caffeineaholic (kb.) orang yang kecanduan kafein. Hal ini dapat digunakan untuk menggambarkan siswa yang harus tetap terjaga dengan minum banyak kopi untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.

atau dalam kasus kali ini, Yoon Jeonghan yang kecanduan pada kopi dan prinsipnya yaitu, kopi itu sama dengan cinta.

.

Dan, oh, apa kalian tahu kopi juga bisa jadi saksi drama yang menyedihkan?

.

.

.: _ :.

Caffeineaholic

{Versi Bahasa Indonesia dari Coffee di Asianfanfics (AFF)}

.

Disklaim:

SEVENTEEN/17 © Pledis Intertainment

Original Character/s © Authlene

Pairings:

(main) Jeongcheol/SeungHan, Meanie/GyuWon

(side) SoonHoon/HoZi, VerKwan/BooNon, JunHao/Chinaline, SeokChan/DKDino, JisOC

(slight) SeungSoo/CheolSoo, GyuHan, WonOC

Peringatan:

Berisi konteks homoseksual, kesalahan dalam penggunaan EYD, diksi yang kurang tepat dan/atau membingungkan, alur yang terlalu lambat/cepat, perpindahan sudut pandang yang tidak teratur, serta berbagai kekurangan lainnya yang mohon dimaklumi.

.

[Perhatian!]

Fanfiksi ini tidak untuk mendapatkan keuntungan materil dalam bentuk apapun. Hanya untuk penyaluran hobi.

.

Selamat membaca! (っ'ω'c)*

.

.: _ :.

1 . 0 | frappé

cemburu rasanya seperti apa?

.

.

[Yoon Jeonghan.]

Siang itu, langit tampak cerah—teramat cerah, malah, sampai matahari dapat bersinar dengan teriknya dan memaksaku mencari tempat duduk yang pas agar tak terpapar langsung. Padahal, ini seharusnya menjelang musim dingin dan kemarin tanda-tanda akan datangnya musim itu telah muncul.

Jadi, aku mendongak ke atas dan memberikan tatapan paling membunuhku pada matahari yang tertutup awan selama tiga detik saja, kenapa sekarang rasanya aku seperti tenggelam dalam neraka?!

Sedikit menggerutu dan mengutuk nasib burukku karena kantin terisi penuh meskipun tempat itu berukuran dua kali lebih besar dari gedung olahraga, aku berjalan pelan menuju perpustakaan sambil menenteng laptop di tangan kanan dan tas selempang yang tak tertutup baik di tangan satunya lagi. Oh, jangan lupa sebuah gelas karton berisi frappé dingin yang tinggal setengah. Aku tidak tahu tempat apa lagi yang bisa kudatangi dan pemikiran mengenai perpustakaan tersebut muncul dalam pikiranku entah dari mana. Itu lebih baik daripada tidak ada, jadi kuputuskan untuk berharap tempat itu tersedia.

Untunglah, begitu sampai di tujuan, suasana yang menyambut benar-benar cocok untuk menenangkan diri selepas jam kuliah bersama dosenku tercinta—yap, sarkasme garis keras pada kata 'tercinta' karena aku yakin jikalau membunuh seseorang bukanlah sesuatu yang melanggar hukum, aku akan dengan senang hati mengubur makhluk tidak berperikemahasiswaan itu hidup-hidup. Atau mungkin melemparnya turun ke jurang.

Tidak mau terlalu berharap aku bisa melakukan pembunuhan berencana suatu hari nanti, cepat-cepat saja aku menyeret kedua kakiku mendekati bangku kosong di pojok ruangan. Setelah itu, aku menghamburkan barang bawaanku yang super merepotkan ke atas meja yang hanya diisi diriku seorang. Tentu saja selanjutnya aku bersiap melipat tangan untuk dijadikan bantalan tidur dan mendadak melupakan kehadiran liquid berwarna coklat gelap yang sisa setengah yang tadinya sempat membuatku nyaris menjatuhkan laptop—kesulitan membawa barang dengan gaya absurd.

Namun mendadak, seonggok rambut berwarna coklat dan wajah yang sangat familiar terlihat ketika aku mencoba untuk melihat taman belakang melalui jendela lebar di sampingku. Tentu saja, aku cepat-cepat berbalik—terlalu cepat, mungkin, rasanya leherku salah urat—untuk mencegahnya menyadari keberadaanku. Aku mencoba sebisa mungkin menjadi makhluk paling optimis di muka bumi ini dengan berpikir bahwa orang tadi hanya lewat saja dan tidak akan mengganggu usahaku untuk mendapatkan istirahat yang tenang.

Tapi, yah, seperti yang diharapkan dari hari sialku, tidak sampai semenit, terdengar suara cempreng nan melengking memantul-mantul di dinding perpustakaan yang mengeja namaku seperti jimat keberuntungan.

Secara spontan, aku meletakkan kedua tanganku menutupi telinga untuk menghindari beberapa kerusakan permanen dari suara penuh bencana itu. Tentu saja aku tidak lupa untuk ikut menutup wajahku dengan tas dan mencoba pura-pura tertidur, dalam hati berdoa lebih keras agar cowok menjengkelkan tadi dengan cepat mengambil langkah mundur. Tidak, ralat. Gangguan berjalan tersebut lebih baik mengambil ratusan langkah menjauh dariku dan kehidupan tenangku untuk sisa waktu hidupnya.

Tapi seperti sebelumnya kukatakan, ini hari sialku. Bunyi gedebuk terdengar, menunjukkan seseorang bernama Lee Seokmin—adik tingkatku—mengambil tempat duduk tepat dihadapanku.

"HULO, MALAIKAT INDAHKU TERSAYANG!" teriaknya seolah-olah tengah menyanyikan lagu bernada tinggi yang bisa memecahkan jendela. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Ia melemparkan sebuah kedipan mata yang sialnya kulihat.

Aku menggeram sedikit sambil menyingkirkan tasku ke samping, lalu menatap tajam tampang cowok itu yang malah menunjukkan mimik tanpa dosa dengan senyum lebar. Dengan sekuat mungkin, aku menahan diri untuk tidak melemparkan laptop di sebelahku kepadanya.

"Apa yang menurutmu kau lakukan pada telingaku tercinta, bodoh?! Apakah kau tidak lihat aku sedang mencoba untuk tidur di sini?" ucapku dengan penekanan pada tiap katanya sehingga ia bisa melihat jelas betapa aku lebih berharap ia menyingkir dari hadapanku ketimbang melakukan percakapan saat ini. "Dan ew. Untuk apa kedipan itu? Menjijikkan."

"Kita berdua tahu kau menyukai suaraku, hyung, seperti bagaimana semua orang menyukainya—" Dia tidak bisa menyelesaikan kata-katanya karena aku dengan cepat meraih apapun yang dapat membuatnya berhenti mengomel atau bernapas atau keduanya. Dia berteriak lagi sebagai gantinya. "AW! HYUNG! Itu sakit, tahu!" Dia mencengkeram kepalanya untuk mencegah ciuman lainnya dari ensiklopedia yang kudapatkan dari rak buku di belakang.

Aku memutar mataku. "Salah siapa itu, konyol? Kau hampir membuatku tuli."

Dia cemberut lucu. "Dan kau hampir membuatku gegar otak, hyung. Terima kasih banyak," ia bilang dan kujawab dengan tawa manis sebelum berkata, "Terima kasih kembali. Sayang sekali kau tidak benar-benar gegar otak, yah." Aku pura-pura terisak.

"Kau kejam, hyung."

"Memang."

"Dan penipuan wajah garis keras. Duh, hyung, orang-orang selama ini selalu mengira kau itu malaikat! Sekali-kali, coba dong terlihat seperti malaikat sesungguhnya! Bukan seperti ini—seperti sesuatu yang berasal dari neraka terdalam."

"Aku-YAK! LEE SEOKMIN! KAU BILANG APA TADI?!"

Lee Seokmin berhasil menghindari buku yang kulemparkan padanya, dasar keparat!

Kemudian, dia menyeringai penuh kemenangan sebelum meletakkan jarinya di depan bibir. "Hyung, ini perpustakaan. Jangan berteriak dong," ucapnya tenang meskipun kata-kata yang tertulis jelas di dahinya adalah, "Lemparan yang bagus, hyung! Lebih bagus lagi karena kau meleset!" Lalu tambahkan tawa jahat untuk membuatnya sempurna.

Kuharap aku bisa menculik gangguan berjalan itu, menguncinya di dalam peti mati, dan mengirimkannya ke antah berantah.

'Kau yang berteriak duluan, sialan!'

Sayang sekali aku tidak bisa mengatakan itu kembali kepadanya karena detik berikutnya, aku menyadari seseorang berjalan ke meja kami.

Karena suara tidak-begitu-kecil tadi, kami berhasil mendapat selusin pelototan dari para kutu buku. Tidak ditendang keluar dari tempat itu dengan tidak elit saja sudah merupakan keajaiban dan semua itu karena karena hari ini Lee Jihoon—adik tingkatanku juga—lah yang bertugas mengawas. Ia baru saja kembali setelah menyelesaikan urusannya dengan senat.

"Apa-apaan kalian ini?" gerutunya sebagai ganti sapaan begitu tiba di meja yang aku dan Seokmin tempati. "Ini perpustakaan seperti apa yang tertulis pada papan penanda di atas pintu masuk, kalian lihat sendiri, kan? Ini jelas bukan tempat untuk berteriak di wajah satu sama lain atau saling jambak. Jika kalian ingin bergosip ria atau apapun, pergi cari tempat lain sana!"

Jihoon menatap kami dengan tatapan tajam yang bisa saja membuatku kabur tanpa pikir panjang kalau saja ia tidak menggembungkan pipinya. Mungkin ia melakukan itu secara tidak sengaja, tapi sekarang, aku malah ingin tetap tinggal, menjerit padanya tentang betapa imutnya ia, kemudian mencubit kedua pipinya hingga bengkak.

Tapi, yah, Jihoon memang imut dan itu bukan berarti ia tidak bisa melempari kami satu atau dua gitar. Atau padaku, lebih tepatnya.

Seokmin cemberut lagi. Ia tidak terlihat imut sama sekali. "Aku di sini hanya karena Jeonghan-hyung ada di sini, sungguh, Jihoonie. Kalau hyung mau menemaniku bergosip di halaman belakang, boleh saja, kok." Dia menunjukku dan mengedipkan mata lagi. Kali ini, bahkan Jihoon meringis melihatnya.

"Di halaman belakang terlalu panas dan terakhir kali kulihat, kantin terisi penuh, Jihoonie. Selain dua tempat itu, aku tidak tahu mesti ke mana lagi selain pulang dan aku belum ingin pulang," aku beralasan sambil menunjuk bangunan kantin yang hanya meter dari tempat kami sebagai bukti. "Aku janji tidak akan datang ke sini lima hari ke depan kalau kau mengizinkanku berpuas diri saat ini saja," ucapku kemudian, lebih terkesan memohon. "Kau boleh mendepak makhluk bodoh di depanku ini kalau ingin ketenangan, kok."

"Indah, tapi kejam. Sudah berapa kali kau mengutukku, hyung?"

"KAU BILANG APA TADI?"

Jihoon mengusap wajahnya dan mendesah keras, tampak menyerah dengan omong kosong kami. Hal itu membuatku kadang merasa iba padanya karena sehari-hari harus mentolerir manusia-manusia intolerable sepertiku dan Seokmin—oh, tentunya lebih parah si cempreng tadi. Sebuah keajaiban ia tidak melompat dan merobek tubuh kami saat itu juga tetapi sebaliknya, ia malah mengambil tempat kosong di samping Seokmin.

Jihoon menghela napas, lagi, kemudian meminta tolong padaku untuk mengambilkan salah satu buku di rak belakang. Begitu buku yang ia inginkan berada di tangan, ia tampak ingin mengatakan sesuatu namun gangguan berjalan lainnya dengan kasar memotong ucapannya.

"YA TUHAN, AKU MENCARIMU KE MANA-MANA, JIHOONIE!"

"Aku bersumpah akan menjahit mulut siapa pun yang berteriak setelah ini."

Serentak, aku dan Seokmin meneguk ludah dengan susah payah begitu Jihoon mulai terlihat seperti ia siap untuk benar-benar membunuh seseorang dan menjahit mulut mereka dengan tangannya sendiri. Kami saling bertukar pandangan dan diam-diam setuju tidak ada aksi teriak-teriakan lagi setelah ini. Tapi tentu saja, kesepakatan itu berlaku hanya bagi kami berdua.

"APA SAJA YANG KAU LAKUKAN, HAH?" Kwon Soonyoung, orang yang berteriak tadi dan sekarang, berhenti tepat di samping kami dan memeluk Jihoon erat. Ia kemudian menempelkan pipinya dan Jihoon sebelum mendapatkan tamparan di kepala dari Jihoon sendiri.

"Menghindarimu," balas Jihoon. Ia berusaha mendorong Soonyoung menjauh darinya, tapi seperti biasa, usahanya gagal dengan dramatis. Mereka tampak cukup lucu kalau sedang seperti ini sebenarnya, tapi aku tidak berani bergerak sedikit pun saat ini. Tuhan tahu Jihoon bisa membelah tubuh siapa pun yang membuatnya naik pitam dengan mudah jika ia mau. Nah, siapa pun kecuali Kwon Soonyoung, tentu saja.

Jihoon mendesah keras ketika usahanya menendang Soonyoung jauh-jauh tetap saja tidak berhasil. "Ayolah, hentikan itu, Kwon! Kau mau apa, sih?" sungutnya.

Soonyoung berhenti sebentar lalu tersenyum lebar sampai-sampai kau bisa melihat matanya menghilang ke dalam dua garis tebal. "Aku bosan. Aku mau ditemani!" ucapnya riang.

"Sungguh?" Jihoon mendengus sebelum menyerah. Ia tampak terlalu lelah untuk melayani mode menjengkelkan Soonyoung. "Kalau begitu, duduk diam saja di sini, bagaimana?"

Soonyoung cemberut. Kecewa. "Tapi maksudku hanya kita berdu—"

"Duduk. Sini. Sekarang."

"O... oke," Soonyoung mengangguk seperti anak anjing yang baru saja ditendang majikannya dan dengan enggan mengambil tempat di sebelahku. Aku bisa melihatnya mengucapkan, "Jihoonie membenciku, Jihoonie jahat," tanpa suara sebelum berpura-pura terisak.

Seokmin mencibir melihatnya sementara Jihoon memutar matanya. Serius, hanya Soonyoung yang bisa lolos dengan mudah seperti ini dari Jihoon. Tidak hanya karena Jihoon lelah atau apa dan itu malah membuatnya lebih mengesankan.

Kali ini, aku lah yang gantian menghela napas berat.

Bagus. Gangguan lainnya datang. Benar-benar apa yang kubutuhkan untuk istirahat tenangku.

Ugh, memangnya kenapa aku tidak langsung pulang saja?

Ah, benar.

Jawabannya melintas tepat di depan mataku bersamaan dengan bunyi bip yang berasal dari ponselku di dalam tas. Dengan segera, aku mengambil perangkat itu dan menemukan pemberitahuan satu pesan baru dari kontak bernama 'Cheol'.

Melihat kata tersebut, aku bisa merasakan sesuatu di dadaku retak, terpotong dan bermekaran pada waktu yang sama.

Butuh waktu dua detik bagiku untuk membuka pesan tersebut.

[Hei, Angel. Aku mendengar kau mendapatkan nilai tertinggi dari tes terbarumu. Bagaimana dengan makan malam romantis malam ini? ;)]

Aku tertawa sedikit membacanya dan sudah siap untuk mengirim balasan detik berikutnya, namun suara Seokmin mencegahku melakukan hal itu.

"Bukankah itu S Coups-hyung dan pacarnya minggu ini?" Seokmin menunjuk sesuatu di sebelah kiriku, melewati jendela, dan tepat pada bangunan kantin di mana aku bisa melihat sosok tinggi berambut hitam dan pasangannya. Mereka berdiri saling berhadapan, tersenyum, tertawa, dan jika mataku tidak memainkan trik bodoh, rasanya mereka berdiri terlalu dekat satu sama lain.

"Ya," jawab Jihoon, bahkan tidak berpaling dari buku yang sedang dibacanya. "Pacarnya minggu ini punya nama dan itu adalah Joshua Hong."

Perhatian semua orang berbalik kepadanya, termasuk aku.

"Kau tahu dari mana? Kau bahkan tidak melihatnya." Soonyoung mengerutkan alisnya bingung.

Kali ini, Jihoon mendongak dan menatap kami semua bergantian. "Pertama: aku bertemu mereka sepuluh menit yang lalu dan kedua: bagaimana mungkin kalian tidak tahu? Mereka berita hangat sejak pagi tadi," ia bilang.

"Aku tidak peduli tentang kehidupan cinta 'playboy' terfavorit kampus ini." Soonyoung mengangkat bahu.

'High five, Soonyoungie. Kita sama!'

Bagus, Yoon Jeonghan. Bohong saja terus pada dirimu sendiri karena meskipun kau tidak mau mengakuinya, kau tahu segala sesuatu tentang si playboy brengsek itu meskipun kau tidak menginginkannya.

Seokmin hanya menyeringai. "Woa, bagaimana bisa kau tidak peduli, hyung?" katanya lalu berbalik lagi untuk melihat orang-orang yang Jihoon sebut sebagai 'S Coups ' dan 'Hong Jisoo' tadi. "Maksudku, bukankah kebiasaan S Coups-hyung berkencan dengan seseorang lalu membuangnya begitu saja setelah sekian hari itu menarik dan membuatmu penasaran?"

Aku mendengus. "Yah, yah, menarik." Seolah-olah memainkan hati seseorang kemudian menginjaknya setelah bosan adalah sesuatu yang bisa dibanggakan. Meski begitu, bagian lain dalam diriku setuju dengannya. Bukan menarik, tapi lebih kepada heran kenapa ia melakukan semua ini. Apa yang 'S Coups' itu inginkan, memangnya?

Tak ada yang tahu. Begitu pula aku.

"Tapi bukankah dia masih dengan cewek itu kemarin?"

"Jin Ah-noona."

"Ya, ya. Yang itu. Terserah."

"Mereka putus."

"Setelah lima hari pacaran?" Seokmin meledak tertawa. "Impresif!"

"Impresif apanya?" Jihoon memutar mata. "Ketika aku dengannya, kami hanya bertahan selama dua hari."

Dan saat itulah Soonyoung hampir melompat dari tempat duduknya. "Kau… kau mantannya?!"

Jihoon mengangguk.

"B-bagaimana? Kenapa?!"

"Karena aku mencintainya."

Semuanya terdiam sejenak. Tidak terlalu lama, cukup sampai Seokmin bersiul dan berkata, "Wow, aku bisa mendengar sesuatu yang retak."

Soonyoung memelototinya seolah-olah ia siap untuk membuat apapun yang ada dalam garis pandangnya menyala terbakar, wajahnya definisi sempurna dari penderitaan.

'Dan aku bisa mencium
masalah ditambah tubuh yang terbakar.'

Jihoon menghela napas perlahan. Ia meletakkan bukunya ke bawah sehingga ia bisa menatap Soonyoung secara langsung, tatapannya melunak. "Itu dulu, okay?" katanya, hampir seperti memohon.

Itu tidak membuat Soonyong merasa lebih baik.

"Aku tahu!" teriaknya. "Tapi sungguh? Seseorang seperti dia?"

Butuh tangan pucat Jihoon mengelus pelan punggung tangannya agar Soonyoung bisa merasa lebih tenang.

"Apa yang salah dengan seseorang seperti dia?" Kali ini, justru aku yang menaikkan sebelah alis mendengar kata-kata Soonyoung tadi. "Ada alasan orang jatuh cinta kepadanya. Maksudku, dia punya segalanya: kepintaraan, kekayaan, penampilan yang menarik—bukankah dia ideal?"

Soonyoung tidak memercayainya dan aku tidak menyalahkannya. Seokmin dan Jihoon terdiam, tampak berpikir.

Aku menggigit bibir bawahku sebelum akhirnya berpikir aku lebih baik pergi saja dan mulai mengumpulkan barang-barangku yang berhamburan. Dengan sekaleng frappé dingin di tangan, aku berdiri dan hampir saja melangkah pergi kalau saja Seokmin tidak membuka mulutnya.

"Kalau memang dia seideal itu, hyung, kenapa kau tidak jatuh cinta padanya juga?"

Pertanyaan itu membuatku terdiam cukup lama.

'Sebenarnya, kalau aku punya cukup nyali untuk mengakui betapa pengecutnya aku ini—aku sudah jatuh cinta padanya sejak... entahlah, sudah lama sekali, mungkin. Jauh sebelum ia berubah menjadi orang tak kukenali, seperti playboy.'

Aku tidak mengatakannya keras-keras, tentu saja.

"Hyung?"

"Bukankah sudah jelas?" unggapku akhirnya dengan nada acuh yang dibuat-buat. "Kalian tahu sendiri 'kan, aku sudah punya kekasih."

Seokmin dan Jihoon mendengus serempak ketika aku menyodorkan frappé ke wajah mereka, menyatakan secara gamblang bahwa 'kekasih' yang kumaksud di sini adalah campuran espresso dengan coklat dan susu.

"Dasar addict."Seokmin mengumpat dengan bibir bawah dimajukan beberapa senti.

"Setidaknya, aku hanya akan berselingkuh dengan café au lait, cappuccino, caramel macchiato, atau caffe latte."

Aku melambaikan tangan pelan sebelum melangkahkan kaki menuju pintu keluar. "Bagaimana kalau kalian mengurusi masalah cinta kalian sendiri?" Aku melirik Soonyoung sekilas dan Jihoon meringis. "Sekarang, permisi. Aku punya janji kencan romantis malam ini."

Saat aku berjalan pergi, aku masih bisa mendengar mereka menggumamkan sesuatu tentang keabnormalanku. Itu bukan sesuatu yang baru, jadi aku mengacuhkannya dan terus berjalan sampai mencapai pintu masuk utama. Kelihatannya tidak begitu banyak orang yang masih berlalu lalang, jadi aku bisa dengan mudah melongos pergi. Tapi tampaknya, hari sialku belum berakhir karena begitu aku berbelok, mataku secara otomatis berfokus pada Hong Jisoo, tersenyum cerah bagaikan malaikat, dan Seungcheol yang berdiri beberapa kaki di samping sebuah Ferrari hitam. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dari tempatku, tapi apa pun itu tampaknya cukup serius.

Aku baru saja akan terus berjalan menjauh, melawan dorongan untuk berlari bukannya berjalan, tapi kakiku membeku di detik berikutnya atau tepatnya pada detik ketika Hong Jisoo menempatkan bibirnya di bibir Seungcheol. Menciumnya lembut.

Aku meneguk sisa minumanku dan untuk pertama kalinya, frappé terasa hambar. Terasa menyedihkan, memuakkan.

'Persis sepertiku.'

Pada akhirnya, aku mengeluarkan ponselku, mengetikkan sesuatu, mengirimnya, kemudian berjalan pergi tanpa melihat ke belakang.

[Maaf, aku akan sibuk malam ini.]

—Sibuk melakukan apapun agar aku tidak mengingatmu.

"Sekarang, di mana, yah, aku bisa mendapatkan secangkir kopi hitam?"

.

.: _ :.

.

[…]

"Katakan lagi, hyung," sepasang mata beriris gelap mengalihkan pandangannya dari kejadian yang berlangsung di depan sana kepada wajah tenang sosok di sampingnya, "kenapa aku harus melakukan itu?"

"Karena dia membutuhkannya, Mingyu-ya," hyung mengatakannya dengan senyum kecil di wajah, "dan hanya kau yang bisa membantunya."

Itu bukan jawaban yang ia butuhkan. "Aku tidak peduli tentang Jeonghan-hyung." Mingyu bilang. Ada sesuatu yang mencegat di lehernya ketika menyebutkan nama tadi, namun ia berhasil mengatakannya. Ia lalu berbalik hingga kini mereka saling berhadapan. "Coba lagi."

Sosok tadi berkedip dua kali. Kebingungan tertulis jelas di seluruh wajahnya yang sempurna sebelum ia memiringkan kepala sedikit dan menjawab, "Karena kau mencintaiku?"

Mingyu menyeringai. "Bagus, hyung." Dia membungkuk sedikit dan memegang dagu hyung-nya di antara ibu jari dan telunjuk. Wajah mereka dekat. Mereka bisa saling merasakan napas masing-masing menjalari kulit. "Kau mencintaiku juga, bukan?"

"Benar."

"Sekarang, kenapa kau ingin aku... menggoda Jeonghan hyung?"

Wajah sosok yang ia panggil hyung tadi tetap tenang. Tak berubah. "Aku tidak memintamu untuk menggodanya."

"Lalu apa?"

"Aku hanya ingin kau menemaninya." Sekarang giliran sosok tadi yang menyeringai. "Tidak terlalu sering atau terlalu dekat, hanya cukup untuk membuat pria bodoh di luar sana menyadari," dia menunjuk dengan matanya seseorang di luar sana yang lebih dikenal sebagai si playboy, S Coups—Choi Seungcheol, "dia tidak bisa lari selamanya dari perasaannya."

Mingyu berdiri diam sejenak, mencoba mengolah kata-kata tadi. Namun tiba-tiba sepasang bibir hangat yang manis memotong pendek proses pengolahan tersebut. Dia tidak bergeming pada awalnya, terlalu kaget. Kemudian, ia merasa sepasang lengan bergerak dan dikalungkan ke lehernya, memeluknya erat-erat, memperdalam ciuman mereka. Tanpa sadar, ia balas menciumnya.

"Jangan bodoh, Mingyu-ya," ia bilang di sela-sela ciuman. "Kau milikku. Bukan orang lain, tapi aku. Aku tidak akan membagimu dengan orang lain."

Mingyu tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum seperti orang bodoh. "Aku milikmu, Jeon Wonwoo. Milikmu. Dan aku akan melakukannya hanya karena kau ingin aku melakukannya."

"Bagus." Wonwoo mengecup bibirnya sekali lagi sebelum berjalan pergi. "Jeonghan-hyung membantuku dulu. Apa salahnya membalas kebaikannya? Hanya kau yang bisa memainkan peran itu, Mingyu-ya, karena aku tahu kau terlalu mencintaiku untuk berpaling pada Jeonghan-hyung, kan?"

Dia tertawa.

"Benar."

Mingyu berada tepat di sampingnya di detik berikutnya, tersenyum dan memegang tangannya erat.

.

Jeon Wonwoo tahu senyuman itu salah. Jeon Wonwoo tahu.

.

.: _ :.

.

[Selanjutnya]

2 . 0 | latte

.

.: _ :.

.

Catatan penulis:

Hai, penghuni fandom blink-blink a.k.a Carats sekalian! Terima kasih sudah menyempatkan diri berkunjung ke fanfiksi ini!

Sekali lagi, bagi yang kurang memerhatikan perhatian yang tertera sebelumnya, fanfiksi ini adalah terjemahan dari fanfiksi yang sudah sebelumnya Au postkan di Asianfanfics. Bagi yang pernah membacanya di web tersebut, hello to you again! Bagi yang pengen coba baca versi bahasa inggrisnya (sudah 6 chapter, loh!) silahkan kunjungi profil Au dan pilih [asianfanfics]. Tapi untuk yang tidak suka spoiler, Au akan usahakan tidak lama kok mengupdate versi bahasa indonesia ini :D

Ngomong-ngomong, apa ada yang masih ingat dengan Au? Yang dua tahun lalu ngilang setelah menghapus semua fanfiksinya? Semoga ga ada yang ingat deh yah. Ha…ha. /dibakarmassa/

Kali ini, Au akan coba deh ngga melakukan hal sama lagi, jadi apa Au boleh tahu bagaimana pendapat kalian mengenai fanfiksi ini? Atau kritik dan saran? Apapun boleh yah asalkan bukan 'flame' ;)

salam hangat & peluk,

authlene