pukul dua belas malam

Semua karakter VOCALOID yang ada di sini adalah milik Yamaha Cooporation dan perusahaan lainnya.

.

.

Sang pemuda menghentakkan kemudi sejenak. Dia lelah berputar-putar, seolah dia sedang dikejar oleh sesuatu. Ya, sesuatu. Dia menyadari bahwa mungkinlah apa yang pernah dilakukan olehnya di masa lampau adalah apa yang mengejarnya saat ini.

"Aku di dalam mobil."

.

.

sebuah maki kebencian oleh seorang pemuda yang dipermainkan oleh ucapannya sendiri

happy reading.

.

.

Bagaimana lampu penerangan jalan berkedip-kedip di tengah kegelapan entah mengapa menarik perhatian sang pemuda. Laut menatap sayu pada apa yang terjadi di luar. Bagai ditinggalkan umat manusia, betapa senyap jalan yang terbentang di sana.

Kegundahan menyetir kemudi, dia bahkan tidak tahu-menahu ke manakah tujuan. Diyakini pasti olehnya bahwa mobil memuat dirinya mengarah suatu tempat.

Lantas, untuk apa dia berkendara?

Mesin berhenti pada sebuah sekolah. Tidak sepenuhnya tersadar, mengapa dia harus menjeda di tempat seperti ini. Perlahan suatu gelombang memori menyergap, begitu banyak kesan terendap. Menenggelamkan sang pemuda dalam lautan nostalgia dalam sekejap.

"K-Kaito-kun!"

"Aku suka kamu, Miku! Jadilah pacarku!"

Jantung mencelos satu kali. Ingatan tidak berguna merasuk begitu saja di bawah kebingungan, pemuda itu mendecih pelan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sang pemuda memang merasakan suatu emosi kuat pada saat itu.

Gugup.

"Erm... a-aku suka kamu juga!"

Dan bahagia.

Tawa sinis melesatkan diri dari celah bibirnya. Apa maksudnya? Dia sama sekali tidak ingin mengenang apapun sekarang, itu hanya akan memperburuk keadaan.

Mobil kembali berjalan. Kedua tangan bahkan tidak berada pada kemudi, sang pemuda berasumsi bahwa apapun yang terjadi kendaraan ini akan tetap berjalan. Dia tidak perlu menyetir, dia tidak perlu repot-repot mengatur takdir miliknya.

Karena segalanya memang telah digariskan.

Benar?

Entah sedari kapan, jalan dipenuhi cahaya di sepanjang kepergian. Laksana simfoni nina bobo, betapa menghanyutkan dan menenangkan. Suara bak kebisingan kota malam seakan berlalu begitu saja.

"Aku bawakan makanan kesukaanmu, Kaito-kun!"

"Terima kasih, Miku-chan."

Heh, ini memuakkan baginya. Dia dibuat jemu, siklus yang berulang-ulang mengingatkannya pada masa lalu.

Akal sehat tidaklah lantas menyalahkan gadis itu.

Seandainya pemuda itu tidak berani-beraninya menantang takdir, tidak mungkin akhirnya akan seperti ini.

Perlahan racun itu menjalari hati, jiwanya tidak lagi sebersih dulu. Kejemuan ialah faktor utama. Sang pemuda mengatasnamakan ketidaksengajaan sebagai alasan di balik tragedi itu. Namun apapun alibi yang dipergunakan, takdir tetap tidak berubah.

"Kaito-kun, jujurlah... kau sekarang dengannya, bukan?!"

"Ck, kalau iya, memangnya kenapa?!"

Seandainya waktu bisa sedikit berbaik hati, mungkin dia bisa mencegahnya. Setidak-tidaknya menunda juga bukanlah masalah.

Tanpa disadari, sesungguhnya sang pemuda hanya mencari-cari sesuatu untuk disalahkan.

Selayang pandang ke arah langit mengungkap kenyataan yang tersembunyi. Pemuda itu mendapati bulan berbentuk sempurna dalam kegelapan langit, keidentikannya pada suatu waktu pun menggelisahinya.

Mengapa bulan tampak menyeramkan?

Dia seolah memahami alasan di balik kengerian itu. Dia hanya tidak mampu menyampaikannya.

Pukul dua belas malam.

Sang pemuda menertawakan. Terkekeh, direnggutnya keras-keras helaian biru pada diri sendiri. Apakah ini karma baginya? Balasan atas rasa sakit yang pernah disisakan olehnya?

"Sialan!"

Dadanya dipenuhi oleh berbagai macam emosi. Terasa panas laksana terbakar dalam api.

Gemerlapan lenyap dari hidupnya. Kegelapan menjadi kawan barunya dalam perjalanan. Dia merinding menyadari ada kesalahan yang mungkin sedang terjadi. Kendati demikian, dia mengabaikan. Kebosanan menghancurkan ketakutannya.

Dia berani mengambil resiko. Dia menghentakkan kemudi takdirnya.

"Aku menyukaimu."

"Bagaimana dengan pacarmu?"

"Akan kuputuskan dia!"

Dipikir-pikir lagi, tersadarlah dirinya bahwa itu adalah tindakan yang sangat konyol, dan tolol. Itu bukan hal yang sepatutnya terjadi, namun entah mengapa terasa begitu benar.

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Ini salah!"

Mata rantai itu memang bermula darinya. Dialah sang bencana, memutuskan sesuatu yang gila. Hukum alam yang dirahasiakan pun disingkap olehnya, sesuatu yang tidak akan pernah dilakukan oleh kewarasan.

Sekali lagi, kebosanan menghancurkan ketakutan.

Dia merasa bagai Tuhan yang mampu membelokkan takdir.

Dan mereka bukan pula korban pertama dari tragedi ini.

"Aku menyayangimu!"

"Tapi aku tidak!"

"Aku akan membahagiakanmu, Luka! Pasti!"

Tolol. Omong kosong itu terucap dan entah berapa pasang telinga yang telah mendengarnya. Terbuai, lalu terbuang. Itulah dinamika tragedi yang dia ciptakan sendiri dalam sensasi kejemuan. Upaya menggali lubang kuburannya sendiri.

"Sial, SIAL!"

Mobil berhenti. Takdirnya berhenti bergulir.

Keringat dingin mengaliri pelipis. Pemuda itu sudah menduga bahwa tidak ada jalan kembali baginya. Kesalahan tetap kesalahan, dia akan tetap berpijak di sana sekalipun pengampunan berusaha mencabutnya. Inilah karma, menurutnya. Tuhan telah membalas kegilaan yang pernah dikerjakan olehnya.

Dosa yang tidak termaafkan.

Dia tertawa nyaring kali ini.

"Apa kau sudah puas menyiksaku?"

Mempertanyakan hal yang tidak diketahui dialamatkan kepada siapa, sang pemuda kembali menatap bulan, meremehkan.

"Apapun jawabanmu, selamat! Kau berhasil!"

Wajahnya basah.

"Hah... hahaha..."

Pemuda itu menangis dalam penyesalannya.

.

.

"Ini salahku, huh?"

Pemuda itu terus bertanya-tanya, apakah dia bisa mengulangi takdirnya. Berhati-hatilah!

.

.

17022017. PDBM11. YV