NCT SCHOOL

NCT & SMRookies © SM Entertaiment

YAOI. AU. Typo(s). OOC(s)

.


Chapter I

New Life, Another World.


.

Berjalan sendirian di tempat ini bukanlah menjadi pilihan yang paling baik yang akan ia pilih. Jujur, ia akan lebih memilih terkurung di kamarnya tanpa makanan selama seminggu jika dibanding mesti berada di sini. Sendirian. Tepat tengah malam seperti saat ini.

Meski tempat ini mewah dengan segala ornamen Kuno tapi artistik di tiap sudut—yang membuatnya merasa di berabad-abad sebelum teknologi ditemukan. Dia, orang ini, bisa merasakan aura aneh yang menguar dari gedung berlabel sekolah ini. Perasaannya benar-benar tak enak, tapi kakinya terus melangkah. Dinding sepanjang koridor ini dipenuhi potret-potret bangsawan, yang entah hanya perasaannya saja atau bukan, mengawasi tiap langkahnya dengan mata tajam mereka. Dan yang lebih mengerikan lagi, ia seperti berhalusinasi melihat mereka mendelik marah padanya. Menyeramkan.

Itu hanya potret... Itu hanya potret...

Tenang... Tenang...

Merapalkan kalimat itu berulang kali bagai mantra dalam hati, ia berusaha mengatur degup jantungnya tak menentu. Melangkah terus dengan kecepatan tak biasa di atas karpet merah yang tergelar di sepanjang lantai koridor itu.

Ia memang sudah merasa aneh dengan tempat ini sejak awal. Saat ia pertama kali melihatnya beberapa waktu lalu. Tempat berlabel 'sekolah' ini lebih mirip—dan pantas disebut—kastil tua. Yang membuatnya langsung teringat salah satu cerita tentang penyihir dan hal lain semacam itu. Kastil tinggi bercat kusam dengan gerbang menjulang—apalagi dilatarbelakangi langit malam yang tertutupi awan mendung saat ia melihatnya tadi—sama sekali tak mencerminkan kata 'sekolah' itu sendiri.

Sebelum benar-benar masuk ke tempat ini, ia sempat meminta orangtuanya untuk menghentikan niat mereka menyekolahkannya di tempat ini lewat telepon, namun tentu saja sama sekali tak mereka dengar. Ia yakin, dan tahu betul, alasan sesungguhnya adalah karena semuanya telah diurus; mulai dari biaya, seragam, buku-buku dan sebagainya. Jadi tak mungkin untuknya meminta pindah ke sekolah lain begitu saja.

Aneh. Diantara banyaknya sekolah kenapa orang tuanya memilih sekolah menyeramkan ini? 'Mereka pasti sudah gila!' itulah yang dipikirkannya. Tapi dia tak bisa menolak—ia masih terlalu takut pada kemarahan ayah dan omelan ibunya.

Lagipula, ia tak ingin jadi anak pembangkan. Tidak bisa.

Tapi bukan itu masalahnya sekarang.

Yang ia pikirkan sekarang adalah bagimana ia menjalani hidupnya ke depan. Karena ia akan bersekolah dan yang harus ia sesali berasrama di tempat ini selama satu setengah tahun ke depan. Apa jadinya dia? Sehari di sini saja sudah tak kerasaan apalagi dua ta—

Sreeeet

—apa itu?

Sosoknya berbalik cepat. Ia merasakan sesuatu berkelebat di belakangnya tadi. Ia semakin mengeratkan pegangannya pada pegangan koper saat sadar tidak ada orang di sana.

Hanya desing angin, mungkin?

"Halo?" panggilnya. Tapi tak ada yang menyahutnya. Yang ia dengar hanyalah gaungan suaranya sendiri yang menggema di koridor itu. Oke. Perasaannya semakin tak enak. Bulu kuduknya mulai berdiri semua sekarang. Merasa memang tak ada siapa-siapa—setelah memastikan sekali lagi, akhirnya dia berniat melanjutkan jalannya saja. Berada di sini dengan keadaan begini lebih lama akan sangat tidak baik untuk kesehatan jantung dan psikisnya.

Ia pun berbalik.

"Hai."

"WHOA!"

—dan langsung tersentak mundur beberapa langkah hingga tersandung kopernya sendiri saat melihat seseorang berdiri tepat di depannya. Menyapanya sambil tersenyum lebar dengan begitu santai.

Dan tiba-tiba!

Darimana datangnya orang ini?!

Ia tak mendengar sesuatu seperti langkah kaki atau apapun di belakangnya tadi. Ia yakin. "S-siapa kau?" tanyanya dengan nada tercekat dan wajah pucat pasi karena perasaan takut. Terlalu kaget. Jantungnya masih berpacu—tapi orang itu malah terkekeh. Memangnya apa yang lucu?

"Oh, hyung pasti anak baru itu ya?" sepertinya pemuda itu nampak berfikir, mengingat-ngingat sesuatu yang agaknya dia lupakan, "Ah! Lee Taeyong?" tanyanya kemudian dengan nada kegirangan sambil menjetikkan jarinya.

Sosok yang ditanya masih membeku—tapi mengangguk kecil sebagai respon, membuat sosok pemuda misterius yang tiba-tiba datang itu kelihatan begitu girang. Entah mungkin karena tebakannya tepat. Atau mungkin karena sesuatu yang lain? Tak tahu.

"Oh… iya," sosok itu mengulurkan tangannya sambil melempar senyum, senyum yang terlampau lebar. "Aku Mark, omong-omong," katanya lagi memperkenalkan dirinya.

Meski ragu Taeyong menyambut uluran tangan itu dan menyunggingkan senyum balik, yang ia yakin akan terlihat begitu kikuk. Tubuhnya kembali merinding kala merasa begitu dingin saat tangannya menyentuh tangan pemuda itu, "Lee Taeyong," ujarnya, masih sedikit takut. Secepat kilat menarik tangannya lagi.

Demi apa. Ia seperti baru saja menyentuh es batu!

"Kenapa datang malam-malam begini?" tanya sosok Mark dengan alis mengerut tanda heran.

Taeyong mengangkat bahu dan menggeleng tak tahu. "Ada kesalahan mungkin—entahlah. Aku datang sendiri ke sini dan mencari alamat yang diberikan ayah dan ibuku tapi aku tak menemukannya setelah seharian mencari." Taeyong melirik sosok di depannya dan bisa dengan jelas melihatnya menyeringai seakan tahu sesuatu yang tak ia ketahui. "Aku memutari kota ini sampai dua belas kali—kupikir. Tapi aku tak menemukan kastil ini. Dan saat aku menelpon ayahku dan mengatakannya, ia tak percaya."

Taeyong yakin. Ia bisa melihat seringai di wajah pemuda di depannya itu semakin lebar. Namun entahlah. Mungkin itu hanya senyuman lebar tapi dia menganggapnya sebagai sebuah seringai? Oh, salahkan penerangan koridor ini yang hanya memanfaatkan cahaya dari obor-obor tua yang tertempel di dinding.

"Lalu?" tanya Mark mengharapkan lanjutan cerita.

"Yah." balas Taeyong, merasa aneh dengan dirinya sendiri karena bisa bicara panjang lebar dan akrab begini dengan orang asing yang baru ia temui lima menit lalu. "Ayah memintaku mencarinya lagi. Meski tak yakin akhirnya kulakukan dan—"

"Hyung menemukannya dan berada di sini denganku?" potong Mark cepat mengakhiri cerita. Taeyong mengangguk meng'iya'kan dan orang itu kembali tersenyum lebar.

Sementara Taeyong mulai mengamati dirinya. Pemuda ini

—putih pucat, bahkan mungkin mendekati albino meski Taeyong tak yakin (Ia belum pernah melihat orang Albino sebelumnya). Tubuhnya lebih pendek sedikit dari Taeyong, dan tak sekurus dirinya.

Ia mengenakan pakaian berwarna hitam yang terlihat elegan. Taeyong berfikir mungkin ini adalah seragam sekolah ini karena ia melihat sulaman 'NCT'—yang merupakan nama sekolah ini ada di bagian dada kirinya. Terpasang dengan bentuk artistik dan menawan menggunakan benang emas. Rambutnya tertutupi topi yang dibiarkan terbalik. Wajahnya tampan, ia akui dan ia juga memiliki senyum lebar yang manis.

"Terpesona padaku, Taeyong-hyung?" tanya Mark dengan geli, begitu tiba-tiba karena Taeyong langsung tersentak menjauh saat melihat wajah orang itu berada sangat dekat dengan wajahnya. Taeyong mengerjap matanya lucu, "A-apa?" tanyanya teragagap saat sadar dengan pertanyaan barusan setelah diam sepersekian detik.

"Hyung melihatku seakan-akan aku ini seorang artis," jelas Mark sambil tertawa.

Mengerti dengan maksud itu, mau tak mau Taeyong pun menunduk malu—membalas senyum tak enak setelah terlebih dahulu menggumamkan kata 'sorry' atas perlakuan tak sopannya tadi yang mengamati orang tanpa permisi seperti itu.

Taeyong merasa pengap dan akhirnya dia memutuskan untuk melepas syal yang melilit lehernya sedari tadi—musim gugur sepertinya akan datang membuat anginnya begitu dingin—lalu mengikatkan syalnya pada pegangan koper. Ia sempat melirik dan entah itu hanya perasaannya saja atau memang kenyataan; ia melihat sosok Mark tersentak dengan kegiatannya itu.

Taeyong mengamati sosok itu lagi, merasa khawatir saat melihatnya mulai gelisah dan wajah pucatnya terlihat semakin pucat, dia seperti kekurangan darah. "Kau tak apa?" tanyanya mencoba mendekat. Tapi sosok itu malah mengangkat tangannya dan mundur beberapa langkah menjauhinya. Mengisyaratkan padanya untuk menjauh.

Taeyong mulai merasakan sesuatu yang tidak beres saat ia melihat kepalan tangan Mark yang mungkin saja bisa membuat kuku jarinya melukai tangannya sendiri—saking kuatnya kepalan tangan itu. Selain itu napasnya memburu cepat dan terputus putus.

Dari wajahnya Taeyong langsung berfikir bahwa ia terlihat seperti menahan sesuatu.

"Aku harus pergi—" kalimat itu diucapkan dengan mulut yang hampir terkatup sehingga sangat pelan dan bernada berat.

Wuuuuusssssh.

Taeyong menggigil saat merasakan angin dari belakang menerpa tubuhnya entah berasal dari mana dan ia juga bisa melihat kepalan tangan pemuda di depannya semakin menguat.

Sebenarnya ada apa?

"Tap—"

"Berjalanlah terus mengikuti lorong ini lalu belok kanan," adalah kalimat terakhir yang diucapkan Mark, dengan nada yang tak jauh berbeda dengan tadi sebelum ia berjalan pergi melewati Taeyong yang terpaku karena sepertinya telinganya menangkap suara seperti gemeletuk gigi saat sosok itu melewatinya tadi.

Kenapa dia?

Taeyong dilanda kebingungan luar biasa saat melihat perilaku pemuda itu. Apa dia berbuat kesalahan atau mengatakan sesuatu yang membuatnya tersinggung? Pikir Taeyong. Tepat saat ia berbalik beberapa detik kemudian untuk bertanya apa yang salah—napasnya seketika tercekat. Karena sosok yang beberapa detik lalu melewatinya tadi kini tak ada. Padahal lorong ini panjang dan belokan masih jauh dari sana, di depan sana. Tak mungkin ia bisa secepat itu.

DEG

Jantungnya berpacu tak normal dan buluk kuduknya berdiri lagi. Lalu, atensinya tiba-tiba menangkap sesuatu berwana hitam bersayap terbang rendah menjauhinya di koridor itu—tempat yang mungkin seharusnya Mark berada sekarang.

Taeyong benar-benar ketakutan, pikiran-pikiran buruk seakan memenuhi kapasitas otaknya. Tanpa berfikir dua kali dia berbalik cepat dan berlari mengambil langkah sambil menarik kopernya dengan wajah pucat pasi. Seakan baru saja melihat hantu. Atau memang hantu?

Apa itu tadi?

.


Lorong ini begitu panjang—bagai tanpa akhir untuk Taeyong yang kini ketakutan dan ia menyesalinya. Ia melirik takut ke sekitarnya dengan ujung mata dan yang ia lihat hanyalah gerakan api di atas obor yang bergoyang-goyang tertiup angin. Napasnya memburu menghembuskan uap putih karena kelelahan tapi ketakuatan seakan memberinya kekuatan lebih untuk terus berjalan tanpa mengurangi kecepatannya. Dan ia bersyukur karena ujung lorong ini sudah ia lihat. Tepat di depan sana.

Ia berhenti, tepat di ujung lorong dengan dua belokan berbeda ke arah kanan dan kirinya. Pandangannya menatap dinding yang merupakan ujung lorong ini dengan takjub saat mendapati apa di depannya. "Ini…" gumamnya dengan nada tercekat, "…Pentagram."

Di dinding itu, terpahat sebuah gambar bintang terbalik di dalam sebuah lingkaran—seperti dibingkai oleh garis yang membentuk persegi dengan lingkaran lain di tiap ujung sisinya. Terlihat kusam dan berusia tua tapi tetap menawan dengan ukiran-ukiran antik dan simbol-simbol aneh yang membuatnya semakin artistik dan mengerikan di saat bersamaan.

Taeyong menangkap ada ukiran lain di bawah lambang besar itu. Sebuah tulisan yang lagi-lagi diukir begitu cantik di dinding—bagai ditulis dengan tinta emas. Sebuah tulisan yang berbunyi;

"Kemurnian, kesetiaan dan darah adalah segalanya."

Oke. Taeyong merinding mendengarkan ucapannya sendiri. Kalimat itu sepertinya punya makna tersendiri tapi Taeyong tak ingin repot-repot memikirkannya lebih jauh lagi karena ia sudah sangat lelah dan butuh istirahat segera. Jadi ia memilih melanjutkan perjalanannya dengan memilih arah kanan—seperti apa yang dikatakan Mark.

Wuuuuuusssh.

Lagi-lagi angin berhembus meski kali ini terasa begitu berbeda. Angin sejuklah yang berhembus saat Taeyong mulai melangkah. Entah kenapa saat melewati koridor ini Taeyong merasa nyaman—tidak seperti koridor yang tadi ia lewati. Auranya berbeda, ia pikir. Dan hal itu membuatnya agak santai sekarang, mengurangi sedikit ketakutannya yang sedari tadi meledak-ledak.

Di sepanjang koridor ini terdapat pintu-pintu dari kayu berwarna coklat tua dan papan-papan nomor di tiap pintu. Taeyong merogoh mantelnya dan mengambil Kunci yang diberikan ayahnya sebelum ia pergi; sebuah Kunci berwarna perak dengan gantungan kecil dan angka 213 tertera di atasnya.

"207. 208. 209—" Taeyong menyebutkan setiap angka di papan nomor tiap pintu sekedar menghindari dirinya mendengar suara-suara aneh yang tak diinginkan sambil berjalan terus dengan menyeret koper hingga akhirnya, "213!" Taeyong―tanpa sadar―menjerit kesenangan saat menemukan kamarnya. Ia benar-benar tak sabar untuk segera berbaring di ranjang dan menyambut alam mimpi. Seharian dikelilingi hal aneh dan menakutkan cukup membuatnya kelelahan. Apalagi setelah berlari seperti tadi.

Dengan cepat ia memasukan kunci ke lubang angin dan memutarnya hingga terdengar buka 'klek' pelan. Ia membuka pintu perlahan, melangkah masuk dan tak lupa mengunci kembali pintu.

Taeyong mendongak untuk menatap ruangan yang akan menjadi kamarnya mulai sekarang begitu berbalik. Dan "Wow." adalah kata pertama yang lolos dari bibirnya.

Ruangan ini begitu luas. Ada empat ranjang dibuat berhadapan—dua-dua. Ia juga melihat dua meja nakas diapit oleh dua ranjang itu dan masing-masing meja belajar di sisi lain ranjang. Selain itu, terdapat lemari besar dengan empat pintu di pojok kiri, sementara satu pintu ada di sebrangnya dengan sebuah keset di depan pintu—sepertinya itu pintu kamar mandi.

Taeyong melangkah masuk lebih jauh masih tak mengeluarkan suara—melihat teman sekamarnya tertidur. Ia menatap salah satu ranjang dengan heran.

Ranjang ini dilengkapi kelambu!

Astaga. Abad berapakah sekarang?

Dia benar-benar merasa kembali ke masa berabad-abad yang lalu. Dia melihat kebawah kakinya dan ada karpet berudu berbentuk lingkaran yang begitu besar tengah ia injak. Semua perabotan di sini diukir dengan ukiran yang antik, unik, artistik dan sedikit aneh juga berlebihan menurut Taeyong.

Apakah pemilik sekolah ini tukang ukir? Lihat! Bahkan langit-langit pun diukir sedemikian rupa! Ia juga bisa melihat ukiran-ukiran lain di beberapa tempat di dinding.

"Hei."

Taeyong tersentak—sepertinya ia terlalu banyak melamun hingga tak sadar salah satu dari 'teman sekamar'nya itu terbangun dan menarik kelambu ranjangnya. Menatap ke arahnya.

"Ahhh… Sorry. Apa aku mengganggu?" kata Taeyong kikuk. Meski terlihat mengantuk orang ini tersenyum pada Taeyong dan itu membuat sosoknya langsung dicap ramah oleh Taeyong.

"Tidak apa-apa. Kau Taeyong 'kan? Kami sudah menunggumu sejak tadi. Kukira kau akan datang besok," jelasnya mulai bangkit dari ranjang dan menghampiri Taeyong, berdiri di hadapannya. "Kim Doyoung," katanya, mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah. Taeyong menerimanya dan menggumamkan namanya sebagai balasan.

Doyoung berjalan ke arah salah satu ranjang dan menarik kelambunya. Ranjang paling kanan di samping—meski agak jauh dari pintu kamar mandi.

"Ini ranjangmu, dan kau bisa memasukkan baju-bajumu di lemari itu." Doyoung menunjuk lemari berukuran cukup besar di pojok kiri ruangan, "Semua perabot dengan lebel namamu adalah milikmu," jelasnya lagi.

"Thanks."

Hansol tersenyum sebagai balasan, berjalan kembali ke ranjangnya yang bersebrangan dengan milik Taeyong. "Kau bisa membereskan bawaanmu. Tapi kalau kau lelah sebaiknya kau tidur dan besok kami akan membantumu membereskannya, oke?" ia menguap, "—Oh, aku mengantuk. Aku tidur duluan tidak apa kan? Good night, Taeyong."

Dan kelambu ranjang itupun diturunkan setelah Taeyong berujar 'ok' dan 'good night' sebagai balasan.

Setelah puas memandang, Taeyong memilih langsung tidur saat itu. Ia benar-benar kelelahan. Biarlah barang bawaannya di bereskan besok. Setelah menganti pakaiannya terlebih dahulu dengan piama. Sambil memeluk boneka beruang berukuran cukup besar miliknya, yang sengaja ia bawa dari rumah, matanya mulai terpejam.

"Nite, Bear." adalah kalimat terakhirnya sebelum benar-benar menyambut mimpi.

.


Mark melangkah masuk ke kamarnya dengan langkah tergesa sambil terus berusaha mengelap sudut bibirnya dengan punggung lengan—mengusap noda di sana. Ia benar-benar tak tahu apa yang ia lakukan beberapa jam yang lalu saat ia pergi meninggalkan kastil ini setelah ini bertemu dengan murid baru itu.

"Mark, kau kenapa?" adalah pertanyaan yang menyambutnya begitu ia masuk ke ruangan itu. Pertanyaan yang dilontarkan salah satu dari tiga orang yang berada dalam ruangan itu, yang saat itu tengah melakukan kegiatan masing-masing.

Ruangan ini bercahaya temaram dari perapian dan beberapa lilin menyala dan itu seakan tak membantu membuat kulit keempat pemuda itu untuk terlihat lebih 'manusiawi'.

Pucat. Hampir tak menunjukkan adanya aliran darah di bawah kulit mereka.

Tak ada ranjang berkelambu, meja belajar atau meja nakas di ruangan ini, hanya satu set sofa bergaya elegan dan beberapa bantal duduk berwarna merah. Seluruh ruangan luas ini dilapisi karpet, ada perapian yang menyala, lalu dua buah lemari berukuran sedang—yang satu pintunya terbuat dari kaca transparan dan berisi berpuluh-puluh botol wine atau apapun itu—dan sebuah rak buku penuh buku tua berukuran besar di pojok kanan samping perapian.

"Mark?" tanya orang yang sama saat mengetahui Mark malah mendesis dan tak menjawab pertanyaannya. Mark melepas jas seragamnya yang penuh noda darah dan melemparnya ke sembarangan arah.

"Hei!" dan itu berhasil membuat protesan salah satu dari mereka karena jasnya itu tepat terjatuh di wajahnya. Ketiga pasang mata di ruangan itu menatap Mark—salah satu dari mereka memandang kesal.

"Jangan bilang kau baru membunuh manusia," tebak seseorang lain yang kini duduk nyaman di kursi duduk merah di salah satu pojok ruangan dengan sebuah buku terbuka di depannya. Meski ia mengucapkan kalimat itu dengan nada dingin, namun ia begitu tenang melanjutkan acara membacanya seakan tak terganggu.

Mark mendesis. "Tentu saja tidak. Aku hanya berburu seekor kambing dan—yaks, aku tak suka itu," wajahnya terlihat kalau ia akan benar-benar muntah. Gumaman 'Baguslah' keluar dari orang yang tengah membaca buku sebagai respon. "Tapi aku hampir melakukannya kalau tak segera pergi tadi," jelas Mark memulai ceritanya. Dia mendudukkan dirinya di lantai yang di lapisi karpet dan melanjutkan, "Aroma orang itu benar-benar menggiurkan," katanya dengan semangat. Sebenarnya mungkin hanya karena ia baru kali pertama mencium baunya.

Sosok yang pertama kali bertanya beranjak, sementara sosok yang sedari tadi diam mengerutkan kening dengan heran mendengar hal itu dan bertanya, "Siapa maksudmu?" dengan nada datar dan dingin. Masih setia dengan posisinya yang menyender ke sofa dengan tangan terlipat di dada. Tanpa melakukan hal apapun.

"Murid baru itu—Lee Taeyong."

Kali ini sepertinya sosok dengan buku itu benar-benar tertarik. Ia memang mendengar desas-desus tentang akan kedatangan murid baru beberapa hari lalu. Ia menutup buKunya dan menatap Mark penuh perhatian seakan menunggu kelanjutan cerita meski wajahnya masih datar dan tak berekspresi.

"Kenapa memandangku begitu sih?" Mark protes, sementara kedua makhluk lain hanya mendesah melihatnya pura-pura tak mengerti begitu.

"Ceritakan," sosok yang tadi beranjak kembali dengan wadah berisi air dan lap, mendudukkan diri di sisi Mark, "Bagaimana kau bisa bertemu dengannya," terangnya lagi sambil mulai mengelap bekas-bekas darah yang mulai kering di wajah dan leher Mark dengan handuk basah.

"Oh," balas Mark mulai mengerti. "Sebenarnya aku tak sengaja melihatnya di koridor saat akan keluar kastil. Aku belum pernah melihatnya dan aku langsung beranggapan bahwa dia 'Taeyong' murid baru yang katanya akan bersekolah di sini," Mark memulai ceritanya, merasa risih juga dengan kegiatan sosok lain yang tengah membersihkan wajahnya. "Tidak usah, hyung." katanya, tapi tak didengarkan oleh sosok yang sebenarnya bernama Ji Hansol itu.

"Aku ingin menakutinya, dan aku berhasil karena saat ia berbalik dia begitu terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba berada di depannya," Mark tertawa terpingkal-pingkal, "Wajahnya lucu sekali saat ketakutan."

"Mark, diam!" protes Hansol karena kegiatannya terganggu dengan kelakuan Mark yang tertawa tak karuan.

Mark menghentikan tawanya dengan sebal sambil mencibir hyungnya itu.

"Lalu bagaimana?" tanya sosok yang masih memangku bukunya. Terdengar tak sabar. Tapi Mark tetap bungkam sampai Hansol selesai dengan kegiatannya dan pergi lagi membawa lap dan wadah berisi air yang kini berwarna kemerahan, agar tak usah mendapat omelan lagi.

"Lanjutkan," itu keluar dari sosok yang berada di sofa dengan nada memerintah.

"Ye… Pangeran Jaehyun," orang yang disebut pangeran Jaehyun itu memutar matanya bosan, sebelum kembali mendengarkan dengan seksama lanjutkan cerita Mark, "Aku bertanya padanya kenapa bisa sampai malam-malam begini, dan dia menjawab karena ia tak bisa menemukan kastil ini."

"Alasan klasik." pria dengan buku berkomentar. " Berapa kali ia mencari katanya?"

Mark menyeringai, "Ia bilang padaku dia telah mencari kastil ini sebanyak dua belas kali dan akhirnya menemukannya setelah sekali lagi mencari."

"Wow," adalah kata pertama yang keluar dari mulut Hansol saat mendengarnya, "Orang ini pasti sangat naif—"

"dan polos—" sambung Mark, seringainya semakin lebar.

"Atau bodoh." gumaman pria di sofa membuat seringai itu hilang sedetik, sebelum kembali lagi,

"Ini bahkan melebihi rekor sebelumnya!"

Jeno hanya mengangguk-angguk. Sementara Jaehyun kembali terdiam tanpa ekspresi. Tapi sepertinya ada sebuah ketertarikan dalam diri keduanya dengan sosok murid baru ini.

"Satu-satunya alasan yang mungkin membuatnya menemukan kastil ini pastilah putus asa," komentar Mark lagi sambil tertawa tawa kesetanan.

"Sepertinya begitu—sifat buruknya pasti tak cukup untuk membuatnya bisa melihat kastil ini," Hansol bicara dengan wajah yang nampak tengah berfikir atau mungkin membayangkan sesuatu, "Manusia unik."

Hening…

"Aroma?" Semua mata beralih pada Jaehyun saat suara itu terdengar, "Apa maksudmu dengan aromanya?" tanya Jaehyun lagi.

Merasa seperti baru mengingat sesuatu, Mark langsung bangkit dan duduk kembali, "Aku memang masih bisa menahan aroma tubuhnya pada saat itu," katanya sambil mengingat-ngingat, "Tapi berbeda saat ia mulai melepas syalnya. Aromanya begitu menusuk langsung masuk ke indra penciumanku dan membuatku ingin sekali langsung menancapkan taringku di lehernya. Mungkin karena aku baru pertama kali bertemu dengannya?" Mark mengangkat bahu, ragu dengan hipotesanya sendiri.

Semuanya terdiam melihat Mark yang tiba-tiba begitu serius, menanti kelanjutannya.

"Anehnya dia tak takut—dia malah terlihat mengkhawatirkanku. Aku bilang aku harus pergi dan saat itulah angin berhembus dan membuat aromanya semakin tertangkap jelas. Aku menyuruhnya untuk terus berjalan di koridor lalu belok kanan—asrama White. Aku pergi setelah itu, cepat-cepat berubah menjadi kelelawar. Aku tahu dia berbalik dan begitu ketakutan saat itu, karena dia langsung berlari begitu cepat."

Jeno lagi-lagi mengangguk, "Dari cerita Mark-hyung sepertinya anak baru ini tidak tahu jika sekolah ini bukan hanya untuk manusia."

Mark mengangkat bahu tapi menjawab, "Mungkin iya."

"Kita akan buktikan ceritamu besok," suara dingin Jaehyun terdengar setelah hening lama. Mark mengangguk saja, sementara rasa penasaran juga mulai muncul di benak Hansol.

"Aku ingin tahu bagaimana wajahnya."

Mark langsung semangat lagi, "Dia tampan, ah, bukan—tapi manis," katanya sambil tersenyum.

Dan keheningan menyapa lagi. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua, masih ada beberapa jam sebelum kelas di mulai. Jeno mulai membuka bukunya lagi sementara Mark dan Hansol mulai bermain catur di bawah. Jaehyun? Oh, dia masih betah di posisinya, setengah melamun.

Seperti apa sebenarnya 'Lee Taeyong' ini?

.


Tidur malam yang benar-benar singkat untuk Taeyong. Rasanya baru sedetik tadi ia menyamankan dirinya di ranjang, bergelung nyaman dengan selimut tebal sambil memeluk bonekanya, tapi sekarang dia sudah terpaksa untuk mengakhirinya mimpinya dan bersiap-siap masuk kelas di hari pertamanya sekolah.

Meski terbangun dengan posisi terduduk di atas ranjang, jiwa Taeyong nampak masih mengawang-ngawang entah kemana dan bagaimana. Matanya terbuka sedetik lalu tertutup perlahan—tubuhnya mengerjap dan matanya terbuka lagi lalu tertutup perlahan lagi, terus seperti itu sejak ia di bangunkan salah satu teman sekamarnya—yang jika tidak salah bernama Kun.

"Hoam…" Masih dengan posisi memeluk bonekanya, Taeyong menguap lebar-lebar sementara ketiga teman sekamarnya mungkin sekarang sedang mandi saat ia bahkan belum sepenuhnya sadar dari mimpi. Ia ingin menyusul yang lainnya ke kamar mandi dan bersiap masuk kelas—tapi dirinya benar-benar masih mengantuk. Salahkan ia yang tak bisa menemukan kastil ini lebih awal sehingga membuatnya sampai tengah malam lewat. Padahal 'kan biasanya, sebelum pukul sembilan pun dirinya sudah terlelap di ranjangnya setelah menghabiskan segelas susu sebelum tidur buatan sang ibu.

Ah, mengingat itu membuatnya jadi rindu rumah. Ia rindu suara ocehan ibunya yang membangunkannya dan tepukan sang ayah di bahunya tiap pagi.

Padahal baru sehari…

"Ah iya!" Taeyong langsung terlonjak begitu tiba-tiba dan tergesa mengambil kopernya. Ia membuka isinya dan merogoh mencari sebuah benda yang adalah ponsel miliknya, menemukannya dengan cepat. Ia langsung mengetikkan sebuah pesan untuk ayah dan ibunya.

Itu atas permintaan mereka, menghubungi atau paling tidak mengirim pesan saat ia sampai—yang ia lupakan kemarin malam.

'Aku sudah sampai dengan selamat sejak semalam, tak perlu cemas. Ibu, ayah, aku rindu kalian,'

—kira-kira begitulah isi pesan itu. Ia segera mengklik 'send' tapi beberapa detik berikutnya ada laporan 'failed'. Ia mencobanya lagi hingga tiga kali dan semua hasil hasilnya sama; failed.

Taeyong merengut heran sambil mencobanya terus dan terus. Alisnya mengerut heran. Kenapa tidak bi—

"Percuma saja kau menggunakan benda itu di sini," sahutan tiba-tiba dari arah pintu membuat Taeyong sedikit tersentak—diam-diam dalam hati berfikir kenapa semua orang di sini gemar sekali membuatnya kaget seperti itu. Taeyong melihat seseorang di sana, seorang pria atau mungkin wanita tomboy? Oh iya tak yakin. Karena wajahnya imut sekali.

"Lihat sinyalnya," sahut sosok itu lagi sambil berjalan menuju lemari, membuka salah satu pintu yang Taeyong bisa melihat nama 'Ten' tertempel di depan pintu itu.

Dengan segera Taeyong mengecek handphonenya, melihat sinyal—

"Tidak ada sinyal di sini?" tanya Taeyong keheranan. Kenapa bisa?

"Begitulah," sahut sosok itu lagi, pendek. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan hal ini sehingga ia bisa sesantai itu. Berbeda dengan Taeyong. Dia sunggung terkejut. Tidak ada sinyal handphone, berarti ia tidak bisa menghubungi orang tuanya, "Jangan bilang tidak ada TV? Radio? Internet?" tanyanya lagi, berharap mendapat jawaban yang merupakan sebuah gelengan.

Tapi pria ini malah mengangguk—menghapus harapannya, "Alat seperti itu tak bisa digunakan di sini," tanyanya dengan nada datar dan ekspresi aneh menatap wajah Taeyong, memandangnya seakan-akan dia adalah makhluk luar angkasa yang langka.

Oke. Pria ini memang imut dan manis tapi benar-benar menyebalkan dan Taeyong ingin melemparinya dengan sepatu—yang tentu saja tak ia lakukan. "Aku hanya bertanya." Taeyong kesal.

"Dan aku hanya menjawab," balas Ten lagi. Dia melirik Taeyong, dan senyum sinisnya kembali diperlihatkan. "Kau belum bersiap? Dasar pemalas," sindirnya.

Taeyong ingin menangis sekarang!

Bukan. Bukan karena tersinggung dengan kalimat terakhir yang dilontarkan Ten. Ia ingin menangis karena ia tak bisa menghubungi orang tuanya sekarang. Tak ada sinyal di sini!

"Ayah... Ibu…" gumam Taeyong begitu pelan sambil memeluk bonekanya erat. Ia begitu merindukan mereka—dan mengetahui fakta ia tak bisa menghubungi mereka membuatnya sedih.

"Lebih baik kau bersiap, sarapan akan mulai lima menit lagi," ujar Ten yang telah siap dengan seragamnya. Kini berusaha merapikan rambutnya sambil bercermin.

Taeyong meliriknya, mengamatinya—mengamati seragamnya, "Kenapa seragamnya warna putih? Kukira hitam," ucapnya refleks. Ia teringat pakaian Mark kemarin malam. Modelnya sih sama dengan yang ia lihat dipakai Mark semalam, dengan sulaman huruf 'NCT' berukir artistik dengan benang emas di bagian dada kiri—tapi warnanya putih, bukan hitam.

"Jadi kau sudah tahu sekolah ini punya dua seragam?" tanya Ten yang sepertinya sudah selesai dengan kegiatannya. Cukup kaget.

Taeyong menyerhit. "Dua seragam? Maksudnya?" Taeyong benar-benar tak mengerti dengan semua itu.

Apa mereka mengganti warna seragam mereka di hari tertentu? Atau bagaimana?

"Oh… rupanya kau tidak tahu," sahut Ten lagi, santai, "Doyoung belum memberitahumu?"

Beritahu apa mak—

"Astaga! Kau belum mandi?" Sosok Doyoung muncul di balik pintu kamar mandi dengan seragam lengkap yang sudah rapi, "Kukira aku sudah menyuruh Kun untuk membangunkanmu ta—"

"—Kulakukan kok." Sosok lain muncul, memotong. Ah, Kun, pemuda yang tadi membangunkannya.

Tak tahu harus bagaimana lagi, Taeyong hanya senyum-senyum setengah meringis. Salahkan dia yang terlalu banyak membuang-buang waktu dengan hal tak penting tadi. "Aku akan pergi mandi sekarang," katanya sambil menyimpan bonekanya, melangkah turun dari ranjang, menuju kamar mandi.

"Itulah yang harus kau lakukan dari tadi," Ten berkomentar dengan nada datar.

"Iya… Iya…" katanya sambil membuka knop pintu dan menutup pintunya lagi setelah melangkah masuk. Satu kata;

"Wow."

Ia kembali dibuat tercengang dengan kamar mandi ini. Ini sangat bersih dan artistik—ia sampai bosan mengatakan kata yang satu ini. Di ruangan ini ada empat bilik dengan papan nama di masing-masing pintu. Di depan bilik masing-masing terdapat sebuah westafel dengan cermin besar menempel di dinding.

Belum sempat berlama-lama menikmati kemewahan kamar mandi ini suara Doyoung kembali terdengar dari luar, "Taeyong! Mandi! Jangan bengong!"

Uh. Kenapa Doyoung tahu dia sedang terbengong? Apa dia juga punya pengalaman dengan ini sebelumnya? Sepertinya begitu…

"Taeyong!"

"Iya!"

Dan Taeyong langsung memilih masuk ke bilik berpapan nama 'Taeyong' karena tak ingin mendapat lebih banyak teriakan lagi. Lama-lama ia bisa menganggap Doyoung sebagai ibunya. Mereka sama—setidaknya dalam urusan menyurhnya ini itu.

.


Pemandangan yang langka, empat orang sekaligus murid Black datang ke Cafetarian yang biasanya tak menjadi salah satu dari list tempat yang akan mereka kunjungi. Mereka berdiri tak jauh dari pintu—tentu saja dengan pandangan aneh dan berbeda-beda dari murid-murid dengan pakaian White yang tengah sarapan di sana.

"Sepertinya bukan hal yang tepat kita menunggu di sini, hyung," Jeno bersuara setelah sekian lama diam, merasa risih dengan semua pandangan yang mengarah padanya—pada mereka. Tak sedikit dari mereka yang memandang jijik atau takut dan ekspresi lainnya. Ia juga bisa melihat beberapa siswa yang berbisik secara terang-terangan dengan suara yang sengaja dikeraskan. Benar-benar membuat risih.

Lain Jeno, lain dengan yang lain. Tak ada yang menyahut ucapannya. Mark malah menebar senyum lebar ke mana-mana. Jaehyun diam bersandar ke dinding dengan tangan di saku, sementara Hansol berdiri tak jauh dari Jaehyun, tidur—tentu saja hanya menutup matanya—sambil berdiri.

"Hyung—"

"Diamlah, Jeno." Suara itu mau tak mau membuat Jeno diam seketika. Itu suara Jaehyun, dan apa yang ia katakan harus selalu dipenuhi. Selalu seperti itu. Jeno mendesis.

Hening…

"Cepatlah kalian! Kita sudah kehabisan sepuluh menit waktu sarapan!"

Mereka datang…

Jaehyun yang pertama bereaksi. Tubuhnya yang tadi menyender ke dinding sekarang berdiri tegak.

Aroma itu… aroma yang dikatakan Mark itu… bisa mereka rasakan dari sini. Hansol dan Mark berpandangan—sama-sama mulai bernafas cepat. Jeno mengepalkan tangannya kuat, sementara Jaehyun tanpa mulai menancapkan kuku jarinya di dinding dengan sebelah tangannya.

"Tenanglah, Ten. Makanan itu takkan lari."

Mendekat… Semakin dekat…

"Apapun katamu, Kun!"

Keempatnya menghirup udara dalam-dalam. Semakin merasakan sesuatu dalam aliran darah mereka memberontak—ingin lepas keluar.

"Cepat kalian ini, lambat seka—"

Langkah cepat Ten langsung terhenti saat ia melihat keempat orang yang sama sekali tak dia harapkan berdiri tak jauh dari pintu, terlihat menunggui seseorang dengan ekspresi aneh mereka. Dia mendesis mengerikan dan menatap mereka garang seakan mereka ini adalah musuh bebuyutannya yang paling berbahaya.

Kun, Doyoung dan Taeyong pun seketika berhenti saat melihat Ten yang seakan membeku—padahal tadi sangat semangat begitu masuk cafetarian. Wajah mereka terlihat bingung untuk sepersekian detik sebelum menatap ke empat orang yang tak seharusnya berada di tempat ini. Kun dan Doyoung langsung mengerti, mereka mengatupkan bibirnya rapat-rapat dengan rahang mengeras. Sementara itu Taeyong semakin bingung dengan semua situasi ini, tapi ia masih berani menyapa Mark sambil melambaikan tangan.

"Hai, Mark."

Tak ada sahutan—hanya lirikan tajam dari Ten dan Kun yang ia dapat, membuatnya merinding. Ada apa ini?

Doyoung maju, berdiri di depan Ten yang terlihat membuang mukanya dengan perasaan muak, "Ada kepentingan apa hingga para Black ini sudi datang kemari?" nadanya terdengar ramah dan ia mengatakannya sambil tersenyum, tapi Taeyong bisa melihat tatapannya begitu tajam dan mengerikan. Apa ini Doyoung?

"Well, kami hanya berkunjung."

Perhatian Taeyong beralih ke orang berpakaian hitam yang menjawab dengan begitu tenang, meski begitu dia bisa merasakan kalau pria di depannya itu sama sekali tak sedang dalam keadaan tenang. Taeyong merasa seseorang menatapnya tajam, salah satu dari mereka. Ia merinding lagi.

"Berhenti membual!" Ten mulai hilang kesabaran, wajahnya begitu merah saat ia mengatakan kalimat itu dengan nada tinggi. Kun mencengkram tangannya mencegah melakukan hal bodoh, sementara ia membisikkan kata 'Tenanglah' ke telinga Ten yang tetap tampak tak bisa menahan amarahnya.

"Begitu?" Doyoung kembali membuka suaranya, "Cepatlah pergi kalau kalian sudah selesai, kalau begitu." dan ia melengos menuju salah satu meja yang masih kosong, diikuti Ten yang dengan kasar menepis tangan Kun yang sedari tadi mencoba mencegahnya, menatap mereka dengan pandangan jijik sebelum benar-benar pergi dengan Kun yang mengikuti di belakangnya—tanpa berekspresi.

Sementara itu, Taeyong masih terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Ia masih terbengong tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Ini—membingungkan!

Baru saja ia akan bertanya tapi, "Ma—"

Dia tak bisa menyelesaikan kalimatnya saat ia merasakan tubuhnya di dorong membentur dinding dengan cepat dan begitu keras, membuatnya meringis kesakitan sambil menutup matanya menahan sakit tiba-tiba. Ia kesusahan bernafas dan saat membuka matanya ia sadar seseorang tengah memegangi—mencekik—lehernya dengan begitu kuat.

Alarm bahaya berdenging di kepalanya!

Siapa orang ini?!

"Jaehyun-hyung!" Jeno sontak berteriak. Berpuluh-puluh pasang mata terlonjak tak percaya dengan kejadian itu. Mendengar suara benturan begitu keras dan suara rintihan kesakitan. Mereka semua tercekat.

"Taeyong!" begitupun Ten, Doyoung dan Kun yang kini berdiri dari duduknya dengan wajah pucat pasi, memandang horror.

Mereka kira Taeyong mengikuti mereka tadi!

"T-tolong… Sia-papun tolong a-ku… khhh!" Taeyong menjerit, meronta sekuat tenaga, mencoba menghentikan cekikan di lehernya menggunakan tangannya. Rasanya percuma, tangannya terasa kebas dan gemetaran. Ia takut. Sangat takut.

Aura semakin tegang. Mereka semua shock. Pucat pasi.

"Jaehyun-hyung! Hentikan!" Jenolah satu-satunya orang yang berniat menghentikan sosok mengerikan Jaehyun yang menggila, ia mencoba dan yang ia dapat hanyalah dorongan berkekuatan besar yang membuatnya menabrak beberapa meja.

"KYAAAA!" teriak beberapa gadis saat melihat Jeno terdorong ke meja mereka.

"St…o-p!" Taeyong berfikir napasnya benar-benar akan segera habis, ia bisa merasakan air matanya meleleh begitu saja dari matanya. Ia kesusahan bernafas. Paru-parunya menjerit. Kepalanya pening, dan pandangannya mulai buram.

"P-lea…se…" itulah usaha terakhirnya. Pandangannya mulai menghitam, kepalanya serasa akan meledak meminta oksigen!

Mata Jaehyun menatap mata hitam yang kini mengeluarkan air mata, dan entah kenapa—cekikkannya mengendur perlahan dan terlepas sepenuhnya membuat tubuh lemah Taeyong terduduk di lantai bersandar di lantai. Taeyong seperti mendapat hidupnya kembali, ia menghirup udara sebanyak yang ia bisa sambil memegangi lehernya yang terasa sakit. Bernapas cepat, wajahnya merah.

Sosok Jaehyun berjalan mundur dengan terhuyung—berdiri tak jauh darinya. Tampak kepayahan bernafas sama sepertinya. Ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya yang sedari tertunduk kini terangkat. Dan dengan jelas Taeyong bisa melihat matanya yang semerah darah dan—

taring.

DEG!

Alarm bahaya di kepalanya berbunyi semakin keras. Darahnya terpompa begitu cepat. Tubuhnya gemetaran hebat.

"Hentikan dia! Hentikan dia!"

LARI TAEYONG! LARI! —jerit pikirannya.

Tapi tubuhnya tak bisa bergerak.

Taeyong yang masih dalam ketakutan merasakan tubuhnya terdorong lagi ke arah dinding dengan begitu keras—lebih keras dari yang pertama. "Ah!" Begitu menyakitinya hingga membuatnya menutup mata erat sambil menggigit bibir. Ia bisa merasakan tulang rusuknya berderik.

Taeyong membuka matanya dan merasakan ketakutan berkali-kali lipat lebih besar saat wajah Jaehyun berada sangat dekat dengan wajahnya. Ia bisa melihat dengan jelas… sepasang mata merah darah itu— begitu mengerikan. Tatapannya kosong, begitu liar bagai binatang buas.

Lalu taring, taring yang ia perlihatkan semakin menambah ketakutannya.

Taeyong merasakan lututnya lemas, bahkan mungkin takkan bisa menopang tubuhnya jikalau bahunya tak di dorong ke dinding.

"Mark-hyung! Hentikan Jaehyun-hyung!" Jeno berteriak panik setelah bangkit dari tempatnya—beberapa pecahan dari piring pecah menancap di bagian atas tangan kirinya. Mark berusaha menghentikan Jaehyun, tapi ini sulit karena sesuatu dalam pikirannya menjerit menyuruhnya melakukan hal lain.

"Jaehyun-hyung berhenti!"

Namun hasilnya sama saat Jeno mencoba—tubuhnya terlempar ke atas langit-langit dan mendarat di lantai dengan kekuatan besar. Membuat retakan di lantai itu.

"Taeyong…" Ten hendak melangkah maju, tapi tangan Doyoung menghalanginya. Ten menatapnya tapi yang ia lihat hanya Doyoung yang menatap kosong dengan ekspresi khawatir, menggeleng pelan dengan wajah pucat.

Jeno mencoba lagi dan yang dia dapatkan hanyalah dorongan yang lebih kuat bahkan sebelum ia bisa menyentuh sosok itu.

Jaehyun membauinya di leher, Taeyong tahu itu. Dan itulah yang paling ia takutkan benar-benar terjadi saat ini. Karena melihat situasi seperti ini sepertinya ia tahu makhluk apakah sebenarnya sosok di depannya itu. Degup jantungnya berpacu dalam kecepatan tak normal, benar-benar cepat sehingga ia berfikir mungkin jantungnya akan meloncat keluar. Setiap senti tubuhnya merasakan ketakutan, bergetar—ketakutan itu mengalir bersama aliran darahnya.

Ia menutup mata, dengan air mata yang masih meleleh. Semakin deras.

Takut…

Takut…

Takut…

Ayah, Ibu…

Ia benar-benar berharap bahwa ini adalah lelucon. Hanya lelucon. Tapi ia tahu itu semua tak mungkin hanya sebuah lelucon. Ini semua terlalu nyata dan mengerikan untuk sekedar menjadi lelucon bagi si murid baru.

"Hmm…" Ia merasakan hembusan nafas itu, berhembus dingin di sekitar lehernya.

Semakin dekat…

Semakin dekat…

Dan ia bisa merasakan kulit lehernya robek—

BRUGH!

—bersamaan dengan hilangnya topangannya.

Ia terjatuh, memegangi lehernya dan mendapati beberapa tetes darah di sana, terusap di tangannya yang sekarang bernoda darah. Darah itu tak seberapa banyak, tapi cukup membuat sosok Jeno dan Mark meraung—memunculkan taring mereka dan merusak beberapa barang di sekitar mereka, sebelum—

POFF!

berubah menjadi kelelawar dan pergi. Diikuti satu sosok lagi, Hansol.

"APA-APAAN KAU, JAEHYUN!"

Pandangan semua orang beralih termasuk Taeyong, ia bisa melihat sosok Jaehyun itu terbaring dengan sosok lain yang menduduki tubuh dan menahan lengannya. Meski begitu tatapan tajam bak binatang buas milik Jaehyun masih menatap tajam Taeyong, darah Taeyong lebih tepatnya. Taeyong memeluk lututnya dengan gemetaran tubuh tak kendali—tapi pandangannya tak bisa berpaling. Terkunci pada sepasang mata merah itu. Pandangannya begitu kosong dengan air mata yang terus meleleh. Degup jantungnya masih cepat.

"AAAAAAAAAAAAAH!"

"KENDALIKAN DIRIMU!" Pria di atas Jaehyun kembali berteriak, tapi Jaehyun semakin brutal, mencoba memberontak."SIAPAPUN BAWA ANAK ITU KELUAR!" Pria itu nampak kewalahan, ia terlempar beberapa meter dan berhasil mendapatkan Jaehyun lagi, mendorongnya ke dinding.

Doyoung dan Kun cepat bertindak. Mereka berjalan mendekati Taeyong dan membantunya berdiri. Tapi kaki Taeyong terlalu lemas dan gemetaran sehingga ia tak bisa berjalan. Tubuhnya masih bergetar hebat dengan tangan memegang bekas luka kecil di lehernya. Air matanya tak kunjung berhenti.

"CEPAT!"

GRAAP!

Tubuh kecil yang bergetar ketakutan itu kini berada dalam dekapan Kun yang segera pergi meninggalkan tempat itu secepat mungkin diikuti Doyoung di belakangnya. "Tenanglah…" bisik Kun.

Tapi bayangan mata merah darah dan taring itu masih berada jelas di pikiran Taeyong. Membuatnya tak bisa berhenti menangis dan gemetaran hingga sosok itu tak terlihat.

Setelah mereka pergi, Jaehyun mulai tenang. Pria itu melepaskan pegangannya. Mata dan taringnya sudah hilang, yang tersisa kini hanya nafasnya yang memburu cepat. Matanya menyapu ke segala arah. Dan tatapan berbeda dari orang orang yang melihat dengan jelas kejadian itu dengan jelas ia lihat.

"Temui aku di kantor," itulah kata terakhir yang diberikan pria itu sebelum—

POFF!

Berubah menjadi kelelawar dan terbang keluar.

Jaehyun bangkit, memasang wajah dinginnya dan berjalan pergi setelah merapihkan pakaiannya—seakan tak terjadi apapun. Meski kini, pikirannya kalut.

Ten yang masih berada di sana, mendesis tak suka sebelum pergi juga. Berlari dengan begitu cepat dengan perasaan khawatir meluap.

—o0o—

Taeyong memeluk lututnya dan duduk di ranjangnya dengan gemetaran yang belum bisa ia hilangkan. Pandangannya kosong, trauma dengan kejadian yang baru saja ia alami. "A-apa itu… tadi?"

Doyoung dan Ten berpandangan dan tak ada yang buka suara.

"A-apa mereka v-vam…pire?" napasnya tercekat saat mengatakan kata terakhir. Gemetarannya semakin bertambah hebat dan tangisannya sama sekali belum berhenti, meski kini lukanya sudah dibersihkan dan di plester.

"Banyak yang tak kau ketahui Taeyong," Doyoung mulai bercerita, raut wajahnya tampak sangat menyesal, Ia begini karena ini tanggung jawabnya, "Seharusnya aku mengatakan semua ini lebih awal." Lanjutnya.

"A-apa?"

"Sekolah ini—"

"Sekolah ini bukan hanya untuk manusia," suara Ten memotong begitu saja, di datang dari arah pintu, masuk dan mendudukkan dirinya di sisi ranjang Taeyong begitu juga, "Tapi untuk para Black itu juga—untuk ya… vampire."

DEG… DEG… DEG…

"Ini memang disengaja, pemilik sekolah atau kastil ini punya keinginan membuat manusia dan vampire hidup damai—benar-benar ide bodoh—makanya ia membuka sekolah ini untuk para vampire menjijikan itu melatih menahan nafsu mereka pada kita, darah kita—manusia," Ten terlihat benar-benar terlihat tak senang. Membicarakan ini seakan akan membuatnya muak.

"Jadi… semua murid berpakaian hitam itu benar... v-vampire?"

Ten mengangguk. Taeyong mengalihkan pandangan pada Doyoung dan Kun yang juga mengangguk.

Tiba-tiba ia merasa jiwanya melayang entah kemana bersamaan dengan ia yang menenggelamkan wajahnya pada lutut dan lipatan tangannya. Bagaimana bisa…

Ibu… Ayah…

"Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya—penyerangan siswa Black, benar-benar mengerikan."

Taeyong sudah tak tahu siapa yang bicara, pikirannya kosong. Shock.

"Kurasa, ada sesuatu yang aneh. Jaehyun? bukankah ia menjadi vampire yang selalu bisa menahan nafsunya terhadap darah manusia. Ia darah murni dan hampir semua darah murni mempunyai kelebihan itu."

Gemetaran di tubuh Taeyong semakin menjadi saat ia mendengar nama 'Jaehyun' disebut. Ia menutup matanya semakin rapat—

Cekikan...

Mata merah...

Taring...

Semuanya kembali terbayang begitu jelas di benaknya membuatnya ketakutan. Ketakutan itu menjalari setiap senti tubuhnya seakan-akan bisa membuatnya mati saat itu juga. Membuat dadanya sesak dan kepalanya pening—

"AKU MAU PERGI DARI SINI!"

Ten, Kun dan Doyoung yang sedari tadi berbincang langsung terlonjak kaget, saat mendengar Taeyong menjerit histeris

"AKU MAU PULAAAAAAAANG!"

.


To be Continued

.


MUAHAHAHA.

Aku putuskan buat REMAKE fanfic ini. Karena sungguh sayang sekali jika cerita lama yang sudah berdebu ini tak dilanjut. Waks.

Suka? Gasuka? Aneh? Jelek?

DITUNGGU KOMENTARNYA

Review juseyo~

.

.

P.S.: No plagiat, yah. Jika ada yang merasa pernah membaca fanfic seperti ini tapi dengan cast berbeda (read: SUJU), itu emang saya kok yang buat. Ini memang remake dari account lama. Silahkan cek bio account lama yang baru saja diupdate.

Ppyong~