T I M E

Tahun 2022

Luhan menatap langit polos tidak bertutup awan. Remang matahari mencakar permukaannya. Bias - bias cahaya sang penakluk siang tersebar mewarnai putih awan. Sangat indah sekalipun kilaunya pucat melawan musim.

Oh.. tapi hari ini keremangannya berkurang dibanding hari lalu. Begitu yang Luhan pikir dan ia... tidak menyukainya.

Musim akan berakhir bagai alarm bahwa senja didepan mata. Tak terasa bagaimana hangat berubah terik, lalu sejuk nan dingin membelai. Terlalu cepat, sampai ia sendiri tak sadar matahari mulai tenggelam. Dalam benak Luhan memanjatkan do'a sepenuh hati, agar semesta diberi kekuatan untuk melawan hukum Tuhan.

"Kumohon.. berhentilah, waktu."

.

.

"Memikirkan sesuatu?"

Kelopak Luhan membuka saat denting manis suara Sehun mengalun ditelinga, menggetar jantung. Luhan menyukai ritme-ritme teratur sedikit cempreng yang bersumber dari pita suara Sehun. Sangat nyaman...

'Berakhir?' Luhan membatin. Giginya mengerat dinding pipi, menahan sesuatu yang seperti hendak memberontak keluar saat kata itu kembali muncul dikepala.

Itu tidak berlangsung lama karena usapan lembut Sehun meringankan hal yang ia pikirkan. Ia suka.. Luhan selalu saja menemukan ketentraman dari telapak tangan Sehun. Mendekapnya hati-hati, bahkan mengistimewakan segalanya.

"Jangan dipikirkan," -karena aku-pun tak berani membayangkan. Sehun merapal kalimat tersebut, patah arang. Walau didepan kokoh bak karang ditepi laut.

Luhan menyamankan kepalanya diatas dada bidang polos Sehun. Pemuda manis itu mencari penenang lain tiap kali menangkap ketukan jam dinding. Bagaikan bom, Luhan ingin meledak.

"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu?"

Sehun bangkit sambil mempertahankan Luhan diatas tubuhnya, kemudian bersandar pada kepala ranjang. Memeluk Luhan seerat mungkin, mengusap belakang kepalanya kemudian mendaratkan beberapa kecupan pada sisi dahi lelakinya.

"Karena kita tak akan bisa melawan waktu."

.

.

Salju mencair. Bunga - bunga bermekaran. Udara terasa lebih hangat dibanding hari lalu. Orang - orang akan lebih leluasa memamerkan pakaian indah mereka pada musim seperti ini bersama raut secerah mentari pagi.

Tapi Luhan menyesalkan hangat yang tak jua menyapa hati terdalamnya.

"Sudah siap, Luhan?"

Luhan memberi satu garis tipis sebagai jawaban. Dan mengikuti kemana pemuda itu menimpinnya didepan, menuju sebuah altar yang tertata apik.

Ia tak percaya akan berada di atas altar ini pada akhirnya. Luhan bahkan tidak mengerti apa itu bahagia? Iris cokelat itu menatap telapak tangannya yang kosong, hampa. Tidak ada rasa tercecap sekalipun yang akan terjadi sebentar lagi adalah sesuatu sakral, upacara suci.

Luhan merasa di awang. Tepuk riuh dan bisik-bisik memuji seorang yang melangkah anggun ke arahnya seolah angin berdesau. Indera pendengarannya lumpuh sementara pertahanannya sendiri siap roboh.

'Kau pasti bisa, Luhan. Lakukan dengan cepat kemudian. selesai.'

Hanya itu tapi Luhan merasa cukup membuat dirinya tenang. Menyelesaikan tahap demi tahap hingga pada saat ia harus memasangkan cincin pasangannya tersebut.

Cincin itu nyaris terlepas. Luhan menemukan dirinya gemetar hebat didalam dan pemberontakan yang siap keluar. Matanya berpendar ke segala penjuru. Ada kedua mama dan baba, memberi semangat lisan. Ke sisi lain dimana teman - temannya hadir, namun Luhan menyesal ketika bertemu pandang pada seseorang yang turut hadir disana.

Seseorang, kekasihnya..

Hasrat itu muncul. Dimana Luhan ingin berlari dengan pemberontakan diri yang nyaris menguasai dan membuatnya hilang akal. Sial! Kenapa sampai begini? Kemana sang waktu yang begitu jahat tak memberinya banyak kesempatan?

'Jangan berlaku bodoh!'

Luhan tak sadar bahwa kakinya hendak melangkah pergi sebelum tatapan mengancam dari sosok sang kekasih memperingati. Dan disitu Luhan menyadari kecerobohannya. Urung, Luhan melanjutkan hal tertunda barusan. Ia tak bisa menahan segaris tipis senyum ketika menemukan wajah manis nan polos yang menatapnya khawatir.

Ini berat, tapi Luhan akhirnya bisa meloloskan lingkaran cincin tersebut pada jari manis pasangannya.

"Dengan ini kalian telah sah menjadi suami istri. Silahkan mencium pasangan anda."

Hidupnya akan sedikit berbeda mulai dari sekarang.

.

.

"Karena kita tidak akan bisa melawan waktu."

Luhan menampar Sehun saat itu juga. "Setelah hampir sembilan tahun menunggu, inikah pilihanmu Sehun?!"

Sehun terdiam. Ia raih telapak yang baru saja membelai kasar pipinya. Sadar akan keegoisan semuanya dan dirinya sendiri. Ia kecup lama telapak tangan Luhan yang berubah kemerahan. Oh tidak... apa ia baru saja membuat kekasih cantiknya marah? Ha.. ha..

"Turuti permintaan orang tuamu. Dan aku pastikan kita tetap saling memiliki. Sampai kapanpun."

Luhan tak tahu mengapa airmata mengalir dari sudut matanya. Kata itu terdengar lebih baik. Meski sebagian dari dirinya menolak itu mentah - mentah.

"Kau memilikiku dan aku memilikimu. Kita tidak saling menjaga, tapi saling mencintai juga menyayangi. Cinta tak harus memiliki, itulah mengapa aku lebih senang menyayangimu sepenuh hatiku. Karena rasa sayang hidup abadi dan tidak menyakiti. "

"Sehun~" suaranya bergetar. Luhan tak tahu harus berkata apa. Ia membiarkan dirinya kembali menenggelamkan diri dalam pelukan Sehun, menekan pahit.

"Menikahlah esok, dengan wanita pilihan orang tuamu. Semoga kau bahagia. Dan aku akan selalu disisimu."

Karena kebersamaan kita bukanlah untuk dipertahankan, apalagi dihadapan Tuhan. Sekalipun hatiku mengkhianati lidahku..

'Lu Han. Saranghae.'

.

.

FIN

Hai.. lama sekali rasanya tidak post ff wkwk. Semoga suka :))

Dan buat pengguna Line, jangan lupa add 👇

Bubble & Coffee [et] iyq5232z. Cocok nih buat kalian yang haus info hunhan. Dan satu lagi Sweet Mochigome [et] obt2424q. Yeun juga post sf ini di sana. Supaya ngk ada salah paham nanti.

well itu saja :* trimss