Lee Taeyong.

Lahir di Seoul, Korea Selatan, merupakan anak satu-satunya dari CEO sekaligus pendiri dari Lee Corporation, sebuah perusaan besar yang bergerak di berbagai macam bidang. Lee Hongjae, pendiri dari perusahaan tersebut, termasuk dalam daftar 20 orang terkaya di Korea Selatan. Dan istrinya merupakan seorang pengacara dan pendiri dari sebuah law firm ternama, yang pengacara-pengacara di firma tersebut hanya dapat disewa oleh kalangan atas saja, seperti para pejabat pemerintahan, atau pengusaha-pengusaha kaya yang uangnya terus mengalir ke dalam rekening mereka.

Taeyong bisa dibilang lahir dengan semua kenyamanan di dunia ini disuguhkan padanya.

Hampir semua orang selalu menatap Taeyong dengan pancaran iri di mata mereka, berpikir betapa beruntungnya pria bermarga Lee itu, dengan semua kekayaannya, wajahnya yang tampan, dan kepintarannya yang tidak bisa diremehkan.

Singkatnya, seorang Lee Taeyong adalah sosok yang benar-benar sempurna.

Atau setidaknya, begitulah yang dipikirkan semua orang.

Mereka tidak tahu betapa berat beban yang dipikul oleh Taeyong. Dimulai dari bagaimana orangtuanya selalu mengharapkan yang terbaik darinya sebagai calon penerus perusahaan sekaligus anak dari seorang pengacara ternama yang reputasinya perlu dijaga, dan bagaimana paman dan bibinya selalu mengharapkan kejatuhannya, agar ia tidak lagi dituliskan sebagai calon penerus dari Lee Corporation, membuat anak-anak mereka, alias sepupu-sepupu Taeyong, mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin dari perusahaan raksasa tersebut.

Taeyong selalu menginginkan kehidupan yang normal, tanpa tekanan dari berbagai arah.

Taeyong ingat bahwa masa kecilnya benar-benar tidak bahagia. Ia dipaksa untuk bertingkah-laku dan berpikir sebagaimana orang dewasa, selalu disuruh untuk menjaga sikapnya di depan klien-klien orangtuanya dan keluarga besarnya sendiri, serta selalu diberi hukuman ketika melakukan kesalahan.

Hukuman yang berbentuk kekerasan fisik.

Sudah tak terhitung lagi berapa banyak luka di tubuh Taeyong kecil, disebabkan oleh hukuman dari sang ayah, yang selalu disembunyikan dengan kaus lengan panjang dan celana panjang yang menutupi seluruh bagian tubuhnya. Mulai dari cubitan, tamparan, sampai pukulan, Taeyong pernah merasakan semuanya.

Dan ayahnya pula yang menyebabkan Taeyong menjadi penderita claustrophobia.

Takut akan ruang sempit dan tertutup, semua karena ayahnya yang selalu mengurung Taeyong di dalam lemari pakaiannya selama berjam-jam, tidak mempedulikan tangisan dan teriakan memohon anak semata-wayangnya itu.

Taeyong menghadapi semua hal tersebut sendirian. Ia tidak punya siapa pun yang bisa ia ceritakan tentang hal-hal yang terjadi padanya itu, bahkan tidak pada ibunya, yang selalu membiarkan ayahnya menghukum Taeyong semaunya, memilih untuk berpura-pura tidak melihat segalanya, memfokuskan diri pada pekerjaannya saja, dan hal tersebut membuat Taeyong sangat kesepian sekaligus tersiksa, bahkan setelah Doyoung datang ke dalam hidupnya dan ia memiliki seseorang yang dapat ia ceritakan tentang masalah-masalahnya, Taeyong terkadang tetap merasa kesepian.

Karena kesepiannya dan kekerasan fisik yang ia alami, Taeyong tumbuh dengan suatu penyakit di dalam dirinya. Suatu penyakit yang awalnya tidak ia sadari, namun lama-lama makin menguat seiring dengan bertumbuhnya dirinya. Penyakit yang baru ia sadari setelah ia sering tiba-tiba tidak sadar, dan terbangun dengan kedua orangtuanya yang menatapnya dengan campuran berbagai ekspresi, antara panik, marah, sekaligus takut.

"Lee Taeyong, kau benar-benar tidak ingat dengan semua hal yang kau lakukan selama beberapa jam terakhir?"

Youth

Various NCT Pairings

Romance, Drama, Slice of Life

M for Mature Content

Unbeta-ed, warn!Typo(s)

NCT © SM Entertainment

Bibi Kim

Taeyong, aku mohon pikirkan sekali lagi. Kembalilah ke rumah, Nak.

Taeyong menaruh ponselnya dengan kasar di atas meja belajarnya, lalu mengusak rambutnya dengan kasar, ekspresi tertekan terlihat jelas di wajahnya. Sudah beberapa hari ini ia terus-terusan menerima pesan dan telepon dari wanita yang selalu dipanggilnya bibi itu, adik dari ibunya dan satu-satunya anggota keluarganya yang dekat dengannya, meskipun hubungan di antara mereka tidak betul-betul sampai tahap kedekatan dimana Taeyong selalu menceritakan semua masalahnya kepada wanita paruh baya tersebut. Hanya adik dari ibunya itu lah yang memperlakukannya dengan baik, dan satu-satunya yang tidak mengharapkan kejatuhannya, atau diam-diam berbicara yang buruk-buruk tentangnya.

Bibinya itu selalu mengiriminya pesan, memohonnya untuk kembali ke rumah, berkata bahwa kedua orangtuanya sangat merindukannya, dan Taeyong langsung tahu bahwa bibinya berbohong.

Karena selama bertahun-tahun ia hidup, orangtuanya itu tak pernah sekalipun rindu padanya.

Taeyong tahu, kedua orangtuanya sebenarnya tidak pernah ingin repot-repot memiliki anak, tapi karena ayahnya tidak ingin perusahaannya jatuh ke tangan seseorang yang bukan darah dagingnya sendiri ketika ia sudah tak sanggup lagi bekerja nanti, karena itu lah orangtuanya itu sepakat untuk memiliki anak, hanya karena ayahnya ingin seorang penerus perusahaan yang merupakan darah dagingnya sendiri. Kedua orangtuanya, atau lebih tepatnya ayahnya, beruntung karena anak pertama mereka merupakan seorang bayi laki-laki.

Singkatnya, hubungan antara Taeyong dan kedua orangtuanya murni sebuah hubungan bisnis, bukan hubungan kekeluargaan yang dipenuhi dengan kasih sayang seperti kebanyakan keluarga di luar sana.

Taeyong ingat bagaimana kedua orangtuanya, terutama ayahnya, marah besar padanya ketika ia mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang jurnalis. Keduanya menghabiskan berjam-jam mengomelinya, dan bahkan ayahnya sempat melayangkan satu-dua tamparan padanya, namun Taeyong tetap teguh pada pendiriannya.

Sudah cukup selama belasan tahun ia selalu hidup seperti robot, yang hanya menuruti semua hal yang diperintahkan padanya, dan tidak pernah punya keinginan sendiri. Taeyong sudah lelah hidup dengan menahan keinginannya, menahan perasaannya, melakukan semua hal yang orangtuanya ingin ia lakukan.

Mungkin orangtuanya mengira bahwa semangat Taeyong untuk menjadi seorang jurnalis akan surut begitu keduanya berkata bahwa mereka akan membiarkan Taeyong mengejar mimpinya dan bahkan hidup sebebas-bebasnya dengan sebuah syarat, yaitu dengan menjadi mahasiswa di salah satu universitas terbaik di Korea Selatan, Seoul National University dan juga salah satu jurusan terbaiknya dengan persentase masuk yang sangat kecil, alias Hukum, namun mereka salah besar. Bukannya makin surut dan lama-lama menyerah, semangat Taeyong malah bertambah tinggi dengan syarat dari kedua orangtuanya itu. Kemungkinan bahwa orangtuanya akan membiarkannya untuk bekerja sesuai dengan minatnya, membuat Taeyong menjadi makin bersemangat. Buku dan Taeyong seolah-olah menjadi kombinasi yang tak terpisahkan dulu, bahkan Taeyong berkali-kali jatuh sakit karena belajar terlalu keras sampai melupakan kesehatannya sendiri. Dan pada akhirnya, Taeyong tersenyum dengan lebar ketika ia menerima pengumuman bahwa ia diterima menjadi seorang mahasiswa di Seoul National University, jurusan Hukum.

Taeyong ingat bagaimana ayahnya melempar kertas hasil pengumuman tersebut tepat di depan wajahnya, dan bagaimana ibunya menatap Taeyong dengan pandangan tak percaya. Taeyong tahu kedua orangtuanya memberikan syarat tersebut karena mereka kira anak semata-wayang mereka itu tidak akan pernah bisa memenuhi syarat tersebut, tapi mereka salah.

Orangtuanya seharusnya tidak pernah meremehkan dirinya.

"Taeyong? Masih belum tidur?"

Taeyong tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh ke asal suara. Terbentuk sebuah senyum lelah di wajahnya begitu ia mengenali sosok yang baru saja melangkah masuk ke dalam kamar, pemilik dari suara yang membangunkan Taeyong dari lamunannya tadi.

"Belum, aku masih belajar," Taeyong menghela napasnya, teringat dengan berbagai macam buku yang kini tengah terbuka lebar di atas meja belajarnya. "Kau darimana saja, seharian tidak pulang ke rumah? Sudah makan? Perlu kubuatkan sesuatu?"

Sosok itu menggelengkan wajahnya, melepas jaket yang ia kenakan, sebelum langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur, menenggelamkan wajahnya di bantal.

"Yuta, kalau mau tidur ganti dulu bajumu, lalu sikat gigi, dan cuci—"

"Aku terlalu lelah, mamayong. Biarkan aku seperti ini, malam ini saja."

Begitu mendengar suara teman sekamarnya itu, Taeyong memutuskan untuk membiarkan Yuta tidur dengan keadaannya yang sekarang, masih dengan kaus hitamnya dan juga jeans denimnya. Taeyong biasanya sangat cerewet mengenai hal seperti ini, tapi karena Taeyong juga sedang tidak dalam mood untuk mengomel, dan kelihatannya Yuta sendiri juga sedang benar-benar lelah, Taeyong memilih diam, kembali memfokuskan perhatiannya pada buku-buku yang berada di meja belajarnya.

Ekspresi Taeyong mengeruh begitu mengingat kuis yang akan diadakan oleh dosen salah satu mata kuliahnya beberapa hari lagi, yang materinya sendiri sudah berusaha ia pelajari sejak dua hari yang lalu, namun masih belum ada satu pun hal yang menempel di otaknya, semua karena stress yang didapatnya dari masalah-masalahnya belakangan ini. Stress yang membuatnya tidak bisa fokus sama sekali, dan berakhir dengan kepala yang kosong, tidak berhasil mempelajari apapun. Ia bahkan mulai sering melamun di kelas.

Taeyong tahu ia tidak boleh gagal dalam kuis kali ini. Nilai sempurnanya tidak boleh dirusak oleh sebuah nilai B- atau C. Nilai akhirnya nanti tidak boleh menurun dari semester-semester sebelumnya, atau orangtuanya akan menemukan sebuah alasan untuk menariknya keluar dari jurusan Hukum, dan memaksanya untuk mengambil jurusan Bisnis, lalu menjadi penerus dari Lee Corporation seperti yang ayahnya inginkan. Tidak, Taeyong tidak ingin hidup seperti robot lagi.

Saat ini, begitu banyak yang ada dalam pikiran Taeyong, begitu banyak hal-hal yang membuat dirinya tertekan, membuat dirinya kehilangan fokus. Dimulai dari bibinya, nilai sempurnanya yang terancam rusak karena hasil kuis yang akan diadakan beberapa hari lagi, yang materinya sama sekali belum menempel di otaknya, dan Jaehyun.

Jung Jaehyun, pemuda yang lebih muda dua tahun darinya, yang merebut perhatiannya sejak ia berada di tingkat tiga sekolah menengah atas.

Seoul, tiga tahun yang lalu.

"Taeyong, sampai kapan kau mau memperhatikannya terus tanpa berani mengajaknya berkenalan?"

"Astaga, Kim, kau mengagetkanku."

"Kau tidak terlihat kaget," Doyoung berkomentar seraya mendudukan diri di samping Taeyong, yang di hadapannya terdapat sebuah buku, yang dimaksudkan agar dirinya terlihat sedang membaca buku, dan bukannya memperhatikan seorang adik tingkatnya yang sedang membaca sebuah buku beberapa meja di depannya. "Aku bahkan ragu kau tahu namanya, Tae."

"Aku tahu," Taeyong berkata, mengerucutkan bibirnya, sebal karena merasa diremehkan oleh sahabatnya itu.

"Siapa memangnya?"

"Jung Jaehyun."

Taeyong mengucapkan nama itu dengan pelan, sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya. Mengucapkan nama itu selalu membuat Taeyong merasakan sebuah perasaan hangat dalam hatinya, meskipun ia tahu ia mungkin tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk mengenal pemilik nama tersebut secara dekat, salahkan dirinya yang terlalu canggung dan malu untuk berkenalan dengan orang baru.

Ketika Taeyong menoleh untuk menatap sahabatnya, ia baru tersadar bahwa sahabat kelincinya itu sudah tidak ada di tempatnya. Taeyong langsung mengerutkan dahinya heran, dan matanya langsung membola begitu melihat bahwa Doyoung kini tengah duduk berhadapan dengan adik tingkatnya yang telah merebut perhatiannya selama beberapa minggu ini, dengan senyumnya yang cerah. Bahkan kalau Taeyong tak salah lihat, Doyoung dan Jaehyun sudah terlibat dalam sebuah pembicaraan.

Doyoung memang berbeda dengan dirinya. Doyoung termasuk dalam golongan orang yang mudah akrab dengan siapa pun. Maka tak heran ketika melihatnya sudah terlibat dengan sebuah pembicaraan seru dengan orang yang baru dikenalnya seperti itu.

Sejak hari dimana Doyoung mengajak Jaehyun berkenalan, lelaki yang sering dibilang mirip kelinci itu kerap memberikan Taeyong informasi-informasi kecil tentang diri Jaehyun, dan bahkan memperkenalkan Taeyong kepada orang yang ia sukai itu, dan sering mengajak Jaehyun untuk makan bertiga, bersama dengannya dan Taeyong.

Taeyong awalnya sangat senang dengan perkembangan tersebut. Ia jadi bisa mengenal Jaehyun secara pribadi, jadi sering mengobrol dengan lelaki berdimple itu, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Dan ketika Taeyong sedang bahagia-bahagianya karena dirinya yang bertambah dekat dengan Jaehyun, datang Doyoung, dengan wajahnya yang menampilkan ekspresi bersalah.

"Taeyongie, aku suka pada Jaehyun, bagaimana ini? Bahkan tadi, karena terlalu larut dalam suasana, aku tak sengaja mengungkapkan perasaanku padanya, dan bahkan memintanya untuk menjadi kekasihku. Aku bahkan tak tahu bagaimana ia bereaksi karena aku langsung kabur, pergi meninggalkannya. Oh Taeyong, aku mohon jangan marah padaku."

Taeyong sangat menyayangi Doyoung. Meskipun ia baru mengenal Doyoung sejak ia berada di tingkat lima sekolah dasar dan bukan sejak awal hidupnya, ia sudah menganggap Doyoung sebagai sosok yang paling penting, sosok nomor satu dalam hidupnya. Karena hanya Doyoung-lah yang selalu ada untuknya, dan karena ia tahu, kalau tidak ada Doyoung, mungkin ia sudah menyerah, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena tidak bisa lagi menanggung beban yang harus dipikulnya.

"Kau benar-benar menyukainya?"

"Ya, aku selalu merasa bahagia ketika bersamanya, Tae. Aku—ya Tuhan, maafkan aku."

Dan karena itulah, Taeyong menginginkan Doyoung untuk bahagia, lebih dari ia menginginkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.

"Aku tak apa, Doyoung. Aku tidak marah. Aku bahkan sudah tidak terlalu menyukai Jaehyun," Taeyong tersenyum, senyum palsu yang sudah ia latih selama bertahun-tahun. "Semoga Jaehyun membalas perasaanmu, ya."

Taeyong baru tahu bahwa berbohong bisa terasa begitu menyakitkan. Terutama ketika ia berbohong pada Jaehyun melalui pesan singkat pada sore harinya, beberapa jam setelah Doyoung datang kepadanya.

Jaehyun

Tae hyung, Doyoung hyung menyatakan perasaannya padaku tadi siang. Aku harus bagaimana, hyung? Ia bahkan memintaku menjadi pacarnya. Haruskah aku menerimanya?

Taeyong

Terimalah Doyoung, Jae. Bahagiakanlah dia.

Taeyong tahu keputusannya waktu itu untuk membalas pesan Jaehyun seperti itu akan menjadi salah satu keputusan yang paling ia sesali di kehidupannya.

Dan Taeyong memang benar.

Apa yang akan terjadi kalau seandainya saat itu aku menyuruhmu untuk menolak Doyoung, Jae?


"Yuzhi, sudah malam, aku harus pulang."

"Sebentar lagi, saja, aku rindu padamu, Sicheng."

Wajah Sicheng langsung memerah begitu ia mendengar ucapan pria yang sedang memeluknya dari belakang itu, dengan kepala yang diistirahatkan di bahunya.

Saat ini Sicheng sedang berada di apartemen milik kekasihnya. Ya, tidak seperti Sicheng yang memutuskan untuk tinggal di sebuah share house, Yuzhi lebih memilih untuk menyewa sebuah unit apartemen, yang dapat terlaksana karena orangtuanya yang memang selalu memberikan apapun yang ia mau. Maklum, Yuzhi adalah seorang anak bungsu dari dua bersaudara, dan kakak perempuannya sendiri sudah menikah dan kini hidup bersama suaminya, sehingga tinggal Yuzhi-lah yang menjadi tanggungan kedua orangtuanya.

"Kenapa kemarin dan sampai tadi pagi kau tidak juga menelepon atau mengirim pesan padaku? Kau tidak tahu kalau aku sangat khawatir, ya?" Sicheng bertanya, menepuk-nepuk kepala kekasihnya itu dengan sayang. "Kau juga tidak membalas pesanku kemarin malam."

"Kan aku sudah bilang kalau aku sedang sangat lelah, sayang," Yuzhi menjawab, kini mulai beralih mengecupi leher jenjang milik Sicheng.

Sicheng mengeluh dalam hati.

Selalu begini. Setiap kali ia sedang berduaan saja dengan Yuzhi, mereka jarang bicara dan lebih banyak melakukan hal-hal seperti berpelukan, berciuman, bahkan sampai melakukan seks. Sicheng ingat bahwa ia pertama kali melakukan seks dengan Yuzhi, dan itu juga hanya karena kekasihnya itu mengancam bahwa ia akan memutuskannya kalau sampai Sicheng menolak.

Sicheng terlalu mencintai kekasihnya itu, sehingga ia memaksa diri untuk setuju.

Sesungguhnya, Sicheng benar-benar menyesal.

Tapi bisa apa ia? Yang terjadi sudah terjadi. Lagipula, setidaknya Yuzhi masih berada di sini, di sampingnya. Tidak meninggalkannya.

Selama Yuzhi masih ada bersamanya, masih menjadi kekasihnya, Sicheng sudah puas.

Teman-temannya sering berkata bahwa Sicheng terlalu bergantung pada Yuzhi, mengomentari bagaimana Sicheng selalu mengikuti Yuzhi seperti seorang anak kecil yang tersesat, dan bagaimana Yuzhi kadang—sebenarnya sering—memperlakukannya dengan buruk. Tapi Sicheng seakan tuli, tidak mempedulikan komentar teman-temannya tentang hubungannya dengan kekasihnya itu, apalagi ketika mereka berkata bahwa Sicheng seharusnya mencari kekasih baru saja. Mencari orang lain yang lebih baik dari Yuzhi. Atau mungkin berkenalan dengan orang baru, yang lama-lama dapat membuatnya melupakan Yuzhi.

Sicheng hanya akan tertawa ketika mendengar saran teman-temannya itu, menganggap bahwa ia tidak akan pernah bisa mencintai orang lain seperti ia mencintai Yuzhi. Dan ia juga tidak berminat untuk berkenalan dengan orang baru, kalau tujuannya hanya untuk mencari yang lebih baik dari Yuzhi.

Omong-omong orang baru, Sicheng jadi teringat dengan kejadian yang menimpanya siang tadi di gedung universitas.

Di hari pertamanya di universitas, Sicheng tersesat karena ia tertinggal rombongan jurusannya yang awalnya sedang berkeliling universitas, beberapa senior sedang memperkenalkan bagian-bagian di gedung universitasnya. Karena terlalu terpesona dengan air mancur yang berada di universitasnya tersebut, Sicheng jadi kehilangan fokus dan tanpa sadar, ia sudah ditinggal oleh rombongannya.

Memalukan.

Sicheng berusaha untuk mencari jalan yang akan membawanya kembali ke aula dengan kemampuannya sendiri, tapi ujung-ujungnya ia malah berada di bagian universitas yang sama sekali tidak ia ketahui, bagian universitas yang sepi tanpa orang lain selain dirinya. Saat itu ia berpikir bahwa hidupnya sudah berakhir, bahwa ia akan tersesat untuk selamanya, tidak pernah menemukan jalan keluar dari wilayah universitasnya yang sangat luas itu. Bahkan ia sudah menggumamkan kata 'mati aku, mati aku' dan 'astaga, aku tersesat, aku tersesat, aku akan tersesat selamanya', dalam bahasa China tanpa sadar.

Sampai lalu terdengar suara dari arah belakangnya, juga berbicara dengan bahasa China, yang membuat Sicheng langsung membalikan tubuhnya untuk menghadap ke asal suara, dengan ekspresi lega di wajahnya karena mengira bahwa penolongnya sudah sampai, dan ia tidak akan tersesat untuk selamanya.

"Hai, manis. Tersesat, ya?"

Sicheng yang biasanya tidak suka dipanggil manis kecuali oleh Yuzhi, rela untuk mengabaikan fakta bahwa orang asing ini baru memanggilnya manis, yang penting ia bisa kembali ke aula, lalu pulang dengan selamat.

"Ya, aku tersesat," Sicheng buru-buru berkata, melangkahkan kakinya mendekati sosok asing itu. "Aku ingin kembali ke aula tapi aku tidak tahu jalannya, bisakah kau mengantarkanku ke sana?"

"Ah, kau murid baru?" Sosok itu bertanya, tersenyum miring. "Berarti kau lebih muda dariku. Aku sudah tingkat dua, jurusan seni rupa. Kau?"

"Uh, jurusan tari."

"Ah, kita berada di fakultas yang sama, kalau begitu."

Sicheng menganggukan kepalanya, ingin cepat-cepat kembali ke aula dan bukannya berlama-lama mengobrol dengan pria asing ini. "Uh, aku ingin kembali ke aula, jadi—"

"Ah ya, benar," Pria itu kemudian berjalan mendahului Sicheng, seolah-olah menyuruh juniornya itu untuk mengikuti langkahnya. Dan Sicheng, karena tidak punya pilihan lain, memutuskan untuk mengikuti langkah seniornya itu.

Sicheng langsung menghela napasnya lega ketika pria asing itu benar-benar mengantarkannya ke aula, dan ia lalu mengucapkan terimakasih dengan buru-buru, dan langsung akan berlari memasuki aula, kalau saja tangannya tidak ditahan oleh orang yang sudah mengantarnya ke aula dengan selamat.

"Aku belum tahu namamu, manis."

Astaga. Sicheng ingat ia harus berusaha keras menahan keinginannya untuk menyentakkan tangan yang saat itu memegang pergelangan tengannya, kalau saja ia tidak ingat tentang tata norma kesopanan. "Dong Sicheng."

Terdapat seulas senyum di wajah pria tersebut ketika Sicheng menyebutkan namanya, senyum yang terlihat berbeda dengan senyum-senyum yang sempat Sicheng lihat di wajah pria itu sebelumnya. Senyumnya kali ini terlihat seperti senyum tulus, bukan senyum menggoda seperti tadi. "Qian Kun. Kau harus mengingatnya, manis. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau sampai melupakan nama orang yang sudah menolongmu ini."

Sebelum Sicheng sempat membalas ucapan sosok asing yang akhirnya ia ketahui namanya itu, Kun, atau sekedar menganggukan kepalanya, Kun sudah berlalu dari hadapannya, berjalan dengan cepat ke arah yang berlawanan.

Meninggalkan Sicheng yang hanya bisa menatap punggung seniornya itu selama beberapa detik, sebelum tersadar kalau ia harus masuk ke dalam aula.


"Taeyong hyu—"

"Sst, pelan-pelan sedikit, Ten. Yuta sudah tidur."

"Ah, sayang sekali."

Ten menutup pintu kamar Taeyong dan Yuta, lalu mendudukan diri di tempat tidur Taeyong yang berseberangan dengan tempat tidur Yuta, menatap sosok Yuta yang tengah tertidur dengan posisi menghadap ke dinding.

"Ada apa? Tidak biasanya kau datang malam-malam begini."

"Aku ingin meminta maaf pada teman sekamarmu ini, hyung, tapi ternyata dia sudah tidur," Ten menjawab, menghela napasnya, matanya masih tertuju pada sosok Yuta, yang sebenarnya tidur membelakanginya dan karena itu, Ten hanya bisa melihat punggung pemuda asal Jepang itu saja.

"Meminta maaf? Kalian bertengkar lagi? Astaga."

"Ya, semacam itu lah," Ten tertawa canggung seraya mengusap lehernya, masih merasa bersalah.

"Tumben kau mau repot-repot minta maaf. Biasanya kalian selalu berbaikan dengan sendirinya, tanpa seorangpun yang mau meminta maaf karena ego kalian berdua sama-sama tinggi," Taeyong berkata, melepaskan kacamata yang sedaritadi bertengger di hidungnya, memilih untuk memutar kursi, menghadap kearah Ten.

"Pertengkaran kami hari ini benar-benar serius, hyung," Ten menjelaskan. "Makanya aku repot-repot ingin meminta maaf begini, padahal biasanya aku masa bodoh. Aku tidak mau Yuta terus marah padaku, hyung. Dia sudah membenciku, aku tidak mau perasaan bencinya bertambah besar. Dan apa hyung tahu, kalau mungkin karena pertengkaran hari ini Yuta mengira bahwa aku membencinya, hyung? Aku tidak ingin dia beranggapan begitu, meskipun mungkin dia setengah benar, karena aku kadang sebal sekali padanya setiap kali dia mulai marah-marah."

"Kalian berdua ini lucu," Taeyong tersenyum tipis, menatap bergantian antara Yuta dan Ten. "Sering bertengkar, tapi sesungguhnya menyayangi satu sama lain."

"Huh?"

"Jangan pura-pura tidak tahu, Ten," Taeyong menumpukan sikunya di atas meja belajarnya, lalu menyenderkan bagian atas kepalanya di telapak tangannya. "Kalau kalian benar-benar saling membenci, saling bermusuhan, kalian tidak akan terus-terusan bertengkar. Yang ada, kalian malah akan lebih memilih untuk saling mendiamkan, mengabaikan keberadaan satu sama lain, bahkan mungkin langsung pindah dari share house ini karena sangking bencinya. Pertengkaran kalian itu, cara Yuta yang selalu komplain padamu, kau yang kadang menjahili Yuta sehingga ia marah padamu, itu menunjukan bahwa sebenarnya kalian masih peduli pada satu sama lain."

Ya, Taeyong hyung memang benar.

"Ah, aku mengantuk," Ten tiba-tiba bangkit dari duduknya, menunjukan cengirannya kepada Taeyong. "Aku mau tidur. Dah."

Taeyong hanya terkekeh ketika melihat Ten yang tengah berjalan dengan perlahan, keluar dari kamarnya. Ketika pintu sudah tertutup dengan sempurna, Taeyong langsung menoleh untuk menatap orang satu-satunya yang berada di kamar itu selain dirinya.

"Yuta, sudah puas pura-pura tidurnya?"

"… Aku mau tidur, Tae. Selamat malam."


"Hansol, akhirnya kau datang juga."

Hansol berjalan memasuki kantor manajernya dengan langkah berat, sebelum ia memaksakan sebuah senyum ketika manajernya itu menyebut namanya, dan berjalan mendekatinya, yang berdiri dengan kaku tepat di dekat pintu, setelah ia masuk dan menutup pintu tersebut.

"Aku butuh membicarakan sesuatu denganmu," Manajernya itu melingkarkan lengannya di bahu Hansol, yang langsung membuat tubuh Hansol menegang sebelum ia harus memaksakan diri untuk kembali rileks sebelum manajernya itu sadar, dan membimbingnya untuk duduk di kursi yang berada di hadapan kursi manajer.

Bukannya duduk di kursinya, sang manajer malah berdiri di belakang Hansol, dengan tangan yang masih berada di bahunya, meremasnya dengan pelan

"Membicarakan sesuatu? Membicarakan apa?" Dalam hati, Hansol memuji dirinya sendiri yang berhasil terdengar percaya diri, seakan-akan perlakuan manajernya yang membuatnya tidak nyaman ini tidak berefek apapun padanya.

"Aku ditawari sebuah kenaikan pangkat, dan jika aku menerimanya, aku akan dipindahkan ke cabang restoran yang lebih besar dan lebih ramai," Manajernya menjelaskan, tangannya mulai turun, kini singgah di dada Hansol dan menepuk-nepuknya dengan pelan. "Kau tahu, mereka bilang aku diperbolehkan untuk membawa seorang staff kepercayaanku untuk membantuku di cabang restoran itu. Gajinya akan jauh lebih besar dari gajimu sekarang, Hansol."

Hansol yang awalnya tidak tertarik sama sekali dengan pembicaraan ini, langsung menolehkan kepalanya, berusaha untuk melihat manajernya yang masih berdiri di belakangnya, begitu mendengar perihal gaji. "Benarkah?"

Karena posisinya yang membuatnya tidak dapat melihat wajah manajernya dengan jelas, ia jadi tidak bisa melihat senyum miring yang tercetak di wajah pria yang lebih tua darinya itu begitu ia mendengar respon tertarik yang dikeluarkan oleh Hansol.

"Ya, benar," Sang manajer mengubah posisinya, berdiri di samping kanan Hansol, lalu memegang kedua sisi pipi pegawainya itu dengan dua jarinya, membuat Hansol bertatapan dengan manajernya. Manajernya itu sedikit demi sedikit mendekatkan wajahnya pada wajah Hansol, dan Hansol harus berusaha keras untuk tidak memundurkan wajahnya, lalu kabur dari ruangan ini sesegera mungkin. "Aku sangat ingin memilihmu, tapi aku harus tahu apa kau benar-benar setia padaku atau tidak."

Ya Tuhan, aku mohon kirim siapa pun untuk menghentikan aksi pria mesum ini. Aku tidak ingin dicium olehnya.

Doa Hansol yang diucapkannya dalam hati itu sepertinya terkabul, karena ketika wajahnya dan wajah sang manajer tinggal berjarak beberapa senti lagi sebelum bibir keduanya bersentuhan, terdengar sebuah ketukan keras di pintu, membuat manajernya langsung buru-buru menjauhkan wajahnya dari wajah Hansol.

"Sialan. Padahal aku sudah bilang untuk jauh-jauh dari area ruang kantorku selama satu jam."

Lalu selama satu jam itu kau mau melakukan hal-hal yang tidak senonoh padaku di ruanganmu ini, begitu?

"Ada—Youngho? Ada urusan apa kau ke sini?"

Ya Tuhan, aku memang berkata siapa pun, tapi Johnny tidak termasuk dalam kategori siapa pun.

"Salah seorang pegawai di depan membutuhkan bantuanmu, manajer," Hansol dapat mendengar suara Johnny yang terdengar berbeda dari suaranya yang biasa itu dari tempatnya duduk. Johnny yang biasanya terdengar hangat dan menyenangkan untuknya, kini terdengar begitu dingin, seolah-olah sedang menahan amarah. "Secepatnya."

"Ah, baiklah. Hansol, kita lanjutkan pembicaraan kita tadi lain waktu."

Tidak usah dilanjutkan juga tidak apa-apa, terimakasih banyak.

"Hansol."

Johnny tiba-tiba sudah berdiri di samping tempat Hansol duduk, menggenggam pergelangan tangannya, lalu menariknya keluar dari ruang kantor manajer, membawanya ke luar, ke bagian belakang restoran yang kini kosong, tak ada seorang pun.

"Johnny, ada apa?"

"Aku melihatnya."

Tidak. Jangan Johnny.

"Huh?"

"Jangan pura-pura tidak mengerti, Hansol," Johnny menghembuskan napas kasar. "Aku mendengar banyak gosip dari pegawai lain kalau kau memang punya sesuatu dengan manajer, tapi aku tidak mengira bahwa gosip itu benar."

Jadi gosip para pegawai lain bahkan sudah mencapai telinga Johnny, ya.

Dan dia mempercayainya.

"Hansol, tolong bilang padaku bahwa sebenarnya gosip itu tidak benar, dan bahwa apapun yang manajer lakukan padamu tadi di dalam ruang kantornya," Johnny berhenti sesaat, menutup matanya, terlihat membenci memori yang masuk ke dalam ingatannya begitu ia mengatakan kalimat terakhirnya, "adalah sebuah bentuk paksaan, bahwa kau tak benar-benar menginginkannya terjadi, bahwa kau hanya membiarkan manajer melakukannya karena kau takut padanya. Aku mohon tolong katakan hal itu padaku, Hansol. Atau setidaknya anggukan kepalamu."

Kau benar, Johnny. Aku memang tidak bisa menolak perlakuannya padaku karena aku takut padanya. Aku takut kehilangan pekerjaanku.

"Aku tidak merasa harus menjelaskan apapun kepadamu, Johnny," Hansol akhirnya membuka mulutnya, mengeluarkan hal yang benar-benar berbeda dari apa yang ada di dalam pikirannya. "Kalau hanya itu yang ingin kau bicarakan, aku duluan."

Langkah Hansol terhenti begitu Johnny menggenggam pergelangan tangannya lagi, menahannya. "Hansol, berhenti. Aku mohon berhenti melakukan apa pun yang kau lakukan sekarang. Berhenti bekerja di restoran ini, aku yakin kau bisa mendapat pekerjaan sambilan di tempat lain. Aku mohon, Hansol."

Aku juga ingin berhenti, Johnny. Aku ingin hidup tanpa harus bekerja sambilan di tiga tempat yang berbeda, tanpa harus khawatir tentang kondisi keuangan keluargaku, dan hanya khawatir tentang nilai setiap mata kuliah, seperti orang-orang lain seusiaku.

"Aku yang akan memutuskan kapan aku akan berhenti, Johnny," Hansol berkata, nadanya dibuat datar, padahal ia sungguh-sungguh ingin memeluk pria yang tengah menggenggam pergelangan tangannya ini, lalu menangis sepuasnya, mengeluarkan semua perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya.

"Tapi Hansol—"

Kenapa kau harus begitu peduli padaku, Johnny?

Kenapa kau harus membuatku merasa begitu diperhatikan, dipedulikan, setelah hampir dua tahun penuh aku tak mendapat perhatian dari orangtuaku, dari keluargaku?

"Berhenti mengurusi urusanku, Johnny."

"Hansol, dengar dulu, aku hanya peduli padamu. Aku tidak ingin kau—"

"Berhenti mengurusi urusanku, berhenti peduli padaku," Hansol berkata, hampir berteriak, berusaha menyembunyikan air matanya yang bisa turun dari matanya kapan saja. "Kau tidak tahu apa pun tentang aku, Johnny. Kau bukan siapa-siapa, kau tidak punya hak apa pun untuk ikut campur dalam masalahku. Tingkahmu yang seolah-olah memiliki peranan penting dalam hidupku sampai-sampai kau selalu mengurusi urusanku itu sangat mengganggu."

Maafkan aku, Johnny. Maaf. Perkataanku itu bukanlah isi hatiku sebenarnya. Maafkan aku.

Genggaman Johnny pada pergelangan tangan Hansol mengendur, sebelum benar-benar terlepas. Johnny menatap Hansol dengan tatapan sedih di matanya, sebelum ia bergerak mundur, menjauhi Hansol.

Ya, benar. Memang sebaiknya kau menjauh. Seseorang sepertiku, yang penuh dengan masalah, tidak pantas untuk bersamamu, seseorang yang begitu baik, begitu ramah.

Tapi kenapa hatiku terasa sangat sakit?

"Maaf. Aku tidak tahu bahwa kau menganggapku mengganggu," Johnny tertawa hambar. "Maaf. Aku tidak akan ikut campur lagi, aku tidak akan peduli padamu lagi, aku tidak akan mengurusi urusanmu lagi. Maafkan aku, Hansol."

Johnny membalikan tubuhnya, melangkahkan kakinya memasuki restoran, meninggalkan Hansol sendirian di bagian belakang restoran. Ketika pintu sudah tertutup dengan sempurna, hanya butuh beberapa detik sampai air mata pertama meluncur turun, membasahi pipi Hansol.

Maafkan aku, Johnny. Dan terimakasih. Terimakasih karena sudah peduli padaku selama ini.

Aku menyayangimu, Seo.

Ah, tidak.

Aku mencintaimu.

To Be Continued.


Buat yang ngga tau siapa itu Yuzhi, dia itu salah satu trainee China SM yang belum di announce, jadi kayak hidden trainee gitu, semacam Renjun sama Chenle sebelum mereka berdua debut di NCT Dream. Omong-omong NCT Dream, selamat untuk minirookies+RenChen(?) yang akhirnya debut! Woohoo.

Terimakasih buat yang udah review di chapter kemarin.

Thankyou for reading!