Kuroko Tetsuya membuka loker sepatunya perlahan.

Bruukk!

Dan seketika banyak amplop-amplop yang menyeruak keluar lewat sela-sela.

Napas berat dihembuskan, ia segera memberekan kekacauan yang terjadi. Surat-surat itu kemudian ditaruh ke dalam tasnya. Dan Kuroko mengganti sepatunya dengan tenang.

Sepanjang jalan menuju kelas, banyak mata yang memandang dirinya dengan tatapan menelanjangi. Tak jarang terdengar beberapa teriakan fangirl di ujung sana.

Kuroko risih. Tapi harus tetap bersabar. Bagaimana pun juga ia harus menjaga imagenya di sini. Kalau tidak, hukuman yang lebih pedih menanti.

Sialan. Mengingat orang itu membuatnya terasa mual. Jika ia bertemu lagi dengannya hari ini, mungkin ia harus meninjunya sesekali tepat di ulu hati. Atau mungkin di wajah saja? Lumayan kan kalau babak belur? Setidaknya bukan hanya Kuroko yang akan menanggung malu.

Kelas 3F.

Kelas yang tersohor dengan barisan pangeran sekolah, dulu.

Ya dulu sebelum,

"KUROKOCCHI! KEMARIN SPONSORKU MEMBERIKAN AKU INI LHO, DIA BILANG DIA INGIN MENJADIKAN KAU PASANGANKU DI EDISI DEPAN! KAU MAU KAN? YA? YA? YA?" dengan bangga, Kise Ryouta mengangkat dress putih selutut. Senyum secerah matahari dilontarkan ke sosok datar yang baru masuk ke dalam kelas.

"Oi baka! Kalau dia jadi model, fansnya makin banyak! Kau mau saingan kita bertambah, hah?" Aomine Daiki, orang yang satu haluan dengan Kise, berdecak kesal di kursinya sambil melipat lengan di depan dada.

"Bukannya aku peduli atau apa. Cukup kalian dan guru itu saja sudah menyusahkan nanodayo." Si hijau yang tadinya nampak acuh sambil membaca buku, kini angkat bicara.

"Benar kata Midorima! Yang penting singkirkan saja dulu guru sialan itu, baru kita bersaing secara sehat! Bukannya itu perjanjiannya?" Kagami ikut menimbrungi.

Raksasa ungu mengangguk, lalu memasukan snack favoritnya ke dalam mulut. Murasakibara sempat menawari Kuroko snacknya, tapi ditolak dengan gelengan.

Maklum, Kuroko bukanlah orang yang hobi makan seperti temannya yang ini.

Setelah duduk di kursinya dengan damai, Kuroko membuka tasnya dan mengeluarkan amplop-amplop itu. Kelima kawannya menatap dirinya dengan tatapan posesif.

"Saingan kita satu sekolah ternyata." Gumam Kagami diikuti dengan anggukan yang lain.

Mendesah kesal, iris sewarna dengan langit tanpa awan didelikan, sinis. "Lebay."

"Lagipula kenapa tidak kau abaikan saja sih surat-surat dari mereka? Kalau ditanggapi seperti itu mah tidak ada habisnya." Sambil berucap, Aomine mengorek telingannya dengan jari kelingking. Bersikap cuek tapi hatinya tetap dongkol.

"Bukan begitu, Aomine-kun. Kalau dikasih ya harus dihargai lah. Memangnya dikira mudah apa buat surat begini." Gerutu si mungil yang sibuk membuka dan membaca satu persatu surat yang ditujukan hanya kepadanya.

"Jadi Kurokocchi senang kalau dikasih surat seperti itu? Kenapa tidak bilang-bilang ssu? Aku juga bisa buat kok!"

"Ya kalau Kise-kun mau ngasih, akan aku baca kok." Kuroko sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari lembaran kertas yang ia baca. Sesekali jari jemarinya menyisir rambut yang menggangu, kemudian diselipkan ke belakang telinga.

Hening sejenak, lima pasang mata terbuai dengan pemandangan gadis—jadi-jadian—yang memukau di hadapan mereka hingga,

"Taiga, Ryota, Shintarou, Daiki, dan Atsushi. Apa yang kalian lakukan?"

Lima kepala pelangi menoleh patah-patah setelah sebelumnya mereka semua membelakangi meja guru hanya agar dapat mengelilingi bangku Kuroko Tetsuya.

Iblis berwujud guru di depan sana, berdiri dengan tatapan bengis. Tidak suka mangsa incarannya dikerumuni oleh predator lain.

"Cepat duduk di bangku kalian. Pelajaran akan segera dimulai. Dan Tetsuya, taruh dulu surat dari penggemarmu itu sebelum aku melayangkan surat panggilan untuk orang tuamu."

Kuroko menggerutu. Sambil memasukkan amplop-amplop itu ke dalam laci mejanya, ia merapalkan segala sumpah serapah yang mungkin akan menimpa makhluk angkuh di depan sana.

Dasar!

Sudah seenak-enaknya mengubah wujud Kuroko menjadi wanita hampir tulen, orang ini masih saja asyik menindasnya. Tahu gitu dulu ia tak akan pernah terpesona pada tatapan heterokom yang menawan itu!

Sialan, Akashi Seijuurou memang ditakdirkan untuk menjadi musuh abadinya!

.

.

Still Hate

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadotoshi

Story © Hanyo4

AkaKuro, Harem!Kuro, MayuNiji.

[1/3]

Warn : Ini adalah ff sequel. Silahkan baca Math and You! Terlebih dahulu agar paham jalan cerita sebelumnya :")))) banyak typo bececeran dan OOC yang tidak bisa ditolerir demi kebutuhan cerita! So, don't push your self to read! Just enjoy it ^^

.

.

Pulang dari rutinitas sekolahnya yang melelahkan, Kuroko kembali dikejutkan dengan keadaan rumahnya yang super ramai akan orang yang berlalu lalang.

"Tadaima." ucapnya sambil mengganti sandal dalam.

"Oh Tetsuya. Baru sampai?" tanya sang calon kakak ipar, Nijimura Shuuzo.

Kuroko mengangguk, mengiyakan lalu memandang pemandangan yang tersaji. "Ini ada apa, Shuuzo-nii? Kok ramai?"

"Itu, Chihiro mau memindahkan beberapa barangnya ke rumah baru yang nanti akan di tempati kami. Kau sudah lihat rumahnya?"

Kuroko menggeleng.

"Tidak besar sih. Tapi lumayan juga. Kan dibeli pakai uang kami sendiri. "

"Memangnya dimana rumah baru kalian? Nikahan masih lama tapi kok pindahannya sekarang?"

Nijimura tersenyum lalu mengelus pucuk kepala Kuroko. "Sebulan itu waktu yang singkat lho. Belum lagi setelah ini ada pergantian kepala sekolah di sekolahmu. Kalau pindahannya setelah nikahan sih kayaknya repot. Kan tau sendiri kakakmu itu bagaimana."

"Shuuzo-nii sudah kayak macam ibu-ibu aja ya. Auranya beda, gak beringas kayak dulu." celetuk Kuroko jujur yang malah mengundang perempatan urat di ujung dahi si pemuda surai arang.

Telapak tangan yang semula mengelus lembut kepala, kini berubah jadi cengkraman. Kuroko mengaduh sakit, meminta ampun dengan tatapan melas yang memikat.

Nijimura terpaku selama beberapa saat. Namun,

"Jangan kira aku sama ya seperti kakakmu, Tetsuya!"

"AW! Shuuzo-nii! Ini kekerasan rumah tangga namanya!"

Bibir atas dimajukan, kesal. "Siapa suruh mulutmu itu asal nyeblak saja? Kalau ngomong tuh disaring dulu!"

Setelah Nijimura melepaskan cengkramannya, Kuroko merapikan rambut palsunya .

"Heh? Bukannya diperjanjiannya hanya pakai seragam perempuan di sekolah?" tanya Nijimura dengan nada meledek.

"Iya memang. Sebentar lagi juga aku akan kembali ke wujud asliku." Kuroko melenggang pergi menuju kamarnya di lantai dua. Tatapan Nijimura sama sekali tidak lepas dari sosok itu meskipun punggung si biru sudah menghilang dari pandangan.

"Jangan bilang kau mau menikung adikku?" desis Mayuzumi yang tiba-tiba sudah berada di belakang Nijimura.

Pemuda berhelai arang bergidik sesaat. "Sialan kau! Bisa tidak muncul dengan normal?"

Mayuzumi merotasi matanya, malas. "Coba sebutkan bagaimana lagi cara muncul dengan normal selain lewat pintu?" ucapnya.

Nijimura gondok setengah mati. Walau sudah bertahun-tahun mengenal sosok ini, tapi tetap saja ia tak terbiasa jika lawannya muncul tiba-tiba dari antah barantah.

"Jadi, ada apa menatap adikku lekat-lekat begitu? Mau kuteriaki pedofil?"

"Enak saja. Memangnya aku Akashi apa? Kalau aku pedo, dari dulu adikmu yang kuincar. Bukan kakaknya yang raut mukanya saja menunjukkan masa depan suram!"

.

.

Dari atas balkon, Kuroko memandang truk yang memuat barang-barang sang kak dengan raut hampa. Ada sepercik rasa tidak rela yang menggerogoi hatinya.

Tidak rela, dimana sang kakak yang selalu ada di sisinya, nantinya harus ada di sisi orang lain sampai seterusnya.

Kalau dibilang manja sih, iya. Kuroko Tetsuya adalah bocah manja yang segala keinginannya harus segera dituruti. Tapi haruskah sikap manjanya itu bertahan hingga sekarang? Haruskah ia merenggut kebahagiaan orang lain karena sikap manjanya ini?

Helaan napas keluar lagi dari mulut mungil itu.

Sepasang azure kini dilarikan ke arah pintu gerbang dimana sebuah mobil sport merah masuk. Keningnya kian berkerut ketika ia sadar siapa orang yang keluar dari mobil tersebut.

Merasa ada alarm bahaya, cepat-cepat Kuroko kembali ke dalam kamarnya dan menutup pintu balkon.

"Kenapa orang itu bisa ada di sini?" tanyanya kepada diri sendiri.

Rasa penasaran menguasai pikirannya. Tirai putih bersih disibak sedikit agar ia dapat memantau keadaan di luar sana.

"Sudah tidak ada?" gumamnya kecil.

Kuroko memutuskan untuk membaca salah satu novelnya yang ada di atas meja demi mengisi kekosongan. Namun tak lama, pintu kamarnya diketuk dari luar.

"Tetsuya-sama, ada tamu yang mencari anda."

GLEKK!

Kuroko tentu tidaklah bodoh untuk menebak siapa yang sedang menunggunya di bawah. Mendesah kesal, buku yang ada di pangkuannya ditutup. Tungkai kecil melangkah keluar dari kamar pribadinya.

Di bawah sana, Akashi berdiri sembari bersilang lengan.

"Ada apa?" tanya Kuroko ketus.

Akashi menaikan satu alisnya, "Hah?"

Si biru jengah. Manik azurenya menatap nyalang sang lawan. "Ada apa mencariku?"

"Idih. Siapa juga yang mencarimu, sayang? Bilang saja kalau kau yang rindu pada—"

"Tetsuya!" Pemuda berambut secoklat kayu manis, masuk dengan senyum lebar.

Kening Kuroko mengkerut. "Shige-kun? Kau ngapain di sini?"

"Mengunjungimu. Habis sekarang kau sombong sih, jarang pulang ke Kyoto." Ogiwara Shigehiro, teman masa kecil Kuroko datang berkunjung di waktu yang tidak tepat.

Akashi di seberang sana, sendiri. Ia merasa menjadi makhluk yang tersisihkan oleh si mungil biru yang sekarang asyik bercengkrama dengan temannya.

"Oi Akashi!" Mayuzumi keluar dari ruang kerjanya sambil membawa map berwarna biru. "Jangan kira kau bisa ambil kesempatan di sini ya!" tuduhnya.

Akashi merotasi heterokomnya. "Ngapain juga ambil kesempatan? Tuh lihat, adikmu sedang mesra dengan cinta pertamanya." Jari telunjuk menunjuk lurus dua insan yang sedang berbincang asyik sampai lupa keadaan sekitar.

Mayuzumi mengangguk samar. "Oh, Ogiwara toh. Kapan dia datang?"

"Tak lama setelah aku datang." Jawab Akashi singkat.

Map biru disodorkan, Akashi menerimanya tanpa mengucapkan terima kasih. Ia terlalu kesal untuk berlama-lama di Mayuzumi manor itu. terlebih lagi, pujaan hatinya mengacuhkannya dengan mudah.

Huh, awas saja. Hukuman maut di sekolah menunggu.

.

.

Di atas meja makan, suguhan manis tersaji.

Sambil menyersap susu kocok kesukaannya, Kuroko mendengarkan Ogiwara bercerita seputar kehidupan sekolahnya. Terkadang manik si biru berkilat begitu mendengar nama teman-teman masa kecilnya disebut.

"Pokoknya, mereka semua janji akan datang saat pernikahan kakakmu nanti, Tetsuya!" ujar Ogiwara semangat.

Nijimura yang dari tadi diam memperhatikan, kini menyikut lengan calon pasangan hidupnya. "Oi, memangnya kau ngundang berapa orang sih?" bisiknya kecil supaya tidak didengar oleh tamunya yang duduk tepat di seberang mereka.

Secangkir kopi hitam diteguk, kemudian ditaruh kembali. "Kalau dari pihakku sih sekitar seribu lebih, hampir duaribuan lah. Ibuku yang di Kyoto juga mengundang beberapa rekan bisnisnya. Begitu pula ayah di sini. Belum lagi tetangga-tetanggaku yang tinggal di sana." Mayuzumi menatap Nijimura dengan raut heran.

"Pestanya pakai biaya kita sendirikan?"

Mayuzumi mengangguk polos.

"TERUS HABIS ITU KITA MAU MAKAN PAKAI APA? HAH?!" Meja digebrak kasar. Kuroko dan Ogiwara sampai terentak kaget dibuatnya. Begitu pula Mayuzumi.

"Ya pakai nasi lah. Memangnya apalagi?"

Nijimura mengacak surainya kasar. "Tidak adik, tidak kakak, sikap manjanya sama saja. Begini ya, muka pantat panci. Kau pikir ngundang orang sebanyak itu biayanya murah apa? Belum lagi para undangan dari pihakku! Pokoknya aku tidak mau kalau segala pinjam-pinjam uang!"

"Tunggu," Mayuzumi gagal paham akan perubahan mood kekasihnya yang sangat ea rah ini. "Memangnya apa salahnya sih ngundang banyak orang? Toh kalau tamunya banyak, uang goshuuginya pasti juga banyak!"

Hening sejenak, Nijimura nampak menimbang-nimbang pemikiran konyol si kelabu.

"Ada apaan sih, Tetsuya? Kok kakakmu dan pacarnya heboh sekali?" tanya Ogiwara lirih.

Dua buah bahu diangkat. "Tidak tahu." Jawabnya acuh sembari menyesapi manisnya susu kocoknya lagi.

Ogiwara menghembuskan napas panjang.

"Oh iya, Shige-kun. Kau mau menginap di sini? Bukannya kereta terakhir ke Kyoto berangkat setengah jam lagi?"

"Aku baru pulang besok pagi, mumpung sekolahku lagi libur. Malam ini aku akan menginap di rumah kenalanku. Katanya sih, kalian berdua satu sekolah. Ngomong-ngomong kau kenal Sakurai-kun? Sakurai Ryo?"

Kepala bersurai biru langit menggeleng.

"Sayang sekali. Padahal dia kenal kau lho, Tetsuya. Katanya kau populer di sekolah. Memang benar ya?"

Perut Kuroko tiba-tiba mual. Kadang ia agak risih kalau ada orang lain yang mengungkit masa-masa suramnya di tempat itu. "Biasa aja tuh. Mungkin karena aku sempat jadi perwakilan kelas beberapa kali, makanya banyak yang kenal."

"Oh benarkah? Bukannya Kuroko Tetsuya dijuluki—" sebuah gulungan serbet mendarat mulus tepat di mulut Nijimura Shuuzo. Pelakunya siapa lagi kalau bukan si bungsu.

"Eh? Tetsuya? Ada ap—" Ogiwara bingung begitu menyadari aura mencekam yang dikeluarkan oleh si biru.

"Lupakan," senyum kecil dikulum, tapi pemuda kayu manis itu sama sekali tak tertipu dengan keadaan sekitarnya. "Shige-kun sudah mau pulang? Mau kuantar?"

Mengangguk pasrah, Ogiwara jadi merasa terusir dari tempat itu.

Di sisi lain, Mayuzumi terkekeh geli memandang kekasihnya yang berekspresi masam. "Makanya, kalau punya mulut tuh dijaga."

Nijimura berdecak kesal. Tak suka pepatahnya digunakan sebagai senjata yang menyerang tuannya.

.

.

"Kuroko. Kudengar kakakmu yang kepala sekolah itu mau nikah ya? Dengan Nijimura-sensei?" tanya Kagami ketika si biru baru sampai di pekarangan sekolah.

"Iya. Bulan depan pestanya. Mungkin seminggu lagi undangannya baru disebar. Memangnya ada apa, Kagami-kun?"

Si alis cabang mengusap tengkuk belakangnya. Ia jadi agak canggung kalau menghadapi Kuroko versi wanita seperti ini. "Tidak apa-apa cuman mau tanya aja."

"Oh…," Setelah sampai di depan loker sepatu, si biru membuka lokernya sendiri. Entah kenapa ia agak terkejut begitu melihat isinya yang kosong melompong, tidak sama seperti kemarin. Kening pucat mengernyit. "tumben kosong." gumamnya kecil.

"Hah? Ada apa Kuroko?"

Sepatu ganti diambil kemudian dipakai setelah menaruh sepatu luarnya. "Tidak apa, Kagami-kun. Oh iya ngomong-ngomong tumben sekali kau datang jam segini?"

Kagami gugup. "Ah… oh… itu kemarin kebetulan aku lihat ada promo di toko roti. Harus datang pagi supaya diskon. Tapi begitu sampai sudah sold out." Desahan kecewa terdengar.

Kuroko memaklumi. Kawannya yang satu ini memang pemburu makanan murah—tidak seperti si raksasa ungu yang bisa makan saja, Kagami terbiasa untuk hemat. Sebagai orang yang tinggal mandiri, ia belajar untuk menjaga pengeluarannya, sementara kedua orang tuanya lebih memilih untuk tinggal di Amerika sana.

Keduanya jalan beriringan sampai ke kelas.

Kuroko tetap dengan tampang datarnya, menghiraukan segala tatapan yang mengarah kepadanya.

Sementara Kagami harus menahan malu. Mukanya sudah semerah udang rebus!

"Tetsu!" Aomine yang datang entah dari mana, langsung mengalungkan salah satu lengannya ke pundak si adik kandung kepala sekolah. Manik navynya melirik macan di samping dengan lirikan yang mengejek.

Kagami mendengus kesal. Kesempatan emasnya berdua dengan Kuroko dirusak oleh kehadiran mahluk dekil ini!

Apanya yang bersaing secara sehat? Sedangkan kalau ada kesempatan, masing-masing malah saling menjatuhkan.

"Ada apa Aomine-kun?" tanya Kuroko sama sekali tidak risih dengan kelakuan Aomine.

"Kakakmu serius mau nikah?"

Kuroko kembali mengangguk. Sudah bosan menjawab pertanyaan yang sama.

"Kapan?"

"Bulan depan. Memangnya kenapa, Aomine-kun?"

"Hanya penasaran saja. Gak nyangka kalau tampang madesu seperti itu bisa dapat jodoh. Aku kadang jadi bingung, kenapa kakak sama adik kok jauh banget aurany—"

Belum sempat Aomine menyelesaikan perkataannya, sebuah ignite pass kai melayang, mengarah tepat ke ulu hati hingga sang korban meringis kesakitan.

Kuroko terus berlalu, meninggalkan Aomine.

Kagami yang dari tadi cuek, menatap sosok tan itu dengan tatapan mengejek. "Makanya kalau mau cari muka pakai otak dulu." Sindirnya sebelum mengekori sang pujaan hati.

.

.

"Jadi… kenapa sensei memanggilku lagi hari ini? Aku kan tidak melakukan apa-apa. Nilaiku juga stabil-stabil saja tuh." Alis Kuroko berdenyut menatap sosok angkuh di hadapannya. Sudah manggil seenak jidatnya, gayanya songong pula. Masih untung ganteng coba kalau nggak, pasti jodohnya seret.

"Iseng saja. Memangnya tidak boleh apa aku memanggil kekasihku sendiri, Tetsuya?" sebuah senyuman dilontarkan. Tapi Kuroko malah menghindar dan menghadiahi orang itu dengan tatapan jijiknya.

"Sejak kapan aku jadi kekasih Akashi-sensei? Ini sekolah lho. Mohon ya profesionalitasnya dijaga. Kalau tidak ada kepentingan apa-apa aku pamit per—" belum sempat tubuhnya diputar, sebuah telapak tangan mencengram lengannya.

"Siapa bilang kau boleh pergi?"

Kuroko merotasi bola matanya. "Ya ada apa? Buruan, waktu istirahat hampir habis dan aku belum sama sekali menyentuh bekalku."

Akashi menghela napas. "Ambil kursi, kemudian duduk di sampingku sini. Ada hal yang ingin aku bicarakan!"

"Tentang Shuuzo-ni?"

"Sampai kapan kau akan terus mengkait-kaitkanku dengan calon kakak iparmu?"

Kuroko mengangkat kedua buah bahunya acuh lalu menarik kursi kosong. "Jadi?" bokong kenyal mendarat halus di atas kursi lipat.

Selembar kertas diberikan ke sosok mungil itu. "Siapa bilang nilaimu stabil-stabil saja?" desis Akashi dengan nada mencekam.

Kuroko menelan salivanya sendiri begitu melihat tulisan-tulisan yang tercetak di atas kertas.

Duh!

Kok bisa sih?

Bukannya kemarin dia sudah belajar mati-matian di mata pelajaran ini? Tapi kok hasilnya malah menghianati perjuangannya? Rasanya Kuroko jadi ingin menangis.

"Pasti ada kesalahan! Aku sudah mengerjakannya dengan teliti kok! Masa iya cuman dapat lima?! Coba periksa ulang. Siapa tahu sensei salah lihat!"

Kening Akashi berkerut, tak mengerti pemikiran absurd bocah ini. Mana mungkin Akashi salah? Sementara dirinya selalu absolut benar?

"Kau… menuduhku?" tanyanya heran

Kuroko mengangguk mantap—yang sialnya malah terlihat seperti kelinci yang mengumpan diri ke mulut buaya.

Sebuah seringaian tercipta di paras tampan. "Ah, aku tahu. Mungkin dengan cara ini kau bisa mendapatkan nilai yang lebih baik?"

"Apa?" tanya Kuroko ketus.

Si biru sama sekali tidak sadar kalau ia sedang masuk ke dalam tipu daya serigala berbulu domba! Oh, buta kah ia sampai tidak lihat kilatan licik di kedua heterokom itu?

"Bagaimana kalau kita bertaruh lagi?"

Kuroko mendecak kesal. "Aku sudah lelah mengusirmu dari sekolah ini. Jadi sekarang kau mau dengan senang hati menulis surat pengunduran sendiri, sensei?"

"Tentu saja tidak. Baru kemarin aku diangkat jadi pegawai tetap. Kenapa harus keluar sekarang? Kau kira cari pekerjaan itu mudah apa?"

"Ya terus?"

Napas dikeluarkan lewat mulut, Akashi lantas menatap sepasang manik langit cerah tanpa awan. "Kalau kau menang, aku akan mencabut perjanjian konyol kita yang kemarin. Tapi kalau kau kalah, kau juga harus berpakaian seperti wanita dimana pun kau berada termasuk rumahmu sendiri."

Kedua iris azure melebar. Mulutnya ternganga lebar. "Hah?"

Akashi menawarkan senyum rupawan. "Bukankah menarik, Tetsuya?"

"Apa nii-san yang menyuruhmu lagi?"

Pemuda scarlet menggeleng. "Kali ini insiatifku sendiri. Bukannya seru, Tetsuya? Kau kan cantik kalau pakai baju perempuan. Jangan melanggar kodratmu lah."

Bibir semerah cherry digigit demi menahan kekesalan yang kian bertumpuk.

Kalau tidak lihat situasi sih, sudah dari tadi ada sepatu melayang yang menabrak paras menawan—namun mematikan itu.

"Jadi, bagaimana? Tertarik?" tanya Akashi penuh dengan nada meremehkan.

"Tidak, terima kasih!" Kuroko bangkit dari duduknya. Kedua telapak tangan terkepal hebat hingga buku-buku jarinya memutih. "Aku sudah belajar dari pengalaman. Tidak mau lagi ikut-ikutan pertaruhan licik ini!"

Tungkai kecil melangkah meninggalkan ruangan. Kuroko masih punya sopan santun untuk tidak membanting pintu ruangan guru itu.

Di belakang, Akashi terkekeh geli melihat sikap lawannya. "Dasar bocah manja."

.

.

Pulang sekolah hari ini, Kuroko langsung diculik seseorang dengan menggunakan perantara minuman kesukaannya.

Sepanjang jalan, pemuda yang masih berbalutkan seragam perempuan, duduk anteng memandangi jalan seraya menyedot likuid putih manis itu.

"Kok jauh?" tanyanya membuka percakapan.

Si pengemudi melirik sekilas entitas di sampingnya. "Ya kalau yang di dekat kota mah harganya mahal. Wajarlah kalau sedikit jauh. Memangnya kita pengusaha apa seperti ayah dan ibumu?"

"Shuuzo-ni mau banting setir jadi agen perumahan ya?"

"Enak saja! Kemarin kita ngecek-ngecek dulu, gak asal beli. Jadi tahu bagaimana perkembangan harga pemasaran rumah sekarang."

Kuroko mengangguk mengerti sambil terus menyedot vanilla shakenya.

Sepuluh menit kemudian, setelah mobil itu keluar dari jalan raya dan masuk ke dalam jalan-jalan yang lebih kecil, sedan itu ditepikan tepat di depan sebuah rumah bertingkat dua yang nampak sederhana namun asri karena masih ditumbuhi pohon-pohon besar di sekitarnya.

"Sudah sampai!"

Dengan bangga, Nijimura memamerkan rumah barunya ke si calon adik ipar yang terus-terusan menatap bangunan itu dengan tatapan datar.

"Katanya kecil?"

"Siapa bilang! Kemarin kan aku cuman bilang tidak terlalu besar! Jangan dibanding-bandingkan dengan manor megahmu itu!"

Kepala surai langit menatap Nijimura. Sebuah senyuman teramat manis terukir di paras cantik. "Bagus kok, Shuuzo-ni." Ucapnya lembut lalu melangkah masuk ke dalam bangunan itu.

Nijimura terpaku sesaat. "Pantas saja pengagumnya banyak sampai-sampai Akashi jatuh hati. Ternyata memang manis." Desisnya.

Ia mengekori Kuroko dari belakang.

Si biru diam di depan pintu, menunggu Nijimura membuka kunci rumahnya yang ternyata malah tak terkunci.

Mungkin ada Chihiro di dalam. Ujarnya dalam batin.

Namun begitu keduanya masuk, sebuah pemandangan mengejutkan mereka.

Di dalam ruang tamu yang masih cukup berantakan, dua orang pemuda duduk bersebrangan di atas sofa dengan dua cup kopi dari café terkenal di atas meja.

"Okaerinasai, Honey." Dua mahluk dengan warna kontras menyambut kedatangan keduanya dari dalam.

Dan Nijimura dan Kuroko hanya bisa memasang tampang jijik dengan serentak.

.

.

"Nii-san dan Shuuzo-nii beli rumah ini dari Akashi-sensei?"

Kelabu dan hitam legam mengangguk kompak.

Salah satu alis Kuroko terangkat ke atas. "Tidak takut kena sial apa?"

"Heh, jaga mulutmu, Tetsuya. Memangnya dikira aku ini apaan hah?" Akashi menyela. Menghadiahi pujaan hatinya tatapan tajam karena telah menyindirnya secara frotal.

Kuroko tidak menghiraukan perkataan si merah. Ia gencar menanyakan hal ini ke kakaknya beserta calon kakak iparnya.

"Shuuzo-nii tidak CLBK kan? Cinta lama bersemi kembali?"

"Kau kira aku gadis remaja yang sedang fase puber? Sampai-sampai harus jatuh cinta lagi ke iblis di depan sana? Dari pada mengawini iblis, aku lebih baik mengawini tembok yang ini saja." Manik hitam melirik ke pemuda kelabu yang duduk di sampingnya sambil membaca light novel bersampul gadis loli.

"Kalau disuruh memilih sih, aku lebih pilih gadis ini ketimbang kau, monyong." Sahut Mayuzumi datar sembari menunjuk ke arah cover bukunya.

Nijimura berdecak kesal.

Sungguh, tak bisa kah kekasihnya itu sedikit peka?

Nijimura tadi memuji lho. Bukannya menghina!

Tatapannya beralih ke sepasang heterokom itu yang malah terlihat seperti sedang mengejeknya.

"Mumpung kita semua ada di sini, mau makan malam bersama? Di luar tentunya. Kan dapurnya saja belum ada peralatannya." Ucap Akashi sambil berpangku kaki.

"Boleh," Kuroko menyetujuinya. "Tapi di Majiba ya." Azure mengarah ke heterokom dengan tatapan memelas.

"Hei, Tetsuya kau kan tadi sudah kuberikan vanilla shake!" ujar Nijimura.

Bibir si mungil mengerucut. "Satu saja tidak cukup, Shuuzo-nii!"

Mayuzumi menutup bukunya kemudian memandang mantan kouhainya lekat-lekat. "Jangan kira kau bisa ambil kesempatan dari ini, Akashi."

Seringaian samar tampil. Tanpa berkata-kata, Akashi membalas hanya dengan mengangkat kedua buah bahunya.

Apanya jangan ambil kesempatan kalau sudah lihat ada emas di depan mata? Masa iya disia-siakan begitu saja? Kan mubazir.

"Tapi kalau dipikir-pikir, boleh juga makan di luar. Mumpung ini awal bulan, kau yang traktir kami ya, Akashi!"

"Enak saja. Seharusnya kalian yang menraktirku. Sebentar lagi kan kalian yang menikah."

Diam-diam, Kuroko tersenyum ambigu. "Benar tuh, Shuuzo-nii. Akashi-sensei saja yang traktir. Dia pasti punya banyak uang apalagi setelah kalian beli rumah ini darinya!"

Si biru ternyata ikut mengompori. Ya, hitung-hitung balas dendam meskipun tak setimpal.

Masih dengan tampang datarnya, Mayuzumi menyetujui. "Lagi juga yang ngajak siapa tadi?." Ujarnya.

Berdecak kesal, surai semerah darah diacak kasar. "Baiklah, kalau itu yang Tetsuya mau. Tapi tempatnya, biar aku yang pilih."

Kelabu, hitam, dan biru muda mengangguk mantap.

.

.

"Tadi kalian berangat naik apa? Kok tidak ada mobil di depan?" tanya Nijimura membuka percakapan setelah hening beberapa saat.

Tanpa melepaskan pandangan dari jalan raya, Mayuzumi buka mulut, berniat untuk menjawab. "Tuan muda itu ingin coba naik kereta sekali-kali. Ya mumpung belum jam sibuk, jadinya naik itu saja deh."

"Terus mobilmu ditinggal dimana?"

"Sekolah. Niatnya sih tadi setelah berkunjung langsung pulang lagi. Eh ternyata kalian datang."

Dari sela kursi pengemudi dan kursi penumpang depan, Kuroko melongokan kepalanya. "Nii-san sama Akashi-sensei ngapain berduaan tadi? Sedang selingkuh ya?"

Pipi putih pucat dicubit gemas. Pelakunya adalah orang yang duduk tepat di sampingnya. "Jangan asal ngomong ya. Mana bisa aku selingkuh kalau pilihan utamanya kau." ucap Akashi.

Di kursi kemudi, Mayuzumi bergerak gelisah. "Hei jangan sentuh-sentuh adikku! Atau kulempar kau langsung ke jalanan!"

"Kalau kau melemparku sekarang, nanti tidak ada yang mentraktir kalian." Sebuah senyuman angkuh tercetak jelas di paras tampan.

Kuroko tiba-tiba merasa mual. Akashi itu, muka doang yang bagus, tapi kelakuan sekotor loker bajunya Aomine.

"Hei monyong. Dulu kau makan apa sih sampai-sampai naksir iblis ini?"

"Keselek kulit buah durian kali aku yang dulu. Ya ampun Akashi, sejauh apa sih kau berubah?'

Mayuzumi dan Kuroko terkekeh kompak.

Ya siapa yang tidak senang sih lihat sang maha absolut dibully habis-habisan?

"Tertawa saja terus kalian, nanti kita lihat siapa yang paling terakhir bisa bertahan." Aura tidak mengenakkan mulai keluar, memenuhi mobil sedan itu. Mayuzumi sampai harus melonggarkan ikatan dasinya dan sang adik terpaksa kembali duduk bersandar di tempatnya.

"Akashi-sensei sama sekali tidak lucu." Gerutu Kuroko jengkel.

"Terima kasih atas pujiannya, manis."

.

.

Kuroko mengaduk-aduk mangkuk sobanya dengan menggunakan sumpit.

"Makan jangan pilih-pilih, Tetsuya. Kan tadi kau sendiri yang pesan soba." Gemas, Mayuzumi meninggalkan santapannya dan beralih menyuapi sang adik yang nampak ngambek.

Seharusnya Kuroko bisa menebak isi kepala si pemilik heterokom itu!

Sebuah restoran jepang bintang lima, dengan ruangan pribadi yang malah membuat rasa laparnya hilang tiba-tiba.

Kuroko menerima suapan Mayuzumi dan mengunyahnya dengan menatap bengis makhluk di hadapannya.

"Sudah SMA masih disuapi? Tidak malu apa, Tetsuya?" Akashi menyeruput kuah sup tofunya. "Kau membuat orang yang di sebelah sana cemburu." Ujung sumpit menunjuk tepat ke si surai hitam yang duduk di sampingnya.

Nijimura tersentak. "Apa? Jangan asal main tuduh! Bukannya kau yang sedang cemburu, Akashi. Lihat, gadis incaranmu sedang digoda om-om mesu—AW! Jangan asal lempar sendok, Tetsuya! Kalau vas yang di belakang sana pecah kau mau ganti?"

"Shuuzo-nii sendiri yang kemarin bilang kalau mau ngomong disaring dulu. Kalau mata Shuuzo-nii belum rabun, aku ini laki-laki. Bukan perempuan!" pipi pucat dikembungkan. Kuroko membuang muka ketika Mayuzumi menyuapinya lagi.

"Akui saja, Tetsuya. Penampilanmu itu sudah menipu banyak mata orang." Dengan nada santai Akashi kian mengompori seolah dirinya membenci sebuah ketenangan dan lebih suka melihat makhluk biru di seberang sana mengamuk.

Mendecih kesal, pemuda berselimutkan seragam wanita berdiri dari duduknya. "Aku mau pulang!" tubuh mungil dibawa keluar dari ruangan yang mungkin mampu membuatnya terkena penuan dini karena terlalu stress.

"Hei, Tetsuya. Makananmu belum habis ini. Memangnya kau mau pulang naik apa hah?"

"Buat nii-san saja, aku sudah kenyang. Pulang tinggal naik taksi apa susahnya?" Tepat sebelum tubuhnya keluar pintu, sebuah lengan kekar mencegatnya.

Manik biru muda itu melebar.

Entah sejak kapan Akashi sudah berdiri di sampingnya.

"Duduk." Perintahnya dengan nada yang mampu membuat sekujur tubuh Kuroko menegang. Kuroko diseret Akashi kembali ke tempatnya.

Mayuzumi menghela napas berat. "Kalau kau pulang sendiri, bahaya. Bagaimana kalau ada orang jahat yang mengincarmu? Apalagi kalau kau sedang berpakaian seperti ini, Tetsuya?" telapak tangan besar mengelus lembut surai biru muda.

Kuroko mengigit bibir bawahnya.

Sikap Akashi yang tegas tadi, memang menakutkan. Ia sampai tidak mampu untuk menatap mata heterokom itu. Tapi Kuroko tahu, Akashi begitu karena ia lah yang sudah keterlaluan. Bocah Kyoto yang baru dua tahun menetap di Tokyo memangnya sudah hatam jalanan di kota ini? Belum lagi ia selalu diantar-jemput dan tidak memperhatikan seluk-beluk kota.

"Turuti saja, Tetsuya. Kau kan sudah dewasa, jangan bersikap manja. Habiskan makan malammu, setelah ini kita pulang." Nijimura berujar sambil terus menyumpitkan makanannya.

Kuroko menolak suapan Mayuzumi dan memilih untuk makan sendiri supaya sang kakak bisa fokus menyantap makanannya.

Dalam sekejap, aura di ruang makan pribadi itu berubah menjadi tidak mengenakkan.

Dan Kuroko tahu, ini salahnya.

.

.

Setelah makan malam selesai, mereka berpisah.

Akashi memilih untuk pulang sendiri dengan menaiki taksi.

Sementara Mayuzumi dan Kuroko diantar pulang dengan menggunakan mobil Nijimura.

Sepanjang perjalanan, dada Kuroko terasa sesak. Bukan, ia tidak sedang jatuh sakit.

Tapi nyatanya ini lebih sakit daripada sekedar jatuh sakit.

Di jok belakang, Kuroko memilih untuk memosisikan dirinya tidur dengan kaki tertekuk. Tubuhnya memunggungi dua penumpang di depan sana.

Dari salah satu kelereng azure, setitik air keluar.

Kuroko tidak suka melihat Akashi yang tadi. Dan Kuroko juga tidak suka dengan Akashi yang berlaku agak kasar padanya.

Lebih baik Akashi mesum yang membullynya habis-habisan di pelajaran matematika ketimbang Akashi yang ini!

Tubuhnya terlalu lelah hari ini, padahal ia tak melakukan apa-apa.

Perlahan namun pasti kelopak mata itu tertutup, menyambut gelap.

.

.

Kali ini posisinya diganti, Nijimura yang mengendarai, dan Mayuzumi yang duduk di kursi penumpang.

Sesekali kepala kelabu menengok ke belakang, memantau keadaan adiknya yang ternyata sudah terlelap.

"Mungkin tadi aku juga yang salah, karena ikut-ikut mengompori." Ucap Nijimura penuh sesal.

Mayuzumi menggeleng. "Ini bukan salahmu. Tetsuya itu memang orangnya tidak bisa dibentak. Mungkin karena ini masih masa pubernya, moodnya jadi suka naik-turun."

"Adikmu itu, ia memang agak manja. Tapi dia sama sekali tidak melakukan kesalahan. Akashi saja yang terlalu berlebihan menanggapinya." Si hitam mencoba untuk mencairkan suasana.

"Tidak apa-apa," Senyum tipis dikulum. "Tetsuya butuh orang tegas yang bisa mendisiplinkannya."

"Biar kutebak. Orang itu, Akashi?"

Sebuah dengusan keluar. Sepasang kelabu menatap lekat-lekat kekasihnya. "Seperti aku rela memberikan malaikat ke seekor iblis."

.

.

Kuroko sama sekali tidak terkejut ketika mendapati dirinya terbangun di kamarnya sendiri. Kakaknya selalu menggendongnya apabila ia tertidur di sembarang tempat dan bahkan rela menggantikan bajunya.

Tapi mungkin kebiasaan itu harus mulai Kuroko hilangkan dari sekarang. Karena bagaimana pun juga, dirinya sudah beranjak dewasa dan harus bisa mandiri. Nanti kalau kakaknya menikah, siapa lagi yang mau mengurusnya? Ayahnya sibuk mondar-mandir ke negara yang berbeda. Ibunya ada di Kyoto dan kadang harus pergi ke luar juga demi urusan bisnis.

Memiliki segalanya, sama sekali tak menjamin kebahagiaanmu, bung.

Sambil merenggangkan anggota tubuhnya, Kuroko bersiap untuk ke sekolah—masih dengan penyamaran wanitanya demi menepati janji.

Tak sampai dua jam, si mungil sudah duduk rapih di kursi kelasnya.

"Kurokocchi kelihatan lesu ssu? Ada apa? Habis bertengkar lagi dengan kakakmu?" tanya Kise khawatir.

Kepala bermahkotakan rambut palsu yang sama dengan warna rambut aslinya menggeleng.

"Lalu?"

Kuroko mendongkak, menatap sepasang iris madu di depannya. "Kise-kun?" tanyanya polos.

Pipi Kise terasa panas. Tangan kanannya mengusap tengkuk. Sungguh, di hadapan Kuroko dengan mata memelas seperti itu adalah cobaan tersendiri untuk jantungnya. "I—iya?"

"Apa aku ini… anak manja?"

Kise menggeleng cepat. "Kurokocchi tidak manja kok! Kurokocchi baik!"

Tatapan Kuroko kian memelas. "Benarkah, Kise-kun?"

Kali ini kepala Kise mengangguk cepat. "Kurokocchi adalah gadis paling baik yang pernah ku kenal ssu!"

Dalam sekejap, aura Kuroko berubah. "Hah? Gadis?"

Alarm bahaya Kise berbunyi. Saliva ditelan dengan susah payah dan satu langkah mundur di ambil demi menjauhi zona kritis. "Bu—bukan begitu maksudku ssu!"

"Kise-kun."

"Y—Ya?"

"Jangan pernah panggil aku gadis lagi."

"Baik Kurokocchi!"

Setelah Kise kembali ke bangkunya, Akashi masuk ke dalam kelas.

Kuroko menatap lekat-lekat gurunya itu seolah menelanjanginya.

Namun Akashi…

Sama sekali tidak meliriknya.

Dan menganggapnya…

Seolah tidak ada.


To Be Continued


Holla! Masih ada yang inget ff yang sebelumnya? xD jadi tahu dong perjanjian apa yang dibuat akashi dan Kuroko dulu? wwww

sebenernya saya niatnya mau buat os aja dan fokus ke MayuNiji (apalagi pas weddingnya xD) tapi entah kenapa pas ngetik, seolah ada badai datang dan tiba2 buat wordsnya kembung. dan saya juga agak gak rela ff ini tamat begitu saja karena saya jatuh cinta sana semua pairingnya :'((( /yez utang saya nambah.

Yaps sekian dari saya. jangan ditutup dulu, ada bonus sceen/omake di bawah xD

Mind to Review?

Hanyo4


Omake

"Bagaimana keadaannya, Aominecchi? Aman?" Sesekali kepala pirang menyembul dari balik loker.

Aomine mengangguk. "Aman kok, Kagami sudah jaga di depan. Kalau Tetsu datang, ia yang akan mengalihkan perhatiannya."

"Oke ssu." Tangan putih pucat membuka loker yang bukan miliknya. Tumpukkan amplop berbeda warna bejibun memenuhi ruang loker hingga tumpah ke luar. Dengan sigap, Kise memasukkan amplop-amplop itu ke dalam kantung yang ia bawa.

"Sudah belum Kise? Sepertinya Tetsu sudah datang!"

Kise begerak gelisah.

Pintu loker sepatu berlabelkan Kuroko Tetsuya ditutup rapat. Seluruh tindak kejahatannya dibersihkan hingga tak berbekas.

Tak lama ketika target kian mendekat bersama dengan kawannya yang memiliki alis cabang, Kise kabur lewat jalan lain.

Membakar surat-surat laknat ini agar mangsa incarannya tidak terpikat predator lain!

.

.

Kagami memperhatikan Kuroko ketika pemuda itu sedang membuka loker sepatunya.

"Oh... tumben kosong." Gumam Kuroko lirih namun dapat didengar oleh Kagami.

Ada sebersit rasa lega di relung hatinya.

Kise sudah membersihkannya ternyata. Batin si penyuka cheese burger.

Karena saingan mereka bertambah jadi satu sekolah, mau tak mau kelompok pelangi harus bermain cara kotor.