Childern from the future

20XX, Akashi's Mansion

"Nii-chan?" gadis kecil itu menggumam, mencoba menarik perhatian dari bocah yang ada di depannya. Manik emerald-nya memandang punggung Nii-chan-nya dengan penasaran.

"Ssstt! Shinta-chan! Jangan kencang-kencang!" Nii-channya berucap seraya memandang ke arahnya dan meletakkan jari telunjukkan di depan bibirnya menyuruh untuk diam.

Si gadis kecil yang dipanggil Shinta-chan membelalakkan mata besarnya dan lantas menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya. Kemudian, ia mengangguk kecil.

Si bocah bersurai hijau di depannya tersenyum kecil. Kemudian mengelus rambut hitam kelam milik adik manisnya itu.

Aih… adiknya harusnya tidak bisa lebih kawaii dari ini!

Shinta-chan terkikik kecil ketika tangan Nii-channya mengacak rambutnya. Kedua pipinya merona tipis, malu diperlakukan seperti itu.

Setelah adegan manis itu, sang Nii-chan kembali fokus pada kegiatannya yang sebelumnya, menengok ke arah koridor yang sepi. Keningnya mengerut, manik steel blue-nya meneliti sekeliling. Memastikan keadaan mereka saat ini.

Yakin dengan keadaan yang aman, sang Nii-chan pun membalikkan badannya, menghadap ke adik kecil manis nan imutnya yang dengan sabar dan cute menunggunya. Manik besarnya memandang penasaan.

"Pegang tangan Nii-chan, kemudian lari dengan sekuat tenaga, oke?" ujar Nii-chan seraya mengulurkan tangan kirinya. Shinta-chan mengangguk dengan imut, tangan kanannya menyambut tangan Nii-chan-nya.

Menggenggam erat tangan adiknya, Nii-chan bangkit dari posisis jongkoknya, di saat yang bersamaan membantu Shinta-chan untuk bangkit juga. Ia menoleh sekali lagi, kembali memastikan.

"Dalam hitungan ke 3, satu," genggaman tangan Nii-chan sedikit mengerat.

"Dua," Shinta-chan menutup matanya, jantungnya berdegup kencang.

"Tiga, " dan keduanya pun lantas langsung berlari.

Atau lebih tepatnya, Nii-chan berlari dan Shinta-chan tertarik olehnya.

Kedua kakak-beradik itu terus berlari menyusuri koridor yang sepi. Mencoba mencari tempat aman lainnya untuk bersembunyi.

"Pst! Kazu!" suara khas itu lantas membuat Nii-chan berhenti mendadak. Shinta-chan lantas menabrak punggungnya.

"Uh! Nii-chan jangan –" kalimatnya di putus oleh Nii-chan dengan tangan jari telunjuk tangan kanannya berada di depan bibir adiknya. Membuat gadis cantik yang tengah memakai short dress hijau muda itu mengedipkan matanya bebepa kali. Jelas terkejut.

Tak memperdulikan adiknya untuk sesaat, Nii-chan menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seraya menajamkan indra pendengarannya. Mencoba mencari tau asal suara barusan.

"Oi! Kazu-chi! Sini! Sini!" suara berbisik itu kali ini terdengar sedikit lebih kencang. Nii-chan membalikkan badannya. Kembali mencari asal suara itu.

Senyum mengembang dan ekspresi lega akhirnya tepampang di wajah tampannya ketika manik steel blue-nya menangkap sosok yang ia kenal dari balik pintu yang terbuka sedikit.

"Tsubaki-neechan," ucapnya lega ketika gadis yang di balik pintu itu tersenyum. Membuat Shinta-chan lantas menoleh ke belakangnya, memandang tepat ke arah Nii-chan-nya memandang.

"ONee-chan!" serunya cukup kencang, sukses membuat Nii-channya dan Tsubaki membelalakkan matanya.

"Ah! Aku mendengar suara Shintani!" ketika suara teriakan disertai derap kaki itu terdengar, Nii-chan menghela nafasnya.

Aih… adiknya ini….

Tanpa mengatakan apapun, Nii-chan lantas menarik adiknya. Membuat gadis kecil itu terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu.

"Ah! Nii-chan! Sepatuku!" seru gadis kecil itu lagi, kembali terkejut dengan lepasnya sepatu barunya.

"Lupakan saja! Kita tidak bisa tertangkap sekarang!" ucap Nii-chan seraya tetap berlari menuju pintu yang kini terbuka lebar.

Shinta-chan alias Shintani mem-pout-kan bibirnya. Tapi tetap menurut.

Begitu keduanya masuk ke dalam ruangan itu, pintu kayu besar coklat itu pun lantas ditutup. Pada saat yang sama, dua orang bocah muncul dari ujung jauh koridor.

Kedua bocah itu menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari sumber teriakan yang barusan di dengar mereka berdua.

Tidak menemukan siapapun, si bocah dengan dasi putih mendecak kesal.

"Cih! Kita kehilangan mereka!" bocah itu berseru sebal. Kemudian berbalik ke arah bocah yang sudah selayaknya cermin baginya. "Kau sih berteriak!"

Si bocah bedasi hitam menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Senyum 'kuda' refleks dilemparnya.

"Mengomengo, Hoshi-chan." Ucapnya dengan senyum 'bodoh'nya. Malah membuat bocah yang dipanggilnya Hoshi itu semakin kesal.

"Cih, sejak kapan kau belajar bicara begitu, huh Oni-chan no Baka?!" ditanggapi dengan amarah oleh Hoshi, si bocah yang berstatus sebagai kakak dari Hoshi malah semakin nyengir.

Dan Hoshi kembali mendecih.

"Kau terlalu mirip Tou-chan, Haru-nii."

Sementara itu, di dalam ruangan tertutup dan sedikit gelap Nii-chan a.k.a Kazu mencoba mengatur nafasnya. Tubuhnya yang cukup tinggi untuk anak seumurannya menyandar ke dinding ruangan yang cukup kecil itu.

Di sisi lain, Shintani sekarang sedang berada di pelukkan gadis lain.

"Ah… senang bisa bertemu dengan Sora-nee." Gumam Shintani. Membuat si gadis yang tengah di pelukknya terkikik kecil.

"Kami juga senang akhirnya bisa kembali bersama lagi." Ujar si gadis cantik yang dipanggil Sora-nee itu. Sebelum kemudian menoleh ke arah Tsubaki yang tengah mengintip keadaan sekitar. "Bagaimana?"

Tsubaki menggelengkan kepalanya tanpa menoleh.

"Si kembar masih ada di ujung koridor, tapi belum tentu kita aman. Ayo segera masuk." Ujar Tsubaki seraya bangkit dari posisinya. Gadis cantik itu kemudian merogoh tas selempangnya, mengeluarkan ponselnya guna menyalakan flash.

"Ayo." Ujar gadis itu seraya bejalan masuk lebih jauh ke dalam ruangan kecil itu.

Sebenarnya Kazu ingin bertanya lebih jauh lagi, tapi, berhubung situasinya tidak mendukung, ia lebih memilih mengikuti gadis berambut biru gelap panjang itu. Sementara Shintani dan Sora-nee sudah mengikuti dari belakangnya.

"Ne, Tsubaki-nee," panggil Kazu, Tsubaki hanya begumam kecil. Yang Kazu anggap sebagai tanda bahwa ia mendengarkan.

"Apa semuanya ada di sini?" Kazu bertanya, yang dijawab dengan anggukan kecil dari gadis yang biasanya super cerewet itu – bahkan lebih cerewet dari Okaa-chan-nya. Kening Kazu berkerut.

"Benarkah?" petanyaan itu tidak dijawab Tsubaki. Gadis itu malah tiba-tiba berhenti di depan sebuah pintu dan mengetuknya.

"Reo-chi! Basa-chi! Ini aku, ssu." Ujar si gadis bersurai deep blue itu. Yang tidak dibalas dengan sahutan dari dalam, tetapi pintu yang terbuka.

Dari balik pintu yang terbuka itu, surai biru langit mencuat dari dalam. Kemudian manik merah terang besar menatap ke arah mereka semua.

"Okaeri, Kazuhiko-nii, Shintani-chan." Ujar bocah itu dengan suara datar, yang di sahut dengan 'kya' kecil oleh Tsubaki.

"Ah! Yuua-chi! Kau imut sekali sih!" Tsubaki ber-'kya' ria. Kedua tangannya terentang guna memeluk bocah yang sebagian tubuhnya masih di balik pintu itu.

Sayangnya, belum sempat Tsubaki memeluk bocah imut itu, seseorang sudah menariknya dari jangkauan Tsubaki. Membuat gadis itu memeluk angin.

Tsubaki lantas mem-pout-kan bibirnya dan menoleh ke samping. Men-death glare orang yang seenak jidatnya mengambil Yuua dari jangkauannya.

"Reo-chi! Kau tidak seru, ssu!" si bocah yang dipanggil Reo itu memutar manik light blue-nya. Jelas sudah bosan dengan kalimat yang hampir selalu terlontar ketika kejadian seperti ini terjadi.

Mengabaikan ocehan Tsubaki, Reo menolehkan kepalanya ke arah dua sejoli yang baru saja bergabung.

"Yo, Kazu, Shintani." Ujar bocah itu seraya mempersilahkan kedua kakak beradik itu masuk ke ruangan.

"Yo, Reo-chan, Yuua-chan. Senang akhirnya bisa bertemu kalian semua." Ujar Kazuhiko seraya mendudukkan dirinya di karpet yang ada di ruangan itu dan menghela nafas.

Ah… begini lebih baik.

"Ku pikir kalian sudah tertangkap oleh Haru-nii dan Hoshi-nii. Mereka 'kan jago kalau soal permainan tangkap menangkap." Kali ini yang besuara adalah seorang bocah cantik yang tengah duduk di kasur besar yang ada di ruangan itu. Sebuah bantal yang ada di pelukkannya hampir membuat tubuh mungilnya sama sekali tidak terlihat.

Kazuhiko menghela nafasnya, kemudian menghempaskan dirinya ke karpet yang lembut di bawahnya.

"Yah, aku juga bepikir seperti itu, Zumi-chan. Tapi karena hari ini aku memakai lucky item-ku," Kazuhiko mengangkat salah satu kakinya, menunjukkan sepatu putih dengan garis hijau keluaran pabrikan ternama yang tengah ia pakai, "itu tidak mungkin terjadi, nanodayo!"

Reo mendecih pelan.

"'Nanodayo'? sejak kapan kau ikut-ikut Otou-chan-mu?" tanya seorang bocah berambut pirang yang bediri di pojok ruangan. Sebuah buku aneh di tangannya.

Kazuhiko hanya terkikik kecil. Kemudian bangkit dari tidurannya.

"Hehehe… aku hanya bercanda. Tapi aku senang sekali menggunakannya. Seperti kakakmu yang yang menggunakan -ssu-nya, nodayo!" si bocah berambut pirang itu mengangkat bahunya, kemudian kembali memfokuskan diri pada buku yang ada di tangannya, tanda ia mengabaikan Kazuhiko.

Kazuhiko mendecih kecil tak digubris. Sok sibuk sekali dia! Kazuhiko berani jamin, bocah itu tidak membacanya. Cuma liat-liat gambar didalamnya saja karena bosan.

Lagian, sejak kapan Tsubasa jadi suka baca buku, huh?

Menghela nafasnya, kazuhiko mengalihkan pandangannya ke penjuru ruangan.

Manik matanya membesar dengan perlahan. Berbinar, menunjukkan betapa terpesonanya dia dengan apa yang ia lihat.

Barang-barang di ruangan itu sama sekali tidak pernah di lihat oleh Kazuhiko. Mulai dari tempat tidur yang tampak usang dan terus berdecit keras ketika seseorang diatasnya bergerak sampai karpet yang tengah di dudukinya. Semua barang-barang ini tampak asing sekali di matanya.

Tapi, indah sekali.

"Ne, Katsumi-nee," secara refleks Kazuhiko memanggil nama sang putri sulung pemilik mansion itu, yang sejak tadi hanya duduk manis di pojok ruangan membaca bukunya dengan santai –kalau yang ini sungguhan membaca buku.

"Ada apa?" sahutan itu tidak diiringi dengan beralihnya manik coklat si gadis. Tapi, Kazuhiko tidak sedang memandangnya sekarang, jadi untuk apa?

"Ini kamarnya siapa?" Pertanyaan penuh penasaran itu keluar begitu saja dari bibir sang bocah. Manik matanya masih asik memperhatikan setiap barang yang ada di ruangan itu.

Kali ini Katsumi mengalihkan perhatiannya dari buku miliknya. Manik coklatnya menatap ke arah Kazuhiko. Sebelah alisnya naik.

"Aku tidak tau. Tapi sepertinya kamar ini milik leluhurku atau semacamnya. Well, bagian sini memang sudah ada bahkan sebelum Kakek lahir." Katsumi menjelaskan, Kazuhiko ber-oh ria.

"Memangnya kenapa?" kini balik Katsumi bertanya. Yah, jangan salahkan dia. Kazuhiko itu orangnya cuek dengan sekelilingnya. Jadi cukup mengejutkan kalau ia bertanya seperti itu.

"Cuma penasaran saja." Kazuhiko berucap seraya bangkit dari tempatnya duduk. Kemudian bejalan menuju satu benda di atas perapian yang menarik perhatiannya. "Aku belum pernah melihat barang-barang seperti ini sebelumnya." Jelasnya jujur. Katsumi kembali menaikan alisnya.

"Tumben blak-blakan, biasanya tsun-tsun." Komentar itu bukan berasal dari Katsumi, melainkan gadis berambut hitam panjang yang ada di sampingnya.

Katsumi memutar bola matanya. "Kau itu satu-satunya orang yang sama sekali tidak berhak berkomentar seperti itu, Aoi." Ujarnya seraya kembali membaca bukunya. Membuat gadis di sampingnya langsung mendelik ke arahnya.

"He? Apa maksudmu, huh?" nada suara gadis itu jelas sekali tersinggung. Tapi katsumi sama sekali tidak menggubrisnya. Sudah kebal.

"Kau sendiri tsundere," ungkap Katsumi tanpa beban sedikitpun. Membuat perempatan kemarahan muncul di kening Aoi.

"Oi! Apa maksudmu?!"

Di sisi lain, duo Haru dan Hoshi masih berada di koridor itu. Mencoba mencari keberadaan siapapun yang ada dalam permainan mereka siang ini.

"Kau menemukan sesuatu?" tanya Hoshi setelah keluar dari sebuah ruangan di sisi kanan koridor. Wajahnya terlihat kesal.

Cih… sejak kapan mereka semua jadi jago bersembunyi sih? Kalau tau begini, ia tidak akan suka rela mengajukan diri sebagai 'setan' tadi.

"Yeah. Dan ini tangkapan yang besar." Mendengar nada suara kakaknya yang berubah lantas membuat Hoshi langsung menolehkan kepalanya ke arah Haru.

Agak jauh dari tempatnya berdiri, Haru tengah berjongkok. Dari posisi tubuhnya, Hoshi jelas tau bahwa apa yang dimaksud tangkapan besar bukanlah mendapatkan siapapun yang ada di permainan mereka.

Hoshi menaikan alisnya, tidak mengerti dengan maksud Haru.

"Apa memangnya?" ia bertanya seraya berjalan mendekati Haru. Nada suaranya sedikit tidak bersemangat.

Haru menyeringai. Kemudian berdiri dan menghadap ke arah Hoshi. Sebuah sepatu perempuan di tangannya.

Kali ini Hoshi mengerutkan keningnya.

"Bukannya itu sepatunya Shintani?" ketika kalimat itu keluar dari bibirnya. Kemudian hening beberapa saat.

Hoshi membelalakkan matanya. Menyadari sesuatu.

Seringai Haru semakin lebar.

"Sepatu Cinderella akan mengantarkan pangeran kembar ketempatnya berada." Ujar Haru yang sukses membuat Hoshi memutar bola matanya.

"Berhenti bicara seperti itu, Baka-nii. Aku baru saja akan memujimu." Ujar Hoshi seraya mengambil sepatu itu dari Haru yang tampak terkejut.

"Eh? Kenapa tidak jadi memuji? Eh? Eh?" Haru bertanya dengan wajah yang tampak kecewa. Membuat Hoshi sekali lagi memutar bola matanya.

'Benar-benar mirip Tou-chan.' Batin Hoshi seraya menghela nafasnya.

"Jadi, di mana tadi kau menemukannya?" tanya Hoshi, membuat wajah Haru yang semula seperti anak anjing yang ditendang pemiliknya berubah serius dalam beberapa detik. Hoshi kembali memutar bola matanya.

Haru berjalan ke arah Hoshi berdiri.

"Di sini. Aku menemukannya di sini." Ujar Haru menunjuk ke arah di belakang Hoshi. "Kalau aku lihat-lihat, tidak mungkin mereka lari ke sisi lain koridor." Jelas Haru, Hoshi mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku sudah memeriksa ruang sebelah," Haru menunjuk ke arah pintu yang ada di sisi kiri ruangan itu dari tempat mereka berdiri. "Tapi tidak ada siapapun jadi,"

Keduanya saling memandang, kemudian memandang ke arah pintu coklat besar yang ada di sisi kanan, lalu balik saling memandang lagi.

Keduanya menyeringai bersamaan.

"Ayo kembalikan sepatu ini pada Cinderella."

"Oi! Kau bilang aku tidak boleh mengatakan hal itu!"

.

.

.

Kembali ke dalam ruangan itu, Shintani tengah duduk di sofa besar yang ada di pojok ruangan. Wajahnya tampak sedih dan terus memperhatikan kakinya.

Yuua yang menyadari itu pun menghampirinya.

"Ne, Shinta-chan, kau baik-baik saja?" tanyanya dengan kepala dimiringkan. Manik matanya memandang ke arah Shintani.

Shintani menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Yuaa-kun. Sepatuku hilang." Ujar Shintani dengan nada sedih. Kepalanya tetap memandang ke arah kakinya.

Yuua terdiam, tampak berfikir.

"Ah, kau mau pakai sepatu cadanganku?" Shintani menaikan kepalanya, memandang ke arah Yuua yang kini tengah membuka tasnya.

"Sepatu cadangan?" Shintani bertanya dengan nada sedih yang bercampur bingung. Yuua mengangguk mengiyakan.

"Mommy menyiapkannya untukku. Kalau-kalau aku tidak nyaman dengan sepatu baruku." Jelas bocah berambut biru itu. Shintani be-oh ria.

Ternyata bukan hanya dia dan Nii-chan-nya saja yang pakai sepatu baru hari ini.

Setelah beberapa saat, Yuua pun mengeluarkan sepatu dari dalam tasnya. Kemudian ia menaruhnya di lantai. Sementara Shintani turun dari sofa.

"Apa tidak apa-apa?" Shintani bertanya dengan nada cemas. Yuua menganggukkan kepalanya.

"Ne, tak apa. aku sudah nyaman dengan sepatuku." Ujar Yuua dengan senyum kecil. Shintani mengangguk. Kemudian melepaskan sepatunya yang tinggal sebelah dan memasangkan sepatu Yuua yang, untungnya, pas dengan kakinya.

"Bagaimana?" tanya Yuua setelah Shintani berdiri.

"Hm. Tidak apa-apa. Arigato na Yuaa-chan!" ujar Shintani dengan senyum yang merekah dan pipi yang sedikit merona. Yuua mengangguk, senyum kecil terulas di bibirnya.

Di sisi lain, Reo dan Kazuhiko yang memperhatikan ikut tersenyum.

"Aww… kawaii!" ujar Kazuhiko. Jelas begitu terpesona dengan apa yang baru saja di lihatnya. Reo mengangguk. Senyum juga terulas di bibirnya.

"Apanya yang kawaii? Tidak sama sekali untukku, ssu!" Tsubaki, yang sedari tadi juga memperhatikan, menyahuti. Wajahnya tampak masam.

"Kau cemburu." Kazuhiko dan Reo berucap bersamaan. Sukses membuat Tsubaki tersentak dan lantas mem-pout-kan bibirnya. Kedua pipinya merona tipis.

"Tentu saja aku cemburu, ssu! Bayangkan saja kalau kalian –"

BRUK

Suara benda jatuh itu lantas membuat mereka semua terdiam. Beberapa diantara mereka bahkan membelalakkan kedua mata. Telinga mereka terpasang dengan jeli. Mencoba mencari tau suara apa itu.

Sementara itu, tak jauh dari sana, tampak Hoshi sedang mencoba bangkit dari jatuhnya. Sementara Haru mencoba menahan tawanya.

"Ck, jangan tertawa, Baka-nii!" ujar Hoshi. Giginya gemeletuk menahan rasa kesal. Tapi sepertinya tidak cukup untuk menakutkan Haru.

"Hihiihi, habisnya kau ini." Haru akhirnya tak bisa lagi menahan tawanya. Suaranya cukup untuk menimbulkan urat kekesalah di kening saudara kembarnya.

"Cih, Aho!" satu pukulan mendarat di kepala Haru. Membuat bocah itu mengerang kesakitan. "Jangan berisik!"

Ucapan yang jelas kesal itu tak dihiraukan oleh Haru. Bocah itu masih tertawa kecil diantara ringisan kesakitannya itu.

"Sudahlah," setelah tawanya berhenti, Haru berucap. "Mereka sudah tau kok." Seringai kecil mengembang di wajahnya. Membuat Hoshi menaikkan sebelah alsinya. Tidak mengerti.

Di sisi lain, di dalam kamar itu, sedang terjadi kekacauan. Berkat suara itu, mereka tau bahwa mereka semua dalam bahaya.

"Aaaaa! Bagaimana ini, ssu? Bagaimana, ssu?!" Tsubaki berjalan berkeliling. Memutar otak guna mencari jalan keluar dari ruangan ini tanpa mereka ketahuan oleh si kembar. Begitu juga dengan anak-anak lain yang seusia dengannya.

Sementara mereka yang lebih muda hanya bisa duduk mendengarkan seraya menahan kepanikan.

Ahh…. Kenapa mereka bisa melakukan seperti ini.

"Ne, Minna-chin!" tiba-tiba, suara khas itu menginterupsi kepanikan dan kekacauan yang sedang terjadi. Sontak saja menarik perhatian dari sebagian mereka.

"Ada apa, Noa-kun?" Yuua, sebagai satu-satunya diantara adik kecil yang tidak mengalami kepanikan, bertanya. Ia menolehkan kepalanya ke arah Noa yang sedang menunjuk ke sebuah pintu kecil yang terbuka.

"Zumi-chin menemukan ini, ayo lewat sini." Ujarnya seraya menunjuk pintu itu. Yang tampak gelap dari mata yang melihat.

Para kakak a.k.a yang lebih tua saling melempar pandangan. Merembukkan keputusan ini. Sementara para adik sepertinya sudah tidak peduli lagi dan mengikuti kemana Noa pergi.

"Hei kami mau mengantar sepatu milik Shintani!" suara Hoshi terdengar, menyentak para kakak. Secara refleks, mereka langsung berlari ke arah pintu kecil itu, sampai menimbulkan suara gaduh yang membuat Hoshi dan Haru di luar menyeringai.

Hoshi memandang Haru, yang balas memandang kembarannya dengan pandangan yang sangat khas, memberi kode untuk membuka pintu kamar itu.

Satu

Dua

Tiga

BRAK

"HUAA!" mereka kompak berteriak ketika pintu itu terbuka sepenuhnya, menyentak Tsubaki yang sudah setengah masuk ke dalam pintu itu.

"Hei! Tsubaki ketemu!" seru Hoshi, tapi tidak digubris Tsubaki yang langsung masuk ke dalam pintu itu. Membuat Hoshi dan Haru lantas langsung berlari ke arah sana.

"Hey tunggu!" seru Hoshi dan Haru bersamaan. Kemudian secara bergantian memasuki pintu itu.

Sayangnya, yang mereka lihat bukan Tsubaki atau siapapun. Tapi kegelapan hebat yang lantas membuat keduanya terbelalak.

"HUAAAA!"

.

.

.

.

.