidupnya yang selama ini ia cari. Dan akhirnya, ia telah menemukannya.
.
.
.
[tbc]
A/N : So how was it? If there's spelling mistakes, forgive me, please.
Tentang rate saya masih bingung, biasanya tema vampire lebih ke condong rate M. Tapi, akan saya taruh di T dulu karena saya tidak berniat untuk menulis adegan berdarah lebih dari ini ataupun lemonade haha.
Oh, satu lagi, saya sudah menuliskan di summary bahwa Rukia dan Ichigo adalah suami istri tapi pada chapter ini belum ada yang seperti itu wkakak. Akan saya bahas pada chap depan karena time skip langsung ke tiga tahun selanjutnya.
Terimakasih sudah membaca.
Anyways please click on the button below the review! :D